This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 30 January 2018

REVIEW : MAZE RUNNER: THE DEATH CURE


"What if we were sent here for a reason?"

Tatkala mendengar kabar bahwa aktor utama dari franchise Maze Runner, Dylan O’Brien, mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan cedera parah sehingga tahapan produksi jilid ketiga bertajuk The Death Cure terpaksa ditunda, hati ini seketika ketar-ketir. Bagaimana jika franchise ini akan bernasib sama dengan Divergent atau dalam artian kita tidak akan pernah menyaksikan babak konklusinya di layar lebar? Disamping The Hunger Games yang telah terlebih dahulu rampung, Maze Runner tergolong film berlatar distopia hasil adaptasi novel berseri untuk young adult yang saya nikmati. Seri pertamanya menarik sekali, sementara jilid keduanya sekalipun berantakan masih menawarkan pengalaman sinematik cukup mengasyikkan. Maka begitu memperoleh kepastian mengenai jadwal perilisan The Death Cure pasca terombang-ambing selama setahun selagi menunggu Dylan O’Brien pulih, saya seketika sorak-sorak bergembira. Filmnya sendiri (pada akhirnya) memang tidak menimbulkan efek bungah luar biasa yang setipe selepas saya menyaksikannya di layar lebar. Namun The Death Cure tetap dapat dikategorikan sebagai sebuah seri penutup yang pantas bagi franchise Maze Runner. 

Tanpa banyak berbasa-basi untuk menyegarkan ingatan penonton (jika kamu lupa, ada baiknya menyaksikan lagi seri pertama dan kedua sebelum menjajaki jilid ketiga), The Death Cure langsung membawa kita pada sekuens laga besar yang mendebarkan berupa misi pembajakan kereta. Bukan dilakukan oleh WCKD – organisasi yang menjadi musuh utama di franchise ini – melainkan Thomas (Dylan O’Brien) beserta rekan-rekan seperjuangannya, termasuk Newt (Thomas Brodie-Sangster), demi menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang diculik WCKD pada penghujung film kedua menyusul pengkhianatan Teresa (Kaya Scodelario). Meski berhasil membebaskan sejumlah sandera, sayangnya tak ditemukan jejak Minho di gerbong kereta. Usut punya usut, Minho bersama remaja terpilih lainnya diboyong ke markas WCKD di Last City – satu-satunya kota tersisa yang terbebas dari wabah – untuk diambil darahnya yang dipergunakan sebagai bahan utama terciptanya serum penawar. Meminta bantuan kepada sebuah kelompok pemberontak yang bermarkas di sekeliling Last City, Thomas dan kawan-kawan pun merancang misi terakhir yang bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan Minho serta menghancurkan WCKD tetapi juga menyelamatkan umat manusia. 


Disandingkan dengan sang predesesor, The Scorch Trials, yang cenderung kering dan mudah dilupakan, The Death Cure merupakan suatu peningkatan. Memang sih kalau berbicara soal guliran pengisahan, tidak ada sesuatu mencengangkan atau mengikat selayaknya jilid pembuka yang bisa kamu jumpai disini. Malah bisa dikata, plotnya setipis kertas pula terkesan dipanjang-panjangkan. Yang lantas membuat The Death Cure dapat tegak berdiri dan melampaui pencapaian seri kedua adalah kemampuan sang sutradara, Wes Ball, dalam meramu barisan laga seru yang menghiasi sepanjang durasi. Menyadari penuh bahwa naskah rekaan T.S. Nowlin yang disadur dari novel buatan James Dashner tidak menyediakan ruang memadai bagi terciptanya intrik-intrik pamungkas dengan daya ledak besar selayaknya dua babak Mockingjay (atau seri penutup The Hunger Games), Ball pun memutuskan untuk meletakkan fokus sepenuhnya pada peningkatan cakupan skala terkait sekuens laga. Tujuan utamanya sederhana, menciptakan aksi yang lebih gegap gempita dibanding Maze Runner maupun The Scorch Trials. Sebuah tujuan yang untungnya dapat dicapai oleh Ball sehingga membuat The Death Cure terasa renyah untuk dikudap. 

