This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 28 October 2018

REVIEW : A SIMPLE FAVOR


“Secrets are like margarine. Easy to spread, but bad for heart.” 

Tontonan berbasis thriller mengenai pencarian orang hilang yang ternyata menyimpan rahasia gelap tampaknya tengah digandrungi oleh Hollywood pasca meledaknya Gone Girl (2014). Beberapa film yang mengedepankan narasi senada – dan layak diberi sorotan – antara lain The Girl on the Train (2016) yang menghadirkan kasus raibnya seorang istri beserta Searching (2018) yang memberi tamparan keras kepada para orang tua yang abai terhadap anak mereka. Mengikuti jejak ketiga film tersebut, khususnya dua judul pertama menilik materinya yang sama-sama disadur dari novel populer dan sosok yang menghilang pun sama-sama seorang istri, adalah A Simple Favor. Hasil ekranisasi prosa gubahan Darcey Bell ini tak hanya menampilkan satu orang karakter utama, melainkan terdapat dua karakter yang masing-masing memendam masa lalu kelam. Keduanya adalah emak-emak dari pinggiran kota yang mendeklarasikan hubungan mereka sebagai sahabat, meski kebenarannya diragukan. Apakah benar mereka menjalin ikatan persahabatan tersebut secara tulus? …atau ada kepentingan dibelakangnya? Ditangani oleh Paul Feig yang sebelumnya menggarap film sarat banyolan semacam Bridesmaids (2011) dan Spy (2015), maka jangan heran saat mendapati A Simple Favor mempunyai muatan humor yang pekat sekalipun menjejakkan dirinya di jalur thriller dan dijual dengan embel-embel “the darker side of Paul Feig”

Dua perempuan yang mempunyai peranan krusial terhadap pergerakan narasi tersebut adalah Stephanie (Anna Kendrick) dan Emily (Blake Lively). Mereka berasal dari dunia yang sama sekali berbeda; Stephanie dideskripsikan sebagai ‘helicopter mom’ lantaran menaruh perhatian mendalam terhadap kebutuhan putranya sekaligus rutin mengajukan diri sebagai sukarelawan di acara sekolah, sementara Emily yang bekerja sebagai humas bagi perusahaan yang bergerak di bidang busana nyaris tak memiliki waktu untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Di atas kertas, dua manusia dengan gaya hidup bertolak belakang seperti Stephanie dan Emily sangat mustahil untuk berkawan akrab – para bunda di sekolah tak percaya mereka bisa berteman. Sekadar basa-basi atau ngobrol seperlunya sih bisa, tapi bersahabat? Hmmm… diragukan. Lebih-lebih, Stephanie yang mengisi waktu luangnya dengan mengurus vlog perihal rumah tangga ini sejatinya belum mengenal baik Emily selain mengetahui bahwa dia sedang terhimpit masalah finansial lantaran gaji sang suami sebagai dosen, Sean (Henry Golding), tak mencukupi. Stephanie yang mulanya memuja-muja Emily ini akhirnya menyadari bahwa sahabatnya tersebut tak sesempurna bayangannya, bahkan menyimpan sisi kelam tak terbayangkan, selepas Emily mendadak lenyap dari kehidupannya secara misterius. 


Sedari opening credits yang ditampilkan bergaya bak film misteri dari era 1960-an dengan iringan lagu Prancis, A Simple Favor telah membetot atensi. Kemunculan brownies maupun tas jinjing – ketimbang sebatas senjata, darah, atau mayat – memberikan isyarat bahwa tontonan misteri yang hendak kamu saksikan mengaplikasikan nada penceritaan berbeda: berselimutkan komedi gelap. Pihak studio boleh saja koar-koar dengan menyatakan film ini menawarkan sajian berbeda dari seorang Paul Feig, tapi si pembuat film tetap saja tak sepenuhnya menanggalkan identitasnya sekalipun sekali ini dia mesti berkompromi dengan materi pengisahannya yang gulita. Jadi jika kamu membayangkan A Simple Favor akan seintens Gone Girl atau semuram The Girl on the Train, lupakan saja. Ada banyak canda tawa disana sini, termasuk pada momen yang semestinya membuatmu berdebar-debar. Meski kadangkala memang mendistraksi, sulit untuk menyangkal bahwa guyonannya acapkali mengenai sasaran. Untuk urusan ngelaba, Paul Feig sama sekali tak gagap menanganinya lebih-lebih dia terbantu oleh performa jajaran pemainnya khususnya duo Anna Kendrick dan Blake Lively. Mereka adalah kombinasi maut yang membawa corak berbeda satu sama lain dalam selera humor. Kendrick bergantung pada kecanggungan karakternya lebih-lebih saat berhadapan dengan sesuatu yang asing bagi dirinya, sedangkan Lively cenderung ‘nakal’ mengikuti kegemarannya terhadap miras, seks, serta kata-kata kasar. 

Dua karakter ini merepresentasikan perempuan dari kalangan konservatif beserta progresif, sekalipun ini tak lantas dipergunakan sebagai senjata untuk melontarkan komentar sosial tajam oleh A Simple Favor. Ada subteks mengenai media sosial, pertemanan palsu, sampai prasangka di sini, tapi Paul Feig memilih untuk tak mengeksplorasinya secara mendalam dan cenderung fokus dalam bercerita semata. Walau konsekuensinya adalah film terasa seperti sajian misteri konvensional, keputusan ini mesti diakui bijak karena si pembuat film sejatiinya kurang telaten dalam menangani materi misteri. Selama Emily masih bertingkah normal atau saat karakter tersebut tiba-tiba raib tanpa jejak, A Simple Favor masih tersaji menggigit. Penonton dihujam rangkaian pertanyaan terkait: siapa sebenarnya Emily? Apa yang dirahasiakannya? Dan, bisakah kita juga mempercayai Stephanie yang mungkin saja tak sepolos kelihatannya? Namun saat tabir misteri perlahan terungkap, film secara perlahan tapi pasti mulai goyah. Twist yang disodorkan cukup menarik – walau cita rasanya amat soap opera – pengungkapan oleh Paul Feig lah yang mengurangi sensasi gregetnya. Bukan disebabkan elemen komedik yang tetap dominan, melainkan ada kesan terburu-buru seolah-olah ingin lekas diakhiri. Masih menghibur sih, hanya saja momen klimaks yang mestinya bisa menjadi gong bagi film terasa berlalu begitu saja secara cepat sampai-sampai penonton di sebelah saya nyeletuk, “lho, udahan nih?”.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Friday, 26 October 2018

REVIEW : JAGA POCONG


“Di rumah ini, banyak kejadian aneh.” 

Ditugasin buat jagain pocong sebenarnya bukan masalah besar asalkan jenazah yang dikafani itu kerabat dekat dan saya bukan satu-satunya orang yang masih bernapas di lokasi. Tapi jika jenazah tersebut adalah orang asing yang tak diketahui masa lalunya macam apa, tak ada orang lain di sekeliling yang mondar-mandir, dan lokasinya jauh dari pemukiman warga… yaaa monmaap, saya undur diri. Baru mendengarnya saja sudah bikin bergidik ngeri, tidak yakin mampu menjalaninya dengan tabah. Nah, Jaga Pocong yang menandai untuk pertama kalinya bagi Acha Septriasa dalam menjajal peran di film horor (kecuali kamu menghitung Midnight Show (2016) sebagai sajian horor) menggulirkan narasi berdasarkan premis tersebut: bagaimana jadinya saat tugas menjaga jenazah yang telah dikafani justru berbuah teror? Sebuah premis yang mesti diakui menggelitik rasa penasaran lebih-lebih karena sosok pocong sudah cukup lama tak dikedepankan sebagai peneror utama – padahal dari sekian banyak hantu yang mendiami Indonesia raya, sosoknya paling menakutkan bagi saya. Tambahkan dengan keterlibatan Acha Septriasa yang tergolong selektif memilih peran, Jaga Pocong terdengar seperti proyek film horor menjanjikan… sampai kemudian saya mengetahui jajaran kru di belakangnya yang seketika mendorong saya untuk menekan ekspektasi. 

Dalam Jaga Pocong, aktris penggenggam Piala Citra ini memerankan seorang suster bernama Mila yang bekerja di Rumah Sakit Sejahtera. Suatu ketika, Mila ditugaskan oleh atasannya untuk merawat Sulastri (Jajang C. Noer) di rumahnya yang jauh dari peradaban. Saking jauhnya, Mila tiba di rumah sang pasien jelang tengah malam padahal dia telah berangkat sedari hari masih terang. Perjalanan jauh yang ditempuh oleh Mila atas nama dedikasi ini sayangnya tak berakhir baik. Sulastri telah meninggal dan Radit (Zack Lee), putranya, meminta bantuan kepada Mila untuk memandikan jenazah ibunya lalu membungkusnya dengan kain kafan. Mengingat Radit bukanlah anak kandung Sulastri, maka pekerjaan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Mila. Tak ada kesulitan berarti bagi Mila dan hanya dalam waktu singkat, dia telah merampungkannya. Berniat untuk undur diri karena pekerjaannya telah selesai, tiba-tiba Radit menyodorkan satu permintaan terakhir kepada Mila: menjaga jenazah Sulastri. Alasannya, Radit berniat untuk pergi sejenak demi mengurus izin pemakaman sang ibu. Mila pun ditinggal seorang diri bersama putri Radit, Novi (Aqilla Herby), dan jenazah Sulastri di rumah yang sangat besar nan menyeramkan tersebut. Mulanya sih semua baik-baik saja, sampai kemudian Mila mendengar suara-suara yang entah darimana datangnya.


