This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, 30 August 2018

REVIEW : SEARCHING


“I didn't know her. I didn't know my daughter.” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri, seberapa jauhkah kamu mengenal keluargamu? Apakah kamu yakin telah mengenal mereka luar dalam sampai-sampai meyakini bahwa tidak ada rahasia tersembunyi diantara kalian? Apakah kamu yakin seseorang yang kamu temui saban hari sedari pertama kali mengenal dunia ini adalah seseorang yang sama saat keluar dari lingkungan keluarga? Sederet pertanyaan ini mungkin terdengar sedikit berlebihan bagimu karena semestinya (secara nalar) pihak yang paling memahami seluk beluk diri ini adalah keluarga, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, menilik fakta bahwa masyarakat modern memiliki kesibukan luar biasa dalam aktifitas di luar rumah dan kerapkali menganggap teknologi sebagai solusi bagi tereduksinya komunikasi intens secara langsung, mungkinkah kita benar-benar mengenal keluarga kita? Atau jangan-jangan ternyata selama ini kita tidak pernah mengenal siapa mereka yang sesungguhnya? Glek. Menyadari bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi dewasa ini, sutradara pendatang baru Aneesh Chaganty pun memutuskan untuk memanfaatkannya sebagai fondasi bercerita bagi film perdananya yang bertajuk Searching. Di sini, Chaganty tak sebatas memberikan komentar sosial yang mengena perihal parenting beserta efek samping teknologi, tetapi juga menghadirkan sebuah gelaran thriller mendebarkan mengenai perjuangan seorang ayah dalam mencari putrinya yang mendadak raib tanpa jejak. 

Narasi Searching memperkenalkan kita pada sebuah keluarga berdarah Korea yang mendiami pemukiman di pinggir kota San Jose, California. Keluarga kecil yang rukun ini terdiri dari tiga orang, yakni David Kim (John Cho) sang ayah, Pamela Nam Kim (Sara Sohn) sang ibu, dan Margot Kim (Michelle La) sang anak semata wayang. Melalui montase yang mengalun selama kurang lebih 5 menit di permulaan film, penonton diberi gambaran mengenai kebahagiaan yang menaungi keluarga ini. Mudahnya sih, Keluarga Kim adalah representasi dari keluarga imigran di Amerika Serikat yang ideal. Saya pun jatuh hati kepada Keluarga Kim selepas menonton sederet video yang merekam keseharian mereka yang dipenuhi canda tawa sehingga tanpa sadar muncul sebersit harapan untuk tetap melihat mereka bersatu sampai akhir... meski itu mustahil. Ya, benar saja, si pembuat film berkehendak lain. Pam menghadap ke Yang Maha Satu akibat penyakit kanker dan David berusaha keras untuk menjaga hubungannya dengan Margot. Dilihat dari interaksi mereka selama melakukan panggilan video atau berbalas pesan, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan keretakan dalam hubungan mereka. Mereka masih tampak akur seperti biasanya, walau kini tak lagi ada Pam. Akan tetapi, segalanya sontak berubah tatkala David tak bisa melacak keberadaan Margot yang belum kunjung pulang dari belajar kelompok di malam sebelumnya. Disamping meminta bantuan profesional kepada Detektif Rosemary Vick (Debra Messing) untuk mencari sang putri, David juga melakukan penelusuran sendiri bermodalkan komputer jinjing Margot yang lantas membawanya pada satu kesimpulan: dia tidak pernah benar-benar mengenal putrinya. 


Sedari menit pembuka yang menyuguhi penonton dengan kumpulan video rumahan buatan David, saya telah menambatkan atensi sedemikian rupa pada Searching. Montase ini sedikit banyak mengingatkan saya pada adegan awal dari Up (2009) yang masih sulit dienyahkan jauh-jauh dari benak sampai sekarang. Manis, menghangatkan hati, sekaligus mengoyak-oyak sanubari. Chaganty mampu merangkum momen perkenalan terhadap Keluarga Kim tersebut secara efektif menggunakan video rumahan, foto, sampai kalender di komputer yang memunculkan sensasi seolah-olah kita sedang bernostalgia ke masa lampau yang penuh kebahagiaan (maupun kegetiran) menggunakan komputer pribadi. Kamu mungkin bertanya-tanya, kok bisa? Sensasi ini memungkinkan untuk dicapai lantaran Searching menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga secara otomatis menempatkan kita pada posisi David. Seperti halnya Unfriended (2014) yang juga diproduseri Timur Bekmambetov, kita menggunakan mata si protagonis utama selama dia mengakses komputer jinjing atau ponsel cerdas miliknya. Alhasil, selama durasi mengalun, penonton tidak memperoleh visual konvensional karena layar bioskop betransformasi bak layar komputer. Guna memberi kesempatan bagi kita untuk mengetahui peralihan air muka dari David, Rosemary, maupun Margot selama kasus berlangsung, maka dipergunakanlah FaceTime beserta kamera komputer – terkadang, rekaman dari situs berita lokal pun dipergunakan – sehingga kamu jangan khawatir hanya disuguhi petunjuk melalui kursor bergerak-gerak, 'pengembaraan' lintas situs atau pesan teks sebagai pengganti dialog. 

Chaganty sanggup menyiasati persoalan sudut pandang ini secara cerdik sehingga kita pun tetap bisa memantau pergerakan David sekalipun dia beranjak dari rumah. Bagusnya lagi, konsep unik yang diaplikasikan oleh Searching ini tak berakhir sebatas gimmick selaiknya Open Windows (2014) yang amburadul atau Unfriended yang semakin keteteran seiring berjalannya durasi. Oleh si pembuat film, konsep ini diupayakan untuk senantiasa berada di koridor realistis – dan tidak keluar jalur lalu mengkhianati konsepnya – demi memudahkan penonton untuk menempatkan diri pada posisi si protagonis. Chaganty pun menyadari, konsep semacam ini rentan berakhir blunder apabila tidak berlandaskan naskah dan pemain yang solid. Itulah kenapa, dua sektor ini mendapat perhatian khusus darinya sehingga atensi saya yang telah direbut oleh film di adegan pembuka, tak kunjung kembali sampai film tutup durasi. Mata saya benar-benar enggan untuk berpaling dari layar bioskop meski hanya sedetik. Pengarahan bagus dari Chaganty berdasarkan naskah ciamik rekaannya bersama Sev Chanian membawa diri ini melewati berbagai fase emosi di sepanjang film, antara lain tersentuh, tersentil, sampai paling mendominasi, tegang. Si pembuat film sanggup membangkitkan minat penonton melalui misteri yang dikedepankan dan kemampuannya dalam membangun ketegangan secara setapak demi setapak sampai-sampai kita pun tak keberatan untuk dilingkupi penasaran akibat pertanyaan, “dimanakah keberadaan Margot? Apakah dia masih hidup atau sudah tewas?”


Di sela-sela proses investigasi mendebarkan yang memaksa David menelusuri akun-akun dunia maya putrinya serta menginterogasi setiap teman Margot, Searching turut mengapungkan pembicaraan mengena mengenai parenting di era serba teknologi yang mengajak para orang tua untuk menciptakan hubungan lebih terbuka pada anak, serta sisi gelap maupun sisi terang dari media sosial yang memperlihatkan bagaimana dunia maya membebaskan para penggunanya untuk menciptakan citra diri yang bisa jadi sama sekali bertolak belakang dari kenyataan; entah itu membawa pada kebaikan atau justru keburukan. Sesuatu yang dekat dengan realita, bukan? Penelusuran ini, pembicaraan ini, sanggup memiliki rasa berkat sensitivitas Chaganty dalam bercerita beserta performa gemilang John Cho yang menunjukkan range emosi yang luas di sepanjang durasi. Penonton bisa mendeteksi perbedaan mencolok dari air muka, gestur, serta sikap yang ditunjukkan oleh David di menit-menit pertama dengan puluhan menit selepasnya. David yang mulanya terlihat tegar dan mampu mengatur emosi, secara perlahan tapi pasti mulai mengungkap sisi rapuhnya. Dia terlihat frustrasi dan tak lagi sanggup mengendalikan amarahnya tatkala proses investigasi ini kerap membawanya ke jalan buntu. Terkadang dia marah kepada orang lain, tapi acapkali amarah itu ditunjukkan kepada dirinya sendiri karena dia merasa gagal sebagai orang tua. 

“I didn't know my daughter,” begitu ujarnya begitu dia menyadari ternyata ada sesuatu yang salah dalam hubungannya dengan Margot. Apiknya performa John Cho ini memberikan impak tersendiri bagi penonton yang memungkinkan kita ikutan sepaneng (baca: sangat tegang) seperti halnya David yang terus berharap-harap cemas mengenai nasib putrinya. Saya sulit untuk duduk tenang sepanjang durasi mengalun dan baru benar-benar bisa menghembuskan nafas lega setelah lampu bioskop dinyalakan. Phew. What an experience!

