This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 29 September 2018

REVIEW : JOHNNY ENGLISH STRIKES AGAIN


“Let's kick some bottom!” 

Adakah diantara kalian yang merindukan sepak terjang Johnny English? Ada? Tidak? Atau malah tidak tahu siapa karakter ini? Well, jika kalian belum mengenalnya sama sekali, Johnny English adalah seorang agen rahasia asal Inggris yang tergabung dalam MI7. Jangan bayangkan dia mempunyai karisma bak James Bond atau kemampuan bertahan hidup seperti Jason Bourne, karena karakternya sendiri dibentuk sebagai parodi untuk spy movies. Penggambaran paling mendekati adalah Austin Powers dalam versi sama sekali tidak kompeten nan ceroboh, atau oh, Mr. Bean (jangan bilang kamu juga tak mengetahuinya!). Ya, Johnny English tak ubahnya Mr. Bean yang memutuskan untuk menjalani profesi sebagai mata-mata Inggris. Sang agen rahasia dideskripsikan sebagai karakter yang payah dalam hal apapun, tapi memiliki keberuntungan tingkat dewa sehingga pada akhirnya dunia selalu bisa diselamatkan. Kemiripan diantara keduanya sulit untuk dihindarkan mengingat karakter-karakter ini dimainkan oleh aktor yang sama, Rowan Atkinson, dengan gaya bercanda yang senada pula. Gaya bercanda khas Rowan Atkinson yang kerap bergantung pada mimik konyol, tingkah absurd, serta pemikiran ngasal itulah yang menjadi jualan utama rangkaian seri Johnny English yang kini telah membentang hingga tiga instalmen; Johnny English (2003), Johnny English Reborn (2011), dan Johnny English Strikes Again

Dalam Johnny English Strikes Again, sang karakter tituler dikisahkan telah pensiun dari pekerjaannya sebagai agen rahasia di MI7 dan kini menjalani profesi sebagai guru geografi seraya diam-diam menggembleng muridnya dengan kemampuan dasar seorang agen. Suatu ketika, Johnny yang telah bertahun-tahun tak turun ke lapangan ini mendadak memperoleh panggilan tugas dari MI7 pasca mereka mendapat serangan siber yang mengungkap identitas agen-agen aktif. Johnny, satu-satunya mantan agen yang tersisa dan masih sehat walafiat, pun ditugaskan untuk mengungkap dalang dibalik peretasan tersebut. Ditemani oleh kaki tangan andalannya, Jeremy Bough (Ben Miller), yang sudah membangun rumah tangga bersama seorang kapten kapal selam, mereka pun bertolak ke Prancis untuk menyelidiki kapal pesiar bernama Dot Calm yang disinyalir sebagai markas utama sang peretas. Upaya Johnny untuk menuntaskan misi, tentu saja, tidak berlangsung lancar-lancar saja lantaran dia mendapat hambatan dari seorang perempuan misterius berdarah Rusia, Ophelia (Olga Kurylenko), dan seorang pengusaha sukses asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang IT, Jason Volta (Jake Lacy). Sosok Jason sendiri tengah didekati oleh Perdana Menteri Inggris (Emma Thompson) yang kelabakan karena peretasan telah merambat ke sektor lain tanpa pernah menyadari bahwa Jason sejatinya menyimpan agenda terselubung dibalik kesediaannya untuk membantu sang Perdana Manteri. 


Meski saya menikmati dua instalmen pertama dalam cap dagang Johnny English, saya sebetulnya tidak terlalu mengantisipasi munculnya Johnny English Strikes Again lantaran tak ada lagi yang bisa dieksplorasi dari sisi narasi maupun karakter. Kalaupun dilanjutkan, guliran penceritaannya hanya dipergunakan untuk memberi akses bagi si agen rahasia agar bisa menciptakan kekacauan yang mengundang tawa. Tidak pernah lebih. Satu-satunya alasan yang melandasi ketertarikan saya untuk tetap mencicipi Johnny English Strikes Again arahan David Kerr (sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara serial televisi Inggris seperti No Offence dan Inside No. 9) di layar lebar adalah kerinduan saya terhadap Mr. Bean yang tak tertahankan – saya butuh episode atau film baru dari Mr. Bean! Dan seperti telah disinggung di paragraf pembuka, Johnny English menawarkan candaan senada seirama yang sedikit banyak bisa mengobati rasa rindu tersebut. Saat saya akhirnya memutuskan untuk menonton film ini, itulah yang saya harapkan. Bernostalgia dan terhibur. Apabila ekspektasi yang kamu tanamkan terhadap Johnny English Strikes Again tidak jauh berbeda dengan saya, atau malah sesederhana hanya ingin mencari obat penawar bagi kepenatan yang menerjang pikiran, maka tidak sulit bagimu untuk bisa menikmati tontonan yang mengedepankan guyonan receh ini. Sejauh mana kamu bisa menolerir guyonan dan narasinya yang cethek bergantung kepada setinggi apa ekspektasimu dan sebesar apa kesukaanmu terhadap Rowan Atkinson. 

Selama durasi mengalun yang tak mencapai 90 menit, penonton sebatas disodori kekacauan demi kekacauan yang diciptakan oleh mata-mata gadungan ini. Sedari Johnny English mendarat di kantor MI7, dia telah memunculkan musibah yang menyebabkan beberapa agen pensiunan lain batal dikirim, dan tentunya musibah tak disengaja akibat kecerobohannya ini terus muncul silih berganti selama Johnny menjalankan misi. Tak seluruhnya mengundang tawa malah ada pula yang terasa janggal, tapi tak sedikit diantaranya yang membuat saya terkekeh-kekeh cukup lama. Beberapa adegan yang menggoreskan kesan amat baik ini antara lain tatkala Johnny dan Jeremy menyusup ke dalam kapal Dot Calm (humor permainan kata untuk dot com) menggunakan sepatu magnet, lalu ketika Johnny yang tak bisa memejamkan mata memutuskan untuk menelan obat tidur eh malah salah ambil sehingga dia pun jejogetan semalam suntuk di lantai dansa, dan saat dia menjajal virtual reality yang membawanya berkeliaran di jalanan kota London. Melalui ketiga adegan tersebut, beserta beberapa humor kecil lain, Rowan Atkinson sekali lagi menegaskan bahwa dia dikaruniai comic timing yang mengagumkan. Dia adalah nyawa utama bagi Johnny English Strikes Again yang sejatinya kekurangan nyawa di sektor narasi dan laga ini. Tanpa disokong aktor yang memiliki kepekaan ngelaba sekuat Rowan Atkinson, guyonan yang dilontarkan dalam Johnny English Strikes Again sangat mungkin berakhir anyep yang tentu saja bukan pertanda bagus bagi film yang mengandalkan guyonan.

Acceptable (3/5)


Friday, 28 September 2018

REVIEW : ARUNA DAN LIDAHNYA


“Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati, trus empati trus jatuh hati.” 

Disadur secara bebas dari novel berjudul sama rekaan Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya menyoroti perjalanan empat sekawan ke empat kota di Indonesia dalam misi menginvestigasi kasus flu burung dan pencarian makanan. Empat sekawan tersebut antara lain Aruna (Dian Sastrowardoyo), Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra), dan Nad (Hannah Al Rashid). Mulanya, perjalanan ini diniatkan sebagai pelesiran untuk icip-icip makanan Nusantara semata oleh Aruna dan sahabat baiknya yang seorang koki, Bono, guna menindaklanjuti rencana kulineran yang terus tertunda. Tapi setelah Aruna yang menjalani profesi sebagai ahli wabah ditugaskan oleh atasannya untuk menyelidiki kasus flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, beserta Singkawang, mereka pun seketika mengubah rencana. Bono mengikuti Aruna dalam perjalanan dinasnya, dan mereka akan berburu makanan khas daerah setempat usai Aruna menuntaskan pekerjaannya. Ditengah perjalanan ini, keduanya turut menyambut kehadiran Nad, kritikus makanan yang ditaksir Bono, dan Farish, mantan rekan kerja Aruna yang turut ditugaskan dalam investigasi ini. Keberadaan dua pendatang ini membuat perjalanan yang semestinya sederhana menjadi terasa rumit lantaran Aruna diam-diam menaruh hati kepada Farish. Aruna mengalami pergolakan batin tatkala hendak mengungkapkan cintanya lantaran dia mengetahui sang pujaan hati telah memiliki kekasih dan ditambah lagi, Nad terlihat seperti menaruh perasaan yang sama kepada Farish. 

Tak seperti karya-karya terdahulunya yang sarat simbol selaiknya Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) maupun Kebun Binatang (2012), serta mengedepankan narasi kompleks nan muram untuk kisah percintaan remaja yang umumnya straight to the point seperti diterapkannya dalam Posesif (2017) yang menghadiahinya sebuah Piala Citra, Edwin mencoba menarasikan Aruna dan Lidahnya secara apa adanya dan cenderung cerah ceria. Malah, penuh dengan gelak tawa. Memang betul sang sutradara masih menyelipkan unsur surealis ke dalam penceritaan yang bergerak di jalur realis, seperti mimpi-mimpi Aruna atau berdangdut ria diiringi tembang “Hoka-Hoke” di atas kapal pesiar. Tapi secara keseluruhan, film ini bertutur secara konvensional tanpa membutuhkan penafsiran macam-macam terhadap visual yang dihamparkannya. Kamu bisa saja mengikuti perjalanan Jeung Aruna seraya menyantap nasi goreng, mengudap kentang goreng, dan menyeruput es kopi susu pandan. Saya sangat menyarankanmu untuk tak menyaksikan film ini dalam keadaan perut kosong atau tanpa ditemani makanan buat disantap karena parade makanan yang menghiasi layar (konon, total jendral ada 21 jenis makanan khas Indonesia yang nongol di film ini) bakal membuat perutmu bergemuruh. Sungguh menggoda iman! Rentetan makanan tersebut muncul sebagai penanda peralihan lokasi menggantikan landmark yang sudah terlanjur umum, penggerak cerita mengingat motivasi sebagian karakter di film ini bersinggungan dengan makanan, hingga tentunya, dimanfaatkan sebagai analogi atas perasaan yang menghinggapi sang protagonis utama. 