Sedari menit pertama, Ball mencoba untuk menempatkan intensitas dari instalmen ketiga ini dalam level cukup tinggi. Belum apa-apa, kita telah disuguhi adegan ‘adu kecepatan’ antara mobil dengan kereta yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Laju pengisahan yang lantas mengikutinya pun diusahakan untuk tetap kencang. Tidak banyak momen senyap tersedia yang memungkinkan karakter-karakternya saling bertukar emosi (maka dari itu, jika kamu berharap seri ketiga ini memiliki ‘kedalaman’, hempaskan segera) karena apa yang disuguhkan Ball adalah sebatas tontonan eskapisme sarat dentuman. Entah itu bersumber dari baku hantam, tembakan, atau pengeboman yang nyaris tanpa henti. Selain adegan pembuka, highlight lain dalam The Death Cure berada di satu jam terakhir saat misi penyelamatan Minho dilangsungkan utamanya pada adegan dengan kata kunci “terjun bebas” dan “bis melayang”. Dalam penanganan yang salah, rentetan laga yang sambung menyambung semacam ini dapat berpotensi terasa sangat melelahkan. Akan tetapi, melalui The Death Cure, Wes Ball membuktikan bahwa dia memiliki bakat untuk menangani gelaran laga eksplosif yang seru sekaligus mendebarkan meski saya sejatinya berharap durasinya dapat lebih singkat.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Saturday, 20 January 2018

20 FILM TERBAIK DI TAHUN 2017 VERSI CINETARIZ


Bagi saya, tahun 2017 lalu adalah tahun terburuk dalam hal produktivitas menonton maupun mengulas film di blog di beberapa tahun terakhir. Dihadapkan pada suatu tanggung jawab besar untuk menuntaskan studi yang telah tertunda cukup lama, memaksa saya mengurangi segala bentuk aktivitas yang berkenaan dengan film. Terhitung hanya sekitar 220 film yang mampu saya lahap selama setahun terakhir (sebagai perbandingan, biasanya 240 hingga 260 judul bisa ditonton) dan tiga bulan terakhir mengalami penurunan dalam membuat ulasan yang sangat signifikan sampai-sampai kebingungan harus memulai menulis dari mana tatkala waktu luang telah kembali didapatkan. 

Meski janji untuk memulai menulis ulasan satuan kembali tertunda, saya mencoba untuk menebusnya dengan list tahunan yang merekapitulasi film-film paling membekas di hati bagi Cinetariz sepanjang tahun 2017. Sebagai permulaan, saya telah membuat daftar untuk film Indonesia secara terpisah (secara mengejutkan, banyak film dalam negeri yang ciamik tahun lalu!) dan kali ini melanjutkannya dengan daftar 20 besar keseluruhan yang mencakup film-film dari berbagai negara. Memutuskan untuk mengerucutkannya menjadi 20 film saja nyatanya bukan perkara mudah karena lagi-lagi ada banyak film yang membekas di hati. Alhasil, penilaian turut mencakup seberapa kuat keinginan untuk menontonnya kembali sekaligus seberapa besar kemungkinan untuk merekomendasikannya ke orang lain. 

Usai mengurasi ke dalam beberapa tahapan berdasar beberapa pertimbangan, berikut adalah beberapa judul yang (dengan sangat terpaksa) dihempas dari 20 besar: 

Honorable Mentions (in alphabetical order): 

# Beauty and the Beast


# Call Me by Your Name



# Get Out


# It


# Okja


# Split


# The Battleship Island


# Thor Ragnarok


# Three Billboards Outside Ebbing Missouri


# Toilet Ek Prem Katha


# War for the Planet of the Apes



# Wonder Woman


…dan inilah 20 film yang berhasil lolos ke dalam daftar 20 film terbaik di tahun 2017 versi Cinetariz: 

Top 20 

#20 John Wick Chapter 2


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Sejak menit pertama, film telah menggila lewat geberan laga beroktan tinggi. Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Detilnya bangunan semesta dalam film ditambah kulikan pada sisi rapuh sang karakter utama, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. 