Outstanding (4/5)

Tuesday, 28 August 2018

REVIEW : MILE 22


“If you're chaos, I think I might be worse. I am a killer who looks like a hero.” 

Berdasarkan pengamatan saya, setidaknya ada dua faktor yang mendorong sebagian masyarakat Indonesia untuk rela berbondong-bondong memenuhi bioskop demi menyaksikan Mile 22. Bukan, bukan karena film ini menandai kolaborasi keempat antara Peter Berg selaku sutradara dengan Mark Wahlberg setelah Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016), yang kesemuanya mampu tersaji menegangkan sekaligus emosional tersebut. Mereka bersedia merogoh kocek serta menghabiskan waktu selama 90 menit di dalam bioskop karena: a) Mile 22 memiliki materi promosi menarik yang menjanjikan maraknya baku tembak di sepanjang durasinya, dan b) Untuk pertama kalinya Iko Uwais mendapat peran penting dalam film laga buatan Amerika Serikat berskala cukup besar setelah sebelumnya lebih sering berlakon di film low profile dengan jatah tampil seimprit. Disamping ketiga faktor di atas (Oh ya, saya juga tertarik dengan kolaborasi Berg-Wahlberg karena sejauh ini belum pernah mengecewakan), ada alasan lain yang membuat Mile 22 terlihat keren di atas kertas. Mile 22 mengusung jalinan pengisahan yang menempatkannya di jalur thriller spionase dan film turut merekrut atlet bela diri campuran, Ronda Rousey, untuk beradu akting dengan Iko yang dikenal jago pencak silat. Jika sudah begini, siapa bisa menolak pesona yang ditawarkan oleh Mile 22 

Film dibuka dengan adegan operasi rahasia yang menerjunkan agen James Silva (Mark Wahlberg) beserta anggota tim kecilnya yang dinamai Overwatch ke sebuah perumahan. Tampak asri dan damai di permukaan, tanpa dinyana-nyana salah satu rumah dipergunakan sebagai markas Rusia untuk menyimpan sesium, elemen kimia penting bagi pembuatan senjata pemusnah massal. Overwatch berhasil melumpuhkan para penghuni rumah tersebut, meski ada beberapa sesium yang gagal untuk diamankan. Selama setahun ke depan, pencarian terhadap sesium yang menghilang terus dilakukan demi menghentikan kemungkinan terjadinya Perang Dunia III apabila elemen berbahaya ini jatuh ke tangan pihak yang salah. Di tengah misi perburuan ini, informan dari Alice Kerr (Lauren Cohan) yang merupakan anggota kepolisian di Indocarr – sebuah kota fiktif di suatu negara Asia Tenggara yang konon merujuk ke Indonesia – bernama Li Noor (Iko Uwais) menyerahkan diri ke Kedubes Amerika Serikat. Li Noor mengaku memiliki informasi mengenai lokasi sesium yang dicari oleh Overwatch dalam sebuah kepingan disc. Sebagai imbalan atas informasi yang diberikannya, Li Noor meminta perlindungan kepada para agen pemerintah ini dalam perjalanan menuju sebuah pesawat yang akan membawanya ke luar negeri. Mulanya James enggan, tapi saat dia menyadari bahwa Li Noor adalah aset berharga yang diperebutkan oleh banyak pihak, maka tak ada jalan lain kecuali mengawalnya menuju bandara yang berjarak 22 mil (sekitar 35 km) dari Kedubes. 


Di atas kertas, Mile 22 memang terlihat seperti sajian laga yang nyaris mustahil untuk terjerembab. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh film untuk tampil solid telah dipenuhi, termasuk memasangkan Iko Uwais bersama Ronda Rousey, plus menghadirkan premis menarik yang di dalamnya diberi taburan bumbu berupa intrik politik. Tatkala Peter Berg memulai langkah secara enerjik melalui adegan pembuka mendebarkan yang memberi kesan bahwa Mile 22 akan mengaplikasikan nada penceritaan seperti demikian, saya cukup optimis bahwa film ini tidaklah seburuk dikatakan oleh kritikus negeri Paman Sam yang acapkali kejam terhadap tontonan eskapisme. Saya meyakini, materi promosinya tidaklah membual. Rasa percaya yang telah tertanam ini perlahan mulai rontok begitu Mile 22 membawa kita ke Indocarr (mulanya diniatkan sebagai Indonesia di naskah awal). Dari sini, saya mulai merasakan ketidakberesan dalam film yang ditandai menyurutnya ketegangan seiring dengan diberlakukannya keputusan Berg untuk mengurangi jatah aksi dan memperbanyak dialog. Kala saya melontarkan keberatan ini di akun media sosial, seorang warganet menyahut, “pasti kamu sukanya film Marvel ya jadi nggak bisa menikmati film ini.” Sebuah komparasi yang terlampau jauh sehingga saya memilih untuk menggodanya ketimbang menanggapinya secara serius melalui diskusi. Terlebih, warganet satu ini tak menyadari bahwa rapatnya dialog beserta narasi njelimet dalam film ini bukan menunjukkan kemahiran si pembuat film dalam bercerita melainkan kemahiran si pembuat film dalam menciptakan kedok. 

Ya, kedok untuk menutupi bahwa jalinan penceritaan yang dikedepankan sejatinya tipis. Berg ingin menunjukkan bahwa Mile 22 bukanlah film laga 'kacangan' sehingga di sela-sela hantam tembak yang secara kuantitas tak terlalu banyak, dia memberi ocehan-ocehan panjang James Silva yang tanpa makna (bahkan ada kalanya muncul di sela-sela serunya adegan laga) dan penjabaran berlarut-larut mengenai misi yang dihadapi Overwatch untuk memberi kesan berbobot padahal bisa disederhanakan dalam satu dua adegan saja (Ya Tuhan!). Dampaknya, penceritaan urung melaju kencang dan menimbulkan beberapa titik yang sangat memungkinkan bagi penonton untuk menguap lebar-lebar. Pendekatan yang aneh mengingat Berg bersama Lea Carpenter selaku penulis skrip menghabiskan kuota durasi ini untuk banyak bicara remeh temeh sementara di waktu bersamaan, mereka hampir tak menyinggung latar belakang beberapa karakter intinya yang lebih krusial. Masa lalu James dipaparkan sekenanya melalui montase di awal film, sementara persoalan rumah tangga Alice tidak pernah ditindaklanjuti. Apabila si pembuat film sedari awal berniat menyodorkan bak-bik-buk semata, maka ini bukan menjadi soal. Tapi berhubung James terus sibuk mengoceh entah itu berkaitan dengan plot atau melenceng jauh ke angkasa, saya jelas membutuhkan alasan yang membuat saya bisa memahami tindakannya alih-alih ingin merebut gelang karetnya lalu dijebretkan ke telinganya. Terlampau berisik dan menyebalkan.
 

Untungnya, kekacauan besar di sektor narasi yang berusaha terlalu keras untuk terlihat pintar ini dikompensasi oleh tata laganya yang cukup impresif. Iko Uwais yang turut direkrut sebagai koreografer laga ini memiliki satu momen yang mempersilahkannya untuk bersinar, yakni pertarungan tangan kosong di saat salah satu tangannya diborgol. Sebuah momen yang menjadi titik balik bagi karakter Li Noor dalam film ini sanggup mengundang decak kagum berkat ketangkasan Iko dalam mengkreasi gerakan hantam-pukul menggunakan beragam teknik, sekalipun pergerakan kamera memakai shaky cam yang heboh dan penyuntingan cepat sedikit menurunkan intensitasnya lantaran penonton tidak diberi pandangan jelas mengenai siapa melawan siapa. Keseruan lain yang mencuat dalam Mile 22 bisa ditemui di adegan pembuka yang memberi isyarat palsu bahwa film akan terhidang sebagai tontonan thriller spionase yang mencengkram, lalu baku tembak di lorong apartemen yang sempit, serta kejar-kejaran mobil berlanjut baku tembak menyusuri jalanan Bogota, Kolombia, yang dialihrupakan sebagai Indocarr. Rangkaian aksi yang cukup seru, meski yaaa... kurang banyak. Kamu bahkan tidak akan menjumpai adegan perkelahian yang mempertemukan Ronda Rousey dengan Iko Uwais atau Ronda Rousey menggila dalam suatu pertarungan seperti pertama kali melintas di benak saat mendengar dia direkrut untuk sebuah film laga. Keberadaannya kurang memberi arti, tak seperti Iko yang syukurlah benar-benar dimanfaatkan kelebihannya dengan baik di sini. Setidaknya penonton yang membeli tiket Mile 22 untuk semata-mata melihat aksi Iko tak akan keluar dari bioskop dengan muka ditekuk dan gerutuan berkepanjangan.

Acceptable (2,5/5)

Monday, 27 August 2018

REVIEW : CHRISTOPHER ROBIN


“People say nothing is impossible, but I do nothing every day.” 