Meski poin terakhir tak selalu diterapkan – paling mencolok ada di adegan Aruna menyantap rujak soto seorang diri – yang sebetulnya cukup disayangkan karena saya berharap bisa mendengar lebih banyak filosofi dibalik suatu makanan, tapi setidaknya deretan makanan tersebut bukan sebatas gimmick. Kecintaan terhadap makananlah yang mendorong Aruna, Bono, serta Nad untuk merealisasikan perjalanan ini, sekaligus mendekatkan Aruna dengan Farish. Keduanya acapkali cekcok apabila membicarakan tentang pekerjaan, tapi keduanya rukun ketika menyantap makanan khas suatu kota. Pun begitu, Edwin tak melulu menyodori penonton dengan pemandangan menggiurkan mulut dan perut. Tak melulu pula mempergunjingkan tentang makanan sekalipun interaksi antar karakter kerap difasilitasi oleh meja makan. Dalam perjalanan kuliner berselimutkan perjalanan dinas ini, kita turut diajak memperbincangkan tentang asmara, persahabatan, passion, kehidupan, sampai politik. Ya, bahan obrolan empat sekawan tersebut tak hanya berputar-putar di kisaran makanan terlebih Farish termasuk tipe “yang penting kenyang”. Pembicaraan seputar urusan hati sangat sering disorot mengingat keempatnya terperangkap dalam persoalan memendam cinta, lalu terkait persahabatan serta passion bisa ditemukan melalui interaksi mereka dan semangat membuncah dalam diri Bono-Nad ketika dipertemukan dengan makanan, kemudian mengenai kehidupan bisa ditengok dari celotehan pasien-pasien terindikasi flu burung (plus keluarganya), sementara politik erat kaitannya dengan investigasi flu burung yang dijalankan oleh Aruna-Farish. Pada satu titik, keduanya sempat dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah mungkin investigasi ini hanya akal-akalan pusat demi memperoleh kucuran dana? Menarik. 

Pun begitu, obrolan mengenai kasus flu burung dan sederet topik lain untuk menemani perjalanan tak lantas menjamin Aruna dan Lidahnya terbebas sepenuhnya dari fase jenuh. Menginjak pertengahan durasi, film yang semula enerjik terasa agak gontai. Plot seputar investigasi berjalan di tempat tanpa ada perkembangan signifikan dari menit-menit awal bahkan sebetulnya tak terasa urgensinya menampilkan subplot ini selain demi patuh pada materi sumber, begitu pula dengan plot seputar asmara yang tak banyak menunjukkan pergerakan. Apabila jajaran pemain kurang luwes dalam berlakon, datangnya fase semacam ini merupakan pertanda datangnya musibah. Beruntung, Aruna dan Lidahnya turut disokong oleh chemistry asyik keempat pemainnya sehingga penonton tak terjebak dalam kebosanan. Dian Sastro, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid terlihat meyakinkan selayaknya trio kawan baik yang telah lama tak ngumpul bareng, sedangkan Oka Antara tak ubahnya orang asing dalam lingkaran pertemanan ini yang memberi percikkan nuansa kecanggungan. Ketika mereka dibiarkan untuk berdiri sendiri, Dian Sastro dan Hannah Al Rashid menjadi duo paling menonjol. Saya menyukai energi yang diberikan oleh Hannah untuk karakternya yang menggemari tantangan, saya juga menyukai ekspresi berikut gestur yang ditunjukkan Dian Sastro setiap kali karakternya malu-malu tapi mau saat berada di dekat Farish dan 'merobohkan dinding kempat' (seolah berbicara kepada penonton seperti Deadpool). Bikin gemas, bikin ketawa ngakak. Lakon apik jajaran pemain ini merupakan salah satu kunci yang membuat Aruna dan Lidahnya terasa lezat kala disantap disamping visual yang bikin ngiler dan pemilihan lagu-lagu pengiring dari era 80-an sampai 90-an yang mampu merasuk ke dalam sejumlah adegan utamanya “Antara Kita” milik Rida Sita Dewi yang dibawakan ulang oleh Monita Tahalea.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Thursday, 27 September 2018

REVIEW : MUNAFIK 2


“Kamu hanya menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan serakahmu.” 

Menurut saya, Munafik (2016) adalah salah satu film horor Asia terbaik dalam satu dekade terakhir. Syamsul Yusof yang merangkap jabatan sebagai sutradara, penulis skrip, aktor, editor, sekaligus pengisi soundtrack ini mampu memberikan warna berbeda bagi sajian horor dengan mengombinasikannya bersama unsur keagamaan – atau dalam hal ini, Islam. Memang betul Munafik bukanlah film pertama yang menawarkan pendekatan tersebut (setumpuk film horor asal Malaysia dan Indonesia dari era terdahulu telah menerapkannya), tapi agama tak sebatas dipergunakan sebagai hiasan untuk mempercantik film di sini. Ada signifikansinya terhadap narasi yang mengkritisi kaum beragama dengan ketaatan palsu, ada pula signifikansinya pada permainan teror. Adegan si protagonis melakukan ruqyah (eksorsisme dalam Islam) terhadap seorang perempuan berhijab yang kerasukan iblis adalah momen paling dikenang di film ini, disamping adegan di lift dan bola mantul-mantul. Saya meringkuk ketakutan saat menontonnya (hei, si iblis bisa merapal ayat suci!), saya juga menyeka air mata tatkala sebuah kebenaran terungkap di ujung durasi. Lebih dari itu, Munafik menggugah keimanan dalam diri yang masih cethek ini dengan mempertanyakan, “apakah ibadahku selama ini telah sesuai dengan petunjuk Tuhan, dilandasi ketulusan dari lubuk hati terdalam, atau hanya keterpaksaan demi menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat?.” 

Menurut saya, Munafik adalah film horor reliji yang efektif. Penggunaan terornya menyokong pesan yang diutarakan dengan sangat baik sehingga efek takut yang diberikan tak hanya berlangsung sementara dan memungkinkan penonton untuk buru-buru bertaubat. What a powerful film! Saking cintanya terhadap film ini, saya tentu bahagia bukan kepalang begitu mendengar jilid keduanya diproduksi. Ada ekspektasi dan antisipasi yang membumbung sama tinggi untuk menyaksikan petualangan Ustaz Adam (Syamsul Yusof) selanjutnya dalam mencari ridha Allah. Terlebih, si pembuat film membutuhkan tempo lebih dari setahun untuk merampungkan Munafik 2 yang memberi kesan bahwa penggarapannya tak main-main dan mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi dari sebelumnya. Dari sektor narasi, Munafik 2 memang mencoba lebih kompleks dalam berceloteh. Sekali ini, Ustaz Adam yang masih dihantui rasa bersalah usai kematian Maria (Nabila Huda) di film pertama dimintai pertolongan oleh kawan baik sang ayah untuk membantu menyembuhkan seorang warga desa yang terkena penyakit misterius. Dalam perjalanannya menuju desa terpencil tersebut, Adam mendapati fakta bahwa penduduk desa telah mengingkari ajaran Islam sesuai panduan Nabi Muhammad dan memilih untuk mengamalkan ajaran Islam menurut interpretasi penuh kepentingan dari seorang pemuka agama bernama Abu Jar (Nasir Bilal Khan). Barang siapa berani menolak ajaran Abu Jar, maka dia akan mendapat siksaan dari kelompok Abu Jar maupun guna-guna berujung kematian seperti dialami oleh pria yang hendak ditolong Adam beserta putrinya, Sakinah (Maya Karin). 


Menurut saya, Munafik 2 sebetulnya mengusung materi pembicaraan yang terbilang menggelitik lantaran relevan dengan situasi sosial politik dewasa ini. Syamsul Yusof mencoba untuk menyentil sejumlah oknum yang memanfaatkan agama sebagai barang dagangan demi merengkuh nikmat duniawi alih-alih memanfaatkan agama untuk menyebarkan kebaikan sekaligus mendekatkan diri kepada Yang Maha Satu. Oknum tersebut adalah mereka yang merasa dirinya paling benar dalam memahami ayat-ayat Tuhan, lalu memberi label 'kafir' pada siapapun yang enggan tunduk kepadanya. Tujuan dibalik tindakannya ada beragam meski sebagian besar diantaranya menunjukkan keserupaan, yakni dilandasi oleh haus kekuasaan. Bukankah oknum yang lantas diwakili oleh Abu Jar dalam film ini kian marak dijumpai belakangan ini? Tidak hanya terbatas pada Islam, tidak hanya berlaku di Melayu, tetapi seluruh agama dan seluruh dunia. Tatkala dituangkan ke dalam gagasan maupun tulisan di atas kertas, sosok Abu Jar yang dideskripsikan sebagai Firaun masa kini memang terdengar seperti villain amat berbahaya yang patut dikenang dalam sejarah sinema. Dia menghasut warga desa agar berpaling dari Tuhan lalu bersujud kepadanya menggunakan firman Sang Pencipta yang disesuaikan dengan kebutuhan kelompoknya beserta hadits palsu. Tapi dalam eksekusi, Abu Jar tak tampak semengancam itu karena penonton sudah mengetahui sedari awal bahwa dia adalah antagonis yang harus diperangi. Berbeda dengan kaum munafik di film pertama yang bersembunyi dibalik perangai alim, Abu Jar dan para pengikutnya telah memancarkan citra bengis melalui tingkah dan ucapan. Saking jelasnya, sebetulnya bukan perkara sulit bagi Sakinah beserta Adam untuk menyeret Abu Jar ke ranah hukum apabila mereka bersungguh-sungguh mengumpulkan bukti. 