Sejujurnya, Jaga Pocong memulai segalanya dengan baik. Hadrah Daeng Ratu yang belum pernah bersentuhan dengan genre horor (filmografinya mencakup Mars Met Venus dan Super Didi) ternyata cukup jago dalam mengemasnya menjadi sajian horor atmosferik. Alih-alih membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop dengan penampakan tanpa esensi yang dikit-dikit nongol serta iringan musik yang bikin penonton mesti ke dokter THT keesokan harinya, Hadrah memilih untuk membangkitkan rasa takut dengan memanfaatkan atmosfer yang mengusik kenyamanan. Resepnya sudah ada di tangan: rumah gedongan yang jauh dari pemukiman warga, tengah malam yang sunyi senyap, dan jenazah yang terbujur kaku di ruang tamu. Siapa coba yang tidak dirundung rasa ngeri apabila ditempatkan dalam situasi seperti yang dihadapi oleh Mila? Sekalipun tak ada sesuatu yang terjadi, pikiran pasti melayang kemana-mana. Apalagi jika kemudian terdengar suara-suara padahal hanya ada dirimu dan seorang bocah yang anteng. Hiii… Menilik fakta bahwa Jaga Pocong adalah sajian horor, kita tentu menyadari bahwa ada sesuatu yang salah di dalam rumah tersebut. Pertanyaanya adalah, ada apa dan kapan munculnya? Permainan antisipasi inilah yang menyebabkan saya tidak bisa duduk tenang selama paruh pertama karena bulu kuduk meremang seraya dibuat menerka-nerka arah kemunculan teror. 

Ketidaktenangan akibat mengetahui ada sesuatu mengerikan tengah mengintai ini sayangnya tak bertahan lama. Menapaki pertengahan durasi, Hadrah tampak kebingungan dalam memperlakukan Jaga Pocong sehingga terasa diulur-ulur dengan pola adegan senada: Mila naik turun tangga, lalu lari teriak-teriak. Naskah rekaan Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) berdasarkan cerita dari Baskoro Adi (Jailangkung, Gasing Tengkorak) yang menjadi sumber kekhawatiran saya sedari mengetahui mereka turut terlibat, secara tidak mengejutkan memang tidak bisa diharapkan. Jangankan memberi deskripsi untuk karakter Mila yang sangat tipis atau menyajikan setup demi menghindari kesan ujug-ujug di babak pengungkapan, si peracik skenario bahkan terkesan ogah-ogahan dalam menulis dialog. Coba hitung berapa kali nama Novi dipanggil tanpa ada variasi di dalamnya, dan amati pula dialog berikut ini yang muncul sebanyak dua kali: 

“kenapa harus saya?”

“karena harus kamu!” 

Ada yang merasa janggal? Tidak? Mari kita berpikiran positif, mungkin si pembuat skenario memegang prinsip bahwa tidak semua hal perlu penjelasan. Dia ingin menguarkan aroma misteri lebih kuat, dia ingin penonton menginterpretasi sendiri makna dibalik dialog tersebut. Saya yang tadinya bersemangat karena Jaga Pocong tersaji berbeda dibanding film horor Indonesia kebanyakan (berhasil pula!) pun seketika loyo begitu menyadari Aviv Elham masih belum berubah. Beruntung film ini masih mempunyai Acha Septriasa yang memiliki rentang emosi mengagumkan. Meski bukan dalam penampilan terbaiknya, Acha masih memungkinkan bagi film untuk berada di taraf bisa dinikmati karena dia memberikan gestur beserta ekspresi apik yang menunjukkan Mila tampak sangat ketakutan dan ingin segera mengakhiri penderitaannya. Andaikata peran Mila diserahkan kepada pelakon kurang kompeten, nasib Jaga Pocong akan berakhir: 1) membosankan lantaran si aktris hanya bisa teriak-teriak, atau 2) konyol menyaksikan keputusan-keputusan tak logisnya. Di tangan Acha, dua perkara tersebut berhasil diminimalisir dan oleh karenanya, Jaga Pocong mesti berterima kasih kepadanya.

Acceptable (3/5)


REVIEW : DEAR NATHAN, HELLO SALMA


“Mantan. Manis di ingatan. Makanya nggak ada di wishlist. Adanya di hati terus.” 

Bagi mereka yang belum pernah menyaksikan Dear Nathan (2017) – salah satu film remaja tanah air yang underrated meski tergarap sangat baik – mungkin akan menganggap remeh Dear Nathan: Hello Salma. Alasannya sederhana, 1) “halah, film cinta-cintaan remaja begini kan bisanya cuma menye-menye doang,” dan 2) “Jefri Nichol lagi, Amanda Rawles lagi, kayak nggak ada aktor lain saja.” Saya bisa memahami karena pertama kali menjajal instalmen terdahulu yang beranjak dari novel laris rekaan Erisca Febriani, sikap skeptis tersebut turut membayangi mengingat jejak rekam film percintaan remaja di Indonesia terbilang kurang kinclong dalam beberapa tahun terakhir. Hanya segelintir yang bisa dikudap, sementara sisanya bikin kepala kliyengan lantaran terlampau ngoyo buat romantis sampai-sampai mengabaikan logika. Dear Nathan, secara mengejutkan, termasuk salah satu dari yang segelintir itu. Memang sih narasinya klise, tapi film mampu tersaji memuaskan berkat pengarahan penuh sensitivitas beserta lakonan apik (Ingat, tidak semua film butuh penceritaan rumit, dan tidak semua film dengan penceritaan sederhana maupun klise secara otomatis buruk!). Adegan pamungkasnya pun, whew… manis sekali. Kapan terakhir kali ada film percintaan remaja tanah air yang ditutup dengan sedemikian mengesankan? Hmmm… sulit untuk mengingatnya. Itulah mengapa saat film kelanjutannya diumumkan, saya tak kuasa untuk menolaknya. Ada kerinduan mendengar gombalan Nathan (Jefri Nichol) dan melihat salah tingkahnya Salma (Amanda Rawles) saat digombalin Nathan. Menggemaskan! 

Dalam Dear Nathan: Hello Salma, kisah cinta dua sejoli tersebut masih berlanjut. Keduanya merasakan kebahagiaan saat mereka saling bergandeng tangan seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Dimana ada Nathan, disitu ada Salma – berlaku pula sebaliknya. Melihat bagaimana keduanya berinteraksi ditambah lagi penerimaan dari orang tua masing-masing, kita mengira tidak mungkin mereka dapat dipisahkan. Tuhan telah menciptakan mereka untuk saling mengisi satu sama lain… that’s for sure. Akan tetapi, hubungan asmara yang tengah merekah ini seketika mengalami goncangan saat Nathan yang sudah bertaubat kembali ke tabiat lamanya: berantem. Bukan asal hajar, melainkan karena marah mendengar kekasihnya dilecehkan. Akibat tindakannya ini, Nathan diseret ke ruang kepala sekolah dan dikenai skors. Nathan yang merasa dirinya membela kebenaran, tentu tak bersedia menerima hukuman ini lalu memilih untuk pindah sekolah. Salma yang mengetahui keputusan Nathan pun dirundung kekecewaan sampai-sampai tak sengaja meminta putus. Nathan memang menyanggupi permintaan Salma, meski belakangan dia mengupayakan untuk kembali memiliki hati Salma. Hanya saja, perjuangannya untuk mendekati Salma lagi tak berlangsung mudah untuk sekali ini lantaran ayah Salma (Gito Gilas) yang baru saja pulang dari Kanada enggan memberi restu. Dia berusaha menjauhkan putrinya dari Nathan, termasuk dengan mengenalkan Salma pada putra kawan baiknya, Ridho (Devano Danendra). Pun begitu, Nathan tak gentar, sementara di sisi lain, Salma digerogoti oleh depresi lantaran tak kuat menanggung tekanan sang ayah yang menginginkannya untuk mengambil jurusan kedokteran di Universitas Indonesia. 


