This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, 28 February 2018

REVIEW : YOWIS BEN


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi pemeran utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran dialog dalam film sebanyak 80% menggunakan Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa sampai bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa daerah tertentu untuk keperluan menghantarkan cerita. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang mendapat sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita menggunakan bahasa daerah demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya karena film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan cerita, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari kera-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita dapat memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh akhir. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya bingung. Apakah Susan ini benar-benar mencintai Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan setelah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan band tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben bisa jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan tiba-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)

Sunday, 25 February 2018

REVIEW : BLACK PANTHER


“You cannot let your father’s actions define your life. You get to decide what kind of king you want to be.” 

Apabila ditengok sekilas lalu, film-film rilisan Marvel Studio memang memiliki corak seragam. Tergolong cerah ceria dengan setumpuk asupan humor dan laga yang membuatnya tampak ‘sepele’. Akan tetapi jika kita berkenan memperhatikannya lebih mendalam, film-film ini sejatinya mempunyai pendekatan berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam satu tahun terakhir saja kita telah menyaksikan bagaimana Doctor Strange (2016) menghadirkan visual bergaya psikedelik dengan konten terkait perjalanan spiritual, lalu Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) yang menyisipkan banyak hati ke dalam penceritaan sehingga memunculkan momen luar biasa emosional (tanpa diduga!), dan Thor Ragnarok (2017) mengajak penonton untuk tidak terlalu serius dalam memandang tontonan eskapisme yang memang bertujuan untuk menghibur. Adanya pendekatan berbeda-beda yang membuat masing-masing judul memiliki ciri khasnya sendiri inilah yang memberi ketertarikan tersendiri terhadap superhero movies kreasi Marvel Studio. Pemantiknya berasal dari satu pertanyaan sederhana, “apa kejutan berikutnya yang akan dipersiapkan oleh mereka?” Maka begitu Black Panther yang keterlibatannya dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama kali diperkenalkan melalui Captain America: Civil War (2016) diumumkan sebagai terbaru keluaran studio ini, kepenasaran dalam diri seketika membumbung. Terlebih lagi, sang sutradara, Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed), dan barisan pemainnya memiliki jejak rekam impresif dalam karir perfilman. 

Black Panther membuka jalinan pengisahannya dengan sekelumit narasi untuk membekali penonton dengan latar belakang Wakanda – sebuah negara fiktif di benua Afrika yang menjadi latar utama film – dan sosok Black Panther. Konon, berkat penemuan benda asing bernama Vibranium yang lantas dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan teknologi, negara cilik ini mampu tumbuh makmur. Demi mempertahankan kedigdayaan negara sekaligus menghindarkan Vibranium dari disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, Wakanda memutuskan untuk mengisolasi diri sampai-sampai citra mereka di mata dunia tak lebih dari sebatas negara dunia ketiga. Usai penjabaran singkat ini yang kemudian dilanjut sebuah prolog bertemakan drama pengkhianatan berlatar tahun 1992, Black Panther secara resmi memulai penceritaannya dengan mempertemukan kita pada T’Challa (Chadwick Boseman) di masa kini. T’Challa diangkat menjadi raja baru di Wakanda sekaligus pemilik identitas baru Black Panther pasca tewasnya sang ayah dalam peristiwa pengeboman yang berlangsung di Captain America: Civil War. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, T’Challa seketika dihadapkan pada situasi genting terkait pencurian Vibranium yang membawanya terbang ke Korea Selatan berbekal bantuan dari tiga perempuan hebat; mantan kekasihnya Nakia (Lupita Nyong’o), pengawalnya Okoye (Danai Gurira), dan adiknya Shuri (Letitia Wright). Dalam perburuannya ini, T’Challa tidak saja dihadapkan pada Killmonger (Michael B. Jordan) yang memiliki misi terselubung terhadap Wakanda tetapi juga kegamangan hati yang membuatnya mempertanyakan tentang jati dirinya sebagai seorang raja.


