This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday, 19 November 2018

REVIEW : FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


“Do you know why I admire you, Newt? You do not seek power. You simply ask, "Is a thing... right?" 

Bagi Potterheads, keputusan Warner Bros. dalam memfilmkan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them jelas patut dirayakan dengan penuh sukacita. Betapa tidak, mereka mengekspansi Wizarding World – sebutan untuk semesta film yang bersentuhan dengan franchise Harry Potter – sehingga para penggemar berkesempatan untuk melongok lebih jauh world building rekaan J.K. Rowling di luar tembok Hogwarts. Kita disuguhi narasi seputar kehidupan penyihir di masa lampau secara umum, sementara secara spesifik kita bisa melihat kehidupan penyihir dewasa yang telah memasuki dunia kerja (atau dalam hal ini, Kementrian Sihir). Saya akui, ini terdengar menggiurkan. Jilid pembuka Fantastic Beasts pun mengindikasikan bahwa franchise ini berada di jalur yang tepat dengan perkenalannya terhadap dunia pra-Harry Potter yang tetap menguarkan nuansa magis. Membangkitkan segala kenangan indah terhadap tujuh seri petualangan si bocah penyihir. Tapi keputusan para petinggi untuk mengkreasi lima seri, dari rencana awal hanya tiga, mau tidak mau memunculkan kekhawatiran bahwa film akan memiliki guliran pengisahan berlarut-larut. Pengalaman kurang menyenangkan dari trilogi The Hobbit masih terpatri kuat di ingatan dan sosok Newt Scamander (Eddie Redmayne) sebagai karakter utama pun tak semenggigit Harry – bagi saya dia agak lempeng. Itulah kenapa wajar jika ada yang kemudian bertanya, “apa konflik besar yang bisa melingkungi Newt sehingga pihak studio dan Bu Rowling merasa layak untuk menceritakannya ke dalam lima instalmen?” 

Dalam jilid kedua Fantastic Beasts yang mengaplikasikan subjudul The Crimes of Grindelwald, J.K. Rowling yang kembali ditugasi menulis naskah – David Yates pun kembali sebagai sutradara (duh!) – menghadirkan setumpuk konflik sebagai upayanya untuk menjawab pertanyaan penuh keraguan tersebut. Dia seolah berkata, “ada banyak yang bisa aku ceritakan untuk kalian.” Berlatar tiga bulan selepas adegan pamungkas film pertama yang menyisakan kekacauan besar di New York, Newt Scamander mendapat larangan keras untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat dia adalah seorang magizoologist yang salah satu tugasnya adalah meneliti fauna ajaib di berbagai penjuru dunia, larangan ini jelas menyulitkan pekerjaannya. Dia pun mengajukan banding kepada Kementrian Sihir yang hanya bersedia memenuhi permintaannya apabila Newt bersedia bekerja untuk mereka mendampingi sang kakak, Theseus (Callum Turner), dalam memburu Credence Barebone (Ezra Miller) yang ternyata masih hidup. Newt menampik tawaran tersebut – yang secara otomatis menggugurkan permintaannya – tapi dia tak bisa mengelak dari tawaran Albus Dumbledore (Jude Law) yang turut menitahkannya untuk menemukan Credence di Paris. Salah satu alasannya karena dia berharap bisa berekonsiliasi dengan perempuan yang ditaksirnya, Tina Goldstein (Katherine Waterston), yang ternyata sedang berada di Paris guna menjalani misi yang sama. Ditemani oleh seorang No-Maj/muggle yang kini menjadi teman baiknya, Jacob Kowalski (Dan Fogler), Newt pun mesti berpacu dengan waktu dalam perburuan ini lantaran seorang penyihir aliran gelap, Gellert Grindelwald (Johnny Depp), tengah menyiapkan rencana besar nan keji untuk Credence beserta para penyihir ‘tersesat’ lainnya di waktu bersamaan.


Jika instalmen pendahulu bisa ditonton oleh penonton awam tanpa dibekali pengetahuan komprehensif soal dunia ciptaannya Bu Rowling, The Crimes of Grindelwald terasa lebih eksklusif. Jangankan mereka yang belum pernah mengunjungi Wizarding World, mereka yang sudah ‘lulus’ dari Hogwarts dengan nilai setara Ron atau Harry pun akan cukup dibuat pusing oleh guliran pengisahan yang ditawarkan. Film seolah menuntutmu untuk memiliki daya ingat setajam Hermione lantaran serentetan peristiwa dan karakter yang bersliweran di sini memiliki keterkaitan erat dengan jilid-jilid lain (termasuk versi novel). Itulah mengapa, The Crimes of Grindelwald bukanlah sebuah film yang bisa berdiri sendiri karena dia difungsikan sebagai penjembatan antara seri pertama dengan seri-seri berikutnya. Kamu perlu menonton setidaknya Fantastic Beasts and Where to Find Them guna mengetahui akar permasalahan, kamu pun perlu menonton seri selanjutnya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menggantung di sini. Apakah ini berarti membuatnya terlihat sebagai film yang buruk? Bagi saya sih, tidak. Kesalahan terbesar jilid ini bukan disebabkan oleh narasinya yang menganakemaskan Potterheads sejati, melainkan karena Bu Rowling memperlakukan naskah film selaiknya naskah novel dengan mempergunakan banyak sekali subplot guna menggulirkan roda penceritaan. Ini mungkin masih akan berhasil di atas kertas, tapi saat divisualisasikan ke dalam bahasa gambar… tunggu dulu. Sejujurnya, saya mengalami kebingungan dan kebosanan dalam menonton The Crimes of Grindelwald karena ada banyak sekali cabang cerita untuk diikuti – belum lagi lajunya pun lambat di pertengahan film. 

Bukan sebatas perburuan Credence dan rencana keji Grindelwald, film turut menyodorkan beberapa subplot lain meliputi upaya Credence dalam menguak masa lalunya yang mempertemukan dia dengan Nagini (Claudia Kim), pertengkaran Jacob dengan Queenie Goldstein (Alison Sudol) dipicu oleh keraguan Jacob untuk menikahinya karena ketakutannya dalam melanggar hukum “menikah beda kaum”, hingga kisah cinta segirumit antara Newt, Tina, serta Leta Lestrange (Zoe Kravitz) yang memunculkan dialog khas opera sabun alias sinetron seperti “dengerin dulu penjelasanku” saat si cewek pujaan hati ngambek-ngambek manjya. Meriah sekali, ya? Saking meriahnya, film sampai terlihat kebingungan dalam meletakkan fokus sehingga satu pertanyaan pun tak terelakkan: apa sih sebenarnya yang ingin diceritakan di sini? Meski menggunakan embel-embel Fantastic Beasts, kenyataannya fauna ajaib hanya muncul sebagai penghibur ketika film membutuhkan aksi atau komedi. Meski menempatkan Newt Scamander sebagai karakter utama, dia nyaris tak melakukan suatu tindakan yang signifikan di sini (bahkan jatah tampilnya pun mangalami pengurangan cukup banyak). Meski nama Grindelwald muncul pada judul, dia pun tak banyak diberi kesempatan untuk menjabarkan motivasi berikut pemikiran-pemikirannya secara jelas – apalagi menunjukkan kejahatan seperti diutarakan oleh judul. Kita hanya mengetahuinya dari dialog yang tak cukup kuat dalam memperlihatkan bahwa dia adalah sosok penyihir bengis yang semestinya ditakuti. Tak ada kompleksitas dalam karakterisasinya, Grindelwald tak ubahnya penjahat satu dimensi di banyak film yang tujuan utamanya semata-mata “ingin menguasai dunia”. 



