This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 29 July 2018

REVIEW : TEEN TITANS GO! TO THE MOVIES


“The friendship will always bring us back.” 

Sekitar satu dekade lalu, siapa sih yang menyangka tokoh pahlawan kurang populer seperti Guardians of the Galaxy, Doctor Strange atau Ant-Man dari Marvel Comics bisa membawa penonton berduyun-duyun ke bioskop? Jangankan membayangkan laris, membayangkan judul-judul tersebut diboyong ke layar lebar saja nyaris tak terbersit di pikiran. Saya bahkan tak familiar dengan mereka sebelum diperkenalkan kembali melalui medium film. Berkat menjulangnya popularitas film superhero seperti sekarang ini, superhero manapun berkesempatan besar untuk memiliki filmnya sendiri. Marvel telah melakukannya berulang kali sedari semesta filmnya terbentuk, sementara DC Comics masih berkutat dengan nama-nama populer seperti Batman, Superman, hingga Wonder Woman. Belum berani menempuh gebrakan signifikan pada divisi live action, DC menjajalnya via divisi animasi. Upaya mereka memperkenalkan ‘pahlawan kecilnya’ kepada khalayak ramai ditempuh dalam film bertajuk Teen Titans Go! To the Movies yang disadur dari serial animasi populer dengan judul senada yang ditayangkan di kanal Cartoon Network. Di sini, penonton dipertemukan dengan kelompok superhero bernama Teen Titans yang pertama kali nongol di seri ke 54 dari komik The Brave and the Bold yang diluncurkan pada tahun 1964. 

Konfigurasi Teen Titans sendiri tersusun dari Robin (disuarakan oleh Scott Menville), Beast Boy (Greg Cipes), Starfire (Hynden Walch), Cyborg (Khary Payton), serta Raven (Tara Strong). Tidak seperti Justice League yang dielu-elukan oleh banyak pihak, Teen Titans kerapkali dipandang sebelah mata. Kebiasaan kelima remaja berkekuatan khusus ini selama memberantas kejahatan yang diselingi dengan bercanda, menyanyi, serta menari, membuat mereka dianggap sebatas bocah ingusan yang tidak pernah bisa serius memandang persoalan. Terlebih lagi, kelompok yang sering disindir sebagai ‘superhero pendamping’ ini tidak memiliki musuh bebuyutan yang tangguh. Apa menariknya seorang superhero jika mereka hanya melawan penjahat-penjahat kecil dan tidak mempunyai relasi benci-cinta dengan seorang supervillain? Itulah mengapa ketika Robin melontarkan permintaan kepada sutradara Hollywood papan atas yang menggarap sederet film superhero bernama Jade Wilson (Kristen Bell) untuk dibuatkan film tentang dirinya dan Teen Titans, Jade menolak. Dia hanya bisa menyanggupi setelah Robin beserta konco-konconya menemukan supervillain yang melawan mereka. Awalnya terdengar mustahil, sampai kemudian Slade (Will Arnett) yang menyerupai Deadpool membobol sebuah laboratorium di saat para superhero sedang menghadiri pemutaran perdana film tentang Batman. Teen Titans yang tidak diundang karena dianggap tidak cukup terkenal pun mencoba membuktikan diri dengan berusaha menghentikan Slade. 


Dinahkodai oleh Aaron Horvath bersama Peter Rida Michail yang bertindak selaku produser di versi serial televisinya, Teen Titans Go! To the Movies masih mengaplikasikan semangat sama yang diusung oleh materi sumbernya. Jika kamu pernah menengok satu-dua episodenya, atau malah mengikutinya, tentu mengetahui gelaran seperti apa yang akan dikedepankan di sini. Ya, ini tetaplah sebuah tontonan animasi dengan visual cerah ceria dan sarat guyonan receh nirfaedah yang (sesuai dengan pasar utamanya) cenderung kekanak-kanakkan. Tentu saja kamu tidak akan menemukan kompleksitas dalam jalinan pengisahan atau menjumpai nada penceritaan yang gelap-gelapan seperti siluman di sini. Sebaliknya, kamu akan memperoleh narasi cenderung suka-suka gue tapi terbilang imajinatif sekaligus berpesan moral yang berkenaan dengan persahabatan dan mendapati banyak sekali lawakan yang berhubungan dengan pantat, buang air besar, sampai kentut. Terdengar seperti tontonan yang cocok untukmu… atau tidak? Well, melalui Teen Titans Go! To the Movies, duo sutradara memang pada dasarnya ingin mengajak penonton cilik untuk bersenang-senang dengan gelaran superhero mengingat sebagian besar tontonan jenis ini yang dirilis di bioskop kurang ramah anak. Tapi di saat bersamaan, mereka juga berniat mengajak penonton dewasa yang sudah terlanjur serius dalam memandang segala-gala hal (termasuk film yang sejatinya diniatkan sebagai media pelepas penat) untuk membangkitkan kembali jiwa kanak-kanak yang mungkin sudah terkubur dalam-dalam. Kita diajak bergembira dengan menertawakan sesuatu yang sepele, lalu bernyanyi beserta menari mengikuti rentetan tembang pengisi yang catchy

Asyik sih, cuma, hmmm… kanak-kanak banget ya? Jangan risau, Teen Titans Go! To the Movies masih menyimpan amunisi tambahan sehingga penonton dewasa tidak merasa salah memasuki studio. Seperti halnya Deadpool (2016) dan The Lego Batman Movie (2017), Teen Titans Go! To the Movies tergolong sebagai metacinema yang secara sesuka hati mengolok-olok produk hiburan yang mengedepankan superhero. Jangankan dari sesama produk keluaran DC seperti Green Lantern yang versi layar lebarnya berusaha dilupakan oleh semua orang, kisah asal muasal para superhero, atau twist ‘pertemuan dua Martha’ di Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) yang menghenyakkan penonton, produk milik Marvel pun kena sasaran. Beberapa diantaranya melibatkan Deadpool, Guardians of the Galaxy, sampai kegemaran Stan Lee, salah satu kreator inti di Marvel Comics, mejeng sebagai cameo di film rilisan Marvel Studios. Ini masih belum ditambah referensi lebih luas ke budaya populer yang turut menyeret Back to the Future (1985) dan The Lion King (1994) sebagai ‘korban’ dan easter egg (printilan tersembunyi) yang rasa-rasanya akan membuat para geek bersuka cita di sepanjang durasi. Setidaknya, jika kamu merasa kesulitan untuk ikut tergelak-gelak bersama para bocah saat sebuah robot balon mengeluarkan suara menyerupai kentut, materi sarat referensi berikut cemoohan ke budaya populer ini akan memantik gelak tawamu. Jika masih belum juga berhasil, Teen Titans Go! To the Movies jelas bukan untukmu.

Info layanan masyarakat: Teen Titans Go! To the Movies memiliki dua adegan bonus yang terletak disela-sela end credit dan penghujung durasi.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Thursday, 26 July 2018

REVIEW : MISSION IMPOSSIBLE - FALLOUT


“There cannot be peace without first a great suffering. The greater the suffering, the greater the peace. The end you've always feared is coming and the blood will be on your hands.” 

I have a good news for you. Ladies and gentleman, Ethan Hunt is back! 

Usai rencana Ethan Hunt untuk menjalani hidup tenang digagalkan sedemikian rupa oleh seorang antagonis di Mission: Impossible III (2006) lalu disempurnakan oleh ‘kematian’ sang istri seperti dikonfirmasi dalam Mission: Impossible Ghost Protocol (2011), Ethan Hunt seolah tidak lagi memiliki alasan kuat untuk mengundurkan diri dari IMF dan menghabiskan masa senjanya dengan bersantai-santai di pantai. Terlebih, ada dorongan besar dari pihak studio pemilik cap dagang Mission: Impossible untuk terus menerjunkannya ke lapangan demi menuntaskan misi-misi mustahil lantaran resepsi yang diterima dari penonton maupun kritikus semakin menghangat dari seri ke serinya. Tom Cruise selaku bintang utama – menjabat pula sebagai produser – pun tidak keberatan untuk direkrut kembali, bahkan dia terus menawarkan diri melakoni rentetan sekuens laga berbahaya di beberapa seri terakhir tanpa bantuan pemeran pengganti. Mudahnya, selama masih ada yang bisa dieksplorasi dan masih ada yang bisa dijual baik dari segi narasi maupun gelaran laga, kenapa harus berhenti? Itulah kenapa setelah kekacauan masif di Rogue Nation (2015) yang menyebabkan ‘rumah’ jagoan utama kita, IMF, terancam gulung tikar, misi lainnya telah dipersiapkan oleh Christopher McQuarrie yang kembali menempati kursi penyutradaraan untuk Ethan Hunt dan tim di Fallout 

Misi yang harus dicapai oleh para protagonis kesayangan kita yang konfigurasinya terdiri dari Ethan Hunt (Tom Cruise), Luther Stickell (Ving Rhames), dan Benji Dunn (Simon Pegg) kali ini berhubungan dengan mengamankan plutonium, unsur kimia yang apabila jatuh ke tangan pihak-pihak tak bertanggung jawab dapat menjelma sebagai senjata nuklir mematikan. Salah satu pihak yang mengincar plutonium tersebut adalah Apostles, sebuah kelompok misterius yang mempercayai konsep bahwa perdamaian dunia hanya bisa direngkuh apabila masyarakat dunia telah menderita secara hebat. Nah, memanfaatkan plutonium ini, Apostles berencana untuk melancarkan serangan yang dapat menyebabkan sedikitnya sepertiga populasi dunia musnah dari peradaban. Ethan Hunt yang menyadari dunia tengah berada di ujung tanduk, tentu tidak tinggal diam begitu saja. Ditemani oleh dua rekan setianya beserta seorang agen CIA, August Walker (Henry Cavill), yang motifnya masih samar-samar, Ethan pun bertolak ke Perancis, Inggris, hingga Kashmir, guna mencegah Apostles mendapatkan plutonium. Misi yang sejatinya sudah rumit dan memiliki pertaruhan sangat tinggi ini menjadi kian kompleks tatkala Ethan berjumpa kembali dengan mantan agen MI6, Ilsa Faust (Rebecca Ferguson), lalu menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang bisa dia percaya, dan mendapati sebuah fakta mengejutkan dari masa lalu.