Seperti halnya instalmen pertama yang turut mengedepankan isu dysfunctional family dibalik kemasan percintaan yang cerah ceria, Dear Nathan: Hello Salma juga memboyong isu serius pada penceritaan berkaitan dengan depresi berujung bunuh diri. Isu ini sejatinya telah disentil di film sebelumnya, hanya saja sekali ini Indra Gunawan (Hijrah Cinta, Serendipity) selaku sutradara beserta Bagus Bramanti yang menempati sektor penulisan skenario memutuskan untuk menempatkannya sebagai topik utama. Mereka menghadirkan karakter baru, Rebecca (Susan Sameh), yang dikisahkan memiliki hubungan buruk dengan orang tuanya sehingga membentuknya menjadi pribadi tukang onar. Usahanya untuk mengakhiri hidup berhasil digagalkan oleh Nathan yang belakangan memutuskan mendampinginya agar dia mampu melewati fase depresi. Kepedulian Nathan sempat disalahartikan oleh Rebecca yang belakangan bersedia menerima laki-laki tersebut sebagai teman. Tak sebatas dimanfaatkan sebagai perumit kisah, keberadaan Rebecca turut memiliki impak terhadap hubungan Nathan-Salma terlebih dia menjadi sosok yang mendorong Salma untuk bangkit dari keterpurukannya di kala Nathan tak bisa berada di sampingnya. Adanya obrolan yang meminta penonton untuk meningkatkan kesadaran terhadap mental illness ini membuat Dear Nathan: Hello Salma bukan sebatas film percintaan remeh temeh. Arah pembicaraannya lebih dewasa, terlebih karakter Nathan pun digambarkan lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dia memang masih suka baku hantam – utamanya terhadap laki-laki yang merendahkan perempuan – tetapi pandangannya terhadap persoalannya dengan Salma menunjukkan bahwa dia telah berkembang menjadi sosok yang bijaksana. 

Dia mengalami kebimbangan untuk memperjuangkan Salma karena dia tahu konsekuensinya bagi sang mantan: kehilangan keluarga. Si pembuat film menghubungkan isu depresi terhadap keluarga yang semestinya memberikan rasa nyaman dan aman bagi setiap personilnya. Dear Nathan: Hello Salma berargumen bahwa ketiadaan komunikasi yang sehat dari dua belah pihak (orang tua dan anak) ditengarai sebagai penyebab utama keretakan hubungan yang lantas berpotensi memicu timbulnya depresi. Melalui subplot ini, film hadirkan dua momen emas yang sanggup mengundang bulir-bulir air mata, yakni obrolan hati ke hati antara seorang ayah dengan putra/putrinya di teras rumah. Saya menyukai pengadeganannya terutama karena saya pernah merasakan di posisi Salma: seorang ayah dengan persona otoriter bersedia untuk mengungkap titik lemah dirinya kepada sang buah hati demi mengutarakan maksud sikapnya yang disalahpahami. Bagi saya, inilah bagian terbaik dari Dear Nathan: Hello Salma disamping kebersamaan Nathan-Salma yang sekali ini agak tereduksi menyusul narasinya yang berpusat pada “setelah mereka putus”. Pilihan untuk menghadirkan plot ini memang beresiko ke pesona film yang tak semengkilau jilid pertama. Maklum, kekuatan sesungguhnya dari seri ini adalah kisah kasih Nathan-Salma yang menggemaskan lengkap dengan segala kecanggungan si Salma dalam menanggapi kenarsisan Nathan yang bertujuan untuk menggodanya. Pemicu dari keberhasilan kita untuk jatuh hati kepada muda-mudi ini adalah chemistry Jefri Nichol dengan Amanda Rawles yang kuat. Sesuatu yang mungkin dianggap sepele karena mereka sudah berulang kali main bareng, bukan? 


Saya sebetulnya menyayangkan keputusan untuk terus memasangkan mereka dalam peran yang sejatinya tidak jauh berbeda – bahkan beberapa minggu lalu kita baru melihat mereka di Something in Between. Coba bayangkan andai mereka merangkul kata eksklusif, bukan tidak mungkin sosok Nathan-Salma akan lebih dinanti-nantikan (maupun dielu-elukan) sebagai pasangan remaja perwakilan generasi Z a la Rangga-Cinta. They’re that good, actually. Atau saya lebih suka menyebutnya, natural. Duo Jefri-Amanda butuh disandingkan dengan aktor pendukung mumpuni untuk bisa membantu menaikkan level permainan lakon mereka. Susan Sameh menonjol sebagai Rebecca sekalipun transformasi karakternya berlangsung agak kelewat cepat, sementara Devano Danendra yang diniatkan sebagai villain justru kelelep. Tak sebatas disebabkan oleh performanya tetapi juga penulisan karakternya yang terbatas. Dia ada di sana hanya untuk mengganggu hubungan protagonis kita – tak ada kedalaman sedikitpun di dalamnya. Beruntung sektor pemain senior lebih optimal (well, kecuali Karina Suwandi yang perannya tersisihkan) seperti Surya Saputra sebagai ayah Nathan yang meneduhkan dengan saran-saran bijaknya, dan Gito Gilas yang tampak garang dibalik kerapuhannya. Bersama dengan Susan Sameh, keduanya berkontribusi terhadap munculnya elemen dramatik yang difungsikan untuk menyokong Jefri-Amanda yang bertanggung jawab di sektor romansa maupun komedi. Hasilnya pun tak mengecewakan. Meski pesonanya tak sekuat jilid pertama, tapi Dear Nathan: Hello Salma masih mampu tersaji lucu, manis, sekaligus hangat. Bagi saya, itu sudah cukup.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Wednesday, 24 October 2018

REVIEW : HALLOWEEN (2018)


“He’s waited for this night. He’s waited for me. I’ve waited for him.” 

Diperkenalkan pertama kali ke hadapan publik oleh John Carpenter dalam Halloween (1978), Michael Myers seketika merengkuh popularitasnya sebagai salah satu ikon di sinema horor. Dideskripsikan dalam wujud seorang pria dewasa bertubuh tinggi besar yang mengenakan topeng, Michael merupakan seorang (atau sesosok?) pembunuh berantai yang bertanggung jawab atas kematian lima orang di wilayah Haddonfield, Illinois. Motifnya masih dipertanyakan hingga kini (dan ini salah satu alasan yang membuatnya menyeramkan: misterius), tapi siapapun yang menyaksikan film pertamanya tentu mengetahui bahwa dia mendekam di rumah sakit jiwa selama belasan tahun usai kedapatan membunuh saudari kandungnya, Judith. Berhasil meloloskan diri di tahun ke-15, Michael lantas berhadapan dengan seorang remaja bernama Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) yang ditakdirkan sebagai musuh abadinya. Pada film kedua rilisan tahun 1981 terungkap fakta bahwa mereka berdua memiliki hubungan darah dan selepas beberapa film yang tidak mempertandingkan dua karakter ini, Halloween H20 (1998) memberi kesempatan bagi keduanya untuk saling melepas rindu. Menilik pencapaian box office yang masih mengesankan, pihak studio pun terus mengeksploitasi Michael Myers termasuk membuatkannya franchise anyar dibawah penanganan Rob Zombie yang terhenti di instalmen kedua. Pun begitu, usaha untuk menghidupkan lagi nama besar dari karakter berjulukan The Shape ini kembali diupayakan dalam Halloween (2018) yang dipresentasikan sebagai sekuel langsung dari film pertama. 

Ya, Halloween rekaan David Gordon Green (Stronger, Pineapple Express) ini menganulir seluruh narasi yang berlangsung sedari Halloween II garapan Rick Rosenthal sampai Halloween II kepunyaan Rob Zombie. Jadi tak ada lagi plot yang menyatakan Laurie sebagai saudari kandung Michael, tak ada lagi plot yang menunjukkan Laurie mengalami goncangan kejiwaan, dan tak ada lagi plot perihal Laurie yang memalsukan kematiannya lalu menjalani profesi sebagai kepala sekolah. Satu-satunya plot yang masih dianggap oleh Halloween versi termutakhir ini berasal dari film induk yang berakhir dengan adegan Michael terjatuh dari balkon usai ditembak berulang kali oleh Dr. Sam Loomis. Penonton yang bertanya-tanya, “bagaimana ya nasib Michael setelah peristiwa itu? Apakah dia masih hidup?,” memperoleh alternatif jawaban di sini yang mengambil latar penceritaan 40 tahun setelah Michael ditembak. Tentu saja Michael masih hidup dan kini dia kembali mendekam di rumah sakit jiwa dengan penjagaan ketat. Sementara itu, Laurie si musuh bebuyutan telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi Michael – termasuk mengubah rumahnya menjadi benteng penuh perangkap – meski konsekuensinya adalah memiliki hubungan yang buruk dengan putrinya, Karen (Judy Greer), dan cucunya, Allyson (Andi Matichak). Saat Michael lagi-lagi berhasil melarikan diri usai kendaraan yang memindahkannya ke fasilitas kejiwaan lain mengalami kecelakaan, tiga perempuan dari tiga generasi ini pun mau tak mau mesti mengenyahkan kebencian diantara mereka untuk sejenak demi menyatukan kekuatan dalam menghadapi si mesin pembunuh. 