Yang kemudian membantu menyelamatkan The Crimes of Grindelwald dari keterpurukan akibat naskah yang Ya-Tuhan-gini-amat-ceritanya (dan saya masih belum membahas soal twist ajaib yang menunjukkan obsesi terselubung Bu Rowling terhadap soap opera melibatkan cerita “saudara yang tertukar”) adalah performa pemain. Ditengah keterbatas penulisan karakter, para pelakon masih sanggup menunjukkan akting yang tidak mengecewakan khususnya Eddie Redmayne dengan segala kecanggungannya, Johnny Depp (akhirnya!) dapat melepaskan bayang-bayang Jack Sparrow dalam peran antagonis cukup menarik, Zoe Kravitz menunjukkan guratan penyesalan dibalik air muka muramnya, beserta Dan Fogler yang memberi banyak asupan tawa dalam setiap celetukannya sekalipun karakternya tak berkontribusi banyak pada penceritaan kecuali dipergunakan sebagai comic relief. Yang juga layak diapresiasi adalah tampilan visualnya yang masih sanggup menguarkan nuansa magis lebih-lebih saat musik tema Harry Potter turut berkumandang mengiringi beberapa adegan. Secara personal, saya menyukai penggambaran adegan pembukanya yang memiliki excitement tinggi, kunjungan Newt ke “ruang kerjanya”, kunjungan ke Kementrian Sihir, dan tentu saja ketika para karakter mengunjungi Hogwarts untuk menemui Dumbledore yang membuat saya bernostalgia. Visual yang ditonjolkan dalam rangkaian adegan ini memberikan setitik alasan sederhana mengapa franchise dunia sihir ini bisa banyak dicintai dan dikagumi oleh banyak orang. Visual yang mewarnai The Crimes of Grindelwald ini pula yang membuat saya mampu bertahan menyaksikan sinetron versi Bu Rowling. Saat film berakhir, saya hanya berdoa semoga Bu Rowling segera kembali ke jalan yang benar sehingga seri-seri Fantastic Beasts berikutnya mampu membuktikan bahwa seri ini memang layak diceritakan dalam lima instalmen. Jika seri berikutnya tidak ada bedanya dengan The Crimes of Grindelwald, mungkin sudah saatnya saya memutuskan untuk murtad dari Potterhead.

Acceptable (2,5/5)


Saturday, 17 November 2018

REVIEW : SUZZANNA BERNAPAS DALAM KUBUR


“Memang tidak ada yang lebih menakutkan daripada setan yang masih punya urusan dendam.” 

Saat rencana untuk menggarap film Suzzanna – bintang sekaligus ikon film horor tanah air – diumumkan, respon publik terpecah ke dalam dua golongan utama; mendukung dengan alasan ingin bernostalgia, dan menentang dengan alasan trauma pada hasil akhir Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss. Direkrutnya Anggy Umbara untuk mengomandoi proyek jelas tidak membantu untuk memenangkan hati kaum kontra, lebih-lebih konsep film yang dipergunakan menyerupai Jangkrik Boss alih-alih berwujud remake atau membentuk narasi sama sekali anyar. Sikap skeptis yang membayangi sebagian masyarakat ini perlahan mulai luntur menyusul diluncurkannya foto adegan oleh Soraya Intercine Films. Foto yang menampilkan Luna Maya (kala itu namanya belum diumumkan secara resmi) sebagai Suzzanna ini menuai komentar positif dari netizen Indonesia yang dikenal julid. Komentarnya senada seirama yang bisa disimpulkan dengan beberapa kata seperti demikian: “gila, mirip bener dengan almarhumah! Penata riasnya keren banget!” Pengharapan yang tadinya telah menipis pun kembali mengangkasa utamanya berkat rentetan materi promosi Suzzanna: Bernapas dalam Kubur yang ditebar efektif – termasuk trailer yang mengundang selera. Janji-janji dari pihak Soraya jelas menunjukkan bahwa mereka tidak main-main dengan proyek ini yang kemudian melahirkan satu pertanyaan penting. Apakah materi promosi tersebut benar-benar mencerminkan kualitas film bersangkutan atau jangan-jangan film ini tergabung dalam barisan “don’t judge a movie by its trailer”? Hmmm… let’s see

Dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Suzzanna (Luna Maya) digambarkan memiliki kehidupan yang bahagia dengan seorang pebisnis sukses bernama Satria (Herjunot Ali). Pada tahun kelima pernikahan, mereka telah dikaruniai segalanya kecuali momongan. Penantian panjang dua pasangan muda ini akhirnya tiba bersamaan dengan perginya Satria ke Jepang untuk melakukan perjalanan dinas. Alhasil, Suzzanna pun menjalani minggu-minggu pertama kehamilan hanya ditemani dengan tiga orang pembantunya; Rojali (Opie Kumis), Tohir (Ence Bagus), dan Mia (Asri Welas). Tidak ada yang salah dengan kesehatan maupun kandungan Suzzanna, bahkan dia pun masih sanggup buat bergabung dengan ketiga pembantunya untuk menonton layar tancap. Masalah dalam hidupnya lantas dimulai saat dia memutuskan untuk pulang lebih awal seorang diri dari pertunjukkan layar tancap lantaran merasa lemas. Tanpa pernah disadari oleh Suzzanna, ternyata ada empat karyawan Satria; Jonal (Verdi Solaiman), Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), dan Gino (Kiki Narendra), yang sedang merampok rumahnya guna membalas dendam kepada Satria. Tatkala Suzzanna memergoki keempatnya, rencana perampokan seketika gagal total dan tanpa disengaja justru berubah menjadi pembunuhan Suzzanna. Dilingkupi kepanikan, empat sekawan ini lantas mengubur jenazah Suzzanna di kebun belakang yang menjadi cikal bakal dimulainya teror dalam film ini. Arwah Suzzanna yang tidak tenang pun memutuskan untuk menuntut balas kepada kawanan yang telah membunuhnya dengan cara menghantui mereka satu demi satu di setiap malam. 


Berbeda dengan Jangkrik Boss yang memanfaatkan adegan-adegan ikonik dari film-film populer Warkop DKI sebagai jalan untuk menggulirkan cerita, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur yang belakangan disutradarai oleh Rocky Soraya (nama Anggy Umbara tetap dicantumkan sebagai bentuk penghormatan meski kerja kerasnya dirombak nyaris seluruhnya) membuat satu cerita utuh yang tidak dibentuk dari kumpulan-kumpulan adegan dari film-film Suzzanna. Memang sih kamu masih akan menjumpai satu dua momen yang merekonstruksi adegan favorit penggemar. Salah satunya adalah ketika Suzzanna menyenandungkan tembang “Selamat Malam” milik Vina Panduwinata seraya bermain piano yang dicuplik dari Malam Satu Suro (1988) yang ndilalah punya keserupaan narasi dengan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur. Namun film ini sebisa mungkin menghindari kemungkinan untuk mengalienasi penonton anyar gara-gara menebar terlalu banyak materi nostalgia. Toh, mereka yang mengagumi film-film Suzzanna telah diajak bernostalgia melalui permak wajah Luna Maya yang begitu menyerupai mendiang sampai-sampai saya berulang kali dibuat berdecak kagum (tak sia-sia ya mengimpor make-up artist dari Rusia), suasana era 1980’an yang begitu kental terpancar lewat printilan-printilan di sekitar para karakter termasuk kostum dan pengucapan dialog, keputusan si pembuat film untuk menonjolkan elemen dramatik mengikuti langkah yang dulu pernah dilakukan oleh Sundel Bolong (1981), hingga penggunaan musik dengan sentuhan orkestra dan choir sebagai penyokong adegan yang bertujuan untuk membangkitkan bulu kuduk penonton selaiknya film horor era 70-80’an. 

Ini jelas menarik, meski bukannya tanpa resiko. Saya menyebutnya menarik karena Suzzanna: Bernapas dalam Kubur menggunakan pendekatan yang sangat jarang diterapkan oleh film horor Indonesia masa kini. Alih-alih seketika menggedor jantung penonton menggunakan gempuran jump scares yang acapkali tak relevan, film bersedia untuk membangun kengerian secara perlahan tapi pasti. Penonton dikasih lihat terlebih dahulu soal kehidupan pribadi Suzzanna beserta orang-orang yang berada di sekitarnya, penonton juga diperkenankan untuk berkenalan dengan para pembunuh Suzzanna yang nantinya berubah menjadi korban. Oleh Bene Dion Rajagukguk selaku penulis skenario, karakter-karakter ini tak dibiarkan hampa. Mereka ada di sana bukan untuk sekadar diteror atau meneror, melainkan ada motivasi yang melandasi di belakangnya – malah saya juga bersimpati ke salah satu korban karena alasannya berhubungan dengan keluarga. Menariknya lagi, Bene bersama Rocky dan Anggy turut membangun mitologi yang jelas seputar Sundel Bolong sehingga penonton dapat memahami “cara kerja” si lelembut, ketimbang sebatas melihatnya bergentayangan lalu menghadapkan korban-korbannya pada ajal. Adanya pemaparan latar belakang si karakter tituler ini membuat dia lebih dari sekadar hantu pembalas dendam dan kita pun ditempatkan dalam posisi moral dilematis: mengetahui apa yang diperbuatnya salah, tapi kita berharap bahwa dia mampu menuntaskan misinya secara tuntas. Suatu perasaan yang amat jarang muncul saat menonton film horor kan? Apalagi film horor tanah air yang cenderung membentuk si hantu sebagai karakter satu dimensi.