Seperti halnya Rogue Nation, Fallout telah mencuri perhatian sedari menit pembuka. Pembedanya, Christopher McQuarrie tidak langsung menyuguhi penonton dengan sekuens laga pemompa adrenalin yang memperlihatkan Tom Cruise sedang bergelayutan di ketinggian. Sebagai gantinya, dia menyisipinya dengan latar belakang permasalahan yang akan dikulik oleh film. Ethan Hunt beserta timnya mengacaukan transaksi pembelian plutonium yang berimbas pada raibnya benda berbahaya tersebut, sehingga dia harus bertanggungjawab untuk menemukannya kembali dengan disupervisi secara langsung oleh pihak CIA. Beranjak dari sini, film tidak mengizinkan penonton untuk menghembuskan nafas, mengecek ponsel genggam, atau pamit sejenak ke toilet. Sebagai pemanasan, Tom Cruise mengajak kita melompat dari pesawat yang telah melambung hingga ketinggian 25 ribu kaki. Sebagian dari kalian mungkin mengira bahwa adegan ini dieksekusi di dalam studio menggunakan bantuan layar hijau – atau kalaupun nyata, menggunakan pemeran pengganti – tapi faktanya adalah Tom Cruise beserta Rob Hardy, sang sinematografer, memang diterjunkan dari pesawat. Mereka menjalani pelatihan selama setahun demi mengabadikan adegan yang hanya bisa diambil selama 3 menit setiap harinya ini apabila ingin mendapatkan pencahayaan yang sempurna. Gila, kan? Tapi tenang saja, kegilaan tidak akan memuncak secara dini karena Fallout masih menyimpan seabrek stok rangkaian laga impresif yang akan membuat jantungmu berdegup dalam tempo cepat untuk menghiasi sisa durasi. 

Setelah pendaratan di Paris, Fallout mulai konsisten memunculkan sekuens laga secara sambung menyambung dan mengeskalasi ketegangan yang seketika membangun mood ke arah positif. Yang dapat kita antisipasi selama Ethan bertandang ke Kota Cahaya adalah pertarungan tangan kosong di toilet laki-laki yang intensitasnya melemparkan ingatan saya ke The Raid (2011) beserta ciri khas dari rangkaian seri Mission: Impossible yakni kebut-kebutan beroktan tinggi memanfaatkan kendaraan bermotor. Mengingat mereka sedang melakukan kunjungan ke Paris, maka sudah barang tentu aksi tidak akan berlangsung di pedesaan yang tenang melainkan lokasi turistik yang ramai kendaraan berlalu lalang seperti Champs-Élysées dan Arc de Triomphe. Itu berarti, kamu bakal disuguhi adegan yang menunjukkan Ethan menggeber motor bertipe R NineT dan mobil BMW klasik melintasi kepadatan kota saat jam sibuk. Mendebarkan? Tentu saja. Selama momen laga berintensitas tinggi yang memiliki durasi cukup panjang ini, saya bahkan mengalami kesulitan untuk bernafas dan terus mencengkram erat pegangan kursi bioskop. Sensasi yang kurang lebih sama – meski cakupan skalanya tidaklah sebesar aksi di Paris – turut bisa dicecap oleh penonton kala para protagonis bertolak ke London yang menghadirkan adegan kejar-kejaran mengasyikkan menggunakan kaki dan melompat-lompati atap gedung. Dalam penggarapan adegan ini, pergelangan kaki Tom Cruise mengalami retak ketika kakinya membentur dinding sehingga tahapan produksi sempat diberhentikan selama tujuh pekan untuk menunggu sang aktor utama pulih dari cederanya. 



Saat kamu mengira segala kesenangan di Paris dan London ini sudah tidak bisa lebih sinting lagi – seperti saat kamu mengira Rogue Nation telah bertengger di puncak seri terbaik Mission: Impossible terkait kecapakannya mengkreasi parade gelaran laga – Fallout mempersembahkan kita dengan ‘pertarungan’ helikopter yang entah bagaimana caranya akan dilampaui oleh instalmen berikutnya. Sulit dibayangkan. Yang kemudian membuat sederet momen laga ini memiliki impak lebih dari sisi intensitas disamping dedikasi Tom Cruise, gerak kamera dinamis, penyuntingan cekatan, dan iringan musik menghentak adalah kapabilitas McQuarrie dalam bercerita. Dia memberi narasi penghantar untuk setiap momen laga sehingga keberadaannya bukanlah sebatas ajang unjuk kebolehan semata, tetapi ada urgensi dan pertaruhan yang jelas dibaliknya. Pendekatannya kurang lebih senada dengan Rogue Nation dimana jalinan pengisahan yang diajukan oleh si pembuat film mengandung konflik berlapis-lapis penuh konspirasi dan tikungan-tikungan tak terduga yang membetot atensi. Tidak sepenuhnya baru dan ada kalanya terasa berbelit-belit, tapi cara penyampaiannya menggunakan nada pengisahan yang bergerak gesit seraya disisipi humor pengundang gelak tawa memungkinkan penonton untuk terhindar dari kejenuhan ketika mendengar para agen dalam film saling bertukar dialog guna memberi eksposisi mengenai persoalan yang tengah mereka hadapi. Pertanyaan “siapa yang bisa dipercaya?” senantiasa diperbaharui setiap beberapa menit sekali karena, well, setiap karakter mempunyai kesempatan sama besar untuk membelot termasuk Ethan Hunt sendiri. Keberadaan sang Superman alias Henry Cavill yang menggantikan Jeremy Renner (konon, jadwalnya bertabrakan dengan syuting Avengers terbaru) menimbulkan tanda tanya mengingat keputusannya untuk ikut serta dalam misi tim kecil Ethan Hunt masih dipertanyakan. 

Demi menambah daya pikat, McQuarrie turut mengulik lebih dalam kehidupan pribadi Ethan Hunt dalam Fallout yang tak saja membantu menjabarkan motivasinya dibalik aksi berani mati yang dilakoninya selama ini tetapi juga menginjeksikan momen mengharu biru pada film. Sebuah momen yang turut berkontribusi dalam menempatkan Fallout sebagai seri terbaik dalam rangkaian seri Mission: Impossible. Sebentar, sebentar, terbaik? Ya, berkat Fallout, franchise Mission: Impossible telah berhasil menjalankan setidaknya dua hal. Pertama, memosisikan diri sebagai cap dagang paling jempolan untuk subgenre spionase secara spesifik (laga secara umum) di abad ke-21 ini mengungguli Jason Bourne yang telah berakhir dan James Bond yang kurang konsisten. Dan kedua, Fallout membuktikan bahwa franchise ini menua dengan anggun selayaknya Tom Cruise karena setiap serinya senantiasa melampaui pencapaian dari seri sebelumnya. Serentetan kesenangan yang kita dapatkan dari jilid-jilid terdahulu, utamanya Ghost Protocol dan Rogue Nation, dilipatgandakan oleh McQuarrie di sini melalui seabrek sekuens laga gila lalu dipertautkan dengan narasi mengikat yang mengundang ketertarikan dan jajaran pemain ansambel badass terutama trio Cruise-Rhames-Pegg yang chemistry-nya kian solid. Tanpa memedulikan durasi panjangnya yang merentang hingga 147 menit, diri ini masih berteriak “I want more! I want more!” di penghujung durasinya saking kecanduannya. Semoga saja Tom Cruise diberi umur panjang dan kesehatan sehingga kita bisa melihat seri lainnya dari Mission: Impossible di tahun-tahun mendatang.

Outstanding (4/5)


Monday, 23 July 2018

REVIEW : MAMMA MIA! HERE WE GO AGAIN


“I don’t know what my future holds, but the world is wide and I want to make some memories.” 

Kapan terakhir kali kamu merasa bahagia selepas menyaksikan sebuah film di bioskop? Kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, atau sudah terlalu lama sampai tak sanggup untuk mengingatnya dengan jelas? Bagi saya, pengalaman membahagiakan tersebut baru saja terjadi dua hari silam seusai memutuskan untuk menebus tiket Mamma Mia! Here We Go Again arahan Ol Parker (Imagine Me & You, Now Is Good). Saya sendiri memang cukup menikmati instalmen pertamanya yang dirilis pada tahun 2008 silam – sekalipun noraknya kebangetan – karena bagaimanapun juga menyaksikan sebuah film musikal yang materi ceritanya disusun berdasarkan pustaka lagu keluaran grup musik populer asal Swedia, ABBA, tetaplah menyenangkan. Maka begitu jilid keduanya dilepas dengan jajaran pemain yang masih sama (plus beberapa wajah baru), tidak ada alasan untuk melewatkannya begitu saja. Kala akhirnya duduk manis di dalam gedung bioskop demi menyaksikan Mamma Mia! Here We Go Again, ekspektasi yang saya tanamkan tidaklah muluk-muluk. Asalkan bisa dibuat berdendang dan bergoyang mengikuti irama lagu-lagu nostalgia dari ABBA di sepanjang durasi seperti jilid pendahulunya, saya sudah puas. Tapi kemudian menit demi menit bergulir yang perlahan tapi pasti menyadarkan diri ini: hey, ini lebih baik dari film pertamanya! Yang saya maksud lebih baik disini tidak hanya pada sektor narasi, tetapi juga pengemasan yang membuat setiap momen musikalnya terasa lebih meriah ketimbang seri pendahulunya. What a surprise, huh?... or not

