This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 30 September 2017

REVIEW : PENGABDI SETAN (2017)


“Kalau memang itu Ibu, kita bilang sama dia supaya nggak ganggu kita lagi.” 

Kala melontarkan tanya seputar film horor tanah air paling seram, responden kerap kali menyebut judul Pengabdi Setan – sebuah film memedi rilisan tahun 1980 yang digarap oleh Sisworo Gautama Putra. Apabila kamu pernah menyaksikannya, maka jawaban tersebut tak akan terdengar mengejutkan di telinga karena film ini memang cukup ampuh dalam mengganggu kenikmatan tidur di malam hari. Secara penceritaan memang tak istimewa karena hanya berkisar pada pertarungan melawan kebatilan, begitu pula elemen teknisnya. Yang lantas menjadikan Pengabdi Setan versi jadul ini dikenang banyak pihak yakni kemampuan si pembuat film dalam menghadirkan rentetan teror ikonik seperti penampakan sosok ibu dalam wujud hantu, gangguan kala sholat, keberadaan villain bernama Darminah (Ruth Pelupessy) dengan tatapannya yang bikin nyali ciut, sampai serangan zombie. Salah satu pecinta film yang mengalami mimpi buruk saat menonton film ini adalah Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) yang lantas menginspirasinya untuk menggarap ulang Pengabdi Setan. Perjuangan Joko guna mengantongi izin dari Rapi Films selaku pemilik hak cipta film tidaklah main-main karena membutuhkan waktu sekitar 10 tahun sampai akhirnya rumah produksi berkenan memberinya restu. Diberi kepercayaan sedemikian besar, Joko tentu memanfaatkannya sebaik mungkin yang terpampang nyata pada hasil akhir interpretasi barunya terhadap Pengabdi Setan yang tak saja berhasil sebagai remake tetapi juga amat layak memperoleh predikat sebagai “salah satu film horor Indonesia terbaik sepanjang masa.”  

Tak seperti rilisan lawas yang sekonyong-konyong menghadapkan penonton pada teror, Pengabdi Setan milik Joko mempersilahkan kita untuk menengok barang sejenak kondisi Ibu (Ayu Laksmi) sebelum menghadap ke Yang Maha Satu. Ibu mengidap penyakit misterius selama bertahun-tahun yang memaksanya untuk tetap berbaring di ranjang sepanjang hari. Alat komunikasinya dengan keluarga yang terdiri atas Bapak (Bront Palarae), Nenek (Elly D. Luthan), Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (Adhiyat Abdulkhadir) hanya satu: lonceng kuningan. Komunikasinya pun sebatas meminta disuapi atau disisir, tak pernah ada obrolan intim diantara Ibu dengan anak-anaknya karena Ibu sudah tidak bisa berbicara sehingga lambat laun tercipta jarak yang membuat anak-anaknya merasa ngeri untuk dekat-dekat ke Ibu terlebih sang ibu kerap memberi tatapan mengerikan. Usai menciptakan situasi serba sulit dan tidak mengenakkan bagi keluarganya selama beberapa tahun, Ibu akhirnya berpulang di suatu malam. Untuk sesaat, Bapak dan anak-anak mengira bahwa kepergian Ibu akan menjadi kesempatan untuk memulai hidup baru yang lebih baik sampai kemudian… Ibu datang lagi. Apakah kedatangan Ibu ini lantaran semata-mata dia masih belum siap berpisah dengan anak-anaknya atau ada suatu agenda terselubung? Apapun motifnya, kedatangan Ibu bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi setiap personil keluarga Suwono karena beliau tidak datang secara damai dan justru membawa petaka kepada orang-orang terkasihnya. 