Resiko yang mesti ditanggung dari keputusan si pembuat film ini adalah elemen horornya yang terkikis. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur tentu masih mempunyai beberapa momen seram, favorit saya secara personal adalah ketika Suzzanna menjumput kepala salah satu korbannya yang terputus dari tubuhnya lalu pergi menjauhi kamera… dengan melayang, bukan berjalan. Akan tetapi, kengerian ini tak pernah benar-benar mencapai puncaknya. Pekik penonton yang menggema di dalam bioskop pun acapkali berasal dari muncratan darah (oh ya, film ini berdarah-darah, saudara-saudara!) ketimbang takut melihat Suzzanna. Dia memang memiliki tampilan fisik yang bikin nyali ciut, hanya saja karena dia mengincar orang-orang tertentu saja dan kita pun berharap mereka mati, alhasil rasa takut itu jarang sekali muncul dalam sesi balas dendam. Hmmm… itu berarti, keputusan berani si pembuat film berakhir sebagai pedang bermata dua, dong? Ya, itulah mengapa saya mengatakan pilihan tersebut memiliki resiko tinggi. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur secara mengejutkan justru lebih efektif dalam bermain-main di ranah komedik berkat kehadiran trio Opie Kumis-Ence Bagus-Asri Welas yang tak pernah meleset dalam melontarkan banyolan – saya tertawa keras saat mereka mengendap-endap ke kamar Suzzanna. Segala kelakar di film ini menambal kekurangan pada elemen teror yang terasa kurang greget beserta elemen dramatik yang kadangkala menjemukan (pertengahan film sedikit berlarut-larut) dan kadangkala lempeng. 

Luna Maya telah bermain sangat meyakinkan sebagai Suzzanna, begitu pula dengan Teuku Rifnu Wikana dan Verdi Solaiman yang membuat saya sebal. Titik lemah departemen akting ada pada Herjunot Ali yang kurang menyatu bersama Luna Maya sekaligus menunjukkan reaksi aneh tatkala mengetahui bahwa istrinya adalah Sundel Bolong. Haruskah dia semarah itu sampai tanpa berpikir panjang memutuskan untuk mengusirnya? Bukankah dengan cintanya yang sedemikian besar, dia semestinya justru takut atau terombang-ambing terlebih dahulu sebelum mengambil langkah yang menyakitkan tersebut? Ketidakmampuan Herjunot (saya kok malah jadi langsung teringat Tenggelamnya Van der Wijck ya tiap dia berdialog?) untuk menandingi Luna berdampak pada babak klimaks Suzzanna: Bernapas dalam Kubur yang urung mengharu biru seperti diharapkan. Saya tak bisa menangis di momen puncak ini, dan saya juga tak sampai meringkuk takut menyaksikan teror Suzzanna. Untuk sesaat, film memang terdengar seperti produk yang kurang berhasil. Tapi kita perlu memperhitungkan faktor lain termasuk production value yang berada di atas rata-rata, performa apik sebagian besar pelakon, serta oh, saya selalu tertawa setiapkali trio Rojali-Tohir-Mia ambil peran. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih mampu tampil menghibur dan asyik ditonton ramai-ramai, meski film tak pernah benar-benar mencapai potensi besar yang dipunyainya. Saran saya sih, simpan ekspektasi tinggimu untuk film ini di rumah lalu nikmati saja tontonan hiburan ini tanpa membawa pengharapan apapun. Bukan tidak mungkin, kamu akan lebih menikmatinya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 11 November 2018

REVIEW : HANUM & RANGGA (FAITH & THE CITY)


“Kamu jangan pernah menyia-nyiakan mereka yang sudah berkorban untukmu.” 

Sejujurnya, saya menyukai dwilogi 99 Cahaya di Langit Eropa (2013-2014) yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Bukan semata-mata karena mata dibikin adem karena melihat Raline Shah berhijab, melainkan lebih disebabkan oleh narasinya yang terasa tulus dan menghangatkan hati. Dalam film tersebut, Hanum Salsabiela Rais dikisahkan mendampingi suaminya, Rangga Almahendra, untuk menyelesaikan studi S3 di Vienna, Austria. Selama menetap di sana, keduanya menelusuri jejak-jejak Islam di Eropa seraya berupaya memperbaiki citra Islam yang buruk di mata sebagian pihak. Beberapa orang menyebutnya sebagai film perjalanan, lebih-lebih konfliknya tak terlalu runcing di sini. Tapi bagi saya, disitulah letak menariknya lantaran film berdiri di jalur realis yang acapkali mempersilahkan penonton untuk merenung usai diperdengarkan percakapan (atau perdebatan) antara Hanum dengan Rangga, Hanum dengan teman-temannya, maupun Rangga dengan kawannya yang membenci Islam. Lingkupnya personal saja, tak berambisi untuk membuktikan kepada seluruh umat manusia bahwa “dunia ini akan lebih baik dengan adanya Islam”. Ambisi ini, sayangnya, diterapkan ke film berikutnya, Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015-2016), yang justru membuat narasi terlalu bombastis sampai-sampai sulit dipercaya kebenarannya – plus saya paling malas dengan film dakwah yang penuh letupan kemarahan di dalamnya – dan instalmen terbaru dari Hanum-Rangga Cinematic Universe, Hanum dan Rangga (Faith and the City), yang untuk pertama kalinya diakui sebagai kisah fiksi. 

Pertanyaan “would the world be better without Islam?” menjadi bekal yang senantiasa dibawa oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa) dalam menapaki karir sebagai jurnalis. Kemanapun dia berpijak, dia ingin pertanyaan ini terjawab sehingga masyarakat di berbagai belahan dunia menyadari bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil’ alamin (penuh rahmat) alih-alih penuh kebencian – meski kenyataannya dalam film, pertanyaan tersebut tak pernah memperoleh jawaban memuaskan. Pertanyaan ini pula yang diboyongnya ketika dia mendapat tawaran untuk bekerja magang selama tiga pekan sebagai reporter di stasiun televisi GNTV New York. Hanum melihat ini sebagai kesempatan emas untuk melakukan syiar agama, kesempatan emas untuk ‘berdialog’ dengan publik Amerika Serikat yang belum pernah mengenal wajah Islam sesungguhnya. Dilingkupi semangat karena dirinya berkesempatan menjadi agen perubahan yang signifikan, idealisme Hanum ini malangnya justru terbentur oleh visi misi sang atasan yang mendewakan rating, Andy Cooper (Arifin Putra). Andy menginginkan program yang membuat pemirsanya termehek-mehek, bukan program yang menenangkan hati karena itu dianggapnya membosankan. Walaupun tidak pernah sejalan dengan cara kerja Andy, toh Hanum tetap bertahan di GNTV seraya mencari ide segar untuk program selanjutnya. Kesibukan Hanum dengan pekerjaannya ini tanpa pernah disadarinya secara perlahan tapi pasti justru merenggangkan hubungannya dengan sang suami, Rangga Almahendra (Rio Dewanto). Pertengkaran demi pertengkaran pun tak terhindarkan ditambah lagi Hanum merasa cemburu melihat kedekatan Rangga dengan Azima Hussein (Titi Kamal). 