Dalam Mamma Mia! Here We Go Again, kita diboyong menuju lima tahun selepas rentetan kejadian di film pertama sekaligus dua puluh lima tahun sebelumnya. Pada linimasa pertama, kita mendapati bahwa Donna Sheridan (Meryl Streep) telah meninggal. Putrinya, Sophie (Amanda Seyfried), sedang mempersiapkan segala urusan untuk menggelar pesta pembukaan kembali hotel milik sang ibunda di Kalokairi, Yunani. Akan tetapi ditengah kesibukannya tersebut, Sophie justru bertengkar hebat dengan suaminya, Sky (Dominic Cooper), yang mendapat tawaran pekerjaan di New York dan dikecewakan oleh kedua ayahnya, Harry (Colin Firth) beserta Bill (Stellan Skarsgard), yang urung menghadiri pesta pembukaan karena kesibukan masing-masing. Beruntung bagi Sophie masih memiliki ayah lain, Sam (Pierce Brosnan), dan dua sahabat dekat sang ibu, Tanya (Christine Baranski) dan Rosie (Julie Walters), yang bersedia menemani sekaligus membantu Sophie mempersiapkan pesta. Melalui sosok Tanya dan Rosie ini, Sophie berkesempatan untuk mendengar kisah masa muda sang ibu. Beranjak dari sana, penonton memasuki linimasa kedua yang menyoroti sepak terjang Donna muda (Lily James) dalam misi mencari jati. Pencarian tersebut membawa Donna menyusuri Paris yang lantas mempertemukannya dengan Harry muda (Hugh Skinner), kemudian Bill muda (Josh Dylan) dalam pelayaran menuju Yunani, dan akhirnya Sam muda (Jeremy Irvine) setibanya Donna di Kalokairi. Hubungan singkat yang terjalin antara Donna dengan ketiga laki-laki inilah yang memunculkan pertanyaan, “siapa ayah kandung dari Sophie?”, di film pertama.


Jika film pertama lebih banyak berceloteh mengenai cinta, maka Mamma Mia! Here We Go Again menghadirkan topik yang lebih serius, yakni membicarakan tentang kehilangan. Atau lebih mendalam lagi, ini adalah sebuah kisah tentang mengenang mereka yang telah tiada, merayakan pencapaian hidup mereka, dan melestarikan peninggalan mereka. Sebuah materi yang sebetulnya lebih memungkinkan dilantunkan dengan nada penceritaan yang sendu-sendu mengundang – meski belakangan cukup sering diaplikasikan ke film komedi. Tapi berhubung ini adalah film kelanjutan dari Mamma Mia! The Movie yang di sepanjang durasinya menampilkan para karakter yang senantiasa bersenandung dan menari-nari bahagia diiringi tembang-tembang hits milik ABBA, sudah barang tentu kamu tidak akan menjumpai karakter yang bermuram durja berlama-lama dalam Mamma Mia! Here We Go Again. Ol Parker mengajak Sophie dan kerabat-kerabatnya (beserta penonton, tentu saja) untuk mengenang Donna dengan menceritakan masa mudanya yang dipenuhi keberanian, spontanitas, dan semangat berapi-api. Tidak seperti sang pendahulu yang guliran pengisahannya kerapkali maksa demi mengakomodir masuknya lagu-lagu ABBA ke dalam film sampai-sampai memberikan efek samping berupa meringis (tapi tetap fun), naskah rekaan Parker tersusun lebih rapi. Juktaposisi masa sekarang dengan masa lalunya berimbang, bahkan saling menyokong satu sama lain. Kita tertarik untuk mengikuti petualangan Donna muda dalam menemukan mimpinya, kita juga menginvestasikan emosi pada Sophie yang berjuang untuk meneruskan mimpi sang ibu. 

Yang juga lebih baik di sini adalah penggunaan lagu-lagu ABBA yang tak lagi ditempatkan secara sembarangan. Memang betul Mamma Mia! Here We Go Again tak semenonjol sang kakak dari segi playlist mengingat sebagian besar koleksi terpopuler ABBA telah dipergunakan di film pertama. Akan tetapi, lagu-lagu ‘kecil’ ABBA ini malah justru lebih menyatu ke dalam penceritaan, utamanya rendisi ‘My Love, My Life’ oleh Lily James, Amanda Seyfried, serta Meryl Streep yang merupakan titik puncak dari film. Kamu akan terdiam, hati terasa bergetar, dan pada akhirnya meneteskan air mata. Apabila kamu telah kehilangan sosok ibu, momen ini akan menonjok emosimu hebat-hebat. Jika kamu masih memiliki ibu (dan berada jauh dari beliau), keinginan untuk menelpon seusai menonton seketika timbul. Dan jika kamu menonton bersama ibu atau orang terkasih, momen ini akan membuat kalian saling memberikan pelukan hangat. Salah satu momen terindah sekaligus paling emosional dalam film. Parker pun menempatkannya dengan tepat, setelah kita berulang kali diajak melantai ke lantai dansa. Ya, ‘My Love, My Life’ menjadi semacam gong usai sederet momen musikal yang sebagian besar diantaranya ditunjang koreografi tari meriah bukan kepalang. Nomor ‘When I Kissed the Teacher’ memberi pemanasan yang enerjik di menit pembuka, lalu kita mendapatkan ‘One of Us’ yang cukup bikin baper, disusul oleh ‘Waterloo’ yang keceriaannya mengundang tangis bahagia, kemudian ‘Angel Eyes’ yang membuat saya terpingkal-pingkal, lantas hadir versi baru ‘Dancing Queen’ yang semeriah film pertama, dan ditutup dengan penuh keceriaan oleh ‘Super Trouper’ dimana seluruh karakter bernyanyi-nyanyi bersama. 



Ol Parker mengupayakan agar seluruh ‘tamu undangannya’ yang menghadiri pesta pembukaan hotel dan perayaan mengenang Donna dapat berbahagia di sepanjang durasi. Kamu memang akan membutuhkan tissue ketika Meryl Streep memutuskan untuk bergabung, tapi selain itu, kamu bakal kesulitan mengontrol bahu maupun kaki untuk tidak bergerak-gerak kala nomor-nomor klasik ABBA diperdendangkan. Terutama jika kamu memiliki hobi berkaraoke seperti saya dan menggemari lagu-lagu easy listening-nya ABBA. Sulit, sungguh sulit. Momen-momen musikal yang lebih menghentak ini melebur dengan manis bersama sinematografi yang lebih piawai dalam mengabadikan keindahan Kalokairi sekaligus lincah mengikuti gerak tari, naskah yang lebih menggigit, dan jajaran pemain ansambelnya yang tampak bersenang-senang di sini. Amanda Seyfried bermain solid sebagai Sophie yang kerap dihadang keragu-raguan, duo Christine Baranski beserta Julie Walters kerap ciptakan ledakan tawa, trio bapak (Pierce Brosnan, Colin Firth, dan Stellan Skarsgard) masih mencuri perhatian meski jatah tampil agak berkurang – kecuali Brosnan, dan Meryl Streep dalam penampilan singkatnya tetap saja terasa bertenaga. Karismanya memancar kuat. Karisma yang sama turut muncul dari Lily James yang memerankan masa mudanya yang periang dan mudah untuk disukai. James menjalin chemistry apik bersama pemeran masa muda trio bapak (Jeremy Irvine, Hugh Skinner, dan Josh Dylan) dan pemeran masa muda sahabatnya, Jessica Keenan Wynn beserta Alexa Davies. Dan oh, tentu saja jangan lupakan Cher sebagai nenek Sophie yang menambah keriaan di Kalokairi dengan menyanyikan ‘Fernando’ bersama Andy Garcia yang memerankan manajer hotel. 

Dengan segala keceriaan dan kebahagiaan ditebar di sepanjang durasi, bagaimana mungkin saya bisa menolak pesona yang diberikan oleh Mamma Mia! Here We Go Again? My my, how can I resist you? Kesenangan yang saya dapatkan di film pertama, digandakan oleh si pembuat film di sini. Kekurangan yang mencederai film pertama, diperbaiki di sini. Tontonan ini memang tidak akan cocok bagi mereka yang sinis pada film ringan karena narasinya yang lurus-lurus saja seperti film komedi romantis kebanyakan. Namun jika kamu tidak keberatan diajak berdansa-dansi dan berkaraoke dengan tembang ABBA seraya mengikuti guliran penceritaan yang cheesy, Mamma Mia! Here We Go Again jelas ditujukan untukmu. Bahkan saya sangat merekomendasikan film ini kepada siapapun yang menginginkan sebuah tontonan yang membantu untuk mencerahkan mood yang buruk – karena ini membantu saya. Disamping hati dibuat bungah selama menonton, saya pun masih tidak bisa berhenti tersenyum setelah melangkahkan kaki ke luar bioskop. Ada perasaan bahagia menggelayuti diri ini yang kemudian mendorong saya untuk membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang lain. Sebuah sensasi yang sudah cukup lama tidak saya dapatkan saat menonton di bioskop dan berkat Mamma Mia! Here We Go Again, saya bisa kembali mendapatkannya. Bagusss!

Outstanding (4,5/5)


Saturday, 21 July 2018

REVIEW : 22 MENIT


“Angkasa, monitor, angkasa, monitor, telah terjadi ledakan dan kontak senjata.” 