#19 A Taxi Driver


Rekonstruksi tragedi Gwangju di tahun 1980 ditampilkan A Taxi Driver menjadi suatu gelaran yang tidak saja mendebarkan, tetapi juga jenaka dan mengaduk emosi. Ada fase berdebar-debar tatkala si supir taksi bersama jurnalis asing mencari-cari celah untuk memasuki dan keluar dari Gwangju yang dikepung ketat oleh militer – ini masih belum ditambah saat mereka harus bertahan hidup ditengah-tengah kerusuhan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Ada fase terbahak-bahak saat menengok interaksi si jurnalis bule dengan penduduk setempat termasuk supir taksinya yang kagok berbahasa Inggris. Ada pula fase mengaru biru ketika kita melihat bagaimana tragedi ini berdampak sangat besar kepada warga sipil yang sejatinya tidak tahu apa-apa. 

#18 Pengabdi Setan


Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

#17 Let’s Go Jets!


Didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009, Let’s Go Jets! adalah jawaban Jepang untuk Bring It On (2000). Film yang jenaka, inspiratif, dan penuh energi. Saat menontonnya, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Memang sih bagaimana film ini menuntaskan guliran pengisahannya telah menjadi rahasia umum. Namun, itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses menggapai kejayaan yang akan menginspirasimu. 

#16 Wind River


Melalui Wind River, dua jebolan Avengers, Jeremy Renner dan Elizabeth Olsen, tidak bekerja sama untuk menyelamatkan dunia, melainkan memecahkan kasus pembunuhan seorang perempuan berdarah Indian. Putihnya salju yang menghiasi sepanjang durasi menebalkan nuansa dalam film yang meliputi misterius, depresif, dan dingin. Proses investigasi guna menemukan pelaku pembunuhan mampu tergelar seru serta memancing keingintahuan untuk mengikutinya lebih mendalam, sementara saat kita mendekat kepada karakter-karakter yang terlibat terutama orang tua korban, hati ini serasa dikoyak-koyak. 

#15 The Greatest Showman


The Greatest Showman menutup tahun 2017 dengan sebuah pertunjukkan yang megah dan mengesankan. Guliran kisahnya yang dicuplik dari sepenggal kisah nyata perjuangan seorang pendiri pertunjukkan sirkus legendaris sanggup menginspirasi sekaligus membuat hati terasa hangat. Barisan lagu antemiknya yang merupakan kekuatan utama dari film ini terasa begitu renyah untuk didengar sekaligus membuat kaki terus menerus menghentak. Hal pertama yang dilakukan usai menonton The Greatest Showman di bioskop adalah mendengarkan album soundtrack-nya berulang-ulang. 

#14 Sweet 20


Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. 

#13 Lion


Dalam Lion, penonton disuguhi plot yang menyoroti jatuh bangunnya Saroo untuk memperoleh kesempatan berjumpa kembali dengan keluarganya semenjak terdampar di kota yang sama sekali asing baginya. Ada kepiluan, kengerian, serta sedikit kejenakaan di dalamnya. Kepedulian kita terhadap si tokoh utama merupakan kunci keberhasilan dari Lion. Apabila penonton tidak pernah terhubung dengan Saroo, apa yang tersaji sepanjang film akan terasa hambar. Tapi jika penonton berhasil dibuat bersimpati pada Saroo – seperti telah dilakukan oleh Lion, apa yang tersaji di penghujung film akan menghajar emosimu sampai babak belur. 

#12 The Invisible Guest


Melalui The Invisible Guest, Oriol Paulo menyuarakan kritik terhadap keberpihakan hukum kepada mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan. Dibubuhkan sesuai takaran, kritik pun terasa sangat relevan dan menyentil yang berjasa pula dalam membantu menempatkan The Invisible Guest sebagai film thriller papan atas. Ya, film ini berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya membuat diri ini menggeleng-nggelengkan kepala lantaran kagum terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam yang sarat kejutan. 