I can assure you, Pengabdi Setan rekaan Joko Anwar ini tidaklah seperti mayoritas film-film horor tanah air yang lebih mementingkan penampakan hantu yang ganjen lalu mengabaikan penceritaan dan urusan teknis. Ya, ketimbang langsung menyeret penonton ke tengah-tengah terjangan teror yang tak berkesudahan, si pembuat film memberi kita sekelumit latar belakang dan pengenalan ke anggota keluarga Suwono sehingga terbentuk ikatan antara penonton dengan barisan karakter yang memunculkan rasa peduli. Pengabdi Setan versi lawas tidak memberikan ini – bahkan, plotnya pun setipis kertas – dan Joko berusaha menebus kesalahan film favoritnya tersebut dengan cara mengembangkan penceritaan di versi mutakhir ini lebih jauh (sampai-sampai saya curiga, film ini bakal nyambung ke film Joko yang lain). Ada informasi mengenai siapa Ibu sebelum terkapar tak berdaya di rumah, ada penjabaran tentang penyebab kematian Ibu, dan ada alasan lebih konkret dibalik teror yang dihujamkan Ibu kepada keluarganya ketimbang sebatas masalah kurangnya iman kepada Tuhan. Ya, memperbincangkan soal motif si penebar teror, Joko menghadirkan sebuah penjelasan amat menarik yang tidak saja membuka ruang bagi munculnya jilid-jilid lain selepas Pengabdi Setan tetapi juga diskusi panjang-panjang diantara para penonton filmnya. Salah satu ciri khas dari sang sutradara yang seketika membuat saya merancang rencana untuk menontonnya kembali demi mengorek petunjuk-petunjuk dari sang sutradara yang sangat mungkin terlewatkan. 

Disamping memoles penceritaan agar tak lagi compang-camping, Joko mencoba untuk turut meningkatkan level kengerian dari versi klasik yang sejatinya bukan perkara mudah dilakukan karena Pengabdi Setan rekaan Sisworo Gautama Putra sejatinya telah unggul dalam trik menakut-nakuti. Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Kengeriannya bersumber dari dua hal; atmosfir yang mengusik serta penempatan jump scare yang efektif. Sedari awal, nuansa mengganggu kenyamanan yang membuat bulu kuduk meremang telah menguar. Daya cekam yang sudah berada di level sedang ketika kita diajak menjenguk Ibu di ranjang, perlahan tapi pasti terus ditingkatkan oleh Joko seiring dengan bergulirnya durasi. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini yang sarat akan referensi terhadap sejumlah film horor apik macam The Changeling (1980), Night of the Living Dead, The Omen, Ringu, serta The Others, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. 

Keberhasilan Pengabdi Setan dalam menghadirkan teror yang akan membuat para penakut berulang kali meringkuk di kursi bioskop sekaligus menutupi pandangan mereka dari layar bioskop ini merupakan kombinasi dari pengarahan sangat baik, plot mengikat, tata kamera dengan komposisi beserta pergerakan yang sungguh mengagumkan, tata artistik detil yang sanggup ciptakan kesan era 80-an awal, skoring musik menghantui, lantunan tembang “Kelam Malam” dari Aimee Saras yang mengusik, serta barisan pemain yang menunjukkan performa di atas rata-rata. Setiap personil keluarga Suwono mampu memberikan akting meyakinkan terutama Tara Basro yang mengombinasikan ketegasan, kebingungan, sekaligus ketakutan di waktu bersamaan, lalu Ayu Laksmi yang memiliki ekspresi meneror seperti halnya mendiang Ruth Pelupessy di versi lawas, dan para aktor cilik pendatang baru Nasar Annuz beserta Adhiyat Abdulkhadir yang mampu bermain secara natural sehingga penonton tidak merasa kesulitan untuk jatuh hati kepada keduanya, khususnya Adhiyat yang menjadi scene stealer dalam Pengabdi Setan. Oleh Joko, keduanya difungsikan sebagai comic relief dengan segala tingkah polah polos dan celetukan-celetukan lucu khas bocah agar penonton bisa bernafas untuk sesaat sebelum kembali dibuat blingsatan begitu Ibu memasuki rumah yang ditandai dengan terdengarnya suara lonceng bergemerincing.

Outstanding (4/5)


Friday, 22 September 2017

REVIEW : GERBANG NERAKA


“Yang dibutuhkan Indonesia itu sains, bukan klenik.” 