Pada 14 Januari 2016 silam – tatkala masyarakat ibukota tengah disibukkan oleh rutinitas harian – Jakarta mendadak diguncang oleh serentetan ledakan bom di kawasan Thamrin. Satu bom meringsekan pos polisi, bom lainnya mengoyak kedai Starbucks yang berada di Sarinah. Imbas dari tragedi ini, delapan orang dinyatakan tewas dengan perincian empat warga sipil dan empat pelaku penyerangan. Pihak kepolisian lantas bergegas menurunkan personilnya untuk melumpuhkan para teroris yang belakangan diketahui berasal dari kelompok Bahrun Naim dan terafiliasi secara langsung dengan ISIS. Yang tak banyak diketahui oleh khalayak ramai, Polri hanya membutuhkan waktu kurang lebih 22 menit untuk meringkus para pelaku. Fakta kecil ini dibeberkan oleh duo sutradara Eugene Panji (Cita-Citaku Setinggi Tanah, Naura dan Genk Juara) dan Myrna Paramita dalam film garapan mereka bertajuk 22 Menit yang terinspirasi dari peristiwa pengeboman tersebut. Mendapat sokongan penuh dari Polri selama menjalani masa riset dan tahapan produksi ini, film bertipe PSA (public service announcement) ini tak saja mencoba menghadirkan tontonan untuk menggugah rasa kemanusiaan tetapi juga diniatkan untuk mengapresiasi kinerja cekatan polri dan membangun kesadaran publik terhadap pertumbuhan kelompok terorisme yang kian masif di negeri ini. 

Dalam merekonstruksi ulang tragedi Thamrin dalam 22 Menit, Eugene Panji dan Myrna Paramita memecah fokus penceritaan ke dalam empat sudut pandang berbeda yang masing-masing mewakili kisah seorang anggota unit antiterorisme bernama Ardi (Ario Bayu), seorang polisi lalu lintas bernama Firman (Ade Firman Hakim), seorang office boy bernama Anas (Ence Bagus), dan seorang karyawati bernama Dessy (Ardina Rasti). Sebelum keempat kisah ini dipertautkan oleh ledakan bom di Thamrin, penonton memperoleh sekelumit latar belakang yang menceritakan tentang kehidupan pribadi keempat karakter ini serta kronologi berkumpulnya para karakter ini di TKP. Ardi diceritakan telah memiliki keluarga kecil dan hari itu diawalinya dengan mengantar si buah hati ke sekolah, Firman yang hendak melangsungkan pernikahan tengah dirundung kegalauan lantaran tunangannya tiba-tiba menciptakan jarak, Anas berusaha membantu sang kakak untuk mendapatkan pekerjaan setelah kegagalan usaha yang kesekian kalinya, dan Dessy sedang terburu-buru mengendarai mobil demi menghadiri sebuah rapat penting. Sebagian dari mereka akhirnya bertemu satu sama lain – tanpa disadari atau tidak – saat Firman menilang Dessy karena melanggar peraturan berkendara dan tak berselang lama terjadi ledakan bom yang kemudian menyatukan keempat karakter berbeda latar belakang ini. 



Untuk sesaat, 22 Menit membawa ingatan saya melayang ke Vantage Point (2008). Dalam film tersebut, narasi terbagi ke sejumlah perspektif beberapa karakter yang nantinya bermuara ke satu pokok permasalahan: upaya pembunuhan seorang presiden. Mengingatkan juga pada film klasik Rashomon (1950), teknik bercerita seperti ini seolah mengajak penonton untuk ikut berpartisipasi dalam memecahkan satu kasus dengan mendengar atau melihat kesaksian berbeda-beda dari beberapa karakter yang terlibat secara langsung. Sungguh menarik terlebih ada misteri besar yang membutuhkan pengungkapan. Ada urgensi yang terpampang nyata dibalik pilihan kreatif ini, meski Vantage Point sendiri akhirnya bermasalah menapaki pertengahan durasi karena terasa repetitif. 22 Menit yang mengadopsi gaya penceritaan tersebut di separuh awal demi menjabarkan kronologi berkumpulnya para karakter utama ke lokasi ledakan pun mengalami persoalan serupa dengan Vantage Point. Pembedanya, persoalan tersebut mengemuka sedari awal karena sejatinya 22 Menit tidak memiliki urgensi untuk diceritakan dengan teknik ini. Mereka semua memiliki permulaan yang sama, akhir yang sama, dan tidak ada sudut pandang signifikan dari masing-masing karakter. Jika demikian, kenapa keempat kisah ini tidak disampaikan secara beriringan saja sehingga saat peristiwa ledakan terjadi muncul dampak lebih besar yang menghujam emosi penonton? 

Keputusan kreatif ini sedikit banyak menggerus greget yang dipunyai oleh film. Lebih-lebih, Husein M Atmodjo beserta Gunawan Raharja selaku penulis skenario tidak memberi porsi berimbang bagi para karakter kunci. Kita cukup mengenal Firman dan Anas karena keduanya memiliki konflik, akan tetapi kita tidak cukup mendapat penjelasan perihal Ardi dan Dessy yang hanya kita kenal sebagai anggota unit antiterorisme dan karyawati. Tidak pernah lebih. Alhasil, sulit untuk bisa benar-benar terhubung atau berempati kepada mereka lantaran naskah hanya menyediakan sedikit ruang bagi para karakter untuk tumbuh berkembang. Padahal ada potensi terciptanya momen emosional yang merobek hati andai kisah keempat manusia ini digali lebih mendalam. Yang juga luput disorot oleh 22 Menit adalah latar belakang para teroris. Dalam sebuah konferensi media, Eugene Panji memang pernah menyatakan bahwa dirinya enggan membahas mengenai kelompok Bahrun Naim demi menghindari kontroversi mengingat ada sangkut paut agama di dalamnya (sekadar informasi, Eugene pernah terseret kontroversi akibat Naura dan Genk Juara yang dituding melecehkan Islam). Hanya saja, mengingat sebagian jiwa 22 Menit berpijak di koridor fiksi, tidak ada salahnya latar belakang tersebut ‘dipalsukan’ mengingat penjelasan ini terhitung penting untuk mempertegas pesan yang hendak disampaikan serta sebagai pengantar menuju resolusi dalam film yang cenderung out of nowhere mengingat penonton tidak dibekali informasi sebelumnya. Rasanya gemes gitu.


Beruntung 22 Menit masih mencuri perhatian di sektor laga. Ditunjang oleh musik gubahan Andi Rianto yang dentumannya efektif dalam menguarkan nuansa mencekam, polesan efek khusus dari Geppetto Animation, serta gerak kamera oleh Aga Wahyudi bersama Jimmy Fajar, penonton bisa merasakan kengerian kala bom meledak dilanjut tembak-tembakan di ruang terbuka antara polisi dengan teroris. Penonton juga bisa mencecap keseruan aksi para pengejaran para teroris di dalam gedung perkantoran, sekalipun upaya untuk patuh pada fakta (sesuai judul, Polri bisa meringkus pelaku dengan mudah hanya dalam waktu 22 menit) sedikit menurunkan intensitas karena Ardi bersama rekan-rekannya sesama polisi tidak memperoleh perlawanan yang sengit dari lawanan. Keengganan si pembuat film untuk membeberkan profil satu-dua pelaku, termasuk dengan tidak memberinya segmen sendiri, juga berpengaruh pada greget di klimaks yang urung melambung lebih tinggi lantaran penonton tidak pernah mengenal siapa lawan yang dihadapi oleh jagoan-jagoan kita – mereka hanyalah karakter figuran yang telah ditakdirkan untuk mati. Andai saja pihak pembuat film memberikan porsi penceritaan yang mumpuni untuk barisan karakternya, menambah kuota durasi yang hanya 71 menit demi mengorek persoalan lebih mendalam dan bersedia memberi bocoran terkait resep penangkapan yang berjalan mulus (saya berharap adegan penyusunan strategi lebih dikulik) sekaligus membeberkan identitas para pelaku, bukan tidak mungkin 22 Menit akan mampu tersaji tidak hanya sebagai gelaran laga yang lebih solid tetapi film PSA yang efektif. Khalayak ramai akan mengagumi kinerja Polri dan menyadari bahwa bibit-bibit terorisme telah banyak tersebar di sekitar kita.

Acceptable (3/5)

Friday, 20 July 2018

REVIEW : BUFFALO BOYS


“Balas dendam mungkin adalah hak. Tapi pengampunan akan membuat batinmu lebih kuat.” 

Apabila ada penghargaan untuk ‘trailer film paling keren’, Buffalo Boys mestinya mendapatkan penghargaan tersebut. Betapa tidak, dalam tempo waktu sepanjang 2,5 menit, tim penyusun trailer mampu menyusun secara rapi rentetan money shots yang dipunyai oleh film garapan Mike Wiluan (produser Rumah Dara dan Headshot) tersebut diiringi dengan musik menggebu-nggebu sehingga menghasilkan trailer yang amat menjual. Disamping pengemasan, ada satu hal yang menarik perhatian dari trailer ini: tampilan yang memberi kesan bahwa Buffalo Boys bukanlah film produksi Indonesia. Ada yang bilang mirip film Hollywood, tapi bagi saya lebih mirip ke film Asia berbujet besar dengan skala produksi internasional (dan kenyataannya, memang seperti itulah Buffalo Boys). Apapun pendapatmu, rasanya kita sama-sama sepakat kalau trailer ini mengundang ketertarikan untuk menontonnya secara seketika bahkan sempat membuat saya mengucap, “nyoh, nyoh, ini lho duitku! Aku rela kamu ambil, nyoh nyoh!,” selepas menengok trailernya. Tak bisa dibendung, ada ekspektasi menjulang yang tercipta dari sini. Lebih-lebih, Buffalo Boys menghembuskan nafas baru bagi perfilman Indonesia dengan menghadirkan tontonan laga berbumbu sejarah tanah air di era kolonial menggunakan pendekatan bak western film. Sebuah tontonan yang tentunya jarang-jarang bisa ditemui di perfilman yang lebih gemar mengkreasi “tontonan murah meriah” ketimbang genre movies yang membutuhkan ongkos produksi raksasa. 