Menurut saya, Munafik 2 telah menunjukkan ketidaksanggupannya dalam mengkreasi narasi semengikat jilid sebelumnya melalui kehadiran sosok antagonis yang kurang wajar. Abu Jar tak ubahnya villain klasik dalam film laga, superhero, atau semacamnya, yang memiliki gaya berbusana berlebih-lebihan seperti tingkah polahnya yang cenderung cartoonish dan motif dangkal. Syamsul Yusof tak pernah memerlakukannya sebagai karakter utuh dengan memberinya latar belakang seperti menjelaskan kehidupannya di masa lampau, titik balik yang mendasari perbuatannya, dan hubungannya dengan Sakinah (ada satu pertanyaan tak terjawab mengenai putri Sakinah). Penonton hanya diberi tahu bahwa dia jahat. Udah, titik, the end, wassalam. Mengingat dia adalah perwujudan dari oknum penjual agama, bukankah akan lebih menggigit kalau penonton mengetahui pemicu tindakannya dan dia digambarkan sebagai serigala berbulu domba? Maksud saya, sosok Abu Jar akan terlihat lebih meyakinkan – dan menyeramkan, tentunya – apabila dia bermulut manis ketimbang terus berteriak-teriak sepanjang film yang membuat telinga ini berdengung. Saya pun masih gagal paham, kenapa penduduk desa bisa memercayai bahwa Abu Jar adalah seorang ulama mengingat perangainya cenderung menyerupai penyihir keji? Ini tak pernah diberi penjelasan memuaskan seperti halnya pertanyaan mengenai lokasi desa terpencil ini (kadang terkesan jauh, kadang dekat sekali), para karakter yang tidak memiliki ponsel (mungkin demi menghindari maksiat), sampai kemampuan Sakinah yang mumpuni dalam mengapak manusia. Ya, dia bisa dengan mudah membantai manusia menggunakan kapak saat kepepet (bahkan di depan mata putrinya sendiri!) yang kemudian membuat saya tak habis pikir. Kenapa dia tidak sekalian saja membunuh Abu Jar? Daripada terus diajak kucing-kucingan ke dalam gua, ke dalam hutan, oleh kelompok Abu Jar. Saya yang menonton saja capek lho melihat mereka berulang kali tarik ulur kejar-kejarannya, masa mereka menikmati sih? Dasar manusia-manusia setrong. 


Menurut saya, Munafik 2 menunjukkan permasalahan sesungguhnya pada sektor narasi. Disamping karakterisasi yang tergolong flat character (bahkan, Maria lebih kompleks dibanding Sakinah maupun Abu Jar), kengototan si pembuat film supaya pesan moral terdengar oleh penonton dan rangkaian terornya bisa lebih menakuti penonton ketimbang film terdahulu justru membuat Munafik 2 tak lagi nikmat buat disantap. Dampak dari kengototan Syamsul Yusof terhadap dua hal tersebut menyebabkan film terdengar amat berisik. Di satu sisi kita mendengar beberapa karakternya bersuara lantang dalam berdakwah, di sisi lain kita mendengar iringan musik yang terus bergemuruh mengikuti serentetan penampakan yang tak sedikit diantaranya dimunculkan tanpa arti. Harus diakui, kepala saya nyut-nyutan tak karuan sampai butuh Panadol karena film tak pernah sekalipun memberi waktu bagi penonton untuk menghela nafas. Ini tentu akan mengasyikkan apabila penceritaan dan jump scares yang ditebar terus efektif. Dalam kasus Munafik 2, daya tariknya terus mengempes seiring berjalannya durasi. Saya capek dijejali pesan moral yang disampaikan dengan gaya seorang khatib yang berteriak-teriak di atas mimbar kala khutbah Jumat, dan saya pun lelah menyaksikan parade penampakan dari hantu-hantu genit (sekadar informasi, ada hantu Indonesia lho!) yang sebagian besar diantaranya meleset dari sasaran. Bisa jadi ini preferensi, tapi saya pribadi lebih menikmati dakwah yang disampaikan secara halus dan mempersilahkan para jemaat untuk berkontemplasi ketimbang dijelaskan sejelas-jelasnya dengan teriakan. 

Menurut saya, dakwah lebih bijak diutarakan dengan tutur kata halus yang menenangkan hati demikian daripada mengandalkan volume keras yang berkelanjutan. Di film pertama, saya mendapati dakwah yang meneduhkan hati dan bersifat universal. Tapi di film kedua ini justru sebaliknya dan kemungkinan besar hanya akan bisa dicerna oleh penonton Muslim. Mengapa jadi seperti ini? Saya paham materi Munafik 2 menuntut adanya karakter yang ngotot dengan pendirian kelirunya sehingga dia memilih untuk menutupi kekurangannya seraya menekan lawan bicaranya menggunakan nada tinggi. Hanya saja, apakah harus sepanjang waktu? Bahkan karakter di sektor protagonis pun tak kalah semangatnya dalam menyuarakan dialog. Terus berteriak sampai saya khawatir urat di leher mereka terputus trus muncrat darah. Yay! Saat saya menyatakan keberatan ini, beberapa penggemar berat Munafik 2 di dunia maya berujar, “itu karena kamu tak peduli dengan Islam,” “kamu tidak paham dengan pesannya,” dan “kamu sudah jauh dari Tuhan.” Saya jelas terperanjat. Bukan karena tersinggung, hanya semata-mata kaget ada orang asing melontarkan tuduhan tersebut. Kok bisa sih mereka berkesimpulan demikian hanya karena saya tak menyukai film ini? Apakah ada yang salah dengan mengharapkan penyampaian dakwah yang lebih tenang? Ini jelas terasa ironis karena jika mereka benar-benar menyukai film ini yang artinya memahami pesan yang disampaikan, tentu mereka tak akan sampai hati mengeluarkan tuduhan tak berdasar tersebut. Bukankah film favorit mereka sudah mengingatkan untuk tak melakukannya? Jadi sebenarnya siapa yang tidak paham dengan pesan dari film ini? 


Padahal menurut saya, Munafik 2 bukanlah film yang sepenuhnya buruk. Permainan lakon dari jajaran pemainnya masih layak diberi kredit terlebih naskah memang tak memungkinkan mereka untuk berbuat banyak dan beberapa terornya cukup bisa memberi rasa ngeri utamanya pada adegan pengusiran setan pertama beserta beberapa momen yang bermain-main dengan ekspektasi seperti saat Ibu Adam mengendap-endap di kegelapan. Hanya saja, dibandingkan jilid pertamanya yang saya akui lebih efektif dalam menyampaikan pesannya tanpa harus ditekankan terus menerus dengan intonasi meninggi, dan menggeber teror tanpa harus mencuat beberapa menit sekali, Munafik 2 tak seberapa menggigit. Yang dilakukannya di sini pun sebatas mendaur ulang apa yang berhasil di film pertama tanpa pernah memberinya sentuhan baru. Tak ada lagi kejutan dalam teror, tak ada lagi kejutan dalam penceritaan. Suntikan twist di ujung durasi yang diniatkan sebagai sentakan malah terasa menggelikan selaiknya babak klimaksnya itu sendiri. Tampaknya Syamsul Yusof mengadopsi kisah-kisah nabi yang konon menjadi sumber inspirasinya secara harfiah tanpa pernah menyesuaikannya dengan konteks waktu, tempat, dan karakter. Meski film terdahulu pun menghadirkan solusi yang sama menggampangkannya, tapi paling tidak kita diberi sebuah pengungkapan yang menyentuh. Itulah yang tak bisa dijumpai di Munafik 2, momen menyentuh. Hati dan kehangatan sukar ditemui dalam narasi. Syamsul Yusof berusaha terlalu keras untuk menciptakan kesan sekuel yang lebih besar dari pendahulunya sampai-sampai abai pada hal terpenting yang semestinya ada, yakni narasi yang kokoh. Tapi lagi-lagi, ini hanya menurut saya yang tak bisa bikin film dan tak lebih hebat dari remah-remah rengginang. Saya meyakini jutaan penonton yang sudah menyaksikan Munafik 2 di bioskop pasti memiliki pendapat yang bertolak belakang. Sepertinya saya belum mendapatkan hidayah sehingga saya pun tak bisa menikmati film semulia ini. Sedih.

Poor (2/5)

Wednesday, 26 September 2018

REVIEW : ALPHA


“Life is for the strong. It is earned, not given.”  