Disandingkan dengan dua instalmen Bulan Terbelah di Langit Amerika yang menghadirkan ketidaknyamanan dalam pengalaman penonton pada sepanjang durasinya menyusul narasinya yang sukar diterima logika, Hanum dan Rangga (Faith and the City) adalah sebuah peningkatan. Pertanyaan “would the world be better without Islam?” memang sekali lagi dipergunakan hanya sebagai pancingan bagi penonton semata tanpa mendapat eksplorasi di guliran pengisahan. Akan tetapi, instalmen ini setidaknya menghadirkan materi pembicaraan yang lebih fokus dan menggigit seputar gender role – atau secara lebih spesifik, peranan suami istri dalam sektor rumah tangga – ketimbang mengejar sensasi dengan mengupas soal jejak kedigdayaan Islam di Benua Amerika selaiknya dua seri terdahulu. Dalam satu adegan, Rangga sempat meluapkan kekecewaannya terhadap Hanum yang mulai abai kepada dirinya dengan satu pernyataan, “tapi kamu kesampingkan perasaan suami kamu sendiri sampai kamu melupakan tugas utamamu sebagai seorang istri.” Ini menarik karena bisa memunculkan setidaknya dua renungan: apakah benar Hanum telah melupakan tugasnya di ranah domestik akibat dibutakan oleh ambisinya dalam mengejar karir? Atau justru sebetulnya kemarahan Rangga tersebut dipicu oleh rasa insecure karena melihat karir sang istri menjulang secara cepat? Apabila berkenan untuk digali lebih mendalam, pernyataan beserta pertanyaan ini sejatinya dapat menghasilkan pembicaraan mengenai seorang muslimah yang berkarir. Pembicaraan yang rasa-rasanya akan menghadirkan bahan diskusi menarik bagi pasangan suami istri di luar sana yang mungkin sedang dirundung dilema selepas sang istri memutuskan untuk berkarir. 

Mungkin berpikiran sama dengan Andy Cooper, duo Hanum-Rangga berikut sang peracik skenario, Alim Sudio, dan sang sutradara, Benni Setiawan, menganggap konflik ini berpotensi menjemukan bagi penonton sehingga mereka enggan menguliknya lebih mendalam. Langkah yang ditempuh sebagai bentuk kompensasinya adalah mengejar dramatisasi. Entah itu dalam lingkungan kerja Hanum yang digambarkan memiliki seorang atasan yang toxic, atau dalam hubungan Hanum-Rangga yang diusik oleh kehadiran orang ketiga. Obsesi ini tentu saja bukanlah hal yang sehat karena apa yang mengikutinya adalah rentetan peristiwa yang too good to be true sekaligus konyol. Saya sih masih bisa mencoba memafhumi di separuh durasi awal (tapi saya masih tak bisa memahami spesialisasi beserta prestis yang dipunyai GNTV). Hanya saja begitu menyadari pemicu konflik diantara dua karakter utama adalah salah paham berlandaskan tuduhan perselingkuhan, saya cuma bisa berkata “baeklah.” Ya masa pasangan saling mencintai, memiliki gelar tinggi pula, dibutakan oleh cemburu semata-mata karena melihat pasangannya ngobrol berdua dengan lawan jenis sih? Atau inikah yang disebut cinta tak mengenal logika? Jika ini masih bisa menerima pemakluman, saya akhirnya tak tahan lagi untuk menahan tawa di babak klimaks (maaf, kalimat-kalimat selanjutnya akan mengandung spoiler). Dalam adegan dimana Hanum akhirnya berkesempatan memandu acara live, aib Andy Cooper terekspos. Alih-alih fokus pada wawancara dengan Azima dan Philipus Brown (Timo Scheneumann) – tonton Bulan Terbelah di Langit Amerika untuk mengetahui apa yang bikin mereka penting – Hanum beserta narasumbernya justru mengungkap kebobrokan Andy dilanjut pemecatan terhadap Andy oleh Philipus yang baru saja membeli sebagian saham GNTV. 


Serius, darling? Ini adalah acara televisi di Amerika Serikat lho. Saya masih bisa membayangkannya apabila ini terjadi di Indonesia, tapi di negeri Paman Sam? Pelanggaran keras atas kode etik jurnalistik. Belum lagi acara yang dipandu oleh Hanum ini mewartakan tentang Islam. Sejahat-jahatnya Andy, saya rasa mengungkap aibnya di depan publik tetap saja bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh Islam. Jika demikian, lalu apa bedanya Hanum dengan Andy? Mengingat SARA tengah menjadi masalah serius di Amerika Serikat, bukankah peristiwa seperti ini justru akan semakin mencoreng citra Islam yang sudah terlanjur buruk di mata sebagian warga setempat? Ini konyol. Padahal saya sudah berharap banyak kepada karakter Hanum yang mulanya menggebu-nggebu saat berbicara tentang idealisme dan integritas. Tak tahunya, penyelesaian masalahnya jauh dari kata elegan apalagi kesantunan dan menjunjung dramatisasi serta mengambil jalur penyederhanaan. Sungguh kecewa. Ditengah kekecewaan ini, saya lantas dikejutkan oleh adegan berikutnya yang tergarap manis… sampai sebuah pengungkapan lain menyerang. Karakter gay yang dimainkan secara lucu oleh Alex Abbad (ini aneh sih sebenernya karena dia melakonkan peran bertolak belakang di 99 Cahaya di Langit Eropa yang berkesinambungan dengan instalmen ini) mendadak ‘insyaf’ tanpa sebab. Pertanyaannya: apa kita membutuhkan adegan ini? Untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa gay adalah sebuah ‘penyakit’ yang bisa disembuhkan? Ini pointless banget sih, kecuali untuk menegaskan posisi si pembuat film terhadap LGBT. 

Kekacauan pada babak klimaks ini menghantarkan Hanum dan Rangga (Faith and the City) menjadi tontonan mengecewakan. Seperti halnya Andy Cooper si karakter antagonis yang hancur karena ambisinya mengejar drama, film ini pun menukik tajam lantaran kelewat bernafsu ingin mengajak penonton termehek-mehek. Padahal film sejatinya memiliki obrolan menarik, penggarapan Benni Setiawan pun mengalir lancar, dan Acha Septriasa sekali lagi tak mengecewakan sekalipun energinya agak meredup tanpa Abimana Aryasatya. Sungguh sangat disayangkan.

Acceptable (2,5/5)



Saturday, 10 November 2018

REVIEW : A MAN CALLED AHOK


“Aku tidak takut kalah, tapi aku takut berbuat salah.” 

Terlepas dari kamu mengaguminya, membencinya, atau bersikap netral, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa Ahok adalah sosok paling fenomenal di tanah air dalam satu dekade terakhir. Kapan terakhir kali ada seorang politisi yang sepak terjangnya sedemikian disorot sampai kerap menjadi bahan omongan masyarakat dari berbagai lapisan? Almarhum Gus Dur kah? Atau justru rekan seperjuangannya, Jokowi? Meski kedua sosok ini terbilang luar biasa dengan caranya masing-masing, keduanya memiliki satu keuntungan yang tak dipunyai Ahok: privilege berasal dari kaum mayoritas. Itulah mengapa, ada keistimewaan tersendiri dalam perjuangan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sehingga tak mengherankan sosoknya pun disebut sebagai ‘pahlawan minoritas’ bagi sebagian warga yang menganggap perjalanan karirnya inspiratif. Tidak hanya pendukung setianya, jutaan pasang mata lain pun terus tertuju kepada sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini karena keputusan-keputusan yang diambilnya acapkali kontroversial. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “apa langkah berikutnya yang akan ditempuh Ahok?,” terus bersahut-sahutan di kalangan publik, sementara saya justru bertanya-tanya, “seperti apa sih Ahok di masa muda?.” Terdengar remeh temeh memang, tapi saya ingin mengetahui apa yang membentuknya sebagai pribadi yang berani, keras, dan tanpa tedeng aling-aling seperti sekarang ini sehingga kerap disalahpahami sekaligus dimurkai pihak tertentu. Apakah sifatnya ini adalah hasil gemblengan orang tua atau lahir dari pengalaman tak mengenakkan di era lampau? 