Buffalo Boys melemparkan penonton ke abad 19 tatkala Belanda masih menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Penindasan terhadap pribumi oleh kompeni masih jamak dijumpai dimana-mana, termasuk di sebuah kota kecil tanpa nama yang terletak di Pulau Jawa. Sebuah kota kecil dibawah kekuasaan pemimpin lalim bernama Kapten Van Trach (Reinout Bussemaker) yang memaksa rakyatnya untuk menanam opium yang dianggap lebih menguntungkan. Apabila mereka menolak dan tetap kekeuh bercocok tanam dengan padi, anak buah Van Trach tanpa segan-segan akan turun tangan lalu mengeksekusi para pemberontak. Entah ditembak langsung, digantung hidup-hidup di tengah hutan, atau diserahkan ke algojo untuk digantung di alun-alun. Penindasan ini terus berlangsung selama bertahun-tahun lamanya sampai kemudian ‘ratu adil’ datang membawa harapan kepada rakyat cilik dalam wujud dua kakak beradik, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), beserta paman mereka, Arana (Tio Pakusadewo). Kedatangan mereka bertiga ke kota ini sebetulnya dalam rangka membalas dendam kematian Sultan Hamza (Mike Lucock), ayah dari kakak beradik ini, yang dibunuh secara membabibuta oleh Van Trach. Akan tetapi, perkenalan ketiganya dengan Kiona (Pevita Pearce), putri dari seorang kepala desa, dan sang kakek, Suroyo (El Manik), lantas mengubah rencana mereka dari misi balas dendam menjadi misi menyelamatkan rakyat terlebih setelah mereka menyaksikan secara langsung bagaimana Van Trach memperlakukan rakyatnya secara semena-mena.


Sebagai film Indonesia pertama yang mengawinkan genre laga dengan elemen sejarah dan pendekatan western film, Buffalo Boys tentu layak diapresiasi. Kapan lagi coba kita bisa mendapatkan tontonan semacam ini? Agak sulit membayangkan akan ada film sejenis dalam waktu dekat. Ini bagaikan oase ditengah keringnya ragam film dalam perfilman Indonesia. Mike Wiluan beserta rumah produksi Screenplay Infinite Films mesti diberi kredit khusus untuk inovasi mereka sekalipun hasil akhir Buffalo Boys kurang menggairahkan. Tunggu, tunggu, kurang menggairahkan? Ya, saya mau tak mau – dengan berat hati – harus menyampaikan satu berita tak membahagiakan ini kepada para pembaca yang budiman; Buffalo Boys ternyata tidaklah segahar trailernya. Ada berbagai problematika yang dihadapinya sepanjang durasi merentang, baik itu berasal dari skrip, pengarahan, penyutingan, gerak kamera, sampai efek khusus. Ibarat skripsi, coret-coretan dosen pembimbing bisa dijumpai di hampir setiap halaman. Yang paling krusial dan berkontribusi terhadap berkurangnya semangat dalam menonton adalah skenario racikan trio Mike Wiluan, Raymond Lee, dan Rayya Makarim yang setipis kertas. Jangankan memperoleh referensi sejarah yang memberi nutrisi pada otak, skripnya saja masih kelabakan dalam memberi latar belakang yang memadai bagi dua karakter utama film sebagai penggerak roda cerita (misal: kenapa sih mereka minggatnya jauh ke Amerika? Lalu, bagaimana karakteristik keduanya?). Belum lagi ditambah logika-logika bercerita yang menimbulkan tanda tanya besar dan dialog-dialog yang dilontarkannya terdengar janggal sekali seperti para karakter ini sedang membaca buku teks Bahasa Indonesia ketimbang ngobrol. 

Alhasil, saya tidak pernah bisa betul-betul mengenal Jamar dan Suwo. Saya hanya tahu Jamar adalah sosok yang keras dan memiliki ketakutan pada kalajengking, sedangkan Suwo adalah pribadi yang kerap disepelekan (karena dia bungsu) dan mempunyai magnet kuat ke perempuan. Itupun hanya dijelaskan melalui satu dua dialog, satu dua adegan, tanpa ada impak berarti ke penceritaan. Jajaran karakter pendukungnya malah hanya dijelaskan lewat reaksi mereka terhadap karakter utama; jika menerima kehadiran para karakter utama maka mereka adalah orang baik yang tersakiti, dan jika geram maka mereka adalah orang jahat yang perlu dilawan. Konstan berada di area hitam dan putih dari babak pertama hingga babak ketiga, tanpa ada satupun relawan yang berkenan menyebrang ke area abu-abu untuk menambah greget. Alhasil (maaf saya mengulanginya lagi), bangunan karakternya membosankan. Van Trach dan Kiona sebetulnya paling memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai karakter yang memiliki kompleksitas. Van Trach mewakili supremasi kulit putih yang eksistensinya terancam oleh kaum minoritas, sedangkan Kiona adalah representasi perempuan yang teropresi oleh budaya patriarki dan berusaha memberi perlawanan. Alih-alih dikembangkan lebih lanjut, mereka berdua justru terjerembab ke stereotip; Van Trach adalah penjahat keji tanpa motif memuaskan kecuali karena dia berdarah Belanda dan Kiona hanyalah damsel in distress seperti halnya Sri (Mikha Tambayong), adiknya, yang tetap membutuhkan pertolongan dua jagoan utama kita yang lempeng-lempeng saja itu. 



Bangunan karakter yang lemah ini lantas berimbas ke performa jajaran pelakonnya yang terasa hampa. Mengerahkan aktor-aktris keren sebanyak itu untuk mengisi departemen akting, hanya satu dua yang meninggalkan impresi baik. Mereka adalah Happy Salma sebagai Seruni (simpanan Van Trach), dan duo pemeran anak buah Van Trach, Zack Lee beserta Hannah Al Rashid, yang entah siapa nama karakter yang mereka perankan. Ironisnya, Zack dan Hannah hanya dibekali secuplik dialog saja, lalu hanya mejeng di depan kamera kala adegan berantem siap dilaksanakan. Dihilangkan pun sejatinya tidak jadi soal, kecuali mengurangi stok penampilan bagus di film. Ada banyak sekali pemeran yang keberadaannya tersia-siakan disini sebagai akibat dari ketidaklincahan Mike Wiluan dalam menempati posisi tukang bercerita. Naskahnya lemah, begitu pula dengan pengarahannya yang nyaris tanpa tenaga. Buffalo Boys mengalun dengan tempo tersendat-sendat yang membuat saya sempat beberapa kali menengok jam tangan. Menilik hasil akhir naskahnya, saya sejujurnya sangat menyayangkan keputusan si pembuat film untuk mengaplikasikan mode serius ke nada penceritaan. Imbasnya, film akan sempat berada di fase menjemukan karena guliran penceritaan dan bangunan karakternya tidak cukup kuat untuk menjerat atensi penonton. Andai saja Buffalo Boys memang diniatkan sebagai popcorn movies semata yang tujuannya mengajak penonton bersenang-senang, boleh jadi film akan terasa lebih menyenangkan untuk ditonton karena saat berbicara mengenai sekuens laga, itu adalah kekuatan yang dipunyai oleh film ini. 

Ya, saya masih bersyukur bisa mendapati adanya sesuatu yang memacu semangat kala menyaksikan Buffalo Boys. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga momen laga yang dikreasi dengan cukup keren. Pertama, pertarungan ilegal di dalam kereta yang melaju kencang menembus gersangnya gurun California. Kedua, pertarungan di dalam bar yang melibatkan Yoshi Sudarso, Zack Lee, Hannah Al Rashid, beserta Pevita Pearce. Dan ketiga, konfrontasi akhir dengan kompeni. Gerak kamera yang kurang gesit (kerap melewatkan detil-detil penting), efek khusus kasar, dan penyuntingan kurang lincah (paling kentara pada transisi adegan yang, yah…) memang sedikit menurunkan intensitas pada rentetan momen laga ini. Tapi secara keseluruhan, masih ada kesenangan yang diciptakan olehnya terlebih dengan iringan musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang cukup memompa semangat. Setidaknya saya sempat pula menginginkan kompeni-kompeni keji ini digerus habis oleh para gudel (baca: anak kerbau dalam Bahasa Jawa) dalam satu tembakan atau satu bacokan. Disamping sekuens laga dan musik, yang juga membantu meningkatkan kelas Buffalo Boys sehingga tidak benar-benar tiarap adalah desain produksinya yang mengagumkan.


Kamu akan mendapati latar berikut kostum yang menyuarakan era kolonial secara meyakinkan di sini (ada percampuran antara pedesaan Jawa dengan perkotaan di film-film koboi) dan jika ada satu hal yang tidak diingkari oleh trailernya adalah tampilan Buffalo Boys yang tidak terlihat seperti film Indonesia. Kesan mahal yang dicitrakan lewat materi promosinya bukanlah tipu-tipu belaka sehingga keputusan untuk menyaksikannya di layar lebar tidaklah saya sesali. Bagaimanapun juga, terlepas dari sederet kelemahannya, Buffalo Boys tetaplah sebuah produk yang layak dikonsumsi.

Acceptable (3/5)

Monday, 16 July 2018

REVIEW : HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION


“Family is everything. You have to honor the past, but we make our own future.” 