Menilik materi penceritaannya yang mengabaikan sembilan film terdahulu, jelas tidak sulit bagi penonton anyar yang tidak mengikuti franchise ini untuk bisa mengikuti narasi yang dikedepankan oleh Halloween. Yang dibutuhkan hanyalah menonton seri induk, meski sejatinya bisa pula dilewati lantaran David Gordon Green menghadirkan dua karakter jurnalis yang mewawancarai Michael beserta Laurie demi memberi gambaran (sekaligus penyegar ingatan) kepada penonton mengenai masa lalu yang menautkan dua karakter ini. Tapi jika kamu ingin merasakan relasi penuh kebencian yang tumbuh diantara Laurie dengan Michael, ada baiknya sih terlebih dahulu mencicipi sajian kreasi John Carpenter tersebut apalagi itu akan sangat membantumu dalam melewati babak pertamanya yang berjalan dengan cukup lambat. Si pembuat film tak tergesa-gesa untuk menyodori kita dengan teror karena David Gordon Green pun mengaplikasikan slowburn terror seperti Pak Carpenter, dan dia lebih memilih untuk fokus mengembangkan ketiga karakter perempuan di sini; Laurie, Karen, dan Allyson. Penonton akan mendapati bagaimana trauma membentuk Laurie menjadi sosok yang paranoid dibalik topeng tangguh yang dikenakannya, sementara Karen yang selama belasan tahun menjalani hidup penuh tekanan demi menuruti kemauan sang ibu untuk berlatih pertahanan hidup berubah menjadi musuh bagi Laurie. Diantara mereka hadir Allyson – dengan kesamaan penampilan seperti Laurie di film induk – sebagai mediator yang mendorong ibu-anak ini untuk meninjau kembali hubungan mereka yang tak sehat. Apakah kesalahan selayaknya ditimpakan kepada Laurie yang terlalu keras dalam menggembleng putrinya, atau ketidakpahaman Karen mengenai situasi yang mengancam mereka, atau kedua belah pihak sebetulnya berada di posisi yang sama dimana tak ada yang bisa dipersalahkan? 

Pembacaan karakter ini mesti diakui menarik karena memungkinkan bagi penonton untuk mengenal sosok mereka sehingga muncul kepedulian terhadap nasib masing-masing ketika Michael mulai bergentanyangan di Haddonfield seraya membawa senjata andalannya: pisau. Tapi tak bisa disangkal, David Gordon Green bukanlah John Carpenter yang sanggup menguarkan kengerian di sepanjang durasi hanya dari atmosfer dan penantian datangnya Michael. Ada kalanya rasa jenuh sempat membayangi jelang klimaks akibat introduksi yang sedikit terlalu bertele-tele ditambah unsur kejutan yang agak tereduksi menyusul keputusan si pembuat film untuk melakukan ‘penghormatan’ dengan merekonstruksi sejumlah adegan dari film pertama. Sesekali sih bolehlah, tapi berkali-kali dengan pengadeganan yang tak jauh berbeda? Hmmm… nanti dulu. Beruntung skoring tema gubahan John Carpenter yang tak lekang oleh waktu masih menunjukkan tajinya dalam membangkitkan bulu kuduk dan Jamie Lee Curtis sekali lagi membuktikan bahwa dia ditakdirkan untuk memerankan Laurie dengan performanya yang berenergi. Kombinasi dua hal ini – ditambah performa para permain termasuk Judy Greer dan Andi Matichak – yang membantu menghindarkan film dari snoozefest ketika pembicaraan tak lagi menarik. Saat kamu sanggup bertahan dari puluhan menit yang mengalun tak stabil, maka bersiaplah untuk menyambut sajian utamanya yang syukurlah jauh dari kata mengecewakan: konfrontasi akhir antara Laurie dengan Michael. Meski sekali lagi berkejar-kejaran di dalam rumah, babak klimaks dari Halloween ini masih mampu tersaji dengan sangat intens yang membuat saya tak kuasa untuk menghembuskan napas kelegaan. Selepas sederet film kelanjutan yang melempem dan reboot yang sebaiknya dilupakan saja, Michael Myers akhirnya memperoleh kesempatan untuk comeback yang layak di jilid ini. Tegang!

Exceeds Expectations (3,5/5)



Tuesday, 23 October 2018

REVIEW : THE NIGHT COMES FOR US


“I can’t kill what’s already dead.” 

Siapa diantara kalian yang seketika mendengus kecewa begitu mengetahui The Raid 3 batal dibuat? Tolong dong tunjuk tangan dan mari bergabung dengan saya di barisan patah hati. Setelah respon buat film kedua tak segegap gempita film pendahulunya sementara ongkos produksinya lebih gede, saya sebetulnya bisa memaklumi… meski tetap saja kecewa. Terlebih saya begitu mengagumi dwilogi The Raid (serius, sampai sekarang masih nggak percaya itu film laga berasal dari Indonesia!) dan masih berharap Gareth Evans berinisiatif bikin film kelanjutan, sempalan, atau apapun jenisnya. Beberapa upaya untuk tetap menghidupkan genre ini terus dilakukan di perfilman Indonesia: dari yang penggarapannya serius sampai ngasal nggak karuan. Diantara yang serius (dan ini dikit banget jumlahnya, yaelah!) adalah sutradara spesialis sajian berdarah, Timo Tjahjanto (Rumah Dara, Sebelum Iblis Menjemput), yang merupakan salah satu dari personil The Mo Brothers. Dia melakukan eksperimen gelaran laga melalui Killers (2014) yang bertempo lambat dan Headshot (2016) yang masih terasa kurang luwes di adegan bak bik buknya sekalipun turut merekrut jebolan The Raid. Tak patah arang, Timo melaju dengan proyek jauh lebih ambisius bertajuk The Night Comes for Us yang menandai untuk pertama kalinya bagi film Indonesia tergabung dalam original content keluaran situs penyedia jasa streaming terbesar di dunia, Netflix. Melalui film yang telah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini, Timo unjuk kebolehan yang sekaligus membuktikan bahwa kemampuannya dalam menggarap film laga telah menunjukkan perkembangan signifikan dan kegilaan visualnya bisa sangat melampaui batas saat sensor tak lagi membelenggu. 

Dalam The Night Comes for Us, penonton diperkenalkan kepada seorang pria bernama Ito (Joe Taslim dalam salah satu performa terbaiknya). Yang perlu diketahui, Ito bukanlah protagonis berbudi luhur atau dengan kata lain, pria bertipe everyman. Dia termasuk salah satu dari enam personil Six Seas, orang-orang pilihan Triad (organisasi kriminal terbesar di Asia) yang ditugaskan untuk menjaga rute penyelundupan heroin, kokain, dan senjata di lautan Asia Tenggara. Tugas utamanya hanyalah membunuh, membunuh, dan membunuh siapapun yang mengacaukan perdagangan ilegal Triad sekalipun kekacauan yang disebabkan hanyalah secuil. Di permulaan film, Ito beserta anak buahnya ditugaskan untuk membantai satu desa nelayan hanya karena mereka mencuri dari Triad dalam jumlah yang tak seberapa. Pembantaian ini menjadi titik balik bagi kehidupan Ito lantaran dia akhirnya memutuskan untuk membelot dari kawanannya dan menyelamatkan seorang gadis yang hidup sebatang kara, Reina (Asha Kenyeri Bermudez). Akibat dari keputusannya tersebut, Ito seketika menjadi manusia paling diburu di Indonesia. Hampir setiap orang yang ditemuinya menginginkan kematiannya, termasuk Arian (Iko Uwais) yang telah dianggapnya sebagai saudara kandung. Arian dititahkan oleh anggota Six Seas yang lain, Chien Wu (Sunny Pang), untuk menghabisi Ito dengan iming-iming imbalan berupa posisi di kelompok elit Six Seas sebagai pengganti Ito. Mengingat Arian telah sedari dulu mengincar posisi tersebut, mencuat kebimbangan dalam dirinya antara memenuhi ambisinya sebagai anggota mafia kelas kakap atau menyelamatkan seseorang yang telah berarti banyak baginya.
 

Tak banyak memboyong pengharapan kala hendak menonton The Night Comes for Us – berkaca pada film laga rekaan Timo yang kurang maknyus – saya terkaget-kaget mendapati kemampuannya dalam merangkai rentetan sekuens laga telah melesat cukup tinggi. Keinginan untuk bisa menyaksikan sebuah film laga tanah air dengan teknik penggarapan selevel dwilogi The Raid akhirnya terpenuhi di sini. Sedari adegan pertarungan di klab malam yang berlangsung singkat, adrenalin telah dipacu. Tubuh ditujes, tulang diretakkan, sampai mulut disuapi botol beling yang pecah. Sebuah pemanasan yang menjanjikan, bukan? Saya meyakini, mereka yang menyebut dirinya sebagai action junkie tidak akan mengalami kesulitan dalam menikmati hidangan dengan level kekerasan yang tinggi ini. Tapi saya perlu mewanti-wanti, untuk sekali ini, Timo tidak main-main soal kebrutalan. Jika kamu menganggap film-film dia terdahulu sudah cukup brutal dan bikin ngilu, apa yang dihidangkannya di sini jauh melampauinya. Anggota tubuh tercerai berai (termasuk usus yang bergelayutan) tentu dapat kamu temui, meski secara personal apa yang membuat diri ini merasa nyut-nyutan adalah melihat jari jemari tangan ditekan ke belakang sampai patah. Tampaknya kok… nikmat. Oke, sebelum ngilu makin menjadi-jadi karena membicarakan anggota tubuh yang tercecer, mari kita lupakan sejenak demi mengapresiasi The Night Comes for Us yang mempersembahkan banyak sekali momen laga untuk dikenang. Bukan semata-mata karena tingkat kesadisannya yang jahanam sehingga kita sulit mengenyahkannya begitu saja dari benak, melainkan lebih kepada kecakapan si pembuat film dalam mengeksekusinya yang melibatkan permainan teknis mengagumkan dan tidak sembarangan. 