Pertanyaan-pertanyaan ini nyatanya turut menggelitik rasa penasaran Rudi Valinka yang lantas memformulasikannya ke bentuk narasi dalam buku non-fiksi bertajuk A Man Called Ahok. Tak berselang lama, Putrama Tuta yang jejak rekamnya meliputi Catatan Harian Si Boy (2011) dan Noah Awal Semula (2013) pun mengekranisasinya ke bentuk bahasa gambar demi menjangkau audiens lebih luas. Dalam versi film, penonton diajak melongok ke masa remaja Ahok (Eric Febrian) di Desa Gantung, Kabupaten Belitung Timur, pada era 1980-an. Ahok merupakan putra sulung dari pasangan Tjung Kin Nam (Denny Sumargo) – yang dijuluki ‘Bos Besar’ oleh warga sekitar karena kemurahan hatinya – dan Buniarti Ningsih (Eriska Rein). Selama durasi mengalun, kita disodori relasi antara Ahok dengan sang ayah yang berusaha mati-matian untuk mempertahankan bisnis pertambangannya ditengah rongrongan oknum korup yang ingin menjatuhkannya. Tjung Kin Nam tak pernah memanjakan Ahok dan ketiga anaknya yang lain, melainkan turut membawa mereka melihat realita sekaligus terus mendorong mereka untuk menggapai posisi penting di masyarakat demi memperjuangkan keadilan. Dalam mengajari anak-anaknya tumbuh dewasa, Tjung Kin Nam selalu memastikan agar mereka tidak saling melupakan satu sama lain dan tidak pernah kehilangan empati kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Bagi Ahok di masa remaja, pesan sang ayah ini bisa dituruti dengan mudah. Akan tetapi sekembalinya dia dari Jakarta demi menempuh studi, Ahok (Daniel Mananta) memiliki pemikiran yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh Tjung Kin Nam (Chew Kin Wah) sehingga pergesekan diantara mereka pun tak terbendung.

Dibawah penanganan Putrama Tuta (filmografinya boleh seuprit, tapi kedua karyanya amat ciamik), A Man Called Ahok mampu merekonstruksi masa lampu si karakter tituler dalam gelaran kisah yang menggigit, menghangatkan hati, sekaligus mengobarkan semangat – sebagai pengganti kata “inspiratif”yang kurang disukai sebagian orang. Tidak butuh waktu lama bagi atensi saya untuk tertambat terlebih film telah menggelontorkan jawaban untuk pertanyaan terbesar saya di separuh durasi awal. Pertanyaan terkait faktor utama pembentuk karakteristik Ahok dipaparkan melalui relasinya dengan sang ayah. Ada kekaguman terhadap sosok Tjung Kin Nam yang dideskripsikan mengayomi wong cilik dan tidak segan-segan mengulurkan bantuan ketika ada yang memerlukan pinjaman uang, sekalipun kemurahan hatinya ini menghadapkannya pada hutang menumpuk. Sang istri, Cik Bun, sesekali protes terhadap kebiasaan suaminya sementara Ahok remaja secara diam-diam turut mempraktekannya meski ini berarti mesti memecah celengan. Karakter Tjung Kin Nam ini sendiri memiliki peranan sangat dominan, bahkan lebih sering menguasai layar ketimbang Ahok, lantaran dia mempunyai kontribusi terbesar terhadap setiap langkah yang diambil oleh Ahok. Dia dapat bersikap lembut kala menunjukkan empati, dia pun dapat bersikap keras pada para maling. Kemarahan menggebu-nggebu Ahok yang mencuat setiap kali melihat kezaliman dipantik oleh pengalaman berurusan dengan satu oknum yang terus mengancam akan mempersulit sang ayah (lalu berlanjut ke dia setelah menekuni bisnis serupa) apabila enggan memberi uang pelicin. 

A Man Called Ahok menunjukkan fase terbaiknya ketika menyoroti perjuangan Tjung Kin Nam untuk mempertahankan bisnis tambangnya dan bagaimana dia menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada putra-putrinya. Putrama Tuta membuktikan bahwa dia memiliki sensitivitas dalam merangkai momen dramatik – tanpa pernah terjerembab menjadi dramatisasi berlebih – melalui beberapa momen yang tersebar di beberapa titik seperti saat Tjung Kin Nam mengajak Ahok remaja melayat ke rumah mantan karyawan, wejangan di meja makan, sampai ketika Ahok memberi penghormatan terakhir di makam sang ayah. Tunjangan iringan musik oleh Aghi Narottama dan Bemby Gusti turut menambah rasa pada menit-menit ini, disamping permainan lakon mengagumkan dari jajaran pemainnya. Daniel Mananta bermain cukup baik sebagai Ahok berpatokan pada tingkat kesulitan yang dihadapinya (ada ciri khas kuat pada gestur beserta warna suara Ahok yang cenderung mustahil direplika), tapi bagi saya Denny Sumargo adalah pencuri perhatian sesungguhnya di film ini. Tampak kewibawaan seorang ayah, tampak ketegasannya, dan tampak pula kehangatannya. Dia bersinergi dengan Eriska Rein yang memberi ekspresi-ekspresi kecil nan subtil dalam setiap reaksinya terhadap keputusan-keputusan nekat sang suami. Versi menua dari keduanya pun dimainkan secara kuat oleh Chew Kin Wah beserta Sita Nursanti sekalipun fakta bahwa mereka tidak memiliki kemiripan dengan versi muda terasa mengganggu. Yang juga mengganggu dari A Man Called Ahok adalah penyelesaiannya yang kurang lantang. Keputusan untuk bermain aman ditambah pemadatan durasi berimbas pada penuturan karir politik Ahok yang tak lebih dari sekadar montase – bahkan sebagian besar diantaranya telah menjadi rahasia umum.

Kita tidak banyak mengetahui perjuangannya, kita tidak juga dipapari pencapaiannya secara mendetail. Penonton yang datang ke bioskop untuk menyaksikan A Man Called Ahok memang akan memperoleh penjabaran memuaskan terkait masa lampaunya, tapi soal kiprahnya di dunia politik, pembahasan hanya sebatas permukaan saja.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Tuesday, 6 November 2018

REVIEW : THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALMS


“The future of the realms lies with you. Be careful who you trust.” 

Untuk sebagian warga bumi – well, dalam hal ini adalah Amerika Serikat, sosok prajurit mainan yang dikenal sebagai nutcracker lekat kaitannya dengan tradisi Natal. Bonekanya kerap dipergunakan untuk dekorasi Natal, sementara pertunjukkan baletnya yang disadur dari dongeng rekaan E. T. A. Hoffmann yang berjudul The Nutcracker and the Mouse King merupakan tontonan wajib bagi keluarga tiap musim libur Natal tiba. Saking populernya, versi adaptasinya dalam format film pun bejibun termasuk dua judul paling saya ingat: The Nutcracker rilisan tahun 1993 yang menampilkan Macaulay Culkin dalam peran amat singkat dan errr… Barbie in the Nutcracker (please don’t judge me!). Upaya untuk melestarikan karya seni ini (atau lebih tepatnya, dimanfaatkan sebagai mesin pencetak uang) masih terus dilanjutkan secara berkala, bahkan Disney pun akhirnya tergoda juga untuk memvisualisasikannya ke dalam tontonan layar lebar. Tidak tanggung-tanggung, guna mewujudkan proyek yang diberi judul The Nutcracker and the Four Realms, sejumlah bintang besar pun direkrut. Beberapa yang menarik perhatian antara lain Morgan Freeman, Helen Mirren, serta Keira Knightley. Terdengar menjanjikan bukan? Ini belum ditambah keterlibatan dua sutadara, Lasse Hallstrom (The Cider House Rules, Chocolat) dan Joe Johnston (Honey, I Shrunk the Kids, Jumanji), dibalik kemudi yang memberikan isyarat bahwa saduran bebas versi dongeng beserta pertunjukkan balet ini nyaris tak mungkin keliru. Tapi benarkah demikian? 