Selama satu abad terakhir, Count Dracula atau Drac (disuarakan oleh Adam Sandler) telah melewati beragam fase kehidupan yang menyita emosi. Dia disalahpahami oleh manusia-manusia yang dibutakan oleh hasutan, kehilangan istri tercinta karena amarah manusia, mengasingkan diri ke pelosok Romania demi mencari ketenangan, membesarkan putrinya seorang diri, mengurusi segala tetek bengek hotel yang memfasilitasi para monster dari berbagai belahan dunia (sayangnya tak kulihat Jeung Kunti atau Pocong), merelakan putri semata wayangnya dinikahi manusia, kelabakan tatkala mendapati cucunya yang berdarah campuran mungkin saja tak mewarisi gen vampir, was-was putrinya bakal meninggalkannya untuk tinggal di California, menghadapi sang ayah yang tak dijumpainya selama puluhan tahun, sampai kesepian mendamba cinta. Bisa dikatakan, beban hidupnya sangat sangatlah berat dan dia jelas butuh bernafas untuk sesaat. Butuh liburan lah! Syukurlah, Genndy Tartakovsky yang menggarap cap dagang Hotel Transylvania sedari jilid pertama menyadari penuh mengenai hal tersebut. Maka dari itu, melalui instalmen teranyar bertajuk Hotel Transylvania 3: A Monster Vacation, dia menyeret Drac keluar dari pertapaannya untuk mempersilahkannya memiliki quality time bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya di dunia luar yang sudah sangat lama tidak ditengoknya. 

Gagasan si pembuat film untuk mengajak Drac berlibur diwakilkan oleh Mavis (Selena Gomez), putri kesayangan Drac, yang merasa hubungan antara dirinya dengan sang ayah agak merenggang karena kesibukan masing-masing yang menyebabkan intensitas keduanya dalam berkomunikasi mengalami penurunan. Mavis yang ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya di luar hotel turut mengundang rombongan lenong yang terdiri dari Johnny sang suami (Andy Samberg), Dennis sang anak (Asher Blinkoff), Frankenstein (Kevin James), Griffin si manusia tembus pandang (David Spade), Wayne si manusia serigala (Steve Buscemi), Murray si mumi (Keegan-Michael Key), Vlad sang kakek (Mel Brooks), serta keluarga dari sahabat-sahabat monster Drac. Drac mulanya enggan meninggalkan hotel, tapi bujuk rayu Mavis nyatanya mempan sehingga ‘Raja Kegelapan yang berubah menjadi Raja Pelayanan Kamar’ ini bersedia diajak pelesiran dengan menaiki kapal pesiar. Pun begitu, rasa berat hati masih menyertai Drac selama masa-masa awal liburan sampai kemudian dia bertemu dengan kapten kapal, Ericka (Kathryn Hahn), yang membuatnya merasakan zing – istilah monster untuk jatuh cinta luar biasa – untuk kali kedua. Jatuh cinta pada Ericka seketika membutakan Drac yang rela melakukan apa saja demi pujaan hatinya tersebut sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa Ericka ternyata memiliki niat terselubung dibalik kedekatannya dengan Drac.


Pada dasarnya, A Monster Vacation masih mengantongi keunggulan sejenis dengan dua instalmen terdahulunya. Dari sisi tampilan visual, sulit untuk menyangkal bahwa A Monster Vacation terbilang mengesankan. Ada cita rasa meriah dan penuh warna yang bisa dicecap utamanya begitu guliran penceritaan film menapaki perjalanan di kapal pesiar yang berlangsung liar. Genndy Tartakovsky yang terlihat seperti menemukan mainan baru untuk diutak-atik, memberikan kita desain karakter beserta lokasi yang cukup membuat diri ini beberapa kali mengangguk-angguk kagum sekalipun caranya memvisualisasikan Atlantis yang semestinya merupakan gong terbesar dalam film ternyata tidak sesuai dengan pengharapan. Terlalu biasa untuk ukuran sebuah area misterius nan fenomenal yang masih terus diperbincangkan oleh beragam pihak hingga kini. Sungguh disayangkan. Yang juga meleset dari antisipasi kala saya memutuskan untuk meluangkan waktu demi mencari hiburan dalam wujud A Monster Vacation di bioskop adalah narasi yang dikedepankan beserta guyonan yang dilontarkannya. Pilihan si pembuat film untuk memberi porsi lebih kepada Drac dengan mengangkat kehidupan asmaranya bersama Ericka justru berdampak pada berkurangnya sisi greget maupun fun dari film. Saya kurang cocok menyaksikan Drac melembut (sudah kedarung terbiasa melihatnya berwatak keras kepala dan sok galak), lalu karakteristik Ericka pun kurang menggairahkan lebih-lebih latar belakangnya telah terbaca sedari awal. 

Lebih menyedihkannya lagi – setidaknya bagi saya, jatah tampil dari beberapa karakter favorit seperti Johnny, Frankenstein, Wayne, serta Murray, nyaris tergerus habis. Oke kita masih berkesempatan menengok kenakalan Dennis yang menggemaskan, memperoleh subplot mengenai Wayne yang akhirnya terbebas dari tanggung jawab mengurus ratusan anaknya yang nakal, atau pertengkaran Frankenstein dengan sang istri (Fran Drescher) akibat perjudian, tetapi Murray yang unyu-unyu tak memiliki kontribusi berarti pada pergerakan kisah kecuali demi memeriahkan perjalanan. Ada kerinduan tersendiri melihat kebersamaan Drac bersama keluarga kecilnya, atau melihat Drac menjalani petualangan (plus ribut-ribut kecil) bersama genk monsternya yang konyol ini. Dalam A Monster Vacation, jagoan kita lebih sering menghabiskan waktu dengan Ericka yang bahkan kalah menarik dari Johnny yang juga manusia. Efek lainnya, A Monster Vacation terasa tak seberapa lucu dibandingkan dengan dua instalmen terdahulu – khususnya seri kedua yang amat mengasyikkan. Saya sih masih sempat dibuat beberapa kali tergelak seperti pada prolog yang menyoroti pertarungan abadi antara Drac dengan Abraham Van Helsing (Jim Gaffigan), lalu penerbangan penuh mimpi buruk menggunakan jasa Gremlin Air, serta klimaks di lantai dansa yang memperdendangkan kembali tembang ‘Macarena’ setelah sekian lama tak mendengarnya, tapi di sisa durasi yang humornya seringkali meleset hanya mampu membuat saya menyunggingkan senyum saja.

Acceptable (3/5)


Saturday, 14 July 2018

REVIEW : SABRINA


“Yang sudah dikubur, jangan pernah dibangkitkan lagi. Yang sudah pergi, jangan pernah dipanggil lagi.” 

Ketika dipersembahkan kepada khalayak ramai pada tahun 2017 silam, The Doll 2 mencetak kesuksesan yang berlipat ganda dibandingkan instalmen terdahulunya. Sebuah pencapaian yang layak, kalau saya bilang, karena dari segi penggarapan tidaklah main-main. Ada kombinasi cukup baik antara production value, permainan lakon, serta trik menakut-nakuti sekalipun narasinya masih butuh dipoles berkali-kali. Levelnya jelas tidak berada setingkat dengan Pengabdi Setan (2017) arahan Joko Anwar yang telah menetapkan standar sangat tinggi bagi film horor tanah air, tapi syukurlah bisa setingkat di atas film sejenis yang seringkali digarap ala kadarnya berpegangan pada prinsip “ngapain bikin bagus-bagus dan susah-susah, toh jelek pun masih dikejar penonton.” Phew. Berkaca pada laris manisnya The Doll 2 ini, sudah barang tentu rumah produksi Hitmaker Studios dengan segala insting bisnisnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengembangkan franchise ini lebih luas. Ketimbang memilih untuk melanjutkannya ke instalmen ketiga, mereka mencoba membuka pintu spin-off (film cabang) dengan mengkreasi sebuah film khusus untuk sang boneka iblis pembawa kutukan, Sabrina. Sebuah pilihan yang awalnya terdengar masuk akal ini lantas terasa membingungkan ketika saya menyadari bahwa jalinan pengisahannya merupakan kelanjutan dari film kedua. Jadi, ini sebenernya spin-off atau sekuel sih? 

Ya, Sabrina tidak menciptakan semesta penceritaan baru menggunakan stok karakter anyar melainkan melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung The Doll 2. Maira (Luna Maya) yang kehilangan putri semata wayangnya di seri kedua sampai-sampai memutuskan untuk berkomunikasi dengan alam gaib, kembali dikedepankan sebagai karakter sentral. Latar belakangnya pun sama persis dan sekali ini dia diceritakan menikahi pengusaha mainan bernama Aiden (Christian Sugiono) selepas teror boneka Sabrina mengacaubalaukan rumah tangganya. Maira dan Aiden yang belum dikaruniai momongan, mengangkat keponakan Aiden yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya, Vanya (Richelle Georgette Skornicki), sebagai anak angkat. Seperti halnya Maira dulu, Vanya pun belum bisa menerima kepergian orang tuanya – terutama sang ibu, Andini – sehingga dia kerap terlihat murung dan menciptakan jarak dengan Maira maupun Aiden. Lagi-lagi seperti halnya Maira dulu, Vanya pun menemukan cara untuk bertemu kembali dengan ibunya usai teman sekolahnya mengajarinya bermain pensil Charlie (semacam jelangkung lah). Pemanggilan arwah melalui permainan tersebut berhasil dijalankan secara sukses dan Vanya bereuni dengan Andini. Akan tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah sosok tersebut benar-benar Andini ataukah justru sesosok iblis jahat yang menyamar sebagai Andini? Kita semua tentu sudah tahu jawabannya.