Apakah kamu pernah bertanya-tanya mengenai awal mula terbentuknya persahabatan antara manusia dengan anjing? Seperti, apakah manusia di zaman purba telah memiliki keterikatan emosi dengan hewan berkaki empat ini, atau, apakah relasi unik tersebut baru terbentuk beberapa abad silam? Dokumentasi sejarah di belahan dunia manapun (sangat) mungkin tidak meliputi 'persahabatan pertama manusia dengan anjing' mengingat cakupan sumber terlampau luas dan signifikansinya pun kurang nyata, sehingga jika kamu pernah (atau masih) dibayangi oleh pertanyaan tersebut, berterimakasihlah kepada Tuhan karena telah menciptakan Hollywood. Ya, kamu bukanlah satu-satunya orang yang mempertanyakan tentang sejarah pertemanan lintas spesies ini karena Albert Hughes – bersama dengan saudara kembarnya, Allen Hughes, dia mengkreasi From Hell (2001) dan The Book of Eli (2010) – mengajukannya sebagai premis untuk film perdananya sebagai sutradara tunggal, yakni Alpha. Dijual sebagai “incredible story of how mankind discovered man's best friend,” Alpha mencoba memberikan jawaban mengenai asal muasal kisah persahabatan tersebut dengan melontarkan kita ke daratan Eropa di 20 ribu tahun silam atau era Paleolitik Hulu yang berlangsung pada detik-detik terakhir jelang berakhirnya zaman es. 

Menurut versi Hughes, manusia pertama yang bersedia untuk berkomunikasi sekaligus menjalin ikatan bersama seekor anjing adalah Keda (Kodi Smit-McPhee), putra dari seorang kepala suku bernama Tau (Johannes Haukur Johannesson), yang tengah menjalani perburuan pertamanya bersama kelompok sukunya. Mengingat usianya yang masih sangat muda dan belum adanya pengalaman menjelajah alam liar, tak pelak ada ketakutan serta keragu-raguan yang tersimpan di dalam diri Keda. Ketidaksiapannya untuk mengikuti perburuan ini terpampang nyata tatkala Keda tak sanggup membunuh babi celeng yang telah ditangkap oleh anggota suku yang lain. Meski menunjukkan kekecewaan, Tau mampu memakluminya dan berkenan memberinya nasehat secara berkala termasuk menjelaskan posisi alpha dalam kawanan serigala. Perburuan kelompok suku ini lantas berlanjut lebih jauh karena mereka sejatinya mengincar hewan lebih besar sebagai persediaan untuk bertahan hidup selama musim dingin, yakni bison. Upaya mereka dalam menaklukkan bison ini, sayangnya berujung petaka tatkala salah seekor bison menyeruduk Keda dan melemparkannya ke tebing. Posisi Keda yang sulit dijangkau, ditambah lagi tak ada tanda bahwa dia masih hidup, membuat Tau beserta kelompoknya menganggap Keda telah bergabung dengan para leluhur dan meninggalkannya. 


Sedari Keda ditinggalkan oleh kelompoknya seorang diri di padang gurun inilah, Alpha mulai terasa menggeliat sedikit demi sedikit. Yang terjadi selanjutnya usai dia melepaskan diri dari tebing adalah pertemuan dengan kawanan serigala, termasuk Alpha (dimainkan oleh seekor anjing serigala Cekoslowakia bernama Ralph) yang ditinggalkan oleh kawanannya karena terluka parah. Kedua spesies ini mulanya tak akur satu sama lain mengingat Alpha terluka lantaran tertusuk senjata Keda yang berusaha mempertahankan diri dari serangan kawanan Alpha. Keda yang masih belum bisa memercayai si serigala pun kerap menciptakan jarak, bahkan menunjukkan bahwa dia berada di posisi dominan terkait makanan. Alpha yang tadinya menggeram tiap kali didekati oleh Keda, perlahan tapi pasti mulai melembut sampai akhirnya bersedia untuk dipeluk kala kobaran api unggun telah padam. Interaksi keduanya yang meluluhkan hati, apalagi di adegan terjerembab ke dalam sungai es yang menjadi titik balik bagi hubungan Alpha dengan Keda, membuat diri ini yang tadinya sempat terserang jenuh akibat guliran pengisahan yang cenderung mengalun lambat nan sunyi pun akhirnya melek dan terpikat. Hamparan visualnya boleh saja serba putih dipenuhi tumpukan salju dan kedua protagonis kita terus menggigil menyusul datangnya musim dingin, tapi diri ini justru merasakan kehangatan menyaksikan persahabatan Alpha-Keda yang terus berkembang. 

Chemistry yang terbentuk diantara Kodi Smit-McPhee dengan Ralph sebagai dua sahabat yang saling menaruh respek satu sama lain ditengah kerasnya hidup di alam liar menjadi kunci keberhasilan dari Alpha. Kita melihat keduanya saling membenci di permulaan yang tak bisa disalahkan mengingat situasinya, lalu secara perlahan muncul percikan rasa sayang diantara mereka. Keda menaruh kepedulian pada 'hewan peliharaannya' yang ditunjukkan dari caranya merawat luka serta memberinya makanan, dan Alpha membalas kepeduliannya dengan melindunginya dari serangan kawanannya serta membantunya berburu bahan makanan. Mereka saling melengkapi satu sama lain sehingga saya pun berharap mereka akan bertahan hingga ujung durasi. Menilik pendekatannya sebagai survival story sekaligus coming of age, kita sebetulnya sudah bisa menerka muara dari narasi di film ini. Perjalanan bertahan hidup yang dilalui sang protagonis difungsikan untuk mendewasakan Keda sehingga dia dapat membuktikan kepada sang ayah dan kelompok sukunya bahwa dia memiliki jiwa alpha di dalam dirinya. Yang kemudian membuat saya berkenan bertahan sekalipun narasinya amat familiar (well, kamu bisa menjumpainya pula di Life of Pi, The Grey, sampai Eight Below) disamping chemistry meyakinkan kedua pelakonnya adalah sinematografinya yang mencengangkan dan nyaris secantik Life of Pi. Aurora, bintang-bintang bercahaya di langit, lanskap pegunungan, hingga air sungai yang jernih membuat Alpha tampak seperti lukisan yang betah kamu pandangi lama-lama karena kecantikannya. Ada kekaguman menyeruak, dan ada pula kelegaan karena berkesempatan menyaksikannya di layar bioskop terbesar yang bisa saya temukan. Memang tak ada cara lebih baik dalam menonton Alpha disamping menontonnya di bioskop – kalau perlu, malah dalam format IMAX!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 23 September 2018

REVIEW : THE HOUSE WITH A CLOCK IN ITS WALLS


“There's a clock in the walls. You don't know what it does except something horrible.” 

Tidak pernah terbayangkan akan tiba masanya di saat Eli Roth dipercaya untuk mengomandoi sebuah film keluarga. Kalau kamu mengikuti rekam jejaknya, tentu mengetahui bahwa dia merupakan otak dibelakang Cabin Fever (2002) dan Hostel (2005) yang memperkenalkan kita dengan subgenre 'torture porn'. Sebuah genre turunan dari horor yang dipenuhi dengan visual mengganggu sarat darah, kekerasan dan penyiksaan. Sebuah genre yang jelas tidak ramah bagi penonton anak-anak. Bahkan, lantaran kekerasan telah menjadi signature style dalam film garapannya, nama Roth pun akhirnya identik dengan sadis sampai-sampai diri ini sulit membayangkan, “bagaimana ya jadinya kalau Roth tak bersentuhan dengan kekerasan?.” Menduga dia akan menjajal keluar dari zona nyaman dengan menggarap film drama atau komedi, siapa sangka jika kemudian dia justru direkrut oleh Amblin Entertainment kepunyaan Steven Spielberg untuk menggarap The House with a Clock in Its Walls yang notabene merangkul pasar keluarga? Terdengar menarik sekaligus aneh di waktu bersamaan, tentu saja, meski saya akhirnya bisa sedikit bisa memahaminya mengingat materi sumber film ini adalah sebuah novel anak berjudul sama rekaan John Bellairs yang mengambil jalur horror. 

Ya, The House with a Clock in Its Walls adalah sajian horor fantasi untuk seluruh keluarga dimana kamu bisa menjumpai sihir, monster, serta rumah yang 'hidup'. Karakter utama dalam film ini adalah seorang bocah berusia 10 tahun bernama Lewis Barnavelt (Owen Vaccaro) yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan sehingga dia pun harus tinggal dengan sang paman, Jonathan (Jack Black), yang kini menjadi walinya. Seperti halnya kebanyakan film sejenis, kamu tentu bisa dengan mudah menerka bahwa Jonathan bukanlah seorang wali yang biasa-biasa saja. Lewis pun sudah bisa merasakan adanya kejanggalan dalam diri sang paman sedari pertama kali menjejakkan kaki di rumah besarnya yang tak kalah janggalnya. Di rumah tersebut, Lewis turut berkenalan dengan Florence Zimmerman (Cate Blanchett), tetangga sekaligus teman baik Jonathan yang seringkali mampir (plus kerap mengenakan busana serba ungu) demi menyelesaikan suatu kasus. Kasus tersebut adalah mencari keberadaan sebuah jam yang senantiasa berdetak yang disembunyikan oleh pemilik rumah sebelumnya, Isaac Izard (Kyle MacLachlan), lantaran menyimpan kekuatan jahat yang dapat menghancurkan dunia. Lewis yang tadinya hanyalah bocah polos yang kesepian, akhirnya mendapat kesempatan untuk mempelajari sihir dari Jonathan dan Florence yang ternyata seorang penyihir demi membantu mereka dalam mengungkap keberadaan jam ajaib tersebut sebelum dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. 