Dalam The Nutcracker and the Four Realms, jagoan utama kita adalah seorang gadis muda bernama Clara Stahlbaum (Mackenzie Foy) yang masih dalam suasana berkabung usai meninggalnya sang bunda. Guna menghibur hati Clara yang dirundung lara, sang ibu meninggalkan sebuah hadiah berupa kotak berwujud telur pada malam Natal. Sayangnya, hadiah yang disampaikan melalui perantara sang suami, Pak Stahlbaum (Matthew Macfadyen), ini tak dilengkapi kunci untuk membukanya meski terdapat sebuah pesan yang kurang lebih berbunyi: kamu akan mendapatkan segala jawabannya di dalam. Agak-agak ngeselin nggak sih? Kalau telur ini bukan hadiah dari sang ibu, mungkin udah langsung diretakin oleh Clara. Tapi tentu saja Clara yang pantang menyerah pun memutar otaknya untuk membuka telur tersebut, termasuk mendatangi si pembuat yang kebetulan merupakan ayah baptisnya, Drosselmeyer (Morgan Freeman). Ketimbang memenuhi permintaan ayahnya untuk menemaninya berdansa-dansi, Clara justru sibuk berdiskusi dengan Drosselmeyer guna mendapatkan solusi dalam membuka telur. Oleh ayah baptisnya, Clara disarankan mencari sendiri jawabannya yang lantas membawanya ke sebuah alam ajaib usai Clara mengikuti petunjuk yang diduga mengarahkannya pada kunci pembuka. Benar saja, ada kunci pembuka di alam tersebut yang baru bisa diklaim oleh Clara apabila dia bersedia membantu warga setempat untuk melawan penguasa lalim, Mother Ginger (Helen Mirren), yang dicurigai sedang mempersiapkan perang saudara. 


Mengusung jalinan pengisahan berdasar dongeng yang telah diakui dan disokong pemain beserta kru kompeten, The Nutcracker and the Four Realms sejatinya telah memenuhi persyaratan untuk tersaji sebagai tontonan penghibur seluruh anggota keluarga saat libur Natal. Tapi seperti halnya A Wrinkle in Time tempo hari – ndilalah, diproduksi pula oleh Disney – yang hancur lebur sekalipun komposisinya sudah kelas premium, The Nutcracker and the Four Realms pun ternyata jauh di bawah pengharapan. Jadi jangan bayangkan film yang penulisan naskahnya ditangani oleh pendatang baru Ashleigh Powell (belakangan direvisi oleh Tom McCarthy) ini akan semagis versi live action dari Cinderella (2015) atau Beauty and the Beast (2017), karena perbandingan yang lebih mendekati adalah si wrinkle-wrinkle little star tadi beserta Alice in Wonderland: Through the Looking Glass (2016). Cantik buat dipandang sih – atau dipajang sebagai screensaver – tapi emosinya hampa bukan main. Saking hampanya, saya lebih suka menyebutnya “dongeng pengantar tidur yang dibutuhkan oleh mereka yang mengidap insomnia”. Jika kamu kesusahan dalam memejamkan mata, saya sih menyarankanmu untuk menjajal film ini. Sedari pertengahan durasi, saya benar-benar berjuang untuk tetap melek termasuk memesan kopi dari kafe bioskop serta menepuk-nepuk pipi berulang kali. Sungguh, film ini sangat, sangat, sangat membosankan. Adegan pembukanya memang mengagumkan yang seketika mengingatkan pada A Christmas Carol (2009) dengan hamparan salju plus dekorasi Natal menghiasi jalanan kota London, begitu pula dengan pertikaian kecil akibat sulitnya berdamai dengan duka di ruang keluarga. Cukup menyentuh. 

Hanya saja, gempita yang telah terbangun ini perlahan mulai rontok saat Clara memasuki alam ajaib yang terdiri dari empat negeri: negeri bunga, negeri salju, negeri manisan, serta negeri taman bermain. Ya, visualnya memikat berkat kolaborasi apik antara departemen efek khusus, kostum, tata rias, serta desain produksi. Tapi selebihnya sedikit enggan untuk saya singgung demi menjaga nama baik film ini. Sungguh, siapa menyangka jika film keluarga yang tampak polos ini memiliki banyak sekali aib bertebaran yang rasa-rasanya tidak elok untuk dipergunjingkan? Satu aib yang bisa saya beberkan, hampir seluruh pelakon dalam The Nutcracker and the Four Realms menghadirkan performa yang datar. Dimulai dari Jayden Fowora-Knight yang bermain sangat kaku bak kayu sebagai nutcracker hidup bernama Captain Philip (namanya boleh dicatut sebagai judul, tapi dia hanyalah supporting character di sini), lalu Morgan Freeman yang mengambil peran hanya demi membayar tagihan bulanan, kemudian Helen Mirren yang bisa digantikan oleh siapapun, sampai Keira Knightley sebagai pemimpin negeri manisan yang suara tikusnya membuat saya berharap bioskop dilengkapi fitur mute. Diantara jajaran pemain, Mackenzie Foy adalah satu-satunya yang bermain cukup baik meski naskah kerapkali membuat Clara terlihat seperti gadis manja yang perajuk ketimbang gadis cerdas yang pemberani. Jika ada aib lain yang patut dibeberkan, maka itu adalah naskah yang ditulis sesuka hati (saya masih tidak habis pikir dengan twist dan motivasi utama si villain) dan pengarahan yang tidak konsisten lantaran film digarap oleh dua sutradara berbeda (Joe Johnston mengomandoi syuting ulang selama 32 hari atau dengan kata lain bikin setengah film!) dengan style berbeda pula. 


Ditengah segala kekacauan yang menghiasi The Nutcracker and the Four Realms, hal positif yang tersisa selain visual adalah adegan balet yang diperagakan oleh Misty Copeland. Keberadaannya sanggup memberikan nyawa bagi film yang gersang di tengah sekaligus membuat saya akhirnya bisa menyunggingkan senyum di end credit. Saya pun tak lupa mengucap, “Alhamdulillah…”, begitu lampu bioskop dinyalakan karena film telah memberikan pengalaman terkantuk-kantuk di dalam bioskop yang akan cukup sulit untuk saya lupakan.

Poor (2/5)


Sunday, 4 November 2018

REVIEW : BOHEMIAN RHAPSODY

 

“I love the way you move on stage. The whole room belongs to you. Don't you see what you can be?” 

Siapa sih yang tidak mengenal Queen? Kecuali kamu tinggal di dalam gua dan tidak pernah sekalipun bersentuhan dengan musik sepanjang hidup, minimal kamu pasti pernah mendengar tembang-tembang ini dikumandangkan: We Are the Champions, We Will Rock You, I Want to Break Free, sampai Love of My Life. Ya, lagu-lagu tersebut digubah oleh salah satu band terbesar yang pernah ada di muka bumi, Queen. Tidak hanya memiliki koleksi lagu yang tak lekang digerus zaman, band ini pun mempunyai sejarah panjang penuh lika-liku khususnya saat berhubungan dengan vokalisnya yang legendaris, mendiang Freddie Mercury. Ada banyak cerita yang bisa diutarakan, ada banyak pengalaman yang bisa dibagikan, dan ada banyak pula pencapaian yang bisa dirayakan. Membutuhkan lebih dari dua jam (dan lebih dari satu film dengan pendekatan berbeda) untuk bisa merangkum perjalanan karir Queen dari A sampai Z. Itulah mengapa, proses penggarapan film biopik Queen bertajuk Bohemian Rhapsody – meminjam judul dari salah satu lagu terbesar mereka – yang telah dicetuskan sedari tahun 2010 oleh dua punggawanya yang masih tersisa, Brian May dan Roger Taylor, terus menerus terbentur oleh serangkaian perbedaan kreatif. Entah itu dari pergantian pemain dari semula Sacha Baron Cohen (kalian mengenalnya sebagai Borat), perombakan skenario, sampai divisi penyutradaraan yang bermasalah: Bryan Singer (The Usual Suspects, X-Men: Days of Future Past) hengkang di menit-menit terakhir sebelum digantikan oleh Dexter Fletcher. Jika kemudian kalian merasa bahwa Bohemian Rhapsody berakhir sebagai film biopik yang kurang memuaskan, kalian tahu darimana cikal bakalnya. 