Pada paruh pertama yang bergerak gesit – kecuali di menit-menit awal yang bertujuan untuk mengenalkan kita ke sejumlah karakter inti, momen laga yang menonjol di The Night Comes for Us jelas bersumber dari adegan pembantaian di toko daging dan apartemen rekan Ito, Fatih (Abimana Aryasatya). Di toko daging, kita berjumpa dengan karakter bernama Yohan yang dimainkan secara apik oleh Revaldo (damn, he’s so creepy!) lalu disuguhi pembantaian berlatar pemandangan daging-daging segar bergelantungan, sedangkan saat bertandang ke apartemen Fatih, kita dilayani dengan adegan laga intens nan kreatif yang berlangsung lama. Yang mencuat dari adegan ini disamping performa pemain seperti Zack Lee yang akhirnya memperoleh kesempatan buat pamer bakat akting setelah tersia-siakan di Buffalo Boys dan Abimana Aryasatya yang karismatik sampai-sampai bikin lagu Benci Untuk Mencinta-nya Naif tak lagi terdengar sama, yakni permainan kameranya. Tengoklah pergerakan kamera Gunnar Nimpuno di sini (khususnya pada detik-detik para pengeroyok berhasil menjebol pintu apartemen Fatih, ini cadas banget sih!) yang memungkinkan penonton untuk mendapatkan detil pada tata kelahi yang diperagakan oleh para pemain beserta figuran. Kita pun ikut dibuatnya bersemangat akibat terpacu oleh adrenalin, meringis karena muncratan darahnya, serta berdecak kagum berkat intensitas yang sanggup dialirkannya. Ini bukan sesuatu yang mudah lho, mengingat tidak sedikit film laga yang berakhir memble justru karena sinematografernya kewalahan dalam mengikuti pergerakan para aktornya kala adu pukul seperti dilakukan oleh Mile 22 tempo hari.


Permainan kamera Gunnar inipun turut menjadi bintang di ruang sempit seperti mobil van polisi, kamar mandi serta lift. Kehadirannya sebagai bentuk kompensasi terhadap skrip rekaan Timo Tjahjanto yang kurang memadai. Seperti halnya kebanyakan film sejenis termasuk The Raid, narasi dalam The Night Comes for Us hanya dimanfaatkan sebagai pengantar menuju perkelahian. Biar tidak sekadar tonjok-tonjokan tanpa sebab, biar tidak asal mencacah kepala manusia menggunakan papan penanda lantai basah (kreatip!). Hanya saja, sekelumit keluhan dari saya adalah narasi kurang memberi perhatian kepada bangunan karakter tokoh inti seperti Ito dan tak menghadirkan penjelasan memuaskan terkait siapa-siapa saja karakter yang punya urusan dengan Ito (seperti kelompok Lotus dan perempuan misterius bernama The Operator yang dimainkan secara badass oleh Julie Estelle). Ini tentu tak akan terlalu jadi soal apabila The Night Comes for Us dilantunkan bak Sebelum Iblis Menjemput yang sebatas menggeber teror. Masalahnya, film ini terkadang mencoba pula untuk bercerita seraya mengajak penonton untuk menghembuskan napas barang sejenak. Ketidakmampuan saya dalam mengidentifikasi para karakter yang menyebabkan investasi emosi cenderung mustahil termasuk kepada Ito yang kurang simpatik, membuat momen tenang yang disodorkannya terasa agak menjemukan. Saya tak peduli kepada mereka, saya hanya ingin mereka gebuk-gebukan. Itu saja. Seolah menyadari bahwa menuturkan kisah bukanlah kekuatan utamanya, Timo pun kembali tancap gas di 40 menit terakhir. 

Dimulai dengan pertarungan keroyokan seperti menit-menit sebelumnya, The Night Comes for Us mengakhirinya dengan pertarungan lebih intim yakni satu lawan satu di dua tempat berbeda. Pertarungannya memuaskan karena kita akhirnya mendapatkan apa yang telah dinanti-nanti di sedari awal. Tapi yang lebih memuaskan lagi adalah karena Dian Sastrowardoyo sebagai saudara jauh Gogo Yubari dari Kill Bill Vol. 1 yang langsung keok begitu ditendang Iko Uwais di aksi awal akhirnya dipersilahkan buat menggila. Kapan lagi coba kita bisa melihat Neng Cinta (plus seabrek bintang besar tanah air) terlibat dalam pertarungan brutal dan bersimbah darah? Berkaca pada situasi perfilman Indonesia yang sensornya sadis serta alergi pada film laga demi menghemat bujet, mungkin saja kita tidak akan menyaksikannya dalam waktu dekat. Itulah kenapa, mumpung The Night Comes for Us menyediakan kesempatan langka tersebut, jangan sampai kamu lewatkan begitu saja – kecuali kamu memang benar-benar tidak betah melihat darah dan kekerasan.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 21 October 2018

REVIEW : TENGKORAK


“Kalau 2 meter itu mungkin manusia purba. Tapi yang ditemukan di Yogyakarta ini kan 1,85 kilometer.” 

Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan selalu mengenang 27 Mei 2006 sebagai salah satu hari termuram dalam hidup mereka. Betapa tidak, pada tanggal tersebut di suatu pagi yang cerah, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter menggoyang DIY. Efek samping yang ditimbulkannya pun tak main-main. Menurut laporan media massa, gempa ini mengakibatkan ribuan jiwa melayang dan ratusan ribu bangunan mengalami kerusakan dalam berbagai tingkatan. Yang tak dilaporkan oleh media massa, gempa tersebut menyingkap sebuah fosil kerangka manusia dengan ukuran gigantis: mencapai 1,85 kilometer! Tapi tentu saja, penemuan menggegerkan ini bukanlah sebuah peristiwa nyata – jika benar, sudah ributlah seantero dunia – melainkan imajinasi dari seorang dosen di Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Yusron Fuadi. Oleh Yusron, imajinasinya ini dituangkan ke dalam sebuah film bertajuk Tengkorak yang menempatkannya sebagai sutradara, penulis skenario, pemain, sinematografer, sekaligus penyunting gambar. Sungguh seseorang yang multitalenta ya! Rangkap jabatan dimungkinkan lantaran skala produksi Tengkorak terbilang sangat kecil sampai-sampai tahapan produksinya pun memakan waktu hingga tiga tahun akibat kekurangan ongkos produksi. Perjuangan panjang tim produksi yang melelahkan akhirnya terbayar tuntas ketika Tengkorak yang semula berkeliling ke festival-festival film memperoleh kepastian untuk menjangkau penonton luas dengan ditayangkan di jaringan bioskop komersil. 

Seperti telah dikulik di paragraf sebelumnya, Tengkorak berceloteh tentang kehebohan masyarakat dunia selepas penemuan sebuah fosil kerangka manusia di wilayah Bantul, Yogyakarta. Saking gedenya fosil tersebut sampai membentuk sebuah bukit baru yang belakangan diberi nama Bukit Tengkorak. Penemuan ini tak hanya menggegerkan para ilmuwan tanah air dan (tentunya) para pemuka agama, tetapi juga negara-negara dunia pertama yang saling berlomba-lomba dalam mengulurkan bantuan kepada Indonesia. Mereka tertarik untuk meneliti sekaligus menguak misteri yang tersembunyi dibalik fosil tengkorak tersebut. Mengingat penemuan ini menyebabkan banyak pihak geger – bahkan mengundang berbagai macam demonstrasi – International Monetary Fund (IMF) pun menawarkan diri dalam membantu melunasi hutang-hutang negara asalkan bukit ini dihancurkan demi meredam paranoia massal. Ditengah-tengah persiapan pemerintah untuk mengeksekusi permintaan IMF, sorot cerita beralih ke salah seorang karyawan baru di Badan Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi) yang nyaris dihabisi nyawanya ketika tengah bersantai di kamar kosnya. Beruntung, rencana pembunuhan ini dapat digagalkan oleh Yos (Yusron Fuadi) yang lantas membawa Ani kabur untuk menghindari kejaran pihak-pihak yang mengincar nyawanya. Dalam pelarian tersebut, misteri yang melingkupi rencana pembunuhan Ani termasuk keterkaitannya dengan Bukit Tengkorak pun secara perlahan tapi pasti mulai tersibak.