Sebagai sebuah film yang merangkul pasar keluarga, The House with a Clock in Its Walls sebetulnya masih cukup menghibur, setidaknya bagi penonton cilik. Kemungkinan besar, mereka akan terpukau begitu diajak memasuki rumah Jonathan yang di dalamnya terdapat hal-hal magis berserakan seperti 'hewan peliharaan' berwujud kursi sofa yang tingkahnya menyerupai anak anjing, jendela kaca patri dengan gambar yang bisa berubah sewaktu-waktu, sampai topiary berbentuk singa yang kerap buang hajat sembarangan. Mereka pun akan tertawa melihat kelakuan Jonathan yang cenderung nyentrik serta sering dibuat kesal dalam menghadapi benda-benda magis di rumahnya yang sering jahil ini, dan mereka juga akan meringkuk di kursi bioskop (atau malah memekik takut) begitu sesosok mayat hidup bangkit dari kuburnya, sekelompok labu bergigi tajam menyerang para protagonis kita dengan ganas, hingga boneka-boneka bertampang menyeramkan di gudang mendadak hidup. Roth terbukti mampu menyuplai sajian horor ramah anak, sekalipun gaya berceritanya di sini malah mengingatkan saya pada film-film rekaan Tim Burton lantaran visualnya yang mengaplikasikan nuansa gothic dan karakter Jonathan-Florence tak ubahnya peran yang biasa dimainkan oleh Johnny Depp-Helena Bonham Carter. The House with a Clock in Its Walls terasa sangat familiar dan Roth tak memberikan sentuhan apapun untuk membuatnya terasa segar maupun berbeda. 

Itulah mengapa para penonton dewasa yang terbiasa mengonsumsi film sejenis, kemungkinan besar bakal mengalami kesulitan dalam menginvestasikan emosi untuk The House with a Clock in Its Walls. Bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya pembaharuan, tetapi juga ketidakmampuan Roth untuk menghadirkan sensasi takjub pada penonton tatkala kita diajak memasuki dunia baru Lewis (padahal production value sudah maksimal!) dan ketidaksanggupannya untuk menggulirkan narasi yang benar-benar menggigit. Roth beserta penulis skenario, Eric Kripke, melantunkan kisah secara apa adanya tanpa pernah mengeksplorasi lebih dalam duka yang menghinggapi Lewis. Padahal, melalui sosok Lewis, film sejatinya berbicara soal 'berdamai dengan duka adalah bagian dari tumbuh dewasa' disamping 'berbeda adalah anugerah' dan itu hanya tersampaikan tipis-tipis. Performa Owen Vaccaro pun tak menunjukkan isyarat bahwa Lewis telah terpinggirkan dari pergaulan apalagi berduka atas meninggalnya kedua orang tuanya, malah dia sepertinya menerima keadaannya dengan lapang dada. Saya tidak pernah merasakan rasa kehilangan, kerinduan, kesepian, atau amarah dalam dirinya sehingga film pun tak jarang terasa hambar. Yang kemudian menghindarkan film untuk bertransformasi menjadi dongeng nina bobo adalah akting Cate Blanchett sebagai Florence yang elegan. Dia begitu jenaka tatkala beradu mulut bersama Jack Black, dan dia pun hangat ketika berdialog bersama Owen Vaccaro bak seorang bibi yang menyayangi keponakannya. Dia juga terlihat bersenang-senang dengan peran yang dimainkannya tanpa harus terlihat berlebihan seperti lawan mainnya: Tuan Black.

Acceptable (3/5)


Saturday, 22 September 2018

REVIEW : BELOK KANAN BARCELONA


“His future is yours, but his past was mine. You can't change that.” 

(Ulasan di bawah ini agak nyerempet spoiler)

Kala berbincang dengan seorang kawan lama usai menonton sebuah film di bioskop, dia berkata, “aku ingin sekali menonton film ini,” seraya menunjuk ke poster Belok Kanan Barcelona. Alasan yang mendasari ketertarikannya pada judul tersebut ada dua: pertama, dia menyukai materi sumbernya yakni buku rekaan empat penulis (Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, Iman Hidajat) berjudul Travelers' Tale – Belok Kanan Barcelona (2007) yang dibacanya semasa kuliah, dan kedua, dia menggemari premis klasik mengenai “jatuh cinta pada sahabat”. Saya hanya bisa mengangguk-angguk lantaran belum pernah membaca novelnya sehingga gambaran mengenai apa yang bisa diantisipasi dari guliran penceritaannya masih kabur. Tapi saat materi promosi mulai diluncurkan satu demi satu, ada rasa penasaran yang menggelitik. Modifikasi premisnya yang mengupas tentang rencana mengutarakan rasa suka jelang pernikahan sahabat yang ditaksir melontarkan ingatan ke My Best Friend's Wedding (1997) dan Made of Honor (2008), dan saya juga kepincut lantaran Belok Kanan Barcelona mengambil jalur komedi romantis (satu jalur yang jarang ditempuh oleh film percintaan di tanah air) dengan bubuhan kisah berkelana ke berbagai negara yang secara otomatis menjanjikan pemandangan memanjakan mata. Ditambah lagi, salah satu film termahal produksi Starvision ini menampilkan jajaran pemain utama yang mempunyai jejak rekam mengesankan. Bagaimana bisa menolaknya? 

Dalam Belok Kanan Barcelona, penonton diperkenalkan kepada empat karakter yang dipertautkan oleh tali persahabatan, yakni Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Yusuf (Deva Mahenra), dan Farah (Anggika Bolsterli). Mereka dikisahkan telah bersahabat sedari duduk di bangku SMA dan kini mereka memutuskan untuk berpisah jalan demi mewujudkan mimpi masing-masing. Francis adalah pianis penerima Grammy yang bermukim di Amerika Serikat, Retno menekuni bidang kuliner di Belanda, Yusuf menempati jabatan tinggi dalam sebuah perusahaan di Afrika Selatan, dan Farah menjadi seorang arsitek di Vietnam. Meski keempatnya mendiami negara yang berbeda-beda, mereka mengupakan untuk tetap saling berkomunikasi dengan memanfaatkan teknologi. Mereka rutin menggelar group video call yang kemudian dimanfaatkan oleh Francis untuk memberi pengumuman penting, yaitu dia akan menikahi kekasihnya, Inez (Millane Fernandez), di Barcelona, Spanyol. Kabar ini jelas membuat Retno dan Farah yang menaruh rasa suka pada Francis seketika terhenyak. Ditengah kekecewaannya, Retno memutuskan untuk datang ke pernikahan Francis sekaligus mengutarakan perasaan dia yang sesungguhnya, sementara Farah masih dirundung kegalauan lantaran terhalang oleh perjalanan bisnis. Saat Farah akhirnya memantapkan diri untuk menghadiri pernikahan Francis demi menyatakan cintanya, Yusuf yang semula tak berencana datang pun seketika memutuskan bertolak ke Barcelona guna mencegah terjadinya kekacauan yang berpotensi meretakkan hubungan persahabatan mereka berempat. 

Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan dirinya sebagai komedi romantis, Belok Kanan Barcelona sebetulnya tergolong menyenangkan untuk ditonton. Apa yang kamu harapkan ada di film jenis ini, Guntur Soeharjanto (Ayat-Ayat Cinta 2, 99 Cahaya di Langit Eropa) sanggup untuk memenuhinya. Momen yang bikin senyum-senyum bahagia? Ada. Momen yang bikin tergelak-gelak? Ada banyak bertebaran. Momen yang bikin manusia-manusia berhati sensitif merasa tersentuh? Bisa pula dijumpai. Mesti diakui, Belok Kanan Barcelona berada pada masa-masa terbaiknya saat film mengaplikasikan mode kilas balik untuk memberi penonton gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara Francis dengan Retno, Farah, beserta Yusuf sewaktu empat sekawan ini masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tak sebatas dijabarkan sekenanya saja (atau sekadar melalui montase yang merangkum perjalanan SMA mereka), si pembuat film memilih untuk menjlentrehkan tentang persahabatan mereka dari awal mula saling berkenalan, kebersamaan mereka di sekolah maupun kala senggang, sampai tentu saja interaksi malu-malu tapi mau antara Francis dengan Retno. Saya mendapati kesan jenaka, manis, sekaligus mengasyikkan selama film mengajak kita bernostalgia ke zaman SMA terlebih keempat pelakon utama membentuk chemistry amat meyakinkan sebagai sekumpulan sahabat sampai-sampai ada kalanya saya pun berharap bisa mempunyai sahabat segila-gilaan ini. Segila Farah dan Yusuf. 

Ya, performa jajaran pelakon merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Belok Kanan Barcelona disamping selipan lagu-lagu pengiring yang membantu menyuplai emosi dalam beberapa adegan. Morgan Oey menunjukkan karismanya sebagai Francis yang diidolakan para perempuan di film ini, Mikha Tambayong menyimpan kegundahan dibalik pembawaan kalem nan meneduhkan hati yang lantas memicu terciptanya satu momen cukup emosional di pinggir pantai pada babak klimaks, Deva Mahenra memperlihatkan keahlian ngelabanya yang sebelumnya telah diasah melalui Sabtu Bersama Bapak (2016) dan Partikelir (2018), dan Anggika Bolsterli adalah hal terbaik yang dimiliki oleh Belok Kanan Barcelona. Betul, dia memang pernah menggila di Mau Jadi Apa (2017), tapi apa yang diperagakannya di sini berada dalam level berbeda yang meyakinkan saya bahwa dia mempunyai potensi untuk berkembang pesat apabila memperoleh naskah dan pengarahan yang tepat. Seluruh materi banyolan yang dibebankan padanya sanggup mengenai sasaran (dengarkan intonasinya, perhatikan ekspresinya, tengok polahnya), dan dia pun menangani adegan emosional dengan baik tanpa pernah membuatnya terasa janggal lantaran perannya yang komikal. Permainan lakon keempatnya – plus satu dua pemain pendukung seperti Millane Fernandez dan Yusril Fahriza – memungkinkan kita memperoleh adegan cicip rendang yang mengharukan, pukul-pukul motor yang lucu sekaligus pilu, interaksi Francis-Retno yang manis, sampai 'duel' Yusuf-Farah yang mengocok perut. 