Rentang waktu yang dipilih untuk menggulirkan narasi Bohemian Rhapsody adalah sedari tahun 1970 hingga 1985. Kita melihat Freddie Mercury (Rami Malek) masih sebagai pemuda biasa berdarah Parsi dengan nama Farrokh Bulsara yang kurang diterima di lingkungannya karena dia adalah seorang imigran. Jalan hidupnya yang kurang baik – dipenuhi pelarian, penolakan, sampai pertikaian – berangsur-angsur mulai berubah saat dia bertemu dengan personil band Smile, Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy), yang baru saja kehilangan vokalis. Freddie mengajukan diri untuk mengisi kekosongan personil dan ditambah dengan kehadiran basis anyar, John Deacon (Joseph Mazzello), mereka pun membentuk band baru bernama Queen. Telah memiliki basis penggemar yang loyal dari formasi band terdahulu, mudah bagi Queen untuk mendapat panggilan manggung terlebih Freddie dikaruniai vokal beserta atraksi panggung yang mengagumkan. Melimpah ruahnya panggilan dari kampus ke kampus ini nyatanya tak lantas membuat Freddie puas karena dia menginginkan sesuatu yang lebih. Usai menjual van milik band, Freddie nekat mengajak rekan-rekannya untuk merekam sebuah album. Tanpa dinyana-nyana, proses rekaman ini menarik perhatian petinggi di EMI Records yang lantas meminang mereka dengan kontrak rekaman. Dukungan dari label besar memungkinkan bagi Queen untuk berkembang lebih jauh baik dari sisi kreativitas maupun popularitas. Menapaki pertengahan era 70-an, Queen tak lagi jago kandang, melainkan telah dielu-elukan oleh para penikmat musik di berbagai penjuru dunia. Bersamaan dengan ketenaran yang terus melambung, serangkaian masalah pribadi turut mendera yang secara perlahan tapi pasti mengancam keutuhan band.


Menonton Bohemian Rhapsody di layar lebar (jika bioskop di kotamu menayangkannya di layar terbesar, kejar!) memberikan perasaan yang campur aduk selepasnya. Terpuaskan di satu sisi, kurang menemukan greget di sisi lain. Pemicu utamanya adalah keinginan si pembuat film untuk menceritakan semua-muanya mengenai kebesaran Queen dalam durasi yang sempit. Mengingat rentang waktu yang dicuplik oleh narasi sepanjang 15 tahun, kamu tentu bisa membayangkan sendiri ada berapa banyak konflik yang hilir mudik menghampiri tubuh band ini kan? Betul, ada banyak sekali yang ingin diceritakan oleh Bohemian Rhapsody seperti: 

- pertentangan dengan petinggi EMI Records demi mempertahankan visi misi sebagai band 
- orientasi seksual Freddie yang meretakkan hubungannya dengan Mary Austin (Lucy Boynton) 
- toxic relationship antara Freddie dengan manajer pribadinya yang memperkeruh kehidupan personal si musisi 
- hubungan Freddie yang kurang harmonis dengan sang ayah 
- Freddie yang merasa kesepian ditengah hiruk pikuk pesta yang dihelatnya hampir tiap malam 
- Freddie divonis mengidap AIDS 
- retaknya Queen selepas sang vokalis memperoleh tawaran untuk berkarir secara solo. 

Saking banyaknya pembahasan membuat film tak pernah benar-benar menonjok di sektor narasi. Kita hanya mengenal sedikit mengenai Farrokh tanpa pernah tahu apa yang membentuknya menjadi Freddie si dewa panggung, kita pun hanya sedikit diberi informasi soal Brian, Roger, dan John tanpa pernah diajak melongok sisi personal mereka. Apabila kamu adalah penggemar berat Queen atau seorang awam yang sedang mencari tahu mengenai sejarah mereka, maka apa yang dipaparkan oleh Bohemian Rhapsody tidak banyak memberikan jawaban lantaran hanya dipaparkan di level permukaan. Belum lagi, beberapa diantaranya tergolong fiktif (hayo tebak yang mana!) atau disesuaikan demi mengejar kepentingan dramatik. 



Tapi jika kamu datang ke bioskop tanpa membawa misi besar kecuali memperoleh penghiburan dan bernostalgia, Bohemian Rhapsody tidak akan membiarkanmu keluar dari bioskop dengan muka bertekuk-tekuk. Rami Malek bersinar sebagai Freddie dengan permainan gesturnya sampai-sampai kamu bisa meyakini bahwa dia adalah jelmaan Freddie (well, dengan catatan kamu bisa memafhumi ketidakmiripan wajah). Dia menunjukkan kerapuhan seorang Freddie, dia menangkap sisi flamboyannya, dan dia pun merangkul atraksi panggungnya yang enerjik seperti halnya nada penceritaan yang diaplikasikan oleh Bohemian Rhapsody. Meski tragis bersinonim erat dengan kehidupan si vokalis, kamu akan lebih banyak mendapati humor lucu dari silang pendapat antar personil dan gegap gempita mengikuti barisan lagu Queen yang sebagian besar diantaranya bercita rasa megah nan antemik dalam film ini. Ya, film menampakkan sisi terbaiknya ketika menyoroti proses rekaman dari beberapa hits serta saat mengajak kita naik ke atas panggung – atau dengan kata lain, tatkala tembang-tembang Queen menggema di dalam bioskop. Untuk sesaat, kamu akan melupakan segala beban hidup di luar sana, kamu akan memaafkan jalinan pengisahan dari film yang kurang dalam, lalu kamu pun tergoda untuk ikut menghentak-hentakkan kaki seraya bersenandung “we will, we will rock you…” seolah-olah sedang berada di salah satu konser Queen. Elemen musikalnya memang tergarap sangat efektif, lebih-lebih pada momen pamungkasnya yang merekonstruksi Live Aid 1985 di Stadion Wembley, London, menggunakan campuran performa para aktor, footage asli dengan rekayasa digital. Asli, saya merinding disko dibuatnya!

Exceeds Expectations (3,5/5)

Saturday, 3 November 2018

SHORT REVIEWS : A STAR IS BORN (2018) + BAD TIMES AT THE EL ROYALE


“Look, talent comes everywhere. But having something to say and a way to say it, to have people listen to it. That’s a whole other bag.” 

Dalam debut penyutradaraannya, Bradley Cooper menginterpretasi ulang film klasik A Star is Born (1937) yang jalinan pengisahannya telah empat kali diceritakan kembali oleh berbagai sineas lintas zaman lintas benua (salah satunya adalah Aashiqui 2 (2013) dari India). Tidak ada perubahan berarti dalam penceritaan yang menyoroti kisah kasih antara seorang musisi Country yang pemabuk bernama Jackson Maine (dibintangi pula oleh Bradley Cooper) dengan seorang penyanyi yang tengah naik daun bernama Ally (Lady Gaga). Durasinya yang merentang hingga 135 menit memang terasa terlampau panjang untuk sebuah film drama non-biopik dan memasuki pertengahan durasi terasa agak berlarut-larut – terhitung selepas tembang Shallow dikumandangkan – tapi film masih efektif mempermainkan emosi berkat tembang-tembang yang mudah menempel di telinga beserta chemistry mengesankan antara Cooper dengan Gaga. Penonton meyakini bahwa dua sejoli ini ditakdirkan untuk menjalani hidup bersama sedari pandangan pertama yang bukan dipicu oleh gairah bercinta melainkan hasrat bermusik. Mereka adalah dua manusia yang dipersatukan oleh kesamaan hasrat dan mimpi, lalu dihancurkan oleh toxic environment yang sulit terpisahkan dari industri hiburan. Kita ikut bergembira bersama mereka, kita ikut bersenandung bersama mereka, kita ikut dimabuk asmara bersama mereka, kita ikut menyeka air mata bersama mereka, dan kita pun ikut hancur bersama mereka. Saking dekatnya penonton dengan karakter Jackson-Ally, maka jangan heran jika kamu akan mendapati penonton yang salah mengira film ini sebagai biopik dari Lady Gaga (serius, ini ada!). 

Exceeds Expectations (3,5/5) 



“Are you watching me?” 