Tidak ada keraguan sama sekali dalam diri ini bahwa Black Panther akan mampu menjadi sebuah tontonan yang menghibur – berpatokan pada pengalaman menyaksikan film-film pahlawan berkekuatan super keluaran Marvel Studio sejauh ini. Dan memang untuk urusan membuat hati merasa bungah, tidak pula menyesali telah meluangkan waktu serta menyisihkan uang, Black Panther berhasil melakukannya. Secara mendasar, Black Panther telah memenuhi semua kriteria yang bisa kamu harapkan dari sebuah film mengenai pahlawan super yang ajib. Rentetan laga mendebarkan? Check. Guyonan-guyonan menyegarkan? Check. Sosok penjahat yang bikin gregetan (sekaligus bersimpati)? Check. Tampilan visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik mengikat? Check. Dan paling penting, pahlawan yang mengajak penonton untuk bersorak sorai kepadanya? Check. Ya, Ryan Coogler telah memberikan tanda centang untuk seluruh bahan utama yang diperlukan demi menghindari munculnya raut muka penuh kekecewaan dari penonton. Tidak sebatas menggugurkan kewajiban, tentu saja, Coogler juga terampil meramunya sehingga setiap komponen ini terasa padu dan nikmat buat dikudap kala disorotkan ke layar lebar. Gelaran laganya sekalipun tidak semelimpah (dan semegah) yang diperkirakan, muncul sesuai kebutuhan. Keberadaannya sanggup membuat penonton merasa terlibat yang ditandai dengan aktifitas meremas-remas kursi bioskop maupun keinginan untuk bersorak sorai. Entah dengan kalian, tapi bagi saya, pertarungan T’Challa dengan para pengincar tahta di air terjun merupakan salah satu adegan laga terbaik di Black Panther

Seperti halnya elemen tarung-tarungan yang sedikit direduksi, elemen haha-hihi dalam Black Panther juga tidak sepekat beberapa film terakhir rilisan Marvel Studio. Masih bisa dijumpai di berbagai titik, utamanya setiap kali melibatkan Shuri yang sedikit nyentrik tidak seperti anggota kerajaan lain yang cenderung formal, tapi kentara sekali si pembuat film tidak ingin mengedepankannya sebagai jualan utama dan hanya mempergunakannya tatkala dirasa urat syaraf penonton mulai mengencang. Dampak positifnya, humor yang dipergunakan dalam Black Panther terasa lebih efektif sekaligus memberi efek kejut (boom!). Dalam artian, kita tidak pernah benar-benar tahu kapan bakal dilontarkan. Ditunjang dengan penempatan waktu yang tepat, ledakannya dapat lebih maksimal dan ini terjadi beberapa kali dalam Black Panther sehingga riuh tawa terdengar menggema di dalam bioskop. Mengasyikkan, bukan? Sebagai tontonan eskapisme, Black Panther memang tidak mengecewakan. Tapi yang membuatnya terasa lebih istimewa adalah Coogler tidak semata-mata mengkreasinya menjadi sebuah sajian pelepas penat yang ringan-ringan saja. Dia menjumput sejumlah topik pembicaraan tergolong serius berkenaan dengan representasi kelompok minoritas, black power, kesetaraan jender, isolasionisme, hingga opresi lalu membubuhkannya ke dalam penceritaan secara cermat – bukan sebatas di permukaan saja. Poin lebihnya, keberadaan topik ini membuat Black Panther memiliki greget tersendiri dalam penceritaannya yang sejatinya telah dipenuhi intrik ala drama Shakespeare dan mengundang bahan diskusi panjang-panjang bersama kawan (atau dalam ruang seminar). 


Disamping barisan laga cadas, asupan humor segar, beserta guliran pengisah mengikat, sumber energi lain yang mampu membantu Black Panther berdiri kokoh adalah elemen teknisnya. Tengok saja efek visualnya yang merealisasikan Wakanda yang futuristis, kostumnya dengan detil yang kaya (ada yang mirip baju koko yes!), sinematografinya yang tak saja menyuplai gambar indah tetapi juga bergerak lincah, penyuntingannya yang dinamis, sampai iringan musiknya yang meniupkan identitas ke film baik melalui skoring dengan sentuhan etnik maupun pilihan tembang bernuansa R&B/Hip-hop. Ini masih belum ditambah kekuatan terbesar dari Black Panther yakni performa ansambel pemainnya yang mampu menghadirkan atraksi akting mengagumkan. Chadwick Boseman menunjukkan wibawa (dengan sesekali guratan keraguan) sebagai seorang raja terpilih merangkap pahlawan, Michael B. Jordan memberikan kompleksitas terhadap sosok Killmonger yang menjadikannya tidak sebatas penjahat gila yang sepatutnya kita benci, Lupita Nyong’o bersama Danai Gurira adalah dua perempuan tangguh yang akan diidolakan para gadis cilik, Letitia Wright menghadirkan tawa dalam setiap kemunculannya, Angela Bassett memberi keteduhan seorang ibu, dan Forest Whitaker memperlihatkan ambiguitas yang membuat kita menyadari bahwa karakter-karakter kunci di Black Panther berada dalam area abu-abu – tidak sepenuhnya putih, tidak pula sepenuhnya hitam. Memiliki kombinasi maut dari berbagai departemen seperti ini, tak mengherankan jika kemudian Black Panther mampu tersaji sebagai sebuah produk unggul dan menjadi kontender kuat sebagai film terbaik di tahun 2018.