Segala keseruan masa SMA yang mencuat dalam kilas balik ini, sayangnya tak berlanjut ke masa sekarang atau masa dewasa yang cenderung hambar dan bermasalah. Diantara empat sekawan ini, hanya Francis yang dianugerahi plot cukup menggigit (thanks to Inez!) sementara milik Retno berlangsung menjemukan, kepunyaan Farah terasa menyebalkan akibat kehadiran Atta Halilintar yang cenderung mengganggu alih-alih lucu, dan segmen Yusuf yang sejatinya berpotensi menarik malah agak kelewatan dalam ngebanyol utamanya pada adegan pesawat yang tak saja terkesan dipaksakan kemunculannya tetapi juga terbilang offensive dengan menjadikan pemuka suatu agama sebagai candaan ditengah situasi serba genting. Mengingat polesan CGI pun tak halus, saya sama sekali tak keberatan adegan ini dihempaskan apalagi bisa menghemat bujet (dan durasi). Persoalan yang melingkupi narasi masa dewasa ini nyatanya terus berlanjut hingga ke konklusi yang menjadi titik lemah dari Belok Kanan Barcelona. Keinginan si pembuat film untuk menyelipkan unsur keagamaan (yang diniatkan sebagai dakwah?) ke dalam narasi dan memberi akhir bahagia dengan memenangkan cinta justru membuyarkan segala kesenangan yang telah dibentuk oleh menit-menit sebelumnya. Solusi untuk memecahkan konflik kompleks yang diusung film, yakni perbedaan keyakinan, lagi-lagi cenderung menggampangkan dan bermain aman. Tiba-tiba saja si anu menganut agama baru, lalu kembali ke pelukan pujaan hatinya. Seolah-olah berganti keyakinan semudah berganti baju, padahal kita sama-sama tahu bahwa masalah keimanan tidaklah sesederhana itu. 

Jika pada akhirnya diberi penyelesaian sedangkal ini, lantas mengapa si pembuat film mesti menubrukkan dua sejoli tersebut dengan konflik seberat itu sedari awal? Padahal film telah mengulik konflik dilandasi alasan tidak ingin merusak persahabatan, tapi enggan dieksplorasi lebih mendalam lagi. Apakah demi menghindari kesan klise? Jika benar demikian, apa yang salah dengan klise? Toh Belok Kanan Barcelona semata-mata diniatkan sebagai tontonan hiburan pelepas penat. Teman Tapi Menikah (2018) – dan setumpuk film komedi romantis bagus lain termasuk dua judul yang saya sebutkan di awal – pun telah membuktikan, narasi klise bukan jadi soal. Eksekusi dan chemistry pemain memegang peranan yang lebih penting. Belok Kanan Barcelona memang tak mengecewakan di poin kedua, tapi soal eksekusi, sayangnya cenderung naik turun. Kadang bagus, kadang sebaliknya. Andai saja Belok Kanan Barcelona tak bermain-main dengan isu agama, bukan tak mungkin film ini masih mampu menjelma sebagai film percintaan berbibit unggul yang layak dikenang serta nyaman ditonton berulang-ulang. Sungguh disayangkan.

Acceptable (3/5)


Wednesday, 19 September 2018

REVIEW : THE PREDATOR


“Gentleman, they're large. They're fast. And fucking you up is their idea of tourism.” 

Ada dua hal yang terbersit di pikiran tatkala seseorang menyebut film berjudul Predator. Pertama, makhluk asing berbadan tinggi besar yang tak segan-segan mengoyak tubuh manusia, dan kedua, Arnold Schwarzenegger. Mantan Gubernur California ini memang hanya mengambil peran di film pertama yang dirilis pada tahun 1987, tapi diantara jilid-jilid lain yang dilepas dalam cap dagang Predator seperti Predator 2 (1990) dan Predators (2010), bisa dibilang hanya judul pembuka yang layak untuk dikenang. Bahkan, ini tergolong salah satu film laga dari era 80-an yang semestinya tidak kamu lewatkan. Selebihnya? Boleh saja kamu pirsa selama ada waktu senggang. Menilik resepsi kurang antusias baik dari kritikus maupun penonton yang diperoleh oleh dua film kelanjutan – plus dua film pecahan yang mempertemukan si Predator dengan Alien dari franchise sebelah – agak mengherankan sebetulnya mendapati pihak 20th Century Fox masih kekeuh untuk menghidupkan jenama ini. Percobaan terbaru mereka dalam memperpanjang usia Predator di layar perak dilabeli The Predator dengan menyerahkan kursi penyutradaraan kepada Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys) yang rupa-rupanya turut berlakon di film pertama. 

Seperti halnya film-film terdahulu, guliran penceritaan yang ditawarkan oleh The Predator pun sukar disebut istimewa. Masih sebatas perlawanan sekelompok manusia dalam menyelamatkan peradaban dari invasi makhluk asing. Kali ini, sang komandan adalah mantan Army Ranger, Quinn McKenna (Boyd Holbrook), yang menyaksikan pasukannya dibabat habis oleh si Predator ketika mereka sedang menjalankan tugas di pedalaman Meksiko. Quinn sendiri berhasil melepaskan diri, bahkan dia sempat pula mencuri helm beserta baju baja makhluk asing tersebut. Hanya saja, dia tak bisa mengelak dari interogasi agen rahasia milik pemerintah yang tak ingin kabar mengenai invasi makhluk asing ini tersebar. Demi mengenyahkan saksi, Quinn pun dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan dan dipertemukan dengan sekelompok mantan tentara yang bermasalah secara mental. Tapi tentu saja kelompok ini sanggup melarikan diri, terutama pasca Predator menghancurkan laboratorium rahasia kepunyaan pemerintah. Dibantu oleh seorang ilmuwan, Dr. Casey Bracket (Olivia Munn), Quinn beserta rekan-rekannya pun bersatu padu dalam melacak keberadaan Predator yang ternyata oh ternyata mengincar putra Quinn, Rory (Jacob Tremblay), yang diketahui telah mengaktifkan sensor pendeteksi pada kostum milik si Predator. 


Dalam menggulirkan narasi The Predator, Shane Black memang sengaja tidak mengambil pendekatan yang neko-neko. Dalam artian, film ini dituturkan secara straight to the point tanpa ada upaya untuk menjlimetkan plot maupun menyusupinya dengan subteks relevan mengenai situasi sosial politik dunia agar terkesan berisi. Penonton dari kalangan penggemar mestinya sudah paham dengan apa yang bisa mereka antisipasi dari jilid ini, sementara penonton anyar yang belum pernah bersentuhan dengan franchise ini kemungkinan besar akan terpecah ke dalam dua kubu tergantung seperti apa ekspektasi yang mereka tanamkan. Bagi saya yang mengikuti cap dagang Predator sedari awal (tapi bukan pula tergolong sebagai penggemar), The Predator terhitung berhasil dalam kaitannya mengajak penonton bersenang-senang melalui gelaran laga yang dentumannya terus sambung menyambung sepanjang durasi. Paling tidak, si pembuat film dapat menciptakan nuansa yang sedikit banyak mengingatkan saya kepada seri pembuka sekaligus film sejenis dari era 1980-an. Ada keseruan, ada ketegangan, dan ada gelak tawa dengan unsur campy di dalamnya. Kamu tahu kamu tidak semestinya menganggap serius apa yang tersaji di layar – seperti riuhnya kebetulan dan kerapnya para karakter mengambil keputusan konyol – karena well, Shane Black sengaja menghendakinya demikian. Bukankah itu adalah salah satu bumbu yang menyebabkan film laga dari beberapa dekade silam terasa mengasyikkan buat disimak? Brainless action yang tidak menghendaki penontonnya untuk mencari logika atau kedalaman narasi dalam plot. 

The Predator mampu bekerja dengan baik berkat kesadaran si pembuat film bahwa kreasinya ini semata-mata ditujukan sebagai tontonan eskapisme. Tidak pernah lebih dari itu. Selama durasi mengalun, dia pun sebatas menyodori kita dengan boom boom bang yang disajikan secara brutal dipenuhi muncratan darah beserta organ tubuh berceceran (!) sekaligus disisipi ciri khasnya berupa lawakan bernada agak gelap. Bagi kalian yang alergi terhadap kekerasan atau humor pekat dan memiliki niatan untuk menyaksikan film ini, sebaiknya bersiap-siap. Kalian akan mendapati banyak tubuh manusia ditebas-tebas ketika Predator melancarkan serangan maupun gelak tawa disela-sela momen mendebarkan utamanya kala melibatkan Quinn dan pasukan kecilnya. Mereka nyaris tak pernah menganggap segala sesuatu secara serius – persis seperti semangat yang dibawa oleh filmnya – sehingga tak peduli apapun yang terjadi, selalu ada kesempatan bagi mereka untuk melontarkan candaan. Tak terkecuali saat kematian telah terpampang nyata di depan mata! Ini sangat mungkin berpotensi menjadi mengesalkan dibawah penanganan yang keliru maupun lakonan hampa. Tapi berkat sensitivitas Shane Black dalam memadupadankan humor bersama laga serta chemistry enerjik dari jajaran pemain yang masing-masing memiliki setidaknya satu momen untuk bersinar, memungkinkan The Predator untuk tersaji sebagai tontonan pengisi waktu luang yang mengasyikkan buat ditonton.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Saturday, 15 September 2018

REVIEW : GILA LU NDRO


“Masa alien namanya Alien juga. Terus dipanggilnya Al. Kenapa nggak sekalian aja Al El Dul. Jangan bilang sama aku kalau ibunya Alien itu Bunda Maia.” 