#11 The Salesman


Trauma dan amarah yang timbul akibat sebuah peristiwa penyerangan yang tak terduga menyingkap ‘warna’ sesungguhnya dari sepasang suami istri yang tampak memiliki kehidupan rumah tangga harmonis dalam The Salesman. Dengan pengarahannya yang gemilang, Asghar Farhadi sanggup mengubah drama domestik yang lebih menitikberatkan pada studi karakter ini menjadi sebuah gelaran menegangkan berdaya cengkram kuat. Dari menit ke menit, The Salesman terus mengalami eskalasi dalam menguarkan nuansa suspense sampai akhirnya menciptakan ledakan hebat di klimaks yang tak saja mendebarkan tetapi juga emosional. 

#10 The Big Sick


Kumail Nanjiani mengabadikan kisah perjumpaannya dengan sang istri yang begitu manis, hangat, dan menggelitik dalam The Big Sick. Yang tidak biasa dari hubungan mereka yakni fakta bahwa keduanya berasal dari dua dunia yang bertolak belakang. Kumail tumbuh besar dalam keluarga Pakistan Muslim yang konservatif, sementara istrinya adalah perempuan Amerika berjiwa bebas. Saat dua budaya berbeda ini saling berbenturan, hasilnya adalah tontonan yang membuatmu mengalami fase tersenyam-senyum, terpingkal-pingkal hingga terenyuh secara bergantian. Inilah film paling romantis di tahun 2017 lalu. 

#9 Baby Driver


Dibawah penanganan Edgar Wright yang memiliki jiwa nerd sejati, Baby Driver jelas tidak akan dijelmakan sebagai film hura-hura belaka yang sebatas mengedepankan pada laga seru penuh eksplosif seperti halnya Fast and Furious dan Transporter. Betul saja, si pembuat film lantas memadupadankannya dengan humor sarat rujukan ke budaya pop, barisan musik eklektik, romantika asmara muda-mudi, serta ketegangan ala heist film sehingga membuat Baby Driver bukan saja terasa begitu berwarna tetapi juga sangat bergaya. Baby Driver adalah kesempatan emasmu untuk menyaksikan ‘film musikal’ tanpa tari-tarian karena seluruh koreografi tari diimplementasikan ke dalam gerak gerik karakter maupun sekuens laga yang tertata rapi. 

#8 Bad Genius


Ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, akan tetapi itu tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Tak pernah sedikitpun terbayang dalam benak bahwa lembar jawab pilihan ganda saat ujian bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya bisa merasakan itu. 

#7 Secret Superstar


Usai menonton Secret Superstar, diri ini reflek berteriak, “Aamir Khan memang gila!” Betapa tidak, dia berturut-turut menghasilkan karya yang mengangkat kembali nama Bollywood di peta perfilman dunia. Secret Superstar memang tidak semencengangkan 3 Idiots, PK, atau Dangal dalam bertutur, namun film kecil nan bersahaja ini sanggup mengobrak-abrik emosi penonton sedemikian rupa terlebih jika kamu memiliki hubungan dekat dengan ibu. Lebih dari itu, Secret Superstar adalah sebuah film yang ditujukan untuk para perempuan yang tidak memiliki kebebasan dalam bersuara, para perempuan yang memiliki keberanian untuk mewujudkan mimpi, dan para ibu yang rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya. 

#6 Lady Bird


Lewat debut penyutradaraannya ini, Greta Gerwig berbicara tentang kisah pencarian jati diri seorang gadis SMA berusia belasan yang berharap dirinya dapat melepaskan diri dari kampung halamannya. Guliran kisah Lady Bird memang terkesan sederhana dan terdengar familiar, akan tetapi justru disinilah letak kekuatan film ini. Barisan karakternya yang membumi terasa begitu dekat karena kita mengenal cukup baik pribadi-pribadi seperti itu atau malah (tanpa disadari) merefleksikan diri kita sendiri. Kedekatan dengan topik obrolan inilah yang membuat saya mudah terhubung ke Lady Bird. Dari mulanya tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah karakter tituler yang rada nyeleneh, Lady Bird perlahan tapi pasti mulai menyentuh emosi tatkala ‘jagoan’ kita terlibat konflik panas dengan sang ibu. 

