This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, 19 October 2017

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi populer yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak bersahabat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu akibat semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari teman sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yakni menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya kemudian membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai dia mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah memberikan pertanda bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti setelah satu detik mengalun, lalu diulang lagi dari awal. Dan memang, pertanda tersebut sama sekali tidak berbohong karena Landon sanggup mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher remaja di era 1990-an seperti Scream, I Know What You Did Last Summer, sampai Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan karakter utama perempuan yang cantik, lalu diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-karakter sampingan dari berbagai strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan karakter-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si karakter utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah akhir dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang memperlihatkan Tree berhadapan langsung dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon mampu menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran karena cara Tree menjumpai ajal yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menakutkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang membuat diri ini meringkuk tampan di kursi bioskop atau mengalami mimpi buruk usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya adalah kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah dia sanggup melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Saturday, 14 October 2017

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.


Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian. 

Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!). 

Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.

Acceptable (2,5/5)


Monday, 9 October 2017

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi karakter utama. Keempat sahabat yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib yaitu sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari perempuan yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai kemudian kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja akibat persoalan asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 memiliki kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat erat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan lalu terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih kalem dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan kisah percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus mudah bagi generasi muda sekarang untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibuat tertawa melihat hubungan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau saya sendiri merasa cukup terganggu lantaran peralihan nada hubungan dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita marah-marah kepada Agus di kafe karena sang kekasih tidak berhasil memberi jawaban memuaskan perihal proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan sikap Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menjadikan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar kuat dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan sketsa. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menyebabkan Jomblo terasa hambar adalah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi saat disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki hubungan baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki ikatan persahabatan sangat erat. Itulah mengapa saat muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, saya tidak bisa merasakan apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)



Sunday, 8 October 2017

DAFTAR NOMINASI DI FESTIVAL FILM INDONESIA 2017


Bertempat di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, pada Kamis (5/10) malam, deretan nominasi Festival Film Indonesia 2017 (FFI 2017) diumumkan. Dalam perhelatan tahun ini yang malam puncaknya akan diselenggarakan di Manado pada 11 November mendatang, terdapat 22 kategori kompetisi yang secara rinci terbagi menjadi 18 kategori untuk film bioskop panjang dan 4 kategori untuk film pendek, film dokumenter, serta film animasi.

Usai menyeleksi sekitar 100 judul film yang telah ditayangkan untuk publik pada periode Oktober 2016 hingga Oktober 2017, dewan juri menetapkan Cek Toko Sebelah, Kartini, Night Bus, Pengabdi Setan, serta Posesifsebagai calon utama penerima Piala Citra dalam kategori Film Terbaik. Kartini arahan Hanung Bramantyo merupakan peraih nominasi terbanyak di FFI 2017 dengan raihan sebanyak 14 nominasi.

Menguntit ketat di belakangnya yakni Pengabdi Setan garapan Joko Anwar dengan perolehan 13 nominasi yang sekaligus menandai untuk pertama kalinya FFI memberikan apresiasi sedemikian besar untuk film Indonesia bergenre horor. Disamping Pengabdi Setan, film horor dalam setahun terakhir yang turut memeriahkan deretan nominasi FFI 2017 antara lain The Doll 2 (1 nominasi) dan Gerbang Neraka (2 nominasi).