Pertama kali Falcon Pictures mengumumkan rencana pembuatan sebuah film komedi berjudul Gila Lu Ndro, saya mengira film ini adalah perpanjangan dari dwilogi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss yang menuai sukses besar di bioskop-bioskop tanah air. Atau dengan kata lain, sebuah film pecahan (spin-off). Dugaan ini bukannya tanpa alasan, mengingat “gila lu, Ndro!” merupakan salah satu jargon legendaris yang kerap dilontarkan dalam film-film Warkop DKI, lalu kedua pelakon Indro yakni Indro Warkop beserta Tora Sudiro didapuk sebagai pelakon utama, dan penggarapan film pecahan mulai mewabah di perfilman Indonesia. Jadi ya, saya sempat mengira Gila Lu Ndro bakal menempatkan fokus penceritaannya pada karakter Indro tatkala dia memisahkan diri dari dua sohib kentalnya, Dono dan Kasino. Yang kemudian tak disangka-sangka, materi narasi dari film arahan Herwin Novianto yang sebelumnya memberi kita dua film bagus; Tanah Surga Katanya (2012) dan Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016), ternyata bukan bersinggungan dengan Warkop DKI dan justru mengambil jalur komedi satir dalam guliran pengisahannya. Indro Warkop dijelmakan sebagai makhluk angkasa luar yang turun ke bumi guna dimanfaatkan untuk mengkritisi kondisi sosial politik yang carut marut di negeri ini seperti halnya Aamir Khan dalam PK (2014).

Ya, Indro Warkop adalah sesosok alien bernama Alien dari Planet Alianus yang menyambangi bumi dengan tujuan mencari sumber damai. Planet yang dipimpinnya – konon, Alien atau Al adalah sesosok raja – tengah dirundung pertikaian tak berkesudahan lantaran masyarakatnya mudah untuk terprovokasi. Demi mencari solusi atas permasalahan planetnya tersebut, Al pun melakukan studi banding lintas galaksi menuju bumi yang dianggapnya memiliki jawaban. Setibanya di bumi, Al berkenalan dengan Indro (Tora Sudiro) yang seketika bersedia untuk membantunya tanpa sedikitpun menaruh kecurigaan dan pertanyaan lebih lanjut mengenai jati diri Al. Indro pun mengantarkan Al ke sebuah tempat pijat refleksi bernama sumber damai karena mengira si alien ini membutuhkan relaksasi. Akan tetapi, ditengah perjalanan mereka yang dipenuhi dengan kekonyolan seperti menyaksikan ribut-ribut di pasar yang dipicu oleh seekor marmut dan ditilang polisi karena kepala Al dengan tonjolan sangat besar menyulitkannya untuk mengenakan helm, Indro seketika menyadari bahwa sumber damai yang dimaksud oleh Al memiliki makna yang sesungguhnya. Literally, kalau meminjam bahasa anak Jakarta Selatan. Ini tentu bukan perjalanan yang mudah bagi Indro dan Al mengingat Jakarta sejatinya tidak jauh berbeda dengan Planet Alianus yang masyarakatnya gampang tersulut konflik hanya karena persoalan sepele. 


Menengok materi pengisahannya yang menyentil tentang isu sosial dan politik di tanah air seperti pertikaian dipicu hoax, aparat penegak hukum yang mudah untuk disuap, sentimen anti pendatang, kapitalisme, sampai popularitas di kalangan public figure tanpa dibarengi bakat, Gila Lu Ndro sebetulnya mempunyai potensi untuk diterjemahkan sebagai sajian satir yang menggigit. Hanya saja, potensi tersebut tersia-siakan akibat penyampaian Herwin Novianto yang tak lancar dan pesan moral yang acapkali disampaikan kelewat gamblang sampai-sampai berasa ceriwis sekali. Ketidaklancaran si pembuat film dalam bercerita dapat ditengok melalui caranya membentuk narasi yang tak ubahnya kumpulan segmen tanpa ada kesinambungan berarti yang keberadaannya semata-mata untuk memfasilitasi munculnya pesan moral. Kita hanya diajak melompat-lompat dari satu segmen ke segmen lain yang seluruhnya dikomando oleh pesan moral sehingga perlahan tapi pasti rasa lelah mulai menyergap lantaran film terlalu sibuk untuk menyuapi penonton dengan pesan ketimbang menyodorkan cerita utuh. Pilihan kreatif untuk menyampaikan narasi dalam bentuk dongeng Indro kepada istrinya, Nita (Mieke Amalia), yang menuntut penjelasan mengenai kepergian tanpa kabar sang suami malah semakin mengungkap titik lemah film ini. Harus diakui memang, ini tampak unik pada mulanya terlebih transisi dari cerita Indro ke rumah Indro terasa begitu mulus. Namun seiring berjalannya durasi, pilihan kreatif ini justru menghambat laju film. 

Sang istri terlampau sering menginterupsi dengan alasan senada seirama sampai-sampai saking gemasnya membuat saya ingin berkata, “sudahlah, Ndro. Akhiri saja ceritamu sampai di sini.” Terlebih, seperti kata Nita, cerita Indro memang monoton karena tak memiliki dinamika di dalamnya. Terlalu absurd untuk diterima sebagai kebenaran apalagi pembelajaran dan dua karakter utama, yaitu Indro beserta Al, acapkali hanya mengobservasi selayaknya penonton ketimbang terlibat langsung. Tatkala mereka akhirnya mendapati jawaban permasalahan di penghujung film seraya berfilosofis ria, saya pun nyeletuk “lho kok?” alih-alih memahaminya. Masalahnya, itu muncul darimana? Ujug-ujug mak bedunduk. Mereka berdua adalah karakter yang hampa, terutama Indro. Saya tak pernah mengetahui latar belakang Indro (siapa sih dia?), tak pernah bisa merasakan keheranannya pada sosok Al yang notabene makhluk asing (seolah-olah melihat alien sudah teramat biasa), dan tak pernah bisa pula melihat semangatnya dalam menemukan sumber damai. Interaksi yang terjalin antara dua sejoli ini pun lebih menyerupai tour guide dengan turis ketimbang dua makhluk yang dipersatukan oleh hasrat untuk menemukan solusi bagi kemanusiaan. Lempeng cenderung sukar dipercaya yang perlahan tapi pasti menggerus daya tarik film sekaligus pesan yang hendak diutarakan. Meski ada kalanya mengada-ada serta tak jarang meleset dari sasaran, Gila Lu Ndro beruntung karena masih memiliki beberapa amunisi humor yang mampu mengundang gelak tawa sehingga penonton pun tak dibuat suntuk-suntuk amat di dalam bioskop.

Acceptable (2,5/5)


Wednesday, 12 September 2018

REVIEW : CRAZY RICH ASIANS


“I'm not leaving because I'm scared or because I think I'm not enough, because maybe for the first time in my life I know I am. I just love Nick so much, I don't want him to lose his mom again.” 

Setidaknya ada tiga kali saya beruraian air mata selama menonton Crazy Rich Asians. Bukan, bukan disebabkan filmnya yang teramat mendayu-dayu atau merobek hati seperti Us and Them (2018) yang baru-baru ini saya tonton (damn that movie!), melainkan karena Crazy Rich Asians adalah sebuah film yang sangat indah. Saya tahu saya telah dibuat jatuh hati oleh film yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Kevin Kwan ini sedari menit pertamanya yang menggebrak. Memberi kita sedikit banyak gambaran mengenai karakter-karakter seperti apa yang akan kita temui di sepanjang durasi. Rasa cinta yang telah tumbuh sejak dini ini semakin menguat, dan semakin menguat, seiring mengalunnya durasi. Meski saya memiliki 'obsesi' tersendiri terhadap film bergenre komedi romantis – jangan kaget, saya pun bisa menikmati yang dilabeli buruk – saya sejatinya menaruh sedikit pengharapan terhadap film Hollywood pertama berlatar dunia modern yang menempatkan pemain berdarah Asia sebagai pelakon utama sejak The Joy Luck Club (1993) ini. Dua faktor pemicunya adalah karya-karya sang sutradara, Jon M. Chu (Step Up 2, Justin Bieber: Never Say Never), acapkali hit-and-miss, dan premis yang diajukannya kurang menggugah selera mengingat pada dasarnya ini adalah interpretasi lain dari formula Cinderella story. Ekspektasi dan prasangka bahwa Crazy Rich Asians sebatas jualan mimpi babu secara perlahan tapi pasti mulai terbungkam tatkala film menguarkan pesona sekaligus jati dirinya yang sesungguhnya. I just can't help falling in love with this movie! 