Dibandingkan sederet film horor Indonesia yang dilepas dalam beberapa bulan terakhir ini, Sabrina sebetulnya tergolong mendingan. Paling tidak, Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin) yang kembali menduduki posisi penyutradaraan masih berusaha untuk bercerita dan memperhitungkan ketepatan waktu dalam memunculkan trik menakut-nakuti. Bukan asal ada penampakan saban beberapa detik sekali tanpa urgensi kecuali demi mengisi kekosongan durasi sekaligus mengagetkan penonton. Lebih lanjut lagi, laiknya film-film seram produksi Hitmaker Studios lainnya, production value dalam Sabrina pun terjamin sehingga memunculkan kesan berkelas. Tidak tampak seperti film buatan amatir dengan waktu produksi kurang dari sepekan (serius, ini ada!). Hanya saja dibalik segala upayanya untuk tampil berbeda, sayangnya Sabrina masih mengidap penyakit langganan film horor tanah air seperti narasi yang cari gampangnya dan ketergantungan pada musik yang menujes-nujes telinga. Memang betul naskah racikan Riheam Junianti dan Fajar Umbara tak kosong melompong yang isinya hanya berupa petunjuk untuk teriak atau lari atau mati, tapi tak kosong malah diartikan penuh sesak oleh keduanya. Ada plot mengenai bocah yang berduka, pengantin baru dengan kehidupan baru, iblis yang menyimpan dendam kesumat, pasangan paranormal yang dihadapkan pada satu problematika besar, sampai keluarga yang tercerai berai karena iri dengki. Rameee. Yang menjadi masalah, seabrek plot ini dipaparkan sekenanya saja tanpa pernah dikembangkan lebih lanjut dan diselesaikan secara instan. 

Alhasil, penonton tak pernah bisa benar-benar menyelami persoalan yang dihadapi Vanya, Maira, Bu Laras (Sara Wijayanto), kita juga tak diberi kesempatan untuk berkenalan secara layak dengan suami baru Bu Laras, Raynard (Jeremy Thomas), yang latar belakangnya masih kabur, dan boneka Sabrina yang lucu-enggak-seram-iya seringkali diabaikan keberadaannya meski namanya tercetak besar-besar sebagai judul. Ketidakfokusan naskah dalam bercerita ini turut dilukai oleh dialog yang terdengar kaku, kontinuitas yang memusingkan (contoh: bagaimana mungkin kamu memasuki sebuah tempat saat hari masih terang lalu hanya dalam hitungan menit kamu keluar dan hari sudah gelap?), iringan musik untuk mengagetkan penonton yang menyakitkan sampai-sampai membuat saya menyesal tidak membawa penyumbat telinga serta kekonyolan khas franchise ini seperti karakter-karakter yang kebal terhadap benda tajam sekalipun telah dilukai berulang kali. Ditusuk-tusuk pisau atau gunting masih bisa lari-lari, gaes! Masih bisa salto, gaes! KZL. Yang lantas menyelamatkan Sabrina disamping production value kelas wahid, lalu efek khusus yang dipergunakan secara efektif untuk menyokong teror, dan kemampuan Rocky Soraya dalam menghadirkan satu dua momen mencekam – utamanya saat prosesi pengusiran setan beserta klimaks yang berlangsung cukup seru sekalipun kelewat panjang dan mulai berasa repetitif (polanya senada seirama dengan dua seri terdahulu dan Mata Batin) – adalah performa jajaran pemainnya yang mengupayakan peran mereka tak sehambar karakterisasi yang digoreskan di naskah. 



Trio Christian Sugiono, Richelle Georgette Skornicki, dan Jeremy Thomas bermain baik, tapi Sabrina lebih berhutang nyawa kepada duo Luna Maya dan Sara Wijayanto yang membantu menghadirkan efek dramatis pada film. Luna Maya lagi-lagi tak mengecewakan kala dipercaya menghidupkan karakter Maira yang sekali ini bebannya condong pada ketahanan fisik, bukan lagi gundah gulana. Karakternya dilempar-lempar, dikubur hidup-hidup, sampai dirasuki setan di babak ketiga yang lantas memberi kesempatan bagi Luna Maya untuk membuktikan statusnya sebagai ‘Ratu Horor’ baru. Totalitasnya mengagumkan. Sara Wijayanto sebagai paranormal tangguh yang mendapat perlawanan dari iblis yang murka adalah pasangan yang sempurna bagi Luna. Sosok Bu Laras yang sempat dirundung keraguan tatkala menyadari lawannya tidak bisa dipandang sepele merupakan representasi jagoan di film horor yang mengundang simpati, walau bubuhan subplot terkait kehidupan percintaannya bersama Reynald memberi rasa tidak nyaman karena saking canggungnya (kalau tak mau disebut menggelikan). Kedua perempuan ini mesti diakui memiliki peranan krusial dalam film. Berkat mereka, Sabrina yang penuh masalah ini masih memiliki rasa dan membuat problematikanya sedikit bisa ditolerir. Tanpa kehadiran mereka, Sabrina hanya akan berakhir sebagai versi daur ulang dari The Doll 2 dan itu jelas bukan berita bagus.

Acceptable (2,5/5)

Thursday, 12 July 2018

REVIEW : SKYSCRAPER


“Tell me, how much do you love your family?” 

Saat kamu memiliki rencana untuk membuat sebuah film laga minim nutrisi berbujet besar yang di dalamnya sarat ‘boom boom bang’ dan membutuhkan jagoan penuh karisma yang sulit terkalahkan, kamu tentu tahu siapa yang mesti digaet untuk memerankan sang jagoan. Jika tebakanmu adalah Dwayne Johnson (atau The Rock), saya bisa mengatakan bahwa tebakanmu tidaklah meleset. Karena nyaris tidak ada aktor laga Hollywood dalam satu dekade terakhir yang sekarismatik Babang The Rock sampai-sampai dia juga memiliki kekuatan lain berupa pesona yang akan membantu menyelamatkan film dengan naskah seamburadul apapun. Sebuah definisi pahlawan yang sesungguhnya – setidaknya bagi para petinggi studio. Maka begitu Legendary Entertainment mengajukan ide film laga menggunakan kata kunci, “sebuah hiburan teman makan popcorn yang memadukan antara Die Hard (1988) dengan The Towering Inferno (1974)”, kita sudah bisa menerka siapa yang bakal ditugaskan. Usai menyelamatkan keluarga fiktifnya dari bencana alam yang meluluhlantakkan pesisir Atlantik, lalu menjelma menjadi tokoh perkasa dalam mitologi Yunani, dan menjinakkan seekor gorila raksasa yang membabibuta di perkotaan, kini Dwayne Johnson dipercaya untuk mengeluarkan keluarga fiktifnya yang lain (apes bener yaa menjadi anak dan istrinya!) dari gedung pencakar langit yang dilalap kobaran api dalam film terbarunya bertajuk Skyscraper

Melalui Skyscraper yang menandai untuk kedua kalinya Dwayne Johnson berkolaborasi bersama sutradara Rawson Marshall Thurber setelah Central Intelligence (2016) ini, Dwayne Johnson berperan sebagai mantan agen FBI bernama Will Sawyer. Selepas sebuah tragedi yang merenggut separuh kakinya sehingga dia mengenakan kaki palsu, Will mengakhiri karirnya di FBI dan beralih menekuni profesi sebagai konsultan keamanan. Pekerjaan yang dijalaninya selama satu dekade tersebut membawa Will beserta sang istri, Sarah (Neve Campbell – hello, Sidney, long time no see!), dan kedua anak kembarnya (McKenna Roberts, Noah Cottrell), ke Hong Kong. Will direkomendasikan oleh koleganya semasa masih di FBI pada taipan Zhao Long Ji (Chin Han) yang sedang membutuhkan analisis keamanan untuk gedung pencakar langit miliknya, The Pearl, yang digadang-gadang sebagai bangunan tertinggi di dunia melampaui Burj Khalifa dan Empire State Building. Perjalanan bisnis yang mulanya berlangsung lancar-lancar saja ini mendadak berubah menjadi petaka tatkala sekelompok teroris asal Skandinavia menyantroni The Pearl. Guna menjebak Zhao yang menjadi incaran utama di griya tawangnya, mereka meretas sistem keamanan dan membakar lantai 96 yang merupakan titik tengah bangunan. Yang luput dari perhitungan para teroris, disamping Zhao, sisi atas gedung turut dihuni oleh keluarga Will. Maka begitu mengetahui istri beserta anak-anaknya terperangkap di The Pearl yang membara, Will jelas tidak tinggal diam dan mencari segala cara untuk menyelamatkan mereka.


Hanya dengan menengok materi promosi Skyscraper, lalu membaca sinopsinya, dan melihat jajaran pemainnya, kamu tentu sudah bisa menetapkan ekspektasi seperti apa yang seharusnya dibawa masuk ke gedung bioskop. Bukan tontonan laga sok serius, sok njelimet, atau sok cerdas, melainkan sesederhana tontonan laga amat ringan yang akan membuat para penontonnya melupakan permasalahan hidup barang sejenak. Itu artinya, kamu akan melihat Dwayne Johnson sekali lagi memerankan karakter yang mampu melakoni apa saja (literally!) hanya bermodalkan otot-otot kekarnya. Meski karakter yang dimainkannya dalam Skyscraper diceritakan menggunakan kaki palsu dan dia telah lama tidak memegang senjata, bukan berarti dia lantas beralih memanfaatkan otaknya untuk menyusun strategi. Kalau begitu, dimana letak serunya? Ini film laga yang dibintangi oleh Dwayne Johnson lho! Lagipula, kita sudah tahu bahwa Dwayne Johnson bisa melakukan apa saja, maka disinipun bukan pengecualian. Dia tetap bisa berlari, melompat, bahkan meringkus lawan-lawannya menggunakan tendangan. Dia tetap tidak terkalahkan dan kita pun tidak keberatan. Karisma kuatnya membuat sosok Will mudah untuk dicintai, lebih-lebih motivasinya dalam menerabas gedung pencakar langit yang terbakar api tersebut adalah demi menyelamatkan keluarganya. Sebuah misi yang mulia, tentu saja. Pun begitu, Rawson Marshall Thurber yang juga meracik skenarionya tidak menghadirkan cukup momen untuk membuat hati penonton merasa terenyuh (walau tetap hadir di satu dua titik) karena fokusnya hanya satu: laga, laga, dan laga. 