Jangan tertukar dengan Goodbye Christopher Robin (2017) rekaan Simon Curtis yang dibintangi oleh Domhnall Gleeson dan eneng Margot Robbie, Christopher Robin adalah adaptasi live action untuk rangkaian film animasi Winnie the Pooh keluaran Disney layaknya Maleficent (2014) atau Cinderella (2015). Guliran pengisahannya murni berpijak di area fantasi, alih-alih seperti film berjudul nyaris sama yang berkutat di area biopik dengan menyoroti kisah hidup si pencipta dongeng para penghuni Hundred Acre Wood, A.A. Milne. Dalam Christopher Robin (ingat, tanpa embel-embel kata Goodbye ya!), Marc Forster yang sebelumnya membesut film-film kece seperti Finding Neverland (2004) beserta Stranger than Fiction (2006) ini mengetengahkan pada ajang reuni antara si karakter tituler dengan teman-teman masa kecilnya, termasuk Pooh si beruang madu, usai berpisah puluhan tahun. Penonton tak semata-mata diajak bernostalgia dengan mengikuti petualangan polos Pooh beserta kawan-kawannya seperti dituangkan dalam film-film animasinya (terakhir kali mereka berkelana bersama pada tahun 2011 silam melalui Winnie the Pooh), melainkan turut diperdengarkan narasi dengan nada penceritaan yang lebih dewasa, kompleks, dan muram terkait krisis paruh baya. Sebuah pendekatan yang terbilang cukup berani mengingat film ini mengincar keluarga sebagai target utamanya – disamping para penggemar Pooh, tentu saja.  

Dibuka dengan adegan bernada sendu yang menempatkan Christopher Robin cilik (Orton O'Brien) di sebuah pesta perpisahan yang dihadiri oleh Pooh (disuarakan oleh Jim Cummings), Eeyore (Brad Garrett), Piglet (Nick Mohammed), Tigger (Jim Cummings), Rabbit (Peter Capaldi), Owl (Toby Jones), Kanga (Sophie Okonedo), dan Roo (Sara Sheen), sejurus kemudian film menunjukkan sederet fase hidup yang dilalui si karakter utama dalam beberapa tahun ke depan. Christopher Robin memasuki sekolah asrama, kehilangan sang ayah, menikahi perempuan idamannya, bergabung dengan militer lalu diterjunkan ke medan pertempuran pada Perang Dunia II, dikaruniai seorang putri, hingga akhirnya menekuni profesi efficiency expert di sebuah perusahaan koper sebagai mata pencaharian utamanya. Sepintas, sekalipun melewati masa kecil yang tak mengenakkan, Christopher Robin dewasa (Ewan McGregor) berhasil mencapai kehidupan yang ideal. Istrinya cantik, putrinya manis, dan pekerjaannya mapan. Apa lagi yang kurang? Bagi sang istri, Evelyn (Hayley Atwell), nyaris tak memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga adalah kekurangan yang dimiliki suaminya. Christopher terlampau sibuk berjibaku dengan pekerjaannya sampai-sampai mangkir dari janjinya untuk menemani istri dan anaknya berlibur sejenak. Ditengah-tengah kepenatan hidupnya ini, Christopher mendapat kunjungan tak terduga dari seorang kawan lama yang mengingatkannya kembali mengenai makna hidup yang sesungguhnya. 



Sebagai seseorang yang tumbuh besar bersama Winnie the Pooh dan kawan-kawan, menyaksikan Christopher Robin tak ubahnya sedang mengikuti sebuah reuni bersama teman masa kecil. Sebuah reuni yang menyenangkan karena saya berkesempatan untuk melepas rindu dengan kawanan penghuni Hundred Acre Wood, bernostalgia dengan masa-masa indah yang penuh gelak tawa, dan mendengarkan banyak cerita menarik mengenai pengalaman hidup yang penuh suka duka. Mengingat selama beberapa tahun terakhir ini tidak disuguhi kisah petualangan kecil mereka, kerinduan yang sudah tak terbendung lagi ini rasanya dibayar tuntas oleh Christopher Robin. Sensasi yang diberikan oleh Marc Forster di sini boleh dibilang tidak jauh berbeda dari materi sumbernya. Sisi magisnya masih bisa saya rasakan sedari film membawa kita menjejakkan kaki di Ashdown Forest, sumber inspirasi A.A. Milne untuk mengkreasi Hundred Acre Wood yang sekali ini dimanfaatkan sebagai lokasi pengambilan gambar. Ada kebahagiaan tersendiri selama menyimak Pooh berinteraksi dengan konco-konconya termasuk Christopher yang kini kurang bersahabat, lalu melihat Piglet, Tigger, beserta Eeyore bersatu padu dengan Pooh untuk menyelamatkan sahabat dewasa mereka, dan menyaksikan kawanan ini tak berubah sedikitpun secara karakteristik sekalipun telah berpisah puluhan tahun dari Christopher. Pooh tetap beruang lugu yang perutnya mudah keroncongan, Piglet tetap si penakut berhati emas, Tigger tetap kelebihan energi dengan hobinya mantul kesana kemari menggunakan ekor, dan Eeyore yang menjadi karakter favorit saya di sini tetap memancarkan aura negatif ke segala penjuru. 

Kebersamaan karakter-karakter ini (sayangnya, Rabbit hanya muncul sebentar) membawa banyak kesenangan untuk film. Lebih-lebih, barisan pengisi suaranya seperti Jim Cummings (telah bergabung dengan franchise Winnie the Pooh sedari penghujung era 1980-an), Brad Garrett, serta Nick Mohammed pun mampu memberikan nyawa dalam suara karakter-karakter yang mereka perankan. Penonton cilik yang sebelumnya tak mengenal mereka akan dibuat terkekeh-kekeh menyaksikan tingkah polah konyol kawanan berwujud boneka hewan ini terutama Pooh yang seringkali bertindak ceroboh dan Tigger yang penuh semangat, sementara penonton dewasa juga tidak akan mengalami kesulitan untuk tertawa berkat barisan dialognya yang amat menggelitik. Terselip filosofi hidup secara tanpa sengaja dibalik komentar polos Pooh terhadap apapun di sekitarnya (paling membekas berkenaan dengan 'tidak melakukan apapun'), lalu Eeyore dengan komentar muramnya yang sarat keluhan bakal sedikit banyak mengingatkan kita kepada, errr... diri sendiri yang tak jarang bersikap pesimis, mudah mengeluh, dan rajin nyinyir dalam memandang kehidupan dewasa ini. Alhasil, tidak terhitung berapa kali saya tertawa secara spontan setiap kali Eeyore membuka mulut karena apa yang diucapkannya bak sentilan sentilun kepada manusia modern yang seperti tak bisa membedakan antara realistis dengan pesimistis. Dia menjadi semacam antitesis bagi Pooh maupun Tigger yang memiliki perspektif positif untuk setiap persoalan yang dihadapi.
 

Disamping para 'hewan' ini, Christopher Robin juga masih mempunyai karakter tituler yang lebih difungsikan untuk menangani momen dramatik. Ewan McGregor tunjukkan performa bagus cenderung depresif sebagai Christopher dewasa yang telah menekan habis sisi kanak-kanaknya demi menjangkau ambisinya mencapai kejayaan dalam karir. Narasi seputar orang dewasa yang telah melupakan masa kecilnya karena menganggapnya bertentangan dengan realita sejatinya bukan lagi hal baru dalam sinema Hollywood (salah satu yang terbayang adalah Hook (1991) milik Steven Spielberg), namun penyampaian Forster yang membubuhkan banyak hati ke dalam narasi membuatnya sanggup untuk mempermainkan emosi. Diri ini merasa tersentuh, tersentil, lalu diajak berkontemplasi untuk sesaat tatkala film mengajak kita untuk mengingat kembali ke masa kecil yang dipenuhi imajinasi positif tanpa prasangka, mengingat lagi ke masa kecil yang membentuk kita sehingga berada di titik ini, mengingat lagi sahabat-sahabat baik yang kita tinggalkan dengan janji palsu berbunyi “aku tidak akan melupakan kalian”, mengingat lagi hal-hal yang membuat kita merasakan kebahagiaan, mengingat lagi apa yang telah kita berikan untuk keluarga, hingga akhirnya diajak untuk meninjau kembali pengorbanan-pengorbanan yang telah kita ambil demi tercapainya suatu mimpi. Mempunyai pembicaraan sedewasa serta sekompleks ini, tak ayal berpengaruh pada laju penceritaan Christopher Robin yang ada kalanya melambat dan bisa jadi memberi rasa jenuh pada penonton cilik. 

Untungnya, Forster sigap menyadari ancaman tesebut sehingga tak membutuhkan waktu lama baginya untuk memberi kompensasi berupa petualangan mengasyikkan bertabur humor segar yang berlangsung sedari protagonis utama kembali ke Hundred Acre Wood hingga ujung durasi. Selama itu pula kita bisa terbahak-bahak, menyeka air mata haru, sampai memberikan pelukan kepada diri sendiri karena Christopher Robin adalah sebuah film yang bisa dideksripsikan dengan mudah menggunakan satu kata, yaitu indah.