Ya bagaimana mungkin kamu tidak jatuh hati dengan film ini sementara karakter utamanya sendiri sangat mudah untuk diberikan dukungan? Rachel Chu (Constance Wu) adalah sesosok protagonis yang bisa jadi belum pernah, atau sangat jarang, kamu temui di film percintaan. Dia tidak dideskripsikan sebagai perempuan lemah tanpa daya yang impian terbesarnya adalah menikahi seorang prince charming. Tidak. Dia bukan pula seseorang dengan kehidupan personal yang berantakan sehingga membutuhkan seorang lelaki untuk menyelamatkannya atau menyadarkannya bahwa dia memiliki arti. Tidak. Rachel memang tidak digambarkan berasal dari kalangan berduit, tetapi dia adalah perempuan mandiri dengan otak cerdas yang sudah mempunyai segala hal. Pekerjaannya sebagai dosen ekonomi berlangsung lancar, relasinya dengan sang ibu baik-baik saja bahkan cenderung hangat, dan hubungan asmaranya dengan sang kekasih, Nick Young (Henry Golding), hanya tinggal menunggu restu dari keluarga Nick. Kesempatannya untuk memperoleh restu sekaligus berkenalan lebih jauh dengan keluarga Nick akhirnya datang tatkala Nick mengajaknya menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Singapura. Dalam penerbangan lintas benua di kelas utama, Rachel mendapati fakta mengejutkan mengenai latar belakang kekasihnya. Tapi kebenaran sesungguhnya yang lebih mengejutkan baru terungkap seusai Rachel bereuni dengan teman baiknya, Goh Peik Lin (Awkwafina), yang menyatakan bahwa seluruh properti di Singapura berada dibawah kepemilikan keluarga Young. Itu artinya, Nick bukan semata-mata berasal dari keluarga kaya melainkan keluarga kaya tujuh turunan!
  

Kemampuan saya untuk memberikan dukungan terhadap si protagonis utama sedari menit-menit awal inilah yang membuat saya mengurungkan niat untuk memutar bola mata selepas mendengar premis klise seputar “kekasihku ternyata kaya raya” yang diusung oleh Crazy Rich Asians. Ya, saya sudah terpikat dengan Rachel sejak dia memberikan kuliah game theory lalu berlanjut dengan makan bersama Nick. Kekaguman saya pada karakter ini kian meninggi seusai dia memasuki kehidupan keluarga Young yang serba glamor. Tidak tampak kekikukan atau pernyataan “ini bukan duniaku!” yang biasanya muncul di film sejenis, Rachel malah terlihat begitu percaya diri dan mampu menempatkan diri dengan mudah. Dia tidak mencuri perhatian karena kenorakannya, dia mencuri perhatian semata-mata karena ketidakrelaan kaum borjuis mata duitan untuk mendapati kenyataan bahwa hati Nick telah direnggut oleh seseorang dari kalangan jelata. Menyadari ada kebencian menyerang dirinya dari berbagai penjuru termasuk ibu Nick, Eleanor (Michelle Yeoh) yang memandangnya rendah, Rachel tak gentar. Ketimbang memuaskan para pembencinya dengan isak tangis maupun melarikan diri, dia memberikan perlawanan balik secara elegan yang menunjukkan adanya karakteristik seorang pejuang dalam dirinya – takut atau pengecut jelas tidak berada di dalam kamusnya – dan dia pun menegaskan bahwa dia memiliki integritas. Rachel akhirnya memilih untuk mundur teratur tatkala serangan kepadanya telah dianggapnya tidak lagi sehat lantaran telah menginjak-injak identitasnya sebagai seorang imigran berdarah Tionghoa serta harga diri dari seseorang yang amat dicintainya: sang ibu. Dalam satu adegan Peik Lin berujar, “kamu memiliki integritas. Itulah kenapa aku menghormatimu.” Saya pun mengangguk-angguk setuju karena sebagaimana Peik Lin, saya pun menaruh respek terhadap Rachel. 

Sosok Rachel dimainkan dengan sangat baik oleh Constance Wu (saya juga menyukai aktingnya di sitkom Fresh Off The Boat) yang membentuk chemistry meyakinkan bersama Henry Golding. Keduanya memberi kesan meyakinkan bahwa Rachel-Nick memang tengah dimabuk asmara. Bukan melalui untaian kata-kata romantis melainkan melalui tatapan, gestur, sampai sikap diantara satu sama lain. Ada perasaan senang menyaksikan mereka bersama sehingga memunculkan keinginan untuk melihat mereka dipersatukan di penghujung durasi. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara dari kisah cinta ini, tapi prosesnya yang penuh lika-liku disertai lakonan apik dari jajaran pemain membuat perjalanan sederhana ini tetap terasa sangat menyenangkan untuk diikuti. Disamping dua pelakon utama, kunci lain yang membawa Crazy Rich Asians ke kelas lebih tinggi adalah performa para pelakon pendukung. Awkwafina bersama Ken Jeong sebagai ayahnya dan Nico Santos sebagai sepupu Nick kerap mencuri perhatian dengan selorohan mereka yang ngasal nan kocak tapi suka bener, lalu Gemma Chan sebagai bidadari turun dari kayangan Astrid Leong yang memberi kekuatan pada Rachel untuk bertahan dari serangan para pembenci sekaligus menyediakan subplot mengenai kekuatan perempuan, dan tentu saja Michelle Yeoh sebagai ibunda Nick yang rela melakukan apapun untuk kebahagiaan putranya di masa depan. Dengan wibawanya dan air mukanya yang berbicara, Yeoh mencuat di setiap kemunculannya yang membuat kita bisa memahami mengapa Eleanor disegani oleh banyak orang. Kita hormat kepadanya, kita takut kepadanya, kita benci kepadanya, tetapi di waktu bersamaan, kita pun mengasihinya. Melalui adegan bermain mahjong yang membuat saya bercucuran air mata, saya bisa memahami alasan dibalik kebenciannya terhadap Rachel. Alasannya logis yang justru membuat diri ini mengemukakan beberapa teori yang diawali dengan kalimat, “jangan-jangan sebenarnya Eleanor ini...” 


Selain film ini mempunyai barisan karakter menarik dengan lakonan apik, visual sangat cantik (Oh, adegan pernikahan di gereja yang disulap menjadi sawah itu warbiyasak bikin hati bergetar!) dan deretan lagu pengiring yang efektif menyokong adegan, faktor lain yang menyebabkan saya terjebak pesona Crazy Rich Asians adalah narasinya yang mengikat. Di permukaan, film ini memang tampak formulaik lantaran mengaplikasikan template dongeng Cinderella pada guliran pengisahannya dan seolah hanya ingin pamer keglamoran pada visualnya. Saya pun tak bisa menyalahkan karena template ini pun masih berfungsi dengan baik asalkan dieksekusi secara tepat dan bagaimanapun juga, Crazy Rich Asians diniatkan sebagai produk komersil. Akan tetapi jika kita berkenan untuk melihatnya lebih dalam, film ini menyimpan subteks bagus mengenai kultur keluarga Tionghoa. Beberapa diantaranya meliputi melestarikan tradisi lewat makanan agar generasi mendatang tak melupakan akar mereka, seni bermain mahjong yang tak saja menguji kemampuan dalam mengatur strategi tetapi juga berkomunikasi, sampai eratnya hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Sebuah bahan obrolan positif yang sangat amat jarang kita jumpai di sinema Hollywood yang kerap kali merepresentasikan ras Mongoloid secara negatif dan berada di posisi terpinggirkan. Subteks ini memungkinkan masyarakat luar khususnya dari peradaban Barat mendapat pemahaman mengenai kultur Tionghoa secara spesifik (dan Asia secara umum), serta memungkinkan masyarakat Asia untuk berbangga diri berkat penggambaran yang positif sekaligus merasuk ke dalam guliran pengisahan berkat problematikanya yang familiar tak semata-mata hanya dialami kalangan borjuis. Terdengar berat? Tak perlu risau. 

Keputusan untuk mengawinkannya dengan template dongeng Cinderella memungkinkan narasi untuk tetap mudah dikudap sehingga kita pun bisa dibuat terbahak-bahak mendengar humornya yang tak jarang bermain referensi (kata seorang kawan, “semakin Cina dirimu, semakin keras tawamu”), tersenyam-senyum melihat interaksi menggemaskan dua sejoli utama, hingga menyeka air mata haru menyaksikan keindahan satu dua momen yang berkaitan dengan lamaran beserta pernikahan dan kehangatan yang dipancarkan melalui narasi mengenai pentingnya keluarga. Sungguh, saya menikmati sekali setiap menit yang digulirkan oleh Crazy Rich Asians sampai-sampai muncul keinginan untuk menontonnya lagi selepas lampu bioskop dinyalakan. Tahun 2018 ini memang cukup ramai dengan film komedi romantis jempolan, tapi sejauh ini, Crazy Rich Asians berada di posisi paling unggul dan saya pun tak keberatan untuk menyebutnya sebagai salah satu film komedi romantis terbaik yang pernah dibuat. Sangat, sangat indah dan menyenangkan. Selepas menontonnya kamu akan diingatkan bahwa harta yang tak ternilai harganya bukanlah emas atau setumpuk uang melainkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari ibu. Dari keluarga. Selama kamu memiliki itu, maka kamu sudah kaya raya. 

Info layanan masyarakat : Ada adegan tambahan di sela-sela end credit. Bertahanlah. 

Outstanding (4,5/5)