Note : Black Panther memiliki dua adegan tambahan saat credit scene bergulir yang memberikan kita petunjuk mengenai The Avengers: Infinity War.

Outstanding (4/5)


Saturday, 24 February 2018

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2


“Dalam hubungan cowok dan cewek, itu cuma ada dua. Pacar atau mantan pacar. Jadi nggak ada tuh yang namanya sahabat.” 

Reuni Cinta dengan Rangga usai terpisahkan selama ratusan purnama dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) yang memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus, telah menginspirasi para produser untuk menghidupkan kembali kisah cinta pasangan-pasangan fiktif kenamaan di perfilman Indonesia. Upaya tersebut bisa ditengok melalui Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) yang menjadi saksi kebesaran cinta Fahri kepada Aisha dan paling baru adalah Eiffel… I’m in Love 2 (2018) yang sekali lagi mempertemukan kita dengan dua sejoli Tita-Adit. Keputusan untuk memberi kisah kelanjutan bagi Eiffel… I’m in Love (sekadar informasi, Lost in Love yang dibintangi oleh Pevita Pearce tidak pernah dianggap sebagai sekuel resmi) tentunya bukan tanpa alasan jelas. Film pertamanya yang didasarkan pada novel laris rekaan Rachmania Arunita mampu mendatangkan 3 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop sekaligus menciptakan tren “film percintaan remaja dengan latar negeri orang.” Soraya Intercine Films tentu ingin mengulang kembali fenomena tersebut terlebih nostalgia bersama Cinta-Rangga dan Aisha-Fahri tempo hari terbilang sukses dari segi finansial. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah sebuah sekuel bagi kisah percintaan Tita-Adit yang digarap ole Rizal Mantovani ini memang benar-benar dibutuhkan? 

Demi menyegarkan ingatan penonton sekaligus menguarkan aroma nostalgia, Eiffel… I’m in Love 2 membuka gelarannya dengan opening credit berhiaskan foto-foto adegan dari film pertamanya. Berlangsung selama kurang lebih dua menit, pembuka ini cukup ampuh dalam meningkatkan mood sehingga terbersit sekelumit rasa tidak sabar untuk mengetahui sejauh mana kisah kasih Tita (Shandy Aulia) dengan Adit (Samuel Rizal) telah berkembang setelah kita tidak lagi mendengar perkembangannya selama belasan tahun. Hanya beberapa menit usai film memulai pengisahannya, penonton menyadari bahwa Tita tidak benar-benar berubah – dalam artian masih manja dan ibunya tetap bersikap kelewat protektif kepadanya – serta hubungan Tita dengan Adit yang telah dibina selama 12 tahun masih awet-awet saja sekalipun LDR (long distance relationship) dan diwarnai pertengkaran saban hari tiap kali saling berkomunikasi. Tak pernah naik level dari ‘tunangan’, Tita mulai berharap Adit akhirnya akan mengajaknya ke pelaminan pasca dia beserta keluarganya diajak pindah sementara ke Paris untuk mengurus bisnis restoran milik orang tua Adit yang terbengkalai. Harapan Tita yang menggebu-nggebu ini perlahan tapi pasti mulai pupus tatkala Adit menunjukkan ketidaksiapannya dan muncul orang ketiga dalam hubungan mereka