Info layanan masyarakat : Terdapat sebuah adegan bonus di sela-sela end credit.

Outstanding (4/5)


Friday, 24 August 2018

REVIEW : SESAT


“Yang namanya setan itu, nggak ada yang gratisan.” 

Selama empat pekan berturut-turut di bulan Agustus ini, khalayak ramai yang bertandang ke bioskop ditawari tontonan memedi dengan kualitas beragam. Diawali oleh Kafir Bersekutu dengan Setan yang terbilang baik, lalu dilanjut Sebelum Iblis Menjemput yang ciamik, kemudian diteruskan oleh Gentayangan yang bikin kepala nyut-nyutan, parade film horor tanah air di bulan Agustus ini diakhiri dengan Sesat produksi Rapi Films (penghasil Pengabdi Setan). Tidak seperti dua film pertama – lebih mendekati ke film pekan lalu – Sesat kurang terlihat menggiurkan apabila hanya berpatokan pada materi promonya. Generik adalah kesan pertama yang diperoleh usai menengok trailernya. Jika ada yang menarik perhatian saya sehingga kekeuh untuk tetap mencicipi Sesat di layar lebar adalah jejak rekam sang sutradara, Sammaria Simanjuntak. Dia adalah sosok dibalik keberhasilan dua film indie, Cin(t)a (2009) dan Demi Ucok (2013), yang bolak-balik ke berbagai panggung penghargaan film. Menengok apa yang telah diperbuatnya untuk dua film tersebut, saya tak memiliki keraguan bahwa Sammaria bisa mengkreasi film bagus. Yang kemudian menggelitik keingintahuan saya ketika hendak menonton Sesat adalah sejauh mana kapabilitasnya dalam menggarap film horor yang jelas bukan berada di zona nyamannya. Akankah dia mampu menangani tantangan ini sebaik film drama atau justru menghadapkannya pada kesulitan besar?

Karakter yang memiliki peranan krusial dalam Sesat adalah seorang atlet lari bernama Amara (Laura Theux). Meski hubungannya dengan sang ibu (Vonny Cornelia) kurang sedap, Amara mempunyai ikatan yang kuat dengan sang ayah (Willem Bevers) yang kerap menemaninya berlari, mengajarinya goyang pantat untuk menghapus kesedihan, serta bersedia ditodong uang jajan untuk beli bra. Sayangnya, kebersamaan antara Laura dengan sosok paling dicintainya ini tidak berlangsung lama karena sang ayah mesti menghadap ke Sang Khalik usai direnggut nyawanya dalam sebuah kecelakaan. Dirundung duka, sang ibu pun memutuskan untuk mengajak Amara beserta Kasih (Rebecca Klopper), putri bungsunya, untuk memulai hidup baru di Desa Beremanyan bersama ayahnya (Arswendy Bening Swara) yang sedang menjalani riset mengenai penunggu setempat untuk novelnya. Sesampainya di desa ini, Amara mulai mengalami satu dua kejadian aneh – termasuk menyadari tidak ada anak muda di desa ini – yang seketika membuatnya bertanya-tanya mengenai sosok penunggu yang mendiami sumur keramat tersebut. Dari hasil penelusurannya, Amara mengetahui bahwa Setan Beremanyan mampu mengabulkan permintaan manusia. Berharap bisa berkomunikasi untuk terakhir kalinya dengan sang ayah, Amara pun nekat menjalani ritual pemanggilan Setan Beremanyan yang lantas mendatangkan serentetan petaka baginya sekaligus bagi orang-orang di sekitarnya.


Selama belasan menit pertama, potensi Sesat untuk terhidang sebagai tontonan memedi yang ketje sebetulnya telah terendus. Tengok saja dari konsep Desa Beremanyan yang seperti tak terjamah peradaban modern serta hanya didiami oleh warga lanjut usia. Bukankah ini cukup untuk membangkitkan bulu kuduk? Apalagi jika kamu melihat bagaimana tatapan mereka kepada keluarga Amara di saat mobil yang mereka tumpangi melintasi perkampungan. Seram. Seolah-olah mereka sedang mengincar tumbal untuk diserahkan kepada si penunggu. Tambahkan dengan plot mengenai kehilangan orang terkasih yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi narasi mengharu biru, Sesat memulai langkahnya dengan meyakinkan... atau setidaknya begitulah dalam bayangan saya yang bersemangat dalam mencari tahu pendekatan seperti apa yang akan ditempuh oleh Sammaria. Semangat tersebut semakin mengepul ketika si pembuat film memunculkan teror perdananya yang mesti diakui mampu membuat diri ini terlonjak dari kursi bioskop. Kentara, film telah mengikuti jalan setapak menuju ke arah yang benar. Semangat yang berkobar-kobar lantaran menyadari kemungkinan Sesat bergabung dengan Sebelum Iblis Menjemput ini secara perlahan tapi pasti mulai meredup terhitung sedari tersibaknya misteri besar mengenai Desa Beremanyan dan identitas si penunggu di paruh awal yang lantas mendorong Amara untuk menjalani ritual pemanggilan setan. 

Kengerian yang ditimbulkan oleh penampakan perdana dan atmosfer misterius yang menguar dari desa tak bertahan lama. Di menit-menit berikutnya, trik menakut-nakuti yang dipergunakan oleh Sammaria tergolong standar – tak jauh-jauh dari seret, lempar, atau suara misterius – yang apesnya tak juga memiliki cukup daya untuk membuat penonton mengkeret di kursi bioskop. Ada kalanya mencoba bermain-main dengan antisipasi yang sempat membuat jantung berdegup, tapi apa yang menanti kemudian nyatanya hanyalah sesuatu sepele yang memicu terlontarnya komentar, “yaelah gitu doang. Kirain apaan.” Bahkan, salah satu money shot di trailer dengan kata kunci “mamaku bukan mamaku” pun tersaji datar. Tak ada ketegangan yang muncul, apalagi rasa takut. Sammaria jelas mengalami kesulitan dalam mengkreasi teror pemberi mimpi buruk yang bukan area kekuasaannya. Sesat benar-benar tersesat di ranah horor dan satu-satunya peluang yang tersisa bagi film untuk berjaya berada pada elemen dramatiknya yang (saya benci untuk mengatakan ini!) sayangnya, tak juga cukup kuat. Entah karena ingin menghindari melodrama atau tak ingin sisi drama dalam film terasa lebih pekat, si pembuat film enggan mengeksplorasi plot terkait keluarga yang berdamai dengan duka secara layak dan lebih memilih untuk mengedepankan teror klise yang tak menyeramkan.


Hingga film berakhir, saya tak pernah bisa memahami alasan kepindahan keluarga Amara ke desa kecuali untuk mendekatkan mereka pada teror, tak pernah bisa mengerti kenapa Amara sangat membenci sang ibu begitu pula sebaliknya, dan tak pernah bisa pula merasakan kepedihan dari masing-masing anggota keluarga akibat kehilangan figur ayah/suami. Hanya ada letupan kemarahan satu sama lain yang acapkali muncul tiba-tiba yang menyebabkan saya semakin sulit bersimpati kepada karakter-karakter dengan penulisan tipis ini. Saking sulitnya untuk bersimpati, maka ketika Setan Beremanyan yang mitologi (dan penampakannya) hanya dimunculkan sekilas saja ini berusaha memporakporandakan keluarga kecil tersebut, tak ada kepedulian mengemuka. Andai saja si pembuat film berkenan untuk mengembangkan karakter-karakter kecil ini tanpa khawatir film menjadi kelewat drama lalu mempersilahkan mereka untuk memiliki momen dramatis di babak klimaks (entah rekonsiliasi atau perpisahan), saya meyakini Sesat akan sanggup memenuhi potensinya.

Acceptable (2,5/5)

Monday, 20 August 2018

REVIEW : ROMPIS


“Rindu itu sunyi, tak perlu ada bunyi.” 

Saya bukanlah penonton setia sinetron remaja berjudul Roman Picisan the Series yang mengudara di RCTI pada tahun 2017 silam dan sempat ngehits di kalangan anak muda usia belasan. Tidak bermaksud untuk congkak, hanya saja bagi saya serial yang disadur dari film berjudul sama dari era 1980-an dengan bintang Rano Karno beserta Lidya Kandou ini tak ubahnya sinetron kebanyakan dengan penceritaan yang bikin kepala pusing. Mencoba untuk menjajalnya di salah satu episode, bendera putih seketika saya kibarkan dan tak ada niatan sedikitpun untuk menjajalnya kembali. Maka begitu kisah kelanjutannya dibuat dalam format film layar lebar dengan judul Rompis (Roman Picisan), hati ini tak tergerak buat menyantapnya. Alasannya sederhana; diri ini tak pernah terikat dengan kisah asmara dua karakter utamanya, lantas mengapa saya mesti bergegas untuk mencari tahu apa yang akan terjadi kepada mereka? Nyaris memutuskan untuk melewatkannya saja, niatan seketika berubah ketika satu dua kawan membujuk rayu saya dengan berkata singkat, “filmnya unyu lho.” Sebagai pecandu film unyu, saya jelas termakan oleh bujukan tersebut sehingga saya memilih untuk menyaksikan Rompis di bioskop. Tanpa membawa ekspektasi macam-macam kala hendak ke bioskop, hati ini jelas bungah begitu mendapati bahwa Rompis memang seunyu (dan semenyenangkan) itu. 