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah daftar lengkap para penerima nominasi FFI 2017:

Film Terbaik
·         Cek Toko Sebelah
·         Kartini
·         Night Bus
·         Pengabdi Setan
·         Posesif

Sutradara Terbaik
·         Edwin (Posesif)
·         Emil Heradi (Night Bus)
·         Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah)
·         Hanung Bramantyo (Kartini)
·         Joko Anwar (Pengabdi Setan)
·         Ody C Harahap (Sweet 20)

Pemeran Utama Pria Terbaik
·         Adipati Dolken (Posesif)
·         Deddy Sutomo (Kartini)
·         Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah)
·         Teuku Rifnu Wikana (Night Bus)

Pemeran Utama Wanita Terbaik
·         Adinia Wirasti (Critical Eleven)
·         Dian Sastrowardoyo (Kartini)
·         Putri Marino (Posesif)
·         Sheryl Sheinafia (Galih dan Ratna)
·         Tatjana Saphira (Sweet 20)

Pemeran Pendukung Pria Terbaik
·         Alex Abbad (Night Bus)
·         Dion Wiyoko (Cek Toko Sebelah)
·         Slamet Rahardjo (Sweet 20)
·         Tyo Pakusadewo (Night Bus)
·         Yayu Unru (Posesif)

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik
·         Adinia Wirasti (Cek Toko Sebelah)
·         Christine Hakim (Kartini)
·         Cut Mini (Posesif)
·         Djenar Maesa Ayu (Kartini)
·         Marissa Anita (Galih dan Ratna)
·         Niniek L Karim (Sweet 20)
·         Widyawati Sophiaan (Sweet 20)

Pemeran Anak Terbaik
·         Aish Nurra Datau (Iqro: Petualangan Meraih Bintang)
·         Bima Azriel (Surat Kecil Untuk Tuhan)
·         Muhammad Iqbal (Stip dan Pensil)
·         Muhammad Adhiyat (Pengabdi Setan)
·         Muhammad Razi (Surau dan Silek)
·         Neysa Chandra Melisenda (Kartini)

Pengarah Sinematografi Terbaik
·         Amalia T.S. (Galih dan Ratna)
·         Anggi Frisca (Night Bus)
·         Batara Goempar (Posesif)
·         Faozan Rizal (Kartini)
·         Ical Tanjung (Pengabdi Setan)

Penulis Skenario Adaptasi Terbaik
·         Bagus Bramanti, Hanung Bramantyo (Kartini, didasarkan pada kisah hidup R.A Kartini)
·         Fathan Todjon, Lucky Kuswandi (Galih dan Ratna, adaptasi novel Gita Cinta dari SMA karya Eddy D Iskandar)
·         Joko Anwar (Pengabdi Setan, didasarkan pada film Pengabdi Setan (1980))
·         Rahadi Mandra, Teuku Rifnu Wikana (Night Bus, adaptasi cerita pendek Selamat karya Teuku Rifnu Wikana)
·         Upi (Sweet 20, adaptasi dari skenario film Miss Granny (2014) karya Shin Dong-ICK, Hoon Young-Jeong, Dong Hee-Sun, Hwang Dong-Hyuk)

Penulis Skenario Asli Terbaik
·         Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah)
·         Gina S. Noer (Posesif)
·         Joko Anwar, Ernest Prakasa, Bene Dion Rajaguguk (Stip dan Pensil)
·         Nurman Hakim, Zaim Rofiqi, Ben Sohib (Bid’ah Cinta)
·         Raditya Dika (Hangout)


Film Dokumenter Panjang Terbaik
·         Balada Bala Sinema - Yuda Kurniawan
·         Banda: The Dark Forgotten Trail - Jay Subiyakto
·         Bulu Mata- Tony Trimarsanto
·         Ibu (An Extraordinary Mother) -. Patar Simatupang
·         Negeri Dongeng - Anggi Frisca
·         Tarling Is Darling - Ismail Fahmi Lubis

Film Dokumenter Pendek Terbaik
·         Anak Koin- Chrisila Wentiasri
·         Dluwang: The Past From The Trash - Agni Tirta
·         Living In Rob - Fuad Hilmi
·         Sepanjang Jalan Satu Arah - Bani Nasution
·         Solastalgia- Kurnia Yudha F.
·         Songbird: Burung Berkicau - Wisnu Surya Pratama
·         The Unseen Words - Wahyu Utami Wati