Ditinjau dari premis, Tengkorak sejatinya menyodorkan gagasan yang menggelitik bahkan bisa dikatakan tergolong cerdas. Yusron Fuadi mengajak kita berandai-andai tentang reaksi umat manusia apabila muncul sebuah temuan besar di Indonesia yang mengungkap kenyataan bahwa ada makhluk lebih superior ketimbang manusia di muka bumi. Akankah kita bisa menerimanya atau justru menyangkalnya? Satu hal yang jelas, penemuan semacam ini berpotensi ditumpangi oleh pihak-pihak berkepentingan dan menimbulkan huru-hara. Dalam beberapa menit awal yang dikemas oleh si pembuat film dalam bentuk montase rekaman wawancara dan berita, Tengkorak berhasil menggaet atensi. Para ilmuwan bertindak, para pemuka agama naik panggung, para mahasiswa turun ke jalan, pemerintah menyembunyikan kebenaran, sejumlah negara ikut ambil bagian dengan motif terselubung, dan wong cilik tetap duduk anteng di depan televisi seraya menyaksikan kehebohan yang diciptakan oleh manusia-manusia oportunis. Ada ketertarikan yang lantas mencuat dari sini untuk mengetahui: apa yang selanjutnya mungkin terjadi? Memilih topik pembicaraan semenarik ini lalu mengelaborasinya dengan kata-kata pembuka yang memprovokasi imajinasi, sayangnya Yusron Fuadi justru keteteran dalam menjabarkannya di kalimat-kalimat selanjutnya. Ketimbang bertahan di jalur political thriller yang mempergunjingkan tentang aksi pemerintah dalam membungkam pihak tertentu demi menjaga stabilitas negara (termasuk menjalankan pasukan bawah tanah), Tengkorak justru mbleber kemana-mana. Tiba-tiba berganti haluan ke percintaan, komedi, sampai laga. Film ini benar-benar mengalami inkonsistensi akut pada nada penceritaan. 

Alhasil, apa yang hendak disampaikan oleh film ini pun kabur lantaran si pembuat film terlalu bernafsu untuk memasukkan berbagai macam elemen ke dalam penceritaan. Ya, ada banyak hal tak terjabarkan, semestinya bisa dihapus, dan semestinya dimunculkan diantara adegan pembuka yang mengikat dan revealing di penghujung durasi yang berani. Saya sudah mengalami gagal paham sedari Yos membonceng Ani dengan motor menuju ke pelosok desa lantaran logika bercerita yang dipertanyakan. Kok Ani manut-manut saja ya dibonceng Yos sementara pria tersebut baru saja membunuh seseorang di depan matanya? Apa tidak ada sedikitpun kecurigaan terhadap Yos? Dan mengapa harus ada adegan mereka menghabiskan waktu berdua-duaan dengan durasi cukup panjang disela-sela pelarian ini? Apakah fungsinya sebagai romantic building? Jika betul, mengapa harus ada dan mengapa keduanya harus dipersatukan sebagai pasangan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelayuti benak selama beberapa saat yang kemudian saya pasrahkan ketika Ani dan Yos sampai di sebuah menara. Bukan karena akhirnya terjawab secara tuntas, melainkan muncul seabrek pertanyaan mengusik ketenangan jiwa lainnya (seperti, kenapa Ani tiba-tiba marah kepada Yos padahal sebelumnya mereka baik-baik saja?) ditambah lagi tukar dialog antar karakternya tak memiliki signifikansi terhadap pergerakan kisah. Mereka hanya bercanda, bercanda, dan sedikit saja menjabarkan situasi yang tengah dihadapi oleh para karakter dengan niatan memberi kejutan di akhir durasi. 


Kalaupun adegan ngobrol ngalor ngidul di menara ini dipadatkan menjadi 5 menit saja pun tak menjadi soal. Penonton tetap tak akan melewatkan apapun karena pertanyaan seputar kontroversi serta konspirasi dibalik penghancuran Bukit Tengkorak hanya dicelotehkan sekenanya saja. Kesempatan untuk menyelipkan satir, sentilan sentilun, komentar sosial, atau apalah namanya itu dilewatkan oleh Yusron Fuadi hanya demi memberi ruang tampil bagi banyolan kurang lucu, subplot percintaan yang dipaksakan, sampai adegan yang entah apa tujuannya: seorang perempuan yang berlari-lari mencari suaminya di antrian warga yang dievakuasi. Disamping menimbulkan kebingungan pada penonton, imbas dari naskah dan penceritaan yang jauh dari kata rapi ini adalah performa jajaran pemain yang tak stabil. Eka Nusa Pertiwi jelas bukan seorang aktris yang buruk, hanya saja delay sangat panjang untuk melampiaskan ketakutan beserta kemarahan terasa sukar buat dipahami. Saya pun tak bisa menaruh kepedulian kepada Ani maupun Yos karena konflik psikologis yang mereka hadapi tak pernah lagi dijlentrehkan dan motivasi mereka sepanjang film pun mengawang-awang. Padahal, keduanya mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai karakter kompleks yang menarik. Ani mempunyai masalah di sektor keluarga lalu sebagai wong cilik yang tak tahu apa-apa malah terseret ke dalam konspirasi besar, sementara Yos menunjukkan ambiguitas moral terkait keputusannya menyelamatkan Ani. Alih-alih dikembangkan, dua karakter kunci ini justru berakhir tipikal: tindakan Ani acapkali berasal dari dorongan orang lain dan Yos menyelamatkan Ani semata-mata karena masalah hati (atau ranjang?). Sungguh sangat disayangkan.

Acceptable (2,5/5)



Friday, 19 October 2018

REVIEW : FIRST MAN


“That’s one small step for man, one giant leap for mankind.” 

Meski tak ada lagi suara gebukan drum yang intens maupun dua sejoli bersenandung dengan indah, karya terbaru dari sutradara penggenggam piala Oscar, Damien Chazelle (Whiplash, La La Land) yang bertajuk First Man masih mengusung tema kesukaannya perihal ‘ambisi dan menggapai mimpi’. Tak tanggung-tanggung, subjek kulikan Chazelle kali ini adalah sosok nyata yang namanya terukir di sejarah dunia sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan, yakni Neil Armstrong. Disadur dari buku rekaan James R. Hansen, First Man: The Life of Neil A. Armstrong, si pembuat film tak hanya merekonstruksi peristiwa bersejarah tersebut yang masih diyakini oleh sebagian umat manusia sebagai kebohongan belaka tetapi juga menelusuri sisi personal dari sang astronot yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai termasuk pergolakan batin yang mewarnai detik-detik jelang peluncuran Apollo 11 (kendaraan ruang angkasa yang berjasa dalam membawanya membumbung ke bulan). Sebuah materi untuk sajian biopik yang menggugah selera, tentu saja, terlebih sang sutradara memilih untuk melantunkan penceritaan dengan metode character-driven dengan memanfaatkan sosok Neil Armstrong. Metode ini memang memungkinkan bagi penonton untuk melongok masa-masa penting bagi misi penjelajahan luar angkasa ini secara intim. Namun resiko yang diboyongnya pun tak kecil terutama jika karakter yang dimanfaatkan sebagai kacamata penonton tak cukup kuat dalam menggugah ketertarikan. 

First Man sendiri mengambil latar penceritaan ditengah berlangsungnya space race – sebutan untuk persaingan sengit antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet dalam bidang penjelajahan luar angkasa – atau lebih spesifiknya sedari tahun 1961 hingga 1969. Pada era 1960-an awal, Neil Armstrong (Ryan Gosling) yang bekerja sebagai pilot penguji kelayakan di National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengalami fase-fase terberatnya dalam hidup. Karirnya mengalami kemerosotan lantaran sejumlah kecelakaan yang disinyalir akibat pikiran Armstrong yang tak fokus dan putri bungsunya, Karen, mengidap tumor otak yang mengharuskannya untuk mengikuti serangkaian metode perawatan. Saat Karen akhirnya berpulang, Armstrong mencoba mengalihkan duka laranya dengan mendaftar pada Proyek Gemini yang berambisi untuk membawa manusia ke bulan. Armstrong berhasil lolos tes sehingga dia bersama istrinya, Janet (Claire Foy), dan putra mereka pun pindah ke Houston dimana mereka menjalin ikatan persahabatan dengan keluarga astronot lain. Selama beberapa tahun berikutnya, karir Armstrong secara perlahan tapi pasti mulai berkembang seiring dengan menonjolnya kemampuan analitisnya sampai kemudian dia dipercaya untuk mengomandoi Apollo 11. Bukan perkara mudah bagi Armstrong dalam mengemban tanggung jawab ini mengingat beberapa kawan baiknya tewas dalam misi-misi sebelumnya. Tak hanya menyiapkan mental bagi dirinya sendiri, dia pun harus menyiapkan keluarganya untuk menerima kemungkinan paling buruk yang akan terjadi dalam peluncuran Apollo 11 ini. 