Melanjutkan apa yang tertinggal dari versi sinetronnya, ketiga karakter utama dari Rompis yang konfigurasinya terdiri dari Roman (Arbani Yasiz), Wulandari (Adinda Azani), serta Sam (Umay Shahab), diceritakan tidak lagi mengenakan seragam putih abu-abu dan telah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka kuliah, mereka akan menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Hubungan tanpa status yang terjalin antara Roman dengan Wulan pun bersiap menapaki ujian yang sesungguhnya tatkala takdir memaksa mereka untuk berpisah... untuk sementara. Tak pernah Roman bayangkan kalau aplikasi pendaftaran kuliahnya ke sebuah universitas di Belanda yang dikirimkannya secara iseng-iseng demi menemani Sam bakal diterima. Padahal dia sudah berencana untuk kuliah di universitas yang sama dengan Wulan di Indonesia. Alhasil, Roman dan Wulan pun terpaksa menjalani LDR (long distance relationship) selama Roman menimba ilmu di negeri kincir angin. Mulanya, hubungan keduanya pada beberapa bulan pertama sih baik-baik saja. Roman masih sering mengirim puisi-puisi romantis andalannya via aplikasi perpesanan dan Wulan berusaha menjaga komunikasi via panggilan video. Namun setelah seorang perempuan misterius dari Indonesia, Meira (Beby Tsabina), memasuki kehidupan Roman di Belanda, hubungan asmara dua sejoli ini pun diuji. 


Satu komponen yang memiliki peranan paling signifikan dalam membuat Rompis tampil begitu menyenangkan adalah performa jajaran pemainnya yang tak saja alami tetapi juga hidup. Sensasi yang saya dapatkan, seperti sedang menghabiskan waktu luang di sebuah kafe lalu pandangan mata tertambat pada satu pasangan yang asyik saling goda beserta satu geng yang ramai bercengkrama. Keputusan untuk memberi perhatian biasanya dilandasi dua alasan; pertama, karena anak-anak ini sangat mengganggu sampai-sampai ingin menabok mereka, dan kedua, iri melihat interaksi mereka yang tampak dibentuk diatas fondasi cinta beserta kepedulian. Saya ingin nongkrong bersama mereka. Saat melihat interaksi trio Arbani Yasiz, Adinda Azani, serta Umay Shahab dalam Rompis, alasan kedua lah yang menyebabkan saya betah berlama-lama menyaksikan Wulan marah-marah terhadap Roman lalu tak berselang lama berganti bermanja-manja nan nggemesin, dan menyaksikan Sam yang gemar melontarkan celetukan kocak ngumpul dengan dua sahabatnya tersebut. Mereka sangat asyik. Mengingat mereka sudah beradu lakon bersama sepanjang 107 episode, tentu tidak mengherankan jika kemudian ketiganya sanggup menciptakan suatu zat yang memiliki fungsi amat krusial bagi film percintaan maupun persahabatan, yaitu chemistry. Saya dapat mendeteksi adanya benih-benih cinta yang menguar diantara Roman dengan Wulan, sementara di waktu bersamaan saya pun bisa mengendus aroma persahabatan yang telah terjalin rekat diantara Roman, Sam, serta Wulan. 

Pendatang baru dalam kelompok kecil ini, Beby Tsabina, pun tak kesulitan menyesuaikan diri. Bermain sebagai orang ketiga dalam hubungan Roman dengan Wulan, Beby mampu tampil menyebalkan sekaligus misterius. Menyebalkan karena dia kerap muncul mendadak bak Jelangkung di kala Roman dan Wulan sedang berduaan (saya menyukai ekspresi Adinda Azani tiap kali dia kesal terutama kesal melihat kehadiran Meira), sedangkan misterius karena penonton tidak dipapari motif atau latar belakang yang mendasari ketertarikan Meira terhadap Roman sedari awal dan segalanya baru terungkap di menit-menit terakhir. Dia jelas memiliki karakteristik menarik seperti halnya ketiga protagonis yang juga dihidupkan dengan menarik oleh para pelakonnya. Itulah mengapa sebagai seseorang yang tidak mengikuti versi sinetronnya (tidak pula bisa menikmatinya), saya tidak mengalami kesulitan untuk menaruh kepedulian terhadap nasib keempat karakter ini meski saya sebetulnya tidak benar-benar mengenal mereka karena latar belakang para karakter utama hanya dijelaskan sekelumit. Pun begitu, saya tetap ingin melihat mereka mendapatkan kebahagiaan yang diidam-idamkan. Bagi Wulan, kebahagiaan tersebut adalah memperoleh kejelasan dari Roman mengenai status hubungan mereka saat ini. Ingin mendengar pujaan hatinya berkata, “aku cinta padamu.” Sepintas memang tampak klise ala film percintaan remaja pada umumnya – dan Monty Tiwa selaku sutradara sekaligus peracik skenario bersama Haqi Achmad dan Putri Hermansjah pun tidak berusaha untuk menutup-nutupinya – tapi dalam pengembangan konfliknya, ada pembicaraan cukup dewasa mengenai long distance relationship


Ya, secara mengejutkan, Rompis tidak semata-mata disesaki dengan dialog-dialog puitis seperti diisyaratkan oleh materi promonya. Kalaupun ada, penggunaannya disesuaikan oleh kebutuhan narasi dan tidak dikeluarkan sesuka hati hanya demi memantik respon “awww....” dari penonton. Malah, Rompis berkenan untuk membuka sesi curhat untuk para pejuang LDR menggunakan Roman-Wulan sebagai contoh. Mereka memang bukanlah contoh yang sempurna, tapi ketidaksempurnaan mereka diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi para pasangan muda sehingga tidak melakoni kesalahan yang sama. Agar tidak mudah terbakar oleh api cemburu tanpa mengetahui kebenaran dibalik suatu persoalan, agar mampu memahami tentang skala prioritas, agar mengerti pentingnya komunikasi dalam suatu hubungan, hingga agar menyadari bahwa mutual trust amat dibutuhkan untuk berlangsungnya hubungan yang sehat. Meski si pembuat film (sayangnya) enggan untuk membawa pembicaraan ini ke arah lebih serius nan mendalam karena rentan ditinggal pergi oleh penggemar setia Roman Picisan the Series yang mendamba tontonan percintaan ringan-ringan saja, Rompis bisa dibilang mampu tampil lebih baik ketimbang sederet film percintaan remaja tanah air. Disamping manis, menyenangkan, dan menggemaskan, Rompis pun memiliki narasi dengan konflik cukup mengikat dan jajaran karakter yang terkesan nyata. Sebagai sebuah film yang memiliki kata picisan dalam judulnya, Rompis (secara mengejutkan) tidaklah picisan.

Exceeds Expectations (3,5/5)



Saturday, 18 August 2018

REVIEW : DOA - DOYOK OTOY ALI ONCOM: CARI JODOH


“Jangankan bini, pacar aja lo belum punya.” 
“Gosipnya, lo kaga suka perempuan.” 
“Samber gledek. Aku ini pemilih.” 
“Pemilih yang kagak dipilih orang ya kagak jadi apa-apa juga.” 

Generasi muda jaman now, mungkin baru mengenal karakter tiga serangkai; Doyok, Otoy, dan Ali Oncom dari serial animasi bertajuk DOA (akronim dari tiga nama karakter utamanya) yang tayang di MNCTV sejak beberapa bulan silam. Tapi bagi generasi yang lebih sepuh, mereka bertiga telah dikenal sedari dipublikasikan secara terpisah dalam kolom Lembergar (Lembaran Bergambar) di harian Pos Kota. Karakteristik ketiganya yang merepresentasikan sebagian warga ibukota negara, bisa disederhanakan sebagai berikut; Doyok adalah perantau dari Jawa dengan pemikiran kritis serta hobi nyinyir, Otoy yang berasal dari Sunda kerap menjadi sasaran bulan-bulanan mertuanya yang galak, dan Ali Oncom yang anak Betawi asli seringkali berangan-angan memiliki segudang uang. Meski tak berada di satu jalur pengisahan dalam komik stripnya, mereka lantas dipertemukan satu sama lain di serial animasi DOA yang kemudian berlanjut diejawantahkan ke versi live action dengan judul DOA (Doyok, Otoy, Ali Oncom): Cari Jodoh. Seperti tertera dalam subjudulnya, film yang disutradarai oleh Anggy Umbara (Comic 8, Insya Allah Sah! 2) ini menyoroti tentang sepak terjang ketiga karakter tituler dalam misi pencarian jodoh untuk Doyok (Fedi Nuril) yang masih betah melajang di usia memasuki kepala empat. 