Tidak banyak ekspektasi yang disematkan kala melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Eiffel… I’m in Love 2. Pasalnya, sekalipun cukup menikmati jilid pertamanya, saya tidak pernah benar-benar menggemarinya. Tita-Adit jelas bukan Cinta-Rangga yang mempunyai daya tarik begitu kuat sampai-sampai kelanjutan hubungan mereka pun dinanti-nantikan. Sikap netral (cenderung mendekati pesimis, sejujurnya) ternyata membawa kejutan tersendiri bagi saya. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, sekaligus jenaka. Ya, ini adalah kejutan manis di permulaan tahun 2018. Perjalanannya yang berlangsung selama 117 menit memang tidak selamanya berlangsung mulus. Selepas opening credit yang dikemas cakep, Eiffel… I’m in Love 2 agak tergagap-gagap dalam menyampaikan kisahnya. Salah satu faktor pemicunya terletak pada barisan pemain pendukung dengan performa menyerupai robot. Mereka terlihat seperti tengah mengingat-ingat dialog apa yang hendak diucapkan. Konsekuensinya, selama belasan menit pertama, film tak begitu nikmat untuk dikudap terutama setiap kali Tita berinteraksi dengan keluarganya. Berharap sekali bioskop menyediakan fitur fast forward atau minimal mute sehingga meniadakan suara. Gangguan ini sedikit demi sedikit mulai tereduksi tatkala latar film berpindah ke Paris. 

Chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal adalah kunci utama yang membuat Eiffel… I’m in Love 2 terasa bernyawa. Dinamika diantara keduanya masih seperti yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan kali ini lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bersama-sama baik saat ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Disamping itu, pendewasaan karakter menjadikan Tita dan Adit tidak lagi semenyebalkan dulu. Tita mampu menunjukkan ketegasan dalam mengambil keputusan, sementara Adit tampak lebih bertanggungjawab. Adegan rekonsiliasi usai perang dingin yang berlangsung di menara Eiffel tidak saja menjadi salah satu adegan paling romantis dalam sejarah film percintaan tanah air, tetapi juga memberi penjabaran masuk akal mengenai hubungan asmara Tita-Adit yang tidak kunjung diboyong ke pelaminan. Adegan ini sendiri berkontribusi besar terhadap Eiffel… I’m in Love 2 sehingga membuatnya terasa layak ditonton. Yang turut mendongkrak dalam menaikkan kelas Eiffel… I’m in Love 2 adalah production value-nya yang tidak main-main. Pemilihan kostum yang turut mempertegas karakteristik tiap tokoh, bidikan gambar yang membingkai sudut-sudut Paris dengan begitu cantik, dan iringan musik yang menebalkan cita rasa romantis. Kombinasi ketiganya membantu memberi kesan mewah sekaligus mahal pada film. Inilah alasan mengapa film ini tidak bisa disebut sekelas FTV. Just saying. Kelanjutan kisah percintaan Tita-Adit mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tapi Eiffel… I’m in Love 2 menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah sekuel yang sia-sia.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Thursday, 22 February 2018

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3


“Cinta sejati tidak punya sebuah akhir. Aku mohon sama kamu, jangan menyerah.” 

Mungkin tidak sedikit dari kalian yang bertanya-tanya, kok bisa sih intrik dalam kisah cinta Caramel (Michelle Ziudith) dengan Dave (Dimas Anggara) yang tidak rumit-rumit amat ini membutuhkan sampai tiga jilid London Love Story untuk diselesaikan? Jawabannya sebetulnya sederhana saja – dan saya cukup yakin, kalian pasti telah mengetahuinya – yakni produk diterima dengan baik oleh publik. Instalmen pertama London Love Story menandai untuk pertama kalinya film produksi Screenplay Films mampu mencapai 1 juta penonton, sementara seri keduanya sekalipun mengalami penurunan tetap dapat dikategorikan laris manis. Menilik pencapaian ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian drama percintaan yang mendayu-dayu ini diekspansi ke dalam tiga seri sampai-sampai judulnya tidak lagi relevan dengan latar penceritaan. Ya, London hanya muncul sekitar 15 menit di seri kedua yang sebagian besar memanfaatkan panorama Swiss sebagai jualan utama dan hanya sekejap saja di seri ketiga yang memboyong latar kisah ke Bali sehingga lebih tepat rasanya jika London Love Story 3 beralih judul menjadi Bali Love Story