Rasa-rasanya, sebagian besar penonton yang memutuskan untuk menghabiskan waktu dan uangnya dengan menyaksikan Skyscraper di bioskop pun tidak berharap lebih-lebih. Toh, Skyscraper telah sangat berhasil menjalankan fungsinya sebagai teman makan popcorn yang mengasyikkan. Jalinan pengisahannya memang klise banget, terbilang menggelikan, dan minim nutrisi (siapapun asal khatam film laga, bisa menulis skrip ini), tetapi sulit bagi saya untuk mengeluh saat film mampu membuat saya menahan nafas, berteriak, hingga akhirnya bertepuk tangan riuh di dalam bioskop bersama ratusan penonton lain di separuh durasinya. Bahkan ada kalanya meremas pegangan kursi dan kaki-kaki gemetaran ketika Will bergelantungan di sisi gedung The Pearl seolah-olah tingginya hanya beberapa meter saja. Mengingatkan pada aksi Tom Cruise di Mission Impossible: Ghost Protocol (2011), hanya saja kali ini lebih gila dan absurd karena melibatkan lakban (!) sehingga tentu saja tidak aman bagi kalian yang memiliki acrophobia (fobia pada ketinggian). Skyscraper sendiri memiliki sederet keseruan kala menyaksikan atraksi Will dari melompat menerabas gedung di lantai 100-an menggunakan crane, dilanjut bergumul dengan api, sampai konfrontasi akhir yang kesemuanya diperoleh dari kombinasi performa Dwayne Johnson (serta Neve Campbell yang badass!), ketepatan si pembuat film dalam mengatur tempo, pergerakan kamera yang dinamis, dan penyutingan yang gesit. Selama menyaksikannya, diri ini merasakan sensasi seperti menonton film laga bergaya old school dari era 80-90’an yang cenderung to the point sekaligus enggan ribet dalam bernarasi. Asal bisa menggenjot adrenalin, puas sudah.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Tuesday, 10 July 2018

REVIEW : BODYGUARD UGAL-UGALAN


🎵 Lihat aku pandang aku di kiri di kanan, 
di depan di belakang sambil muter-muter, 
pasti terpesona pusing tujuh keliling, 
jantung berdegup keras, 
gubrak gubrak gubrak jeng jeng jeng... ðŸŽµ

Begitulah bunyi sepenggal lirik dari tembang terbaru Syahrini berjudul “Gubrak Gubrak Gubrak Jeng Jeng Jeng” yang dimanfaatkan sebagai lagu tema utama untuk Bodyguard Ugal-Ugalan. Isi liriknya sih cenderung suka-suka penggubahnya (pokoknya masukkan saja jargon-jargon andalan Syahrini) karena yang lebih penting adalah iramanya bisa bikin khalayak bergoyang. Entah denganmu, tapi buat saya pribadi, lagu ini memang catchy. Baru sekali mendengarnya, kuping langsung kecantol dan tombol replay pun dimanfaatkan. Gara-gara lagu ini, keinginan untuk menyaksikan Bodyguard Ugal-Ugalan pun semakin menguat (yang berarti fungsinya sebagai media promosi berjalan sukses). Sebelumnya, keinginan tersebut muncul semata-mata demi menyaksikan tingkah laku ajaib Princess Syahrini seraya menghibur diri yang memang sedang terserang suntuk. Tidak ada ekspektasi lain. Ya gimana mau berekspektasi, lha wong film ini mengaplikasikan formula bercerita yang sejenis dengan Komedi Moderen Gokil (2015) dan Security Ugal-Ugalan (2017) – keduanya juga diproduksi oleh MD Pictures – yang bikin saya manyun sepanjang durasi. Alhasil, saat memutuskan membeli tiket untuk Bodyguard Ugal-Ugalan, harapan saya tidak lebih dari bisa tergelak karena menyaksikan Inces (sapaan akrab Princess Syahrini) bermanjyah-manjyah ria di layar lebar. Seperti itu. 

Dalam Bodyguard Ugal-Ugalan, Syahrini memerankan dirinya sendiri. Seorang penyanyi pop papan atas yang memiliki gaya hidup glamor dan tingkah laku kenes. Suatu hari, rumah Syahrini dibobol oleh segerombolan orang yang mengenakan topeng. Mengingat dalam waktu dekat Syahrini akan mengadakan konser tunggal di Istora Senayan, maka dia dan manajernya, Nina (Ririn Ekawati), pun memutuskan untuk menyewa sejumlah pengawal demi memastikan keamanannya. Syahrini meminta bantuan kepada teman lamanya, Erin (Tamara Bleszynski), yang menjalankan usaha jasa keamanan bernama The Guardians. Tentu saja, permintaan Syahrini kepada Erin tidaklah biasa-biasa saja. Ketimbang meminta pengawal berbadan kekar dan bertampang sangar, Syahrini justru meminta pengawal yang secara tampang bisa dikategorikan unyu dan cupu. “Kalau wajahnya terlalu sangar, kita malah ketakutan sendiri,” begitu Inces dan Nina memberi alasan. Berdasarkan permintaan sang sahabat, Erin pun menugaskan Boris (Boris Bokir), Lolox (Lolox), Acho (Muhadkly Acho), Anyun (Anyun Cadel), dan Jessica (Melayu Nicole), yang sebagian diantaranya sebenarnya telah dipecat, untuk memastikan keamanan Syahrini. Mereka ikut kemanapun Princess hempas, baik itu makan malam maupun berlibur untuk menenangkan diri. Tapi seberapa keras usaha mereka menjaga Syahrini (oke ini berlebihan, karena mereka nggak ngapa-ngapain), tetap saja kecolongan. Inces diculik!


Kaget? Menurut Andaaaa? Sinopsis dan trailer resmi dari Bodyguard Ugal-Ugalan telah dengan sangat jelas (dan detil) dalam menegaskan bahwa Syahrini akan menjadi korban penculikan. Tapi demi memberi efek dramatis, tidak apa-apa berpura-pura kaget, yekannn? Toh filmnya sendiri memang tidak pernah menganggap dirinya serius. Bodyguard Ugal-Ugalan adalah suatu jenis film yang mesti ditonton dengan pikiran terbuka dan lapang dada. Apabila kamu berusaha mengkritisinya sedemikian rupa, menemploki setiap adegan dengan cibiran dan semacamnya, hati justru akan terasa pengap (kemrungsung, dalam Bahasa Jawa), lalu dongkol bukan kepalang. Tidak ada faedahnya mengomentari film yang memang sedari awal diniatkan tidak berfaedah. Akibatnya, unfaedahception (halah!). Pelajaran itu saya dapatkan setelah menonton Komedi Moderen Gokil dan Security Ugal-Ugalan yang ternyata gaya ngelawaknya tidak cocok di hati Abang. Persamaan Bodyguard Ugal-Ugalan dengan kedua film tersebut adalah formula bertuturnya yang tersusun dari sekumpulan sketsa. Mudahnya, menyerupai Warkop DKI lah. Tidak ada kesinambungan berarti antara sketsa satu dengan lainnya kecuali melibatkan Inces dan para pengawalnya. Ketidaksinambungan ini bahkan merembet saat film arahan Irham Acho Bahtiar (Epen Cupen the Movie, Security Ugal-Ugalan) ini mencoba sedikit bercerita. Terasa putus dan nggak nyambung, cuy! Jidat ini secara otomatis mengkerut, tapi kemudian kembali mulus dalam sepersekian detik saat saya mencoba mengubah cara pandang dan teringat tujuan awal menontonnya: menertawakan Syahrini. 

Kesannya julid banget nggak sih mengatakan ‘menertawakan Syahrini’? Tapi mau bagaimana lagi, Inces sendiri yang membangun personal branding dengan kata kunci ‘kenes tapi konyol’ untuk dirinya. Tugas Bodyguard Ugal-Ugalan hanyalah mengeksploitasi persona Syahrini sedemikian rupa. Kesanggupanmu untuk tertawa tergelak-gelak di film ini seringkali dipengaruhi oleh faktor ‘seberapa jauh kamu bisa menolerir tingkah laku ajaib Syahrini’. Apabila kamu tidak pernah menganggapnya lucu, maka film ini hempassssskan segera dari daftar tontonanmu. Tapi jika kamu terpesona dengan tingkahnya yang cetar membahana, bisa jadi Bodyguard Ugal-Ugalan adalah film yang manjyahhh untukmu. Berhubung saya memang menggemari kelakuan Syahrini, saya pun merasa film ini nyata manjanya. Hal yang sama berlaku pula pada gaya ngelaba yang diaplikasikan oleh film: bisakah kamu menerima guyonan receh sereceh recehnya yang dilontarkan oleh para komika? Beberapa sketsa yang ditampilkan di sini memang tidak orisinil (beberapa bisa kamu jumpai di internet), tapi rekonstruksi dengan pemain yang tepat seperti Boris Bokir, Lolox, dan Muhakdly Acho, membuatnya tetap sesekali jitu dalam mengundang tawa. Saya pun tertawa. Mungkinkah ini yang disebut sebagai ‘guilty pleasure’? Saya meyakini ya, terkadang film seperti ini pun kita butuhkan. Setidaknya, untuk target market-nya (penggemar para komika dan Inces), Bodyguard Ugal-Ugalan tergolong sukses. Hey, mereka tertawa lepas di hampir sepanjang durasi lho! Lagipula, film ini memang tidak pernah diniatkan sebagai tontonan serius jadi cara untuk meresponnya adalah dengan tidak meresponnya secara serius. Bukankah seperti itu?

Karena saya bisa dibuat tertawa berkali-kali dan sedang tidak ingin julid > Acceptable (3/5) > Sesuatu yekannn?