Status Doyok sebagai bujangan ini membuat khawatir kedua sahabatnya, Otoy (Pandji Pragiwaksono) dan Ali Oncom (Dwi Sasono), yang masing-masing telah memiliki pasangan. Otoy telah menikah dengan Elly (Nirina Zubir) yang dimanfaatkannya sebagai sumber penghasilan di kala dia sibuk bermalas-malasan, sementara Ali Oncom gemar menggoda janda-janda di kampung sekalipun telah menjalin hubungan dengan Yuli (Jihane Almira). Kepribadian Doyok yang cenderung polos, kaku, dan ndeso menyulitkannya untuk mendekati perempuan sehingga Otoy beserta Ali Oncom pun berinisiatif mencarikan jodoh untuk Doyok melalui situs perkencanan bernama Minder. Dari situs ini, Doyok berkesempatan untuk menjalani kencan dengan seorang perempuan bernama Ayu (Laura Basuki). Menengok parasnya yang rupawan dan sikap Ayu yang sangat bersahabat terhadap Doyok, misi pencarian jodoh bagi sang sahabat sepertinya telah berjalan sukses. Akan tetapi, saat sebuah rahasia mengerikan mengenai Ayu terungkap, Doyok, Otoy, beserta Ali Oncom pun memutuskan untuk melanjutkan pencarian. Sebuah pencarian yang lantas membawa Doyok pada pertemuan dengan seorang pegawai kecamatan bernama Suci (Titi Kamal). Keduanya terlihat saling jatuh hati satu sama lain, terlebih mereka dipersatukan oleh minat yang sama. Jika ada penghalang diantara mereka, maka itu adalah Pak Camat (Tarzan) yang juga menaruh hati kepada Suci. 


Sejujurnya, ada kalanya saya cukup bisa menikmati DOA: Cari Jodoh. Saat Anggy Umbara beserta Fico Fachriza yang bertanggung jawab dalam penulisan skrip bermain-main dengan humor membumi, pada saat itulah derai tawa bisa meluncur dari mulut. Dalam catatan saya, beberapa guyonan yang mampu mengenai target secara tepat bersumber dari ribut-ribut kecil antara Elly yang ceriwis bukan main dengan Otoy yang enggan ngapa-ngapain, imajinasi Doyok beserta Otoy dalam membayangkan kehidupan bergelimangan harta, Ali Oncom yang menebar pesona (baca: gombalan) kepada janda kampung setempat, sampai kecanggungan Doyok ketika diperkenalkan kepada Suci untuk pertama kali. Rentetan momen ini terasa lucu, setidaknya bagi saya, lantaran mencerminkan keseharian masyarakat kelas bawah secara apa adanya tanpa dibuat-dibuat. Untuk sesaat – berkaca pula pada materi sumbernya yang gemar melontarkan komentar sosial – saya mengira pendekatan semacam inilah yang akan diaplikasikan oleh Anggy dalam DOA: Cari Jodoh. Pendekatan yang sedikit banyak mengingatkan diri ini pada Get Married (2007) arahan Hanung Bramantyo. Tapi saat Anggy mencelupkan lebih banyak momen musikal yang kian repetitif seiring berjalannya waktu usai kejar-kejaran dibalik jemuran ala film India yang sebetulnya cukup lucu dan bermain-main dengan guyonan absurd yang melibatkan alat kelamin, pada saat itulah saya menyadari bahwa Anggy enggan untuk mencelotehkan film ini di jalur membumi. 

DOA: Cari Jodoh tak bisa melepaskan diri dari ciri khas sang sutradara yang melibatkan kata bombastis yang untuk sekali ini terasa salah tempat. Memasuki babak kedua yang semakin menjauh dari semangat merakyat yang diperkenalkan di belasan menit awal, kelucuan beserta daya cengkramnya perlahan mulai mengendur. Saya akhirnya benar-benar kesulitan untuk mengikuti film ini terhitung sejak munculnya adegan mengenai lomba debat tingkat kecamatan yang menghadirkan cameo dari Anggy sebagai Manoj Punjabi (sang produser) dan adu argumen digantikan oleh adu rap. Level absurditasnya semakin tak terkontrol dan DOA: Cari Jodoh secara resmi telah keluar dari jalurnya begitu menapaki klimaks yang seolah berasal dari film berbeda. Pada akhirnya, saya pun mendeteksi adanya kekecewaan besar yang menggelayuti diri saat melihat momen puncak dari film karena potensi DOA: Cari Jodoh sudah disia-siakan begitu saja. Padahal pemain ansambelnya telah menunjukkan performa maksimal (khususnya Dwi Sasono dengan tawa khasnya, Nirina Zubir dengan keceriwisannya, Laura Basuki dengan kesediannya tampil memalukan, serta Titi Kamal dengan gerak bibir uniknya), dan materi penceritaannya memungkinkan untuk dikembangkan sebagai komedi satir yang menggelitik. Seandainya saja film tetap setia berada di jalur seperti dilewatinya pada babak pertama, bukan tidak mungkin DOA: Cari Jodoh akan tersaji lebih memikat.

Acceptable (2,5/5)



Friday, 17 August 2018

REVIEW : ALONG WITH THE GODS: THE LAST 49 DAYS


“No humans are innately bad, there are only bad circumstances.” 


Dirilis di bioskop tanah air pada permulaan tahun ini, Along with the Gods: The Two Worlds yang disadur dari webtoon rekaan Joo Ho-min mampu membuat saya terkesima. Tanpa perlu mengerahkan seluruh tenaga untuk menceramahi penonton disana sini seperti sebagian besar film reliji buatan dalam negeri, The Two Worlds sanggup mendorong saya untuk buru-buru bertobat usai mengikuti perjalanan si protagonis dalam mengikuti persidangan di akhirat yang mengingatkan kita bahwa dosa sekecil apapun nantinya akan dipertanggungjawabkan. Glek! Dalam perjalanan tersebut, Kim Yong-hwa (200 Pounds Beauty, Take Off) selaku sutradara menunjukkan kreativitasnya dalam memvisualisasikan alam baka – terdapat kategorisasi neraka – dan kapabilitasnya dalam mengaduk-aduk emosi melalui narasi sederhana yang memperbincangkan tentang pengorbanan, karma, serta moralitas. Perjalanan ini memang menjumpai akhir bagi protagonis kita yang lantas mendapat label suri tauladan (Paragon) secara resmi, tapi si pembuat film tidak memberhentikan narasi hanya sampai di sana. Lewat babak kedua yang diberi subjudul The Last 49 Days, pengadilan akhirat dialihkan ke karakter si adik protagonis yang menjelma menjadi roh pendendam dan masa lalu dari ketiga malaikat kematian akhirnya dijlentrehkan. 
 
Ya, The Last 49 Days melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung durasi film terdahulu. Sekali ini kita diajak mengikuti upaya trio malaikat kematian, atau disebut juga sebagai para pelindung, yang terdiri dari Gang-rim (Ha Jung-woo), Haewonmank (Ju Ji-hoon), dan Lee Deok-choon (Kim Hyang-gi), dalam membuktikan kepada penguasa alam baka, Raja Yeomra (Lee Jung-jae), bahwa kematian Kim Soo-hong (Kim Dong-wook) tidaklah disengaja. Bahkan, Kim Soo-hong layak untuk memperoleh kesempatan bereinkarnasi karena dia tergolong sebagai suri tauladan. Mendengar penjelasan Gang-rim, Yeomra tidak serta merta mengabulkannya. Malah dia mengajukan dua permintaan kepada Gang-rim beserta dua rekannya, yakni mereka harus membuktikan bahwa Kim Soo-hong betul-betul seorang suri tauladan dengan membawanya melintasi empat neraka dan mereka harus mengangkat pelindung baru dari bumi yaitu seorang pria tua, Heo Choon-sam (Nam Il-woo), yang tinggal berdua bersama cucunya yang belum mengenyam bangku pendidikan formal. Berpisah jalan dengan Gang-rim yang memandu Kim Soo hong mengarungi neraka, Haewonmank dan Lee Deok-choon pun turun ke bumi untuk menjemput Heo Choon-sam yang ternyata dilindungi oleh Dewa Penjaga Rumah, Seongju (Ma Dong-seok). Melalui Seongju, Haewonmank dan Lee Deok-choon yang tidak bisa sedikitpun mengingat masa lalu akhirnya mendapati kebenaran memilukan mengenai masa lalu mereka. 