London Love Story 3 membuka kisahnya dengan adegan wisuda Caramel (saya baru nyadar ternyata selama ini dia kuliah lho, Guys!) yang dilanjut acara lamaran. Jangan bayangin lamaran yang dihadiri sanak saudara ya karena di sini lamarannya berlangsung di atas kapal pesiar yang mengarungi Sungai Thames. Usai dilamar oleh Dave, Cara pun memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia – bersama dengan calon suaminya yang tajir melintir itu, tentu saja. Mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Dewata, tempat dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah mengutarakan niat ini kepada orang tua Cara, dua sejoli ini pun bertolak ke Bali dengan maksud mengenang momen-momen perjumpaan mereka seraya (mungkin) mencari lokasi pernikahan yang cocok di hati. Berselancar, jalan-jalan di pantai, dan berkeliling dengan mobil mevvah adalah hal pertama yang keduanya lakukan sesampainya di Bali. Sayangnya belum juga puas bernostalgia, mereka diusik oleh kehadiran Rio (Derby Romero) yang membawa pesan dari masa lalu. Tidak hanya sosok Rio yang membuat liburan Cara dan Dave kurang khidmat, tetapi juga sebuah kecelakaan mobil yang menyebabkan kaki Cara terancam lumpuh untuk selamanya.


Sejujurnya, saya cukup menikmati London Love Story 2. Dibandingkan film pembukanya yang cenderung “suka-suka gue” dalam bertutur, jilid ini lebih bisa ditolerir dengan konflik dan barisan karakter yang (sedikit) lebih bisa diterima oleh nalar. Bahkan, muncul rasa pedih tatkala sosok Gilang (Rizky Nazar) – yang sejatinya lebih menarik disimak ketimbang Dave dan Cara – ‘dibunuh’ oleh si pembuat film demi memberi keleluasaan bagi dua sejoli utama untuk melanjutkan hubungan mereka. Mengetahui ada perbaikan pada seri kedua, maka jelas bohong jika saya mengatakan tidak optimis terhadap babak pamungkas London Love Story. Saya optimis sekali. Siapa tahu kisah percintaan Cara-Dave bisa berakhir segreget Cinta-Rangga, yekannnn? Ya siapa tahu. Untungnya saya tidak pernah mengutarakan angan-angan (berlebihan) ini kepada siapapun karena jika melihat hasil akhir London Love Story 3, saya yakin beberapa kawan akan mengatakan, “loe halu banget, sumpah!.” Berharap lebih terhadap film percintaan remaja buatan Screenplay Films jelas bukanlah pilihan. Malah diri ini juga sangat menyesal telah berbaik sangka kepada London Love Story 3 karena alih-alih menghadirkan penutup layak yang membuat kita terkenang pada kisah asmara Cara-Dave, seri ini justru lebih menyerupai dagelan yang bertujuan untuk menertawakan kisah cinta mereka berdua. 

Paham sekali alasan dibalik keputusan produser untuk merentangkan London Love Story hingga ke seri ketiga. Hanya saja, sulit disangkal bahwa kisah kasih Cara-Dave yang secethek sungai di musim kemarau ini jelas tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Alhasil, konfliknya pun berputar-putar disitu-situ saja dengan berbagai kekonyolan yang mengikutinya. Selama tiga seri, karakter-karakter inti yang terlibat dalam cinta segitiga Cara-Dave-Gilang mengalami kecelakaan. Ada yang koma, ada yang lumpuh, ada pula yang meninggal. Apakah mereka terkena kutukan? Bisa jadi. Yang jelas, si pembuat film menganggap satu-satunya cara membuat penonton termehek-mehek adalah memberi musibah kepada karakter kesayangan mereka ini. London Love Story 3 terasa semakin menjadi-jadi kekonyolannya berkat rengekan Cara mengenai kaki lumpuhnya yang tak berkesudahan (sampai-sampai muncul keinginan buat berteriak, "Mbak, Istighfar, Mbak!" lalu melakban mulutnya) dan penyelesaian yang membuat saya menyadari bahwa ‘keajaiban’ beserta ‘kebetulan’ adalah kata kunci yang dijunjung tinggi oleh franchise ini. Andai saja konklusi pada Ayat-Ayat Cinta 2 tempo hari tidak memelintir logika sedemikian rupa, mungkin saya sudah memberikan standing ovation heboh untuk penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh London Love Story 3. Film ini membuktikan bahwa keajaiban cinta sejati itu memang nyata adanya.

Poor (2/5)



Thursday, 8 February 2018

REVIEW : DOWNSIZING


“Sometimes you think we’re in the normal world and then something happens and you realize we’re not.” 