#5 Hidden Figures


Sepanjang durasi mengalun, kita menyaksikan kisah inspiratif dari tiga perempuan kulit hitam dalam melawan sistem yang mengekang karir mereka di NASA pada era 60-an. Topik obrolan yang diusung Hidden Figures boleh saja berat menyoal rasisme, seksisme, dunia matematika, perancangan misi luar angkasa, dan sejarah. Namun jangan salah, Hidden Figures sanggup melantunkannya secara ringan, hangat dan menyenangkan tanpa pernah sedikitpun mengalienasi penonton yang tidak menaruh minat pada topik-topik tersebut. Malah, mereka bisa memperlihatkan betapa kerennya matematika di film ini. Sungguh sebuah film yang penting untuk ditonton. 

#4 Dangal


Bollywood memiliki cara yang berbeda dalam mengumandangkan women empowerment, lalu menyuarakan kritik keras terhadap budaya patriarki yang seksis dan konfederasi olahraga yang korup. Salah satu insan perfilman terkemuka di India, Aamir Khan, membalut itu semua dalam sebuah film biopik dunia gulat yang dapat ditonton oleh seluruh anggota keluarga bertajuk Dangal. Berceloteh soal perjuangan dua atlet gulat perempuan pertama di India untuk merengkuh medali emas di pertandingan bertaraf internasional, Dangal tentu menginspirasi. Tidak hanya itu, Dangal pun mampu tersaji sebagai sebuah tontonan yang menghibur, mengharu biru, sekaligus mengikat atensi penonton dengan sangat kuat sampai-sampai durasi 2,5 jam terasa berlalu begitu cepat. 

#3 Wonder


Jika kamu mendapat pilihan untuk berbuat benar atau berbuat baik, mana yang akan kamu pilih? Dalam Wonder, berbuat baik adalah pilihannya. Isu perisakan dikulik dengan pendekatan yang ringan dan mengikat alih-alih menghamparkannya secara merana. Yang juga menarik, penonton tak sebatas disuguhi cerita dari sudut pandang korban perisakan melainkan turut memperoleh cerita dari perspektif pelaku yang rupa-rupanya turut berada di posisi korban. Mengalun dengan hangat, jenaka, serta inspiratif, Wonder sanggup membuat diri ini terbahak lalu beruraian air mata berulang kali di beberapa titik. Bukan air mata karena sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang baik. Sulit disangkal, Wonder jelas terhitung sebagai salah satu film terbaik tahun ini. 

#2 Paddington 2


Paddington 2 adalah satu dari segelintir sekuel yang mempunyai kualitas melampaui pendahulunya. Petualangan beruang yang bisa berbicara dalam memperjuangkan keadilan untuk dirinya ini tanpa dinyana-nyana mampu terhidang sebagai film keluarga yang sangat menghibur, mempunyai pesan moral bagus tanpa pernah terasa ceriwis, sekaligus memiliki sisi magis yang begitu kuat. Saat menyaksikan Paddington 2, jiwa kanak-kanak dalam diri ini mendadak hidup kembali dan bergembira. Sedikit banyak mengingatkan pada sensasi menonton film keluarga dari era 1990-an. Bersama dengan Wonder dan Coco, Paddington 2 yang menempatkan seekor beruang penjunjung tinggi kebaikan sebagai karakter sentral ini merupakan film paling indah yang saya saksikan di tahun 2017. 

#1 Coco


Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail serta penuh warna. Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah si pembuat film yang mengusung tema utama seputar kematian (konon, landasan kisahnya bersumber dari perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos) serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!