Berupaya memenuhi ketetapan tak tertulis mengenai sekuel, Kim Yong-hwa pun menghadirkan The Last 49 Days dalam cakupan skala yang lebih besar dari pendahulunya (sekalipun keduanya digarap di waktu bersamaan). Dengan demikian, antisipasi pemakaian efek khusus yang dieksploitasi habis-habisan untuk memunculkan kesan gigantis dan narasi yang bertumpuk-tumpuk demi menimbulkan kesan kompleks. Itulah mengapa kita akan mendapati sejumlah dinosaurus buas, termasuk Mosasaurus, mengambil peran di sebuah adegan (kurang penting) hanya untuk menunjukkan kecakapan Dexter Studios sebagai salah satu perusahaan penghasil efek khusus terbesar di Asia. Mengagumkan? Bisa dibilang seperti itu, meski saya sendiri lebih berharap si pembuat film mengeksplorasi lebih jauh alam baka yang disajikan dengan visual impresif nan imajinatif di film pertama. Kita memang masih mendapat kesempatan untuk melongok ke neraka kemalasan yang mempunyai roda raksasa penggiling manusia maupun neraka pembunuhan yang memiliki lantai tersembunyi berisi roh meronta-ronta. Akan tetapi, porsi kemunculannya mengalami pengurangan lantaran sekali ini Kim Yong-hwa terlampau memaksakan untuk membagi penceritaan ke dalam tiga cabang yang masing-masing menyoroti tentang pengadilan akhirat untuk Kim Soo-hong, masa lalu ketiga pelindung di era Dinasti Goryeo, dan hari-hari terakhir Heo Choon-sam di bumi sebelum bergabung bersama para dewa. 

Disinilah masalah utama dari The Last  49 Days bercokol. Tidak seperti The Two Worlds yang semata-mata menempatkan fokusnya pada pengadilan seorang pemadam kebakaran, Kim Ja-hong (Cha Tae-hyun), ambisi si pembuat film untuk mengekspansi penceritaan ke tiga titik seraya melontarkan komentar-komentar sosial mengenai Korea Selatan di masa kini berdampak pada narasi yang tak semengikat sebelumnya. Kita terlampau sering dilempar-lempar ke tiga narasi berbeda yang perlahan tapi pasti justru membuyarkan atensi. Sedihnya, ketiga cerita yang dikedepankan pun memiliki bobot cengkram di bawah The Two Worlds. Kisah Kim Soo-hong tidak semenarik Kim Ja-hong lantaran sebagian besar misterinya telah tersibak di seri sebelumnya, kisah tiga pelindung terlalu ngoyo dalam menghadirkan twist mendayu-dayu di dalamnya sehingga terasa manipulatif, dan kisah Heo Choon-sam yang sejatinya paling memungkinkan untuk menonjok emosi justru terpinggirkan karena Kim Yong-hwa lebih tertarik untuk bermain-main dengan dua plot lainnya. Kebingungan si pembuat film untuk meletakkan fokusnya di sini, ditambah oleh ketidaksanggupannya membagi tiga linimasa tersebut secara berimbang, akhirnya berdampak pada laju pengisahan yang cenderung terseok-seok. Belum juga film menapaki separuh durasi, diri ini sudah mengalami kelelahan dalam mengikuti narasi yang sok njelimet ini. 


Ada beberapa kali saya menengok pergerakan jarum di jam tangan, terutama saat film mengalihkan fokusnya ke dongeng masa lalu para penjaga yang arahnya telah terbaca sedari Seongju mulai bercerita. Kejenuhan dalam mengikuti jalinan pengisahan The Last 49 Days yang asupan humornya juga tidak seberapa lucu ini untungnya dikompensasi oleh pameran efek khususnya yang masih mengundang decak kagum (walau lagi-lagi, kemunculan dinosaurus kurang memiliki alasan kuat) dan performa pemain ansambelnya yang tak mengecewakan. Absennya Cha Tae-hyun yang lihai dalam ngebanyol sekaligus berdrama ria cukup dirasakan di sini (begitu pula Oh Dal-su sebagai penuntut yang keberadaannya terpaksa diganti karena kasus pelecehan seksual), apalagi Kim Dong-wook bukanlah penerus yang sempurna dengan karakteristiknya yang agak sulit untuk diberikan simpati. Tapi kita masih memiliki Ha Jung-woo, Ju Ji-hoon, dan Kim Hyang-gi yang menunjukkan konsistensi dalam menghidupkan peran sebagai trio penjaga dengan masa lalu kelam, serta Ma Dong-seok yang merupakan bintang sesungguhnya di The Last 49 Days. Di tangannya, sosok Seongju terlihat begitu hangat, mengayomi, dan berwibawa sehingga kemunculannya yang merupakan masa-masa terbaik dalam film pun senantiasa dinanti. Pada akhirnya, keempat pelakon ini mampu menjelma menjadi pelindung sesungguhnya bagi The Last 49 Days. Tanpa performa solid mereka, film ini sangat mungkin telah terjerumus ke dalam api neraka.

Info layanan masyarakat : The Last 49 Days memiliki dua adegan bonus di sela-sela bergulirnya end credit.

Acceptable (3/5)

Wednesday, 15 August 2018

REVIEW : THE EQUALIZER 2


“We all got to pay for our sins.” 

Sepintas lalu, Robert McCall (Denzel Washington) tampak seperti pria paruh baya yang mencintai kedamaian. Jangankan beradu argumen dengan seseorang yang memiliki perspektif bertentangan dengannya, untuk sebatas membunuh seekor nyamuk yang berlalu lalang mengganggu tidurnya di malam hari saja, dia sepertinya enggan melakukannya. Ya, McCall terlihat sangat normal, sangat baik hati, dan sangat bijaksana. Orang-orang di sekitarnya merasa segan kepadanya karena dia menunjukkan wibawa dari seorang pria terhormat, bukan karena dia memiliki tatapan atau tendangan yang mematikan. Di jilid perdana The Equalizer yang didasarkan pada serial televisi berjudul sama dari era 1980-an, McCall tak ubahnya rekan kerja yang bijaksana dan bukan penggemar intrik kantor. Dalam The Equalizer 2 yang masih ditangani oleh Antoine Fuqua (Training Day, The Magnificent Seven), dia bertransformasi menjadi seorang pengemudi taksi online yang berkenan meminjamkan telinganya untuk mendengar keluh kesah penumpangnya sekaligus seorang tetangga yang ramah dan bersedia mengulurkan bantuan bagi siapapun yang membutuhkan. Jika berpatokan pada pembawaan serta penampilannya yang cenderung santun ini, siapa sih bisa mengira bahwa McCall dibekali pelatihan dan kemampuan mumpuni untuk membekuk lawannya dalam satu kali percobaan? 

Rasa-rasanya sih, tidak ada. Robert McCall adalah deskripsi sempurna dari pepatah klasik yang mengatakan “jangan nilai buku dari sampul luarnya.” Kedoknya sebagai pria paruh baya normal, memungkinkan McCall untuk menjalankan misinya dalam menyeimbangkan dunia dengan memberi pembalasan kepada mereka yang telah bertindak zalim tanpa pernah sekalipun mendapat sorotan. Dia bisa menyelamatkan seorang bocah yang diculik oleh ayahnya sendiri di Turki, dia dapat menghajar hingga babak belur sekumpulan remaja berduit yang baru saja menyengsarakan seorang perempuan, dan dia mampu menghindarkan seorang remaja berbakat, Miles Whittaker (Ashton Sanders), dari keinginan untuk bergabung dengan geng setempat demi mendapatkan penghasilan. Disamping itu, McCall pun dipercaya oleh orang-orang di sekitarnya, seperti seorang penyintas Holocaust yang terpisah dari adiknya, untuk mendengarkan cerita mereka. Hanya saja, keinginan McCall untuk melanjutkan pilihan hidupnya yang tenang ini seraya membaca sejumlah buku rekomendasi mendiang istrinya, mendadak terusik saat dia mendapatkan kabar bahwa sahabat baiknya, Susan Plummer (Melissa Leo), dibunuh dalam perjalanan dinasnya. McCall tentu tak bisa tinggal diam dan dia lantas memutuskan untuk memburu siapapun yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Susan. 


Selaiknya jilid pendahulu, Fuqua tak bergegas dalam menuturkan kisah dalam The Equalizer 2. Dia kembali menerapkan pendekatan slowburn dengan membangun ketegangan yang dibutuhkan oleh film secara perlahan-lahan. Kita memang mendapati aksi-kelahi cukup seru sebagai menu pembuka, tapi di sepanjang satu jam berikutnya, film lebih menekankan pada sisi kemanusiaan dari McCall yang berhasrat untuk menegakkan keadilan. Satu-satunya pertarungan yang bisa kita dapatkan dalam periode tersebut yakni ketika McCall memberi ganjaran kepada para lelaki tak bertanggung jawab. Selebihnya diisi oleh interaksi-interaksi yang tumbuh berkembang antara si protagonis utama dengan Miles yang diangkatnya sebagai anak didik beserta orang-orang di sekeliling McCall, seperti Sam Rubinstein si penyintas Holocaust, Susan yang menjadi satu-satunya sahabat McCall, dan penumpang-penumpang taksi online-nya. Kalaupun ada sentakan lain pada titik ini adalah kasus pembunuhan sepasang suami istri di Belgia yang nantinya memiliki keterkaitan dengan plot utama dari film. Memerlukan kesabaran (dan kondisi tubuh yang prima) agar bisa mencerna sederet pembicaraan bernada lambat yang menghiasi separuh durasi awal ini tanpa diselingi kantuk, terlebih tidak seluruh subplot yang dicelotehkan di sini mempunyai daya pikat yang sama kuat. Satu-satunya yang menarik, bagi saya, adalah relasi mentor-murid antara McCall dengan Miles. 