Menengok materi promosi yang beredar luas dan premis yang disodorkan, Downsizing memang tampak seperti tontonan fiksi ilmiah yang menjanjikan. Sulit untuk tidak tergoda begitu mengetahui bahwa film arahan Alexander Payne (The Descendants, Sideways) ini bakal berceloteh mengenai program penyusutan manusia hingga ke ukuran 5 inci saja yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan akibat kelebihan populasi di bumi – kurang lebih semacam versi upgrade dari Honey, I Shrunk the Kids! (1989). Terlebih lagi, Payne yang kembali berkolaborasi dengan Jim Taylor dalam penulisan naskah di Downsizing turut memboyong bintang-bintang besar untuk mengisi jajaran departemen akting seperti Matt Damon, Christoph Waltz, Kristen Wiig, Jason Sudeikis, sampai Udo Kier. Mudahnya, ini terlihat sangat bagus di atas kertas jadi apa sih yang mungkin salah? Usai menyaksikan gelaran yang merentang sepanjang 140 menit ini, saya bisa mengatakan bahwa setidaknya ada dua alasan yang lantas membuat Downsizing ternyata berjalan tidak sesuai harapan atau dengan kata lain, salah. Pertama, menanamkan ekspektasi yang keliru pada penonton, dan kedua, menyia-nyiakan premis bombastisnya demi mengejar pesan sederhana yang tidak juga mengena ke penonton. 

Karakter utama dari Downsizing adalah seorang terapis okupasi bernama Paul Safranek (Matt Damon) yang memiliki kehidupan, well, biasa-biasa saja kalau tidak mau dibilang monoton. Satu-satunya hal yang bisa dikatakan menarik untuk diceritakan dari kehidupannya adalah dia dan istrinya, Audrey (Kristen Wiig), tengah mengalami kesulitan secara finansial. Demi memperbaiki kondisi keuangannya yang memburuk, Paul pun berinisiatif mengajak serta Audrey untuk mengikuti program penyusutan terlebih selepas mendengar pengalaman membahagiakan dari seorang kawan yang mengikuti program sejenis. Konon, ‘dunia liliput’ ini menjanjikan kehidupan yang serba berkecukupan lantaran segala hal bisa diperoleh dengan harga jauh lebih rendah. Mereka yang berani menyusutkan tubuhnya pun disebut sebagai pahlawan karena dianggap telah berpartisipasi dalam menyelamatkan lingkungan. Memperoleh iming-iming surga seperti ini, Paul jelas kepincut sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk mempertimbangkan. Persoalan yang tadinya diharapkan pupus dengan mengikuti program ini, nyatanya justru semakin berlipat ganda tatkala Paul menyadari bahwa dunia liliput tidaklah seindah bayangannya. Sialnya, dia baru menyadari kekeliruannya dalam mengambil keputusan setelah tinggi tubuhnya menciut menjadi 5 inci saja. 


Satu hal yang perlu diingat sebelum kamu melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Downsizing adalah film ini bukanlah tipe tontonan eskapisme yang memadukan fiksi ilmiah dengan elemen petualangan. Bukan. Divisualisasikan oleh Alexander Payne yang terbiasa berjibaku dengan tema seputar mempertanyakan eksistensi diri dalam balutan komedi gelap yang dilengkapi sentilan sentilun ke masyarakat modern, sudah bisa diduga sebetulnya bahwa Downsizing memang tidak ditujukan sebagai sajian hiburan pelepas penat. Apabila kamu berekspektasi demikian – yang sebetulnya tidak salah juga jika (lagi-lagi) berpatokan pada materi promo beserta premis – maka segera hempaskan jauh-jauh. Downsizing lebih tertarik untuk mengajak penonton membicarakan isu-isu serius nan menggelitik pemikiran terkait lingkungan, perubahan iklim, konsumerisme, imigran gelap sampai ketimpangan sosial. Ini menarik, malah sejujurnya sangat menarik bagi saya, akan tetapi entah mengapa begitu film mencapai separuh perjalanan, Payne enggan menguliknya lebih jauh lagi dan mendadak membicarakan tentang tema kegemarannya: eksistensialisme di usia paruh baya. Tidak hanya berhenti mengobrol perihal topik yang lebih menggugah, si pembuat film pun berhenti mengeksplor dunia liliput dan mengembangkan premis brilian yang diajukannya sehingga terasa tidak ada bedanya apabila latar film diubah menjadi, katakanlah, suatu koloni di sekitar kita yang menawarkan fasilitas menggiurkan. 