Harus diakui, menyaksikan First Man di layar bioskop bukanlah pengalaman sinematik yang mudah. Film ini tidak buruk, malah terbilang sangat baik, karena Chazelle mampu menghadirkan sebuah sajian biopik dalam kualitas mengesankan di sektor lakonan pemain dan teknis utamanya pada tata suara (coba dengarkan detilnya penggarapan suasana di roket dan ruang angkasa) beserta iringan musik menghanyutkan dari Justin Hurwitz yang beberapa melodinya melemparkan ingatan ke La La Land. Hanya saja membutuhkan fisik segar bugar agar dapat melalui durasi yang merentang hingga 140 menit tanpa harus terkantuk-kantuk maupun mual-mual. Terkantuk-kantuk, karena film menerapkan laju penceritaan dengan tempo lambat dan tak banyak menyuplai letupan-letupan emosi. Sosok Neil Armstrong yang selama ini saya bayangkan sebagai pribadi penuh warna dengan kepercayaan diri tinggi, ternyata diinterpretasikan secara jauh berbeda oleh Ryan Gosling. Dia tampak menekan emosi yang dipunyainya sehingga kesan didapat dari karakternya adalah kalem, kaku, serta cenderung dingin. Gosling kerap memanfaatkan ekspresi dan gestur untuk menunjukkan perasaannya tanpa pernah sekalipun meluapkannya. Bukan pilihan yang salah, tentu saja, hanya saja mengingat Chazelle ‘meminjam mata’ Armstrong sebagai sudut pandang penonton, plus pergerakan kisah bergantung pada Armstrong termasuk bagaimana dia berdamai dengan duka dan trauma, agak sulit untuk benar-benar menaruh afeksi kepadanya ketika karakternya terasa berjarak. Dampak dari ketidakmampuan dalam memahami si karakter utama secara menyeluruh adalah dua babak pertama berlangsung cukup sulit – jika tidak mau dibilang menjemukan. 

Yang justru mencuri perhatian adalah Claire Foy sebagai seorang istri yang senantiasa dirundung was-was dalam menanti kepulangan sang suami. Foy mempersembahkan akting gemilang ketika Janet terserang panik menyusul terputusnya siaran radio yang mengabarkan status terkini dari Armstrong sehingga dia pun mendatangi langsung kantor NASA, dan tentu saja, momen klimaks yang mempersilahkan karakternya untuk mengonfrontasi sang suami yang mengalami ketakutan dalam mengutarakan kemungkinan terburuk kepada anak-anak mereka. Berkat Foy, adegan di meja makan menghasilkan sebuah getaran – yang sebelumnya hanya muncul samar-samar – dan bulir-bulir air mata bisa dirasakan yang lantas secara resmi mengalir tatkala Armstrong mampu memenuhi mimpinya, mimpi-mimpi rekan-rekannya yang gugur dalam tugas, dan mimpi umat manusia untuk menjejakkan kaki di bulan. Adegan berjalan di bulan yang ditangkap menggunakan kamera IMAX memberikan sensasi merinding. Apa yang disajikan oleh Chazelle di menit-menit jelang penghujung durasi ini mengompensasi perjalanan ‘menaiki roket sekaligus menyelami kehidupan Armstrong’ yang tak sepenuhnya berlangsung nyaman seperti menimbulkan efek samping berupa kantuk dan mual. Mual yang saya maksud merujuk pada kamera yang seringkali berguncang ditambah pewarnaan yang grainy dan adakanya blur demi memberikan kesan otentik seolah-olah kita adalah astronot di era 1960-an. Tidak hanya saat memasuki roket tetapi juga saat kita mengikuti para karakter utama dalam bersosialisasi. Itulah mengapa pihak bioskop semestinya mencantumkan satu persyaratan mutlak bagi calon penonton First Man, yakni fisik segar bugar.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Wednesday, 17 October 2018

REVIEW : GOOSEBUMPS 2: HAUNTED HALLOWEEN


“Let me get this straight. We’re living a Goosebumps story right now?” 

Sebagai seorang bocah yang tumbuh besar ditemani rangkaian cerita seram Goosebumps rekaan R.L. Stine, saya tentu bahagia tatkala Sony Pictures mengumumkan rencana untuk memboyong Goosebumps ke format film layar lebar. Baru membayangkan para monster rekaan Stine berkeliaran di depan mata saja sudah bikin berjingkat-jingkat apalagi saat menontonnya di bioskop. Nostalgia masa kecil menyeruak! Dan untungnya, versi film panjang yang dilepas pada tahun 2015 silam ini tak mengecewakan dan terbilang mengasyikkan buat ditonton. Memenuhi segala pengharapan yang bisa disematkan untuk tontonan ini. Ada Slappy si boneka ventriloquist yang licik beserta konco-konconya sesama monster menebar teror yang cukup mengerikan bagi penonton cilik, ada petualangan seru dua remaja ditemani oleh Stine (diperankan oleh Jack Black) dalam upaya mereka menyelamatkan dunia dari cengkraman monster-fiktif-menjadi-nyata ini, dan tentunya, ada humor menggelitik yang menyertai. Narasinya yang menempatkan manuskrip Stine sebagai sumber mencuatnya petaka harus diakui cukup kreatif sehingga memungkinkan si pembuat film untuk mempertemukan penonton dengan karakter-karakter favorit dari berbagai judul yang sejatinya tak saling berkaitan. Syukurlah, upaya untuk mempertahankan legacy dari Goosebumps ini memperoleh sambutan hangat baik dari kritikus maupun penonton, jadi kehadiran sebuah sekuel pun tak terelakkan dan saya jelas sama sekali tak merasa keberatan. Saya malah ingin franchise ini terus berkembang! 

Dalam sekuel yang mengaplikasikan tajuk Goosebumps 2: Haunted Halloween, penonton disodori materi penceritaan yang berdiri sendiri dan tak mempunyai koneksi dengan film terdahulu – jadi jika kamu belum menonton seri pertamanya pun tak jadi soal. Para remaja akil baligh di instamen pertama tak lagi muncul, begitu pula dengan Stine (damn!), karena posisi karakter utama sekali ini diserahkan kepada dua sahabat, Sonny (Jeremy Ray Taylor) dan Sam (Caleel Harris), beserta kakak Sonny, Sarah (Madison Iseman). Pertautan ketiga karakter ini dengan dunia Stine dimulai usai Sonny dan Sam yang mengisi waktu luang sebagai pembersih sampah mendapat panggilan untuk mengenyahkan barang-barang di sebuah rumah terbengkalai yang belakangan diketahui pernah dihuni oleh Stine. Tatkala mengumpulkan rongsokan, dua sahabat ini menemukan sebuah peti berisikan manuskrip yang digembok. Dasar bocah, alih-alih ditinggalkan begitu saja, mereka justru membukanya dan Slappy pun muncul secara mendadak. Belum berhenti sampai di situ, mereka juga membaca sebuah mantra yang terselip di kantong Slappy. Mulanya sih tak terjadi apa-apa (FYI, Slappy ditemukan seperti boneka pada umumnya), hingga Slappy menampakkan wujud hidupnya kepada Sonny dan Sam. Sebagai bentuk 'balas budi', Slappy berjanji akan menjadi anggota keluarga yang baik dan membantu keduanya – yang kita ketahui bersama bahwa itu hanyalah kebohongan belaka. Dan memang tak berselang lama, serangkaian peristiwa aneh pun terjadi sampai-sampai Sarah pun ikut turun tangan membantu adiknya guna menghentikan Slappy lantaran keselamatan keluarga mereka dan warga kota menjadi taruhannya.


Seperti halnya sang kakak, Goosebumps 2: Haunted Halloween pun masih menawarkan sajian menghibur bagi seluruh anggota keluarga. Sebagai penggemar karya si pengarang, tentu ada kebahagiaan tersendiri bisa menyaksikan tingkah polah Slappy dari Boneka Hidup Beraksi yang ngeselin, nyeremin, sekaligus nggemesin di waktu bersamaan. Ada kebahagiaan pula melihat monster-monster kreasi Stine seperti manusia serigala dari Manusia Serigala Rawa Demam, manusia salju dari Misteri Manusia Salju, sampai orang-orangan sawah dari Teror Orang-orangan Sawah – walaupun kesemuanya telah diperkenalkan melalui film pertama. Selain parade para monster yang menciptakan kekacauan disana-sini diorkestrai oleh Slappy, kesenangan yang muncul di film kedua ini dipersembahkan oleh interaksi yang mencuat diantara kedua pemain utamanya. Jeremy Ray Taylor dan Caleel Harris bermain lepas sekaligus memberi kesan kepada penonton bahwa mereka memang bersahabat sehingga mudah bagi penonton untuk bersorak sorai mendukung keduanya dalam menghentikan rencana busuk si boneka hidup. Harus diakui, para bocah ini memang suguhkan performa kompeten tapi itu sama sekali tak cukup untuk menambal kekosongan akibat minimnya porsi tampil Jack Black yang sebatas cameo. Kita membutuhkan kehadiran R.L. Stine versi rekaan lebih dari sebatas pahlawan kesiangan. Duh! Terlebih, hubungan benci-cinta antara dirinya dengan Slappy merupakan bagian terbaik dari seri terdahulu yang semestinya bisa dieksplorasi di sini mengingat ‘si anak yang dicampakkan’ memutuskan untuk membalas dendam dengan berburu keluarga baru. Materi yang menarik, mengusik kenyamanan, dan creepy yang sayangnya tak dikembangkan. 