Selebihnya hanya dipergunakan untuk memenuhi kuota durasi tanpa pernah memiliki impak signifikan kepada pergerakan kisah. Justru, keberadaannya ini menghambat laju The Equalizer 2 untuk mengalun secara mulus sampai-sampai memunculkan pertanyaan, “apa sebetulnya permasalahan pokok yang hendak dikulik oleh film ini?.” Penonton tidak mendapatkan jawabannya hingga film menapaki separuh durasi. Sulit untuk disangkal, saya pun sempat terserang jemu lantaran narasi yang serasa di jalan tempat. Jika ada yang sanggup membuat mata tetap melek, maka itu adalah dialog-dialog filosofis mengenai kehidupan yang menggugah beserta performa dari Denzel Washington yang karisma memancarnya seolah-olah merayu saya dengan berkata, “tenang saja, semua ini akan terbayar dengan impas. Ada alasan dibalik keputusanku mengambil peran ini lagi.” Benar saja, mengikuti pendekatan dari film pertama, ketenangan yang menghiasi babak pertama perlahan mulai raib di babak kedua utamanya selepas kita mendapati konflik sesungguhnya yang berkenaan dengan pembunuhan berencana. Adegan investigasinya sih kurang greget, tapi ada dua momen mendebarkan patut dikenang yang mencuat di The Equalizer 2. Pertama, upaya pembunuhan terhadap McCall di dalam taksi berjalan yang berujung pada pergulatan hebat, dan kedua, konfrontasi akhir berlatarkan badai yang berhembus dengan kencang. Keberadaan dua momen keren tersebut mampu membayar impas penantian panjang cukup melelahkan yang berlangsung di lebih dari satu jam sebelumnya.

Acceptable (3/5)


Monday, 13 August 2018

REVIEW : SLENDER MAN


“He gets in your head like a virus. Some he takes, some he drives mad. Once you see him, you can't unsee him.” 

Dua hari silam selepas menonton Slender Man, saya berbincang dengan kekasih melalui telepon genggam. Saat saya mengatakan bahwa ini adalah film horor, terdengar nada terkaget-kaget dari ujung telepon. “Hah, ini film horor? Saya kira film superhero lho karena ada 'man-man'-nya,” begitu kata doi. Awalnya sih diri ini hanya bisa terkekeh mendengar kepolosannya, tapi kemudian tak berselang lama saya tersadar, siapa ya yang sekarang masih mengingat (atau setidaknya mengetahui) mengenai sosok Slender Man di Indonesia? Rasa-rasanya, kecuali mereka memang menaruh minat pada cerita supranatural dan gemar berselancar di dunia maya sedari satu dekade lalu, tidak banyak yang akrab dengan makhluk gaib fiktif rekaan Eric Knudsen ini. Ketenaran dari sosok yang dideskripsikan memiliki tubuh amat ramping, tanpa wajah, dan mengenakan jas ini sendiri dimulai usai sang kreator memenangkan kompetisi Something Awful. Penggambaran beserta mitologinya yang creepy (konon, dia mempunyai kebiasaan menculik anak kecil serta memburu siapapun yang mencari tahu tentang latar belakangnya!) membuatnya kerap diperbincangkan di internet sampai-sampai menginspirasi tercetusnya web series, permainan video, sampai upaya pembunuhan dari dua bocah berusia 12 tahun yang menggegerkan seantero Amerika di tahun 2014 silam. 

Anehnya, sekalipun popularitas Slender Man telah merosot drastis utamanya setelah tragedi tersebut, Sony Pictures melalui bendera Screen Gems tetap nekat memberikan lampu hijau untuk pembuatan film horor bertajuk Slender Man yang menempatkan Sylvain White (The Losers, Stomp the Yard) di kursi penyutradaraan. Guliran pengisahan yang dikedepankannya sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan tragedi yang telah disebutkan maupun mitologi utamanya yang melibatkan anak-anak demi menghindari kontroversi, melainkan membentuk narasi (yang sebetulnya tidak) baru. Film ini menempatkan empat remaja perempuan; Hallie (Julia Goldani Telles), Wren (Joey King), Chloe (Jaz Sinclair), dan Katie (Annalise Basso), yang memiliki ikatan persahabatan yang sangat kuat (sampai-sampai mengetahui password laptop masing-masing) sebagai karakter utama. Seperti halnya sekumpulan remaja kurang cerdas dan kurang kerjaan di film horor pada umumnya, mereka iseng-iseng melakukan ritual pemanggilan Slender Man di suatu malam setelah membaca serentetan cerita seram mengenai makhluk ini. Ya namanya juga dipanggil, tentu saja si makhluk misterius tersebut 'menyahut'. Slender Man (Javier Botet) menebar teror pada Hallie beserta konco-konconya secara perlahan tapi pasti melalui mimpi buruk beserta halusinasi yang sulit untuk dijelaskan yang kemudian mencapai puncaknya setelah satu demi satu dari empat sahabat ini mendadak raib dari muka bumi. 


Tatkala beberapa dari mereka raib tanpa jejak, semestinya ada rasa takut, duka karena kehilangan, sekaligus penasaran yang menguar dalam diri. Perasaan yang sewajarnya muncul apabila kita mampu menginvestasikan emosi pada barisan karakter dalam suatu film. Akan tetapi, mungkin karena saya memang tidak memiliki hati atau karena memang si pembuat film enggan membentuk empat sahabat ini sebagai karakter yang nyata, saya justru bersuka cita begitu mereka dimangsa oleh si karakter tituler. Tanpa tersadar, saya bersorak “horeee!” setiap kali ada yang lenyap karena itu berarti, stok karakter menyebalkan dalam film ini mulai berkurang. Heh. Tapi tentu saja, Sylvain White dan David Birke selaku perancang skenario tidak ingin kita berbahagia sedari awal karena sosok paling bikin hati dongkol dalam Slender Man adalah Hallie yang ditakdirkan sebagai 'final girl'. Digambarkan senantiasa skeptis terhadap keberadaan Slender Man walau kedua sahabatnya telah jelas menghilang dan dia sempat pula melihat bayangannya, Hallie jelas menyebalkan. Yang kemudian mendorong saya untuk mengklasifikasikannya sebagai karakter antagonis adalah ketika dia masih sempat-sempatnya berenak-enak dengan lelaki yang ditaksirnya sementara di waktu bersamaan, Wren kewalahan mencari cara untuk mengalahkan si makhluk ceking. Kalau saya berada di posisi Wren yang nyawanya seperti dicabut saat mendengar kelakuan Hallie, mungkin tanpa pikir panjang, saya akan menjadikannya sebagai tumbal. Sahabat macam apa yang meninggalkan sahabatnya yang sedang kesusahan sampai nyaris gila, hah? Hah? 

Ketidaksanggupan untuk bersimpati kepada barisan karakter yang sepertinya sudah keburu ngacir saat Tuhan membagikan otak ini turut diperparah oleh pengarahan dari sang sutradara yang tidak bernyawa. Padahal Slender Man memiliki satu dua momen yang sebetulnya berpotensi menimbulkan mimpi buruk bagi penonton. Disamping video pemanggilan yang mempunyai visual pembangkit bulu kuduk, ada pula adegan yang berlangsung di perpustakaan dan rumah sakit yang jika ditangani oleh sutradara dengan sensitivitas tinggi akan membuatmu meringkuk di kursi bioskop. Sayangnya, Sylvain White bukanlah sosok pencerita dongeng seram yang ulung. Sentakan yang didapat dari dua momen potensial ini bukan berasal dari kengeriannya, melainkan bersumber dari musik pengiring yang ketajaman suaranya mengoyak gendang telinga. Duh. Yang juga disayangkan, sosok Slender Man di sini lebih terlihat menggelikan ketimbang mengerikan. Keputusan untuk enggan menjlentrehkan mitologinya secara mendetail (hanya dipaparkan sekilas lalu saja) dan memaksa si makhluk ceking untuk berkejar-kejaran dengan korbannya alih-alih berdiam diri sedikit banyak berkontribusi terhadap terpangkasnya kengerian film ini. Selama durasi mengalun sepanjang 93 menit yang terasa seperti 2 jam lebih karena alurnya yang merangkak, saya tak kuasa menahan kantuk mengikuti narasi basinya yang entah sudah berapa kali didaur ulang oleh film horor ini. Satu-satunya ketakutan yang saya dapatkan usai menonton Slender Man adalah membayangkan uang dan waktu yang bisa saya alokasikan untuk sesuatu yang lebih berfaedah, malah saya hambur-hamburkan secara percuma demi menonton film ini.

Poor (1,5/5)