Perubahan nada penceritaan ini terasa sangat disayangkan karena sejatinya separuh awal durasi Downsizing yang mengajak penonton untuk memahami prosedur penyusutan lalu berlanjut menyusuri dunia liliput (world building-nya juara banget!) sudah begitu mengasyikkan sementara separuh akhir durasi yang memilih untuk membicarakan tentang pencarian makna hidup sang karakter utama berlangsung bertele-tele dan tidak jarang menjemukan. Salah satu penyebabnya adalah sosok Paul yang kelewat lempeng serta tidak memiliki dinamika sampai-sampai menimbulkan resistensi pada diri ini untuk mengenalnya lebih dalam. Yang kemudian membuat saya tetap bertahan sampai menit penutup – walau mata berulang kali terasa begitu berat saking lelahnya – adalah jajaran pemain pendukung yang berlakon di level memesona seperti Hong Chau sebagai imigran asal Vietnam yang penyusutan tubuhnya merupakan hukuman dari pemerintah negaranya, Christoph Waltz sebagai tetangga Paul yang gemar berpesta, serta Udo Kier sebagai rekan Waltz yang juga gila pesta. Matt Damon sebetulnya juga menampilkan performa apik sebagai Paul, namun kehadiran Hong Chau yang begitu hidup nan kocak di sampingnya seketika mencuri lampu sorot darinya. Tanpa celetukan serta tingkah polah semau-mau gue Hong Chau yang menghibur, mungkin paruh akhir Downsizing yang terasa seperti film berbeda ini hanya akan membuat para penontonnya terlelap.

Acceptable (3/5)


Tuesday, 6 February 2018

REVIEW : HOAX


“Apa yang bisa Mama lakukan supaya Adek betul-betul percaya bahwa ini benar-benar Mama? Mama asli.” 

Pada tahun 2012 silam, Ifa Isfansyah (Sang Penari, Garuda di Dadaku) memperkenalkan film terbarunya bertajuk Rumah dan Musim Hujan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam film yang merekrut nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Landung Simatupang, Jajang C. Noer, serta Tara Basro – kala itu masih terhitung pendatang baru – tersebut, Ifa mencoba sedikit bereksperimen dengan memecah jalinan kisah ke dalam tiga segmen yang masing-masing mewakili suatu genre seperti komedi, drama, dan horor. Disamping JAFF, Rumah dan Musim Hujan turut berkelana pula ke berbagai festival film bertaraf internasional tanpa pernah diketahui secara pasti apakah film produksi Fourcolours Films ini akan menyambangi bioskop komersil tanah air. Tidak lagi terdengar kabarnya selama bertahun-tahun – sampai saya mengasumsikan, film ini mungkin sebatas dipertontonkan khusus untuk festival film – tiba-tiba tersiar kabar yang menyatakan Rumah dan Musim Hujan siap dirilis di tahun 2018. Berbagai perombakan pun dilakukan demi membuatnya terlihat baru seperti mengubah desain poster, judul yang beralih menjadi Hoax (Siapa yang Bohong?), sampai menyunting ulang film sehingga memiliki susunan cerita yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan penonton arus utama. 

Hoax membawa kita mengunjungi rumah Bapak (Landung Simatupang) pada suatu hari di bulan Ramadhan yang jatuhnya bertepatan dengan musim penghujan. Ketiga anak Bapak, yakni Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro), yang tidak lagi hidup di bawah satu atap yang sama diundang oleh Bapak untuk berbuka puasa bersama. Satu tamu lain yang turut memenuhi undangan adalah Sukma (Aulia Sarah), kekasih baru Raga. Selepas menyantap makanan, lalu bermain bersama di meja makan, tiga anak Bapak ini lantas berpisah jalan. Dimulai dari titik inilah, jalinan pengisahan dalam Hoax bercabang menjadi tiga yang masing-masing menyoroti permasalahan tiap karakter dan tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pada segmen Raga, persoalan yang dihadapi adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Baik Raga maupun Sukma mencurigai adanya kemungkinan Sukma telah hamil setelah mereka melakukan kesalahan dalam berhubungan badan. Pada segmen Ragil, sang karakter mengalami dilema untuk menyampaikan kebenaran dibalik hubungan yang tengah dijalaninya kepada Bapak yang ingatannya telah menurun drastis. Sedangkan pada segmen Adek, unsur mistis mengambil alih tatkala Adek kesulitan untuk membuktikan bahwa Ibu (Jajang C. Noer) yang diajaknya mengobrol di rumah memang benar-benar ibunya alih-alih makhluk gaib yang menyerupai sang ibu.