Seusai menghadiahi kita dengan The Cabin in the Woods (2012) yang jenius, Drew Goddard mempersembahkan Bad Times at the El Royale yang seperti terinspirasi dari film-film arahan Quentin Tarantino bercampur misteri a la Agatha Christie. Di sini, kita dipertemukan dengan tujuh karakter yang sedang berkumpul di hotel El Royale; Doc si pastor (Jeff Bridges), Darlene si penyanyi (Cynthia Erivo), Emily si hippie (Dakota Johnson), Dwight si penjaja barang (Jon Hamm), Rose adik Emily (Cailee Spaeny), Miles si resepsionis (Lewis Pullman), dan Billy Lee si pemimpin (Chris Hemsworth), yang kesemuanya mempunyai intensi tersembunyi dibalik kedatangan mereka ke hotel ini. Siapa yang bisa dipercaya? Siapa yang berhati iblis? merupakan pertanyaan yang terus berkecamuk selama diri ini mengikuti pengisahan sepanjang 141 menit yang berlangsung lambat. Tak ada kejenuhan menghampiri lantaran Goddard terus menambat atensi kita dengan mengelupas satu demi satu misteri dalam format segmen (bayangkan Pulp Fiction atau Kill Bill). Terdapat paparan masa lalu para karakter yang sekaligus menawarkan perspektif yang akan membuat penonton mengkaji ulang mengenai prasangka maupun penghakiman terhadap karakter tertentu. Mereka datang untuk ‘menebus dosa’ atas kesalahan di masa lampau, tapi apakah mereka layak untuk mendapatkannya? Ditunjang oleh performa apik pemain ansambelnya – terutama Jeff Bridges sebagai pria yang tergerus usia, Cynthia Erivo yang kehilangan kepercayaan, serta Chris Hemsworth yang manipulatif – Bad Times at the El Royale tak mengalami kesulitan dalam mencekam dan mencengkram penontonnya selama menanti tibanya ‘hari penghakiman’ bagi ketujuh karakter berlumur dosa ini.

Outstanding (4/5)


Friday, 2 November 2018

REVIEW : THE RETURNING


“Mama ngerasa ada yang aneh ga sejak Papa balik?” 

Ada dua hal yang menggelitik rasa penasaran dalam diri terhadap The Returning garapan Witra Asliga (sebelumnya, dia menyumbang segmen Insomnights untuk film omnibus 3Sum). Pertama, pilihan makhluk penerornya yang tak lazim bagi film horor Indonesia masa kini. Ketimbang menggaet pocong, genderuwo, kuntilanak, beserta kerabat-kerabat mereka yang sudah tak canggung berlakon di depan kamera, Witra justru mendaulat makhluk misterius yang melalui materi trailer sedikit banyak mengingatkan pada creature keji dari trilogi Jeepers Creepers. Kedua, The Returning menempatkan Laura Basuki yang belum pernah mengambil peran di film horor sebagai pemeran utama. Mengingat aktris penggenggam Piala Citra ini tergolong selektif dalam menerima job, saya pun bertanya-tanya: apa keistimewaan dari naskah gubahan si pembuat film sampai-sampai Laura Basuki tergiur untuk ikut bermain? Ditambah keberadaan Ario Bayu yang belakangan sedang laris manis, Tissa Biani yang mencuri perhatian berkat aktingnya di 3 Nafas Likas (2014), serta Muzakki Ramdhan yang baru-baru ini membuat saya kagum melalui Folklore: A Mother’s Love, antisipasi saya kepada The Returning yang sudah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini pun cukup tinggi. Lebih-lebih, film ini tampak menawarkan sajian berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan. 

Dalam The Returning, kita dipertemukan dengan satu keluarga yang konfigurasinya terdiri dari Colin (Ario Bayu), Natalie (Laura Basuki), Maggie (Tissa Biani), serta Dom (Muzakki Ramdhan). Kebahagiaan keluarga kecil ini lantas terusik ketika Colin terjatuh dalam sebuah pendakian tebing dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Selama tiga bulan, Natalie masih enggan menerima kenyataan bahwa Colin mungkin telah berpulang, sementara Maggie dan ibunda Colin (Dayu Wijanto) merasa sudah saatnya untuk melanjutkan hidup dengan merelakan kepergian Colin. Pertikaian demi pertikaian pun menghiasi hubungan ketiga manusia ini yang dipicu oleh kengeyelan Natalie mengenai status sang suami, sampai kemudian para karakter yang sedang berusaha berdamai dengan duka tersebut dikejutkan oleh satu ketukan pintu. Tak ada yang menyangka, tak ada pula yang menduga, Colin akan datang kembali di suatu malam. Wujudnya masih seperti ketika dia meninggalkan rumah, bahkan dokter pun menyatakan dia baik-baik saja. Kalau begitu, apa yang sebenarnya terjadi sampai dia menghilang tanpa jejak selama tiga bulan lamanya? Colin sendiri tidak mampu mengingatnya dengan jelas. Hanya saja semenjak kedatangannya, serangkaian keganjilan turut menghantui keluarga ini. Meski Natalie lagi-lagi menganggap segalanya baik-baik saja, Maggie merasa ada sesuatu yang salah dengan ayahnya. 



Selaiknya Kafir Bersekutu dengan Setan dan Jaga Pocong tempo hari, The Returning pun mengaplikasikan laju pengisahan yang lambat memanas alias slowburn. Tujuannya, guna mengenal lebih dekat keluarga kecil yang menjadi sentral cerita, memahami kondisi psikologis mereka terkait bagaimana masing-masing personil berdamai dengan kehilangan, hingga akhirnya kita pun sanggup menyematkan simpati. Beruntung bagi Witra, barisan pemainnya menunjukkan kapabilitas dalam menangani momen dramatik yang menghiasi separuh durasi awal ini. Laura Basuki tampak rapuh disegala luapan kemarahannya yang menunjukkan bahwa dia tidak ingin harapannya dipadamkan, Tissa Biani terlihat tegar (sekaligus galak) dalam upayanya untuk membentengi diri dari kesedihan atas kepergian dan kekecewaan atas sikap sang ibu, lalu Ario Bayu yang tampak kebingungan dengan peristiwa yang baru saja dihadapinya. Sosok Colin tak ubahnya personil lain dalam keluarganya maupun penonton, bertanya-tanya mengenai apa yang sesungguhnya telah terjadi. Keberadaan tiga pelakon utama ini – sayangnya Muzakki Ramdhan tak banyak memperoleh kesempatan, sementara Dayu Wijanto kerap terbentur oleh pengucapan dialog yang janggal – mampu mengompensasi sisi narasi yang tak terlalu nyaman buat diikuti lantaran transisi antar adegan yang kurang mulus plus laju penceritaan yang terlalu lambat di permulaan dan terlalu tergesa di penghujung. 

Ya, si pembuat film menghabiskan banyak waktu untuk menyoroti kegundahan Natalie beserta anak-anaknya termasuk melibatkan beberapa karakter yang sejatinya tidak memiliki kontribusi apapun terhadap penceritaan dan bisa saja dihempaskan guna menghemat durasi (misal: sahabat Natalie, saudara Natalie, serta teman Maggie yang cemburu). Mulanya sih tidak ada keluhan berarti, lalu ini berlangsung kelewat panjang yang seketika menggelisahkan saya. Bukan disebabkan oleh atmosfer mengusik kenyamanan yang terbangun dari rumah Colin, melainkan karena film serasa jalan di tempat. Teror tak kunjung mengalami eskalasi sementara The Returning telah menapaki satu jam pertama. Dimanakah si makhluk peneror itu? Seperti apa wujudnya? Kenapa dia meneror keluarga Colin? Apa kepentingannya? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkelebat hingga si dia akhirnya nongol yang mempersembahkan kita satu dua momen yang bikin terlonjak dari kursi bioskop. Usai menampakkan wujudnya kepada penonton – konon, inspirasi pembuatannya dari sesosok makhluk yang ‘dilihat’ Witra saat berkunjung ke Bali – sayangnya ketegangan tak lantas meruncing. The Returning masih mencoba untuk mengajak penonton bermain ‘petak umpet’ dengan si makhluk tanpa menyadari bahwa kuota durasi telah menipis. Alhasil, saat menginjak babak pengungkapan, tempo film mendadak melesat tak terkendali. Beberapa momen yang memungkinkan kita untuk terlibat secara emosi pun lewat begitu saja saking minimnya kesempatan untuk mencerna apa yang sesungguhnya terjadi. Kita tidak dibuat terkejut, takut, maupun terenyuh padahal hamparan adegan di layar mengarahkan penonton untuk merangkul sensasi rasa tersebut. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)