Film Pendek Terbaik
·         Amak - Ella Angel
·         Babaran- Meilani Dina Pangestika
·         Buang- Eugene Panji
·         Jendela- Randi Pratansa
·         Kleang Kabur Kanginan - Riyanto Tan Ageraha
·         Lintah Darat - Putri Zakiyatun Ni'mah
·         Nyathil- Anggita Dwi Martiana
·         Pentas Terakhir - Triyanto 'Genthong- Hapsoro
·         Ruah - Mabul Mubarak
·         Salam Dari Kepiting Selatan - Zhafran Solichin

Film Animasi Pendek Terbaik
·         Darmuji 86: Bhineka di Persimpangan - Ahmad Hafidz Azro'i
·         Kaie and The Phantasus's Giants - Ahmad Hafidz Azro'i
·         Lukisan Nafas - Fajar Ramayel
·         Make a Wish - Salsabilla Aulia Rahma
·   Mudik- Calvin Chandra, Ardhira Anugrah Putra, Alfonsus Andre, Aditya Prabaswara

Penyunting Gambar Terbaik
·         Aline Jusria (Sweet 20)
·         Arifin Cuunk (Pengabdi Setan)
·         Cesa David Luckmansyah (Cek Toko Sebelah)
·         Kelvin Nugroho, Sentot Sahid (Night Bus)
·         Ryan Purwoko (Critical Eleven)
·         Wawan I Wibowo (Kartini)
·         W Ichwandiardono (Posesif)

Penata Suara Terbaik
·         Dwi Budi Priyanto, Khikmawan Santosa (Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon)
·         Khikmawan Santosa (Kartini)
·         Khikmawan Santosa, Anhar Moha (Pengabdi Setan)
·       Khikmawan Santosa, Mohamad Ikhsan Sungkar, Madunazka (Cek Toko Sebelah)
·         Khikmawan Santosa, Mohamad Ikhsan Sungkar, Suhadi (Critical Eleven)
·         Wahyu Tri Purnomo, Jantra Suryaman (Night Bus)

Pencipta Lagu Terbaik
·         Isyana Sarasvati - "Sekali Lagi" (Critical Eleven)
·         Melly Goeslaw - "Dalam Kenangan" (Surga yang Tak Dirindukan 2)
·         Mada The Overtunes - "Senyuman dan Harapan" (Cek Toko Sebelah)
·         The Spouse - "Kelam Malam" (Pengabdi Setan)

Penata Busana Terbaik
·         Anggia Kharisma (Filosofi Kopi 2: Ben & Jody)
·         Dara Asvia (Sweet 20)
·         Gemailla Gea Geriantiana (Night Bus)
·         Isabelle Patrice (Pengabdi Setan)
·         Retno Ratih Damayanti (Kartini)

Penata Rias Terbaik
·         Cherry Wirawan (Night Bus)
·         Cherry Wirawan, Dian Anggraini (Gerbang Neraka)
·         Cika Rianda (Posesif)
·         Darwyn Tse (Pengabdi Setan)
·         Darto Unge (Kartini)

Penata Artistik Terbaik
·         Allan Sebastian (Kartini)
·         Allan Sebastian (Pengabdi Setan)
·         Benny Lauda (Filosofi Kopi 2: Ben & Jody)
·         Vida Sylvia (Sweet 20)

Penata Efek Visual Terbaik
·         Amrin Nugraha (Night Bus)
·         Epix Studio, Postima, Mag (Rafathar)
·         Finalize Studios (Pengabdi Setan)
·         Fixit Works (Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon)
·         Fixit Works (The Doll 2)
·         Orangeroom Cs (Gerbang Neraka)

Penata Musik Terbaik
·         Aghi Narottama, Tony Merle, Bemby Gusti (Pengabdi Setan)
·         Ivan Gojaya (Galih dan Ratna)
·         Mc Anderson (Filosofi Kopi 2: Ben & Jody)
·         Thoersi Argeswara (Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon)
·         Tya Subiakto (Mooncake Story)