Dalam Hoax, ketiga segmen berbeda warna ini – Raga lebih ke komedi, Ragil berada di drama, sementara Adek cenderung ke horor – tidak disampaikan secara bergiliran melainkan saling bersahut-sahutan. Dalam artian, ketiganya berjalan beriringan. Kita menyaksikan apa yang terjadi pada Raga, Ragil, maupun Adek di waktu bersamaan. Keputusan untuk menghadirkannya dalam susunan kisah semacam ini jelas membawa keuntungan sekaligus kerugian tersendiri. Bisa dibilang menguntungkan karena kebenaran dibalik setiap kisah bakal terungkap bersamaan di penghujung durasi yang secara otomatis mendatangkan ketertarikan bagi penonton untuk mengikuti film hingga menit terakhir. Terlebih lagi, setiap segmen yang masing-masing mengapungkan topik pembicaraan cukup sensitif di dewasa ini terkait perbedaan keyakinan dalam hubungan, kepercayaan terhadap agama leluhur, hamil diluar ikatan pernikahan, pemerkosaan, sampai hubungan sesama jenis, mampu disajikan oleh Ifa Isfansyah dalam guliran pengisahan yang mengikat atensi. Tagline yang diusung oleh Hoax pun menjadi terasa masuk akal, begitu pula dengan judulnya, karena saya berulang kali tergugah untuk melontarkan pertanyaan “siapa yang berbohong?” di setiap segmen, khususnya yang melibatkan Raga dan Adek. Kedua segmen ini merupakan kekuatan utama dari Hoax sementara segmen Ragil terasa kurang tergali. 

Dari sini kita sampai pada sisi merugikan dari menyusun tiga kisah berbeda tanpa benang merah dengan alur paralel. Yang paling kentara adalah adanya emosi yang terputus apalagi ketiga segmen ini mempunyai warna berbeda satu sama lain. Menjadi terasa ganjil saat kita sedang menyaksikan satu dua karakter tengah terisak-isak lalu sedetik kemudian menyaksikan satu karakter tengah merasa terteror, begitu juga sebaliknya. Penyuntingan semacam ini juga menyebabkan salah satu segmen terpaksa dikorbankan – dalam hal ini milik Ragil – yang penyampaiannya terkesan sepotong-sepotong sehingga saat kebenarannya terungkap, tidak ada impak pada emosi. Apakah keputusan ini dilandasi oleh isu sensitif yang dihembuskannya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, mengesampingkan emosi yang ada kalanya tidak tersampaikan dengan baik plus bagaimana pencahayaan di sejumlah momen terasa kurang memadai (guelap euy!), Hoax masih bisa dikategorikan ke dalam tontonan yang apik. 

Setidaknya tuturan masih mengikat, iringan musiknya asyik, dan jajaran pemain yang meliputi Landung Simatupang, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, sampai Jajang C. Noer mampu menampilkan performa diatas rata-rata. Yang paling membekas tentu saja penampilan Jajang C. Noer sebagai Ibu yang misterius. Intonasi dan tatapannya itu lhoooo… menyeramkan. Kalau bukan karena peristiwa traumatis yang baru saja dialaminya dan banjir di sekitar rumah, mungkin Adek sudah tunggang langgang meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan Sholat Tarawih bersama dari sang ibu yang bikin bulu kuduk meremang.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 4 February 2018

REVIEW : DILAN 1990


“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif baru yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun sanggup menciptakan gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh remaja usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan kisah asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-sampai begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya mudah saja yakni ketepatan strategi promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang manis sekalipun bagi saya pribadi tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih abu-abu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah memiliki seorang kekasih di Jakarta bernama Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar membuat Milea agak ragu-ragu kala didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya laki-laki yang menaruh rasa padanya karena ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru les privat. Yang kemudian perlahan tapi pasti membuat hati Milea luluh terhadap Dilan adalah tekad kuat yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang bisa dibilang unik, seperti disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini akhirnya menunjukkan titik terang pasca Milea mendapat perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih memilih Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup manis. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud saya, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas karena apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada masa remaja dimana berpacaran tampak seperti hal terindah yang bisa dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati perempuan yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik seperti Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang manis. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menyebabkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa enak untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang mampu menjaga ritme penceritaan adalah performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan bernama Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki remaja akan terinspirasi, sedangkan penonton perempuan akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang baru ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-malu kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menunjukkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun dapat meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)