Alih-alih mengkreasi narasi yang lebih kompleks dengan pertaruhan yang menjulang selaiknya film kelanjutan pada umumnya, Goosebumps 2: Haunted Halloween malah sebatas mengkreasi ulang apa yang telah disodorkan di film terdahulu. Portal menuju dunia Stine terbuka, para monster yang dipimpin oleh Slappy bebas berkeliaran lalu menciptakan masalah, dan pahlawan-pahlawan kita yang masih ABG pun bersatu padu untuk menghentikannya. Familiar? Saya pribadi tidak ambil pusing apabila sebuah sekuel mengedepankan narasi senada dengan film sebelumnya – selama masih bekerja dan menghibur, why not? – hanya saja Ari Sandel (The DUFF, When We First Met) tak memberi banyak sentuhan menyegarkan bagi film arahannya ini. Malah, bujet cekak yang digelontorkan oleh pihak studio terlihat sangat membatasi kreativitasnya di sini sehingga film acapkali tampak murah (polesan CGI kasar adalah salah satu buktinya) serta seolah-olah direncanakan untuk masuk ke bioskop pada menit-menit terakhir. Saya bisa mengatakan, untuk ukuran sebuah film kelanjutan yang biasanya mempunyai energi lebih besar dibanding film pembuka, Goosebumps 2: Haunted Halloween cenderung gontai. Keputusan untuk meredam adegan-adegan terornya demi tersaji sebagai tontonan yang kid-friendly jelas hanya memperburuk keadaan. Saya memang masih bisa menikmati gelaran ini karena bagaimanapun juga elemen hiburannya tetap berjalan dengan baik, tapi saya tak bisa menampik bahwa sekuel ini mengecewakan dan lebih cocok untuk ditonton di layar televisi bersama-sama anggota keluarga.

Acceptable (2,5/5)


Monday, 15 October 2018

REVIEW : MENUNGGU PAGI


“Emang kalau udah putus masih bisa temenan, gitu?” 
“Semua cowok kan kayak gitu. Habis putus maunya musuhan. Lebih gampang buat kalian.” 

Dunia malam ibukota tak lagi asing bagi Teddy Soeriaatmadja. Dia pernah menempatkannya sebagai panggung utama untuk memfasilitasi berlangsungnya reuni dadakan antara seorang ayah dengan anak perempuannya dalam Lovely Man (2011), dan dia kembali memanfaatkannya melalui Something in the Way (2013) demi menonjolkan pergulatan hati si karakter utama yang dikisahkan taat beragama. Bagi Teddy, ada banyak cerita menarik yang bisa dikulik dari manusia-manusia kalong di Jakarta utamanya berkaitan dengan hal-hal tabu yang biasanya enggan diperbincangkan ketika cahaya matahari masih bersinar terang lantaran polisi moral bebas kelayapan. Teddy mengambil langkah berani di kedua film ini yang membenturkan moral agama dengan seks dalam upayanya untuk memaparkan realita bahwa nafsu syahwat tak tebang pilih dalam ‘berburu inang’. Mengingat topik pembicaraannya yang bernada sensitif, tidak mengherankan jika film-film tersebut lebih memusatkan peredarannya di ranah festival film yang cenderung merangkul perbedaan alih-alih bioskop komersial yang memberlakukan sensor. Berulang kali berkelana ke beragam festival film dunia – termasuk membawa About a Woman (2014) yang mengedepankan topik senada – Teddy akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain aman demi mempertontonkan film terbarunya, Menunggu Pagi, pada khalayak lebih luas. Temanya masih berkutat dengan dunia malam, hanya saja sekali ini fokusnya adalah sekelompok remaja dan perbincangannya tak semuram, seberat, sekaligus sekontroversial dibandingkan trilogy of intimacy di atas. 

Dalam Menunggu Pagi, penonton diperkenalkan kepada seorang laki-laki bernama Bayu (Arya Saloka) yang memiliki sebuah toko vinyl (baca: piringan hitam) di Pasar Santa. Meski memiliki kecintaan pada musik, Bayu tak melihat adanya urgensi untuk menghadiri helatan DWP (Djakarta Warehouse Project) – salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia yang dihelat saban tahun – seperti halnya rekan-rekan sebayanya. Dia pernah menghadirinya sekali dan tidak memiliki niatan untuk kembali menghadirinya karena merasa pengalaman yang ditawarkannya tidak akan jauh berbeda. Ketimbang berdesak-desakkan dengan puluhan ribu orang dari berbagai negara, Bayu lebih memilih untuk menghabiskan malam dengan bermain video game di rumah… seorang diri. Bujuk rayu dari ketiga orang teman baiknya; Kevin (Raka Hutchison), Adi (Bio One), dan Rico (Arya Vasco), termasuk menawarinya tiket masuk gratis tak sedikitpun mampu menggoyahkan tekad Bayu. Dia hanya ingin mengurus toko, lalu bersantai di rumah. That’s it. Akan tetapi, rencana untuk menjalankan me time ini mendadak bubar jalan ketika seorang perempuan bernama Sarah (Aurelie Moeremans) yang merupakan mantan kekasih Kevin datang ke toko Bayu untuk mengambil titipan lalu mengajaknya ke DWP. Bayu yang semula kekeuh dengan pendiriannya pun akhirnya luluh juga dan tidak keberatan untuk menemani Sarah. Dalam perjalanan menuju lokasi, serangkaian kejadian tidak terduga turut menemani muda-mudi ini yang sebagian besar dipicu oleh kecerobohan sahabat-sahabat Bayu dan masa lalu Sarah yang masih enggan untuk melepaskan diri. 


Tidak seperti Lovely Man maupun Something in the Way yang terbilang muram dalam memandang gemerlap dunia malam di Jakarta dengan memosisikan karakter-karakter marjinal sebagai penggerak cerita, Menunggu Pagi melantunkan penceritaan menggunakan dentuman. Selaiknya gelora masa muda, maka Teddy pun menarasikan film teranyarnya ini dengan penuh hingar bingar, sematan humor disana sini, dan menyelipkan pula momen aksi sebagai pembangkit semangat. Menilik tujuan utama para karakter dalam perjalanan singkat di film ini adalah DWP, tentu bisa dipahami bahwa si pembuat film memilih untuk mengedepankan nada pengisahan yang upbeat alih-alih offbeat mengikuti irama musik elektronik. Selepas trilogy of intimacy yang menyesakkan – mempertemukan kita dengan manusia-manusia kesepian yang mendamba cinta – sungguh menyegarkan bisa melihat Teddy bersenang-senang di sini bersama anak-anak muda. Memang betul bahwa dua protagonis utamanya masih dihadapkan pada persoalan tak jauh berbeda, yakni pengkhianatan orang terkasih yang memunculkan kerinduan terhadap cinta yang tulus. Akan tetapi, Menunggu Pagi tak menghabiskan kuota durasinya untuk menyoroti pergolakan batin mereka dengan dialog-dialog mengiris perasaan atau tangkapan gambar yang menyiratkan kekosongan jiwa. Film justru bertutur secara positif dan ringan-ringan saja dengan mengatakan bahwa “tak ada salahnya kok bersenang-senang, hidup terlalu singkat untuk kau habiskan dengan ratapan.” Ya, ini sebuah perayaan masa muda yang menyenangkan. Yang menarik, Teddy menggunakan dunia malam (atau dalam kasus ini adalah DWP) sebagai ‘pintu gerbang’ yang membawa kehidupan pribadi Bayu dan Sarah menuju titik berbeda. 

Bayu yang dideskripsikan sebagai pemuda lurus yang enggan mengambil resiko akhirnya mengenal kata spontanitas, sementara Sarah yang terperangkap dalam toxic relationship bersama kekasihnya akhirnya berani untuk bersuara. Dalam perjalanan yang diwarnai halusinasi akibat obat, kejar-kejaran, sampai pengeroyokan ini, keduanya menyadari satu sama lain bahwa mereka membutuhkan pasangan yang menerima apa adanya. Dilandasi oleh cinta, bukan oleh kemampuan di ranjang atau malah semata-mata demi mempertahankan status. Teddy membingkai pertemuan awal antara Bayu dengan Sarah secara manis (adegan mendengarkan vinyl bersama itu tjakep!), begitu pula saat mereka bersama-sama menuju DWP. Tapi durasi yang terlampau singkat disertai laju bergegas menghalangi kisah kasih mereka yang mekar dalam semalam untuk terhidang lebih menggigit. Bukan problematika krusial sebetulnya, karena pesan si pembuat film telah terjelaskan dengan baik dan plot ini mesti berbagi porsi dengan kesialan sahabat-sahabat Bayu yang menyediakan momen komedik bagi film dan bisnis barang haram yang dijalankan oleh mantan kekasih Sarah (diperankan oleh Mario Lawalata). Hanya saja, saya berharap bisa memperoleh pembicaraan soal cinta dan kehidupan yang lebih mendalam karena saya menikmati cerita cinta Bayu-Sarah. Keduanya diperankan secara menarik oleh Arya Saloka beserta Aurelie Moeremans, dan film turut menampilkan lakon apik dari para pemain pendukung seperti Bio One yang senantiasa teler, Mario Lawalata yang kebingungan, dan Yayu Unru yang intimidatif. 

Disamping performa pemain, Menunggu Pagi unggul pula di sektor penyutradaraan. Melalui film ini, Teddy membuktikan bahwa dia tak saja cakap bercerita, tetapi juga ulung dalam menangani adegan sebesar kebut-kebutan di jalan dan konser. Meski lokasi syutingnya tak benar-benar dilangsungkan bersamaan dengan DWP, sensasi ajeb-ajebnya masih sangat terasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)