Jika kamu selama ini mengeluhkan kurangnya variasi genre dalam perfilman tanah air, rilisan terbaru rumah produksi Legacy Pictures bertajuk Gerbang Neraka yang menawarkan tema baru ini semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. Memiliki judul awal Firegate: Piramida Gunung Padang, film garapan Rizal Mantovani (Kuntilanak, 5 cm) ini menancapkan jejak utamanya di genre petualangan yang sebelumnya pernah coba dieksplorasi oleh sineas tanah air melalui Ekspedisi Madewa (2006) dan Barakati (2016) yang mungkin tidak terlalu familiar di telinga sebagian besar penonton tanah air. Yang lantas membedakan Gerbang Neraka dari kedua judul tersebut adalah Rizal bersama Robert Ronny selaku penulis skenario memadupadankannya dengan fantasi dan horor demi meningkatkan daya tariknya ke publik. Gagasan penceritaan untuk filmnya sendiri tercetus berkat keriuhan yang melingkungi situs punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat pada tahun 2014 silam. Berbagai temuan para peneliti melahirkan sejumlah spekulasi dari berbagai pihak yang salah satu paling santer terdengar menyatakan adanya piramida berusia sangat tua (konon usianya melebihi Piramida Giza di Mesir!) yang terkubur di bawah Gunung Padang. Sebuah spekulasi yang jelas sangat menggiurkan untuk diejawantahkan menjadi tontonan layar lebar, bukan? 

Guna menggulirkan roda penceritaan, Gerbang Neraka menetapkan tiga karakter sebagai sorotan utama. Mereka adalah seorang jurnalis tabloid mistis yang mengorbankan idealismenya demi memberi penghidupan layak bagi anak istrinya bernama Tomo (Reza Rahadian), seorang dosen arkeologi yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bernama Arni (Julie Estelle), serta seorang ahli spiritual yang memanfaatkan kemampuannya untuk mengejar ketenaran bernama Guntur Samudra (Dwi Sasono). Ketiga manusia yang memiliki visi saling bertolak belakang ini saling dipertautkan usai proses eskavasi situs Piramida Gunung Padang yang melibatkan sejumlah arkeolog terbaik Indonesia termasuk Arni justru mendatangkan malapetaka. Satu persatu personil yang menemukan kebenaran tersembunyi dibalik Piramida Gunung Padang meregang nyawa dengan cara tak wajar. Dilingkupi kepenasaran yang membuncah mengenai sabab musabab tewasnya rekan-rekan kerjanya, Arni pun mau tak mau bekerjasama dengan Tomo dan Guntur yang telah menunjukkan ketertarikan pada situs ini sedari awal. Dari penelusuran bersama, mereka mendapati bahwa ada sosok jin penunggu bernama Badurakh yang berusaha untuk menghalangi para manusia membuka Piramida Gunung Padang. Larangan Badurakh ini bukannya tanpa alasan karena apa yang bersemayam di dalam piramida dapat menghancurkan peradaban manusia.


Telah dirampungkan sedari tahun 2015, nyatanya membutuhkan waktu hingga dua tahun bagi Gerbang Neraka untuk akhirnya dilempar secara resmi ke hadapan publik. Salah satu faktor pemicunya yakni kebutuhan untuk menyempurnakan CGI yang memang memegang andil besar dalam memvisualisasikan Piramida Gunung Padang dan Badurakh. Pengorbanan selama dua tahun demi memperhalus tampilan ini untungnya terbayar impas dengan hasilnya yang sama sekali tidak mengecewakan dan bisa dikata merupakan salah satu yang paling mulus dalam perfilman Indonesia. Efek khusus Gerbang Neraka mampu memberikan kita gambaran tergolong meyakinkan mengenai semesta berikut mitologi bentukan si pembuat film, seperti bagaimana wujud si jin penunggu dan seperti apa bentuk situs prasejarah incaran banyak pihak tersebut. Skripnya memang tidak sepenuhnya rapi – masih meninggalkan satu dua pertanyaan yang semestinya bisa dielaborasi lebih mendalam – namun memiliki daya cengkram cukup kuat yang menggelitik rasa penasaran penonton untuk mengetahui perihal rahasia nenek moyang yang terkubur di dalam Piramida Gunung Padang. Apakah ada sesuatu yang berharga di sana? Atau justru tersimpan sesuatu yang berbahaya? Apabila ya, apakah itu? Mengapa sosok Badurakh berusaha untuk menutup-nutupinya dari para manusia? 

Keinginan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ditambah lagi adanya sempilan berupa sentilan sentilun terhadap situasi sosial Indonesia masa kini membuat saya tertarik mengikuti penceritaan Gerbang Neraka yang tanpa dinyana-nyana mampu dilantunkan secara mengasyikkan. Rizal Mantovani yang belakangan ini tampak kesulitan menyampaikan cerita yang menghibur melalui medium audio visual, akhirnya dapat menemukan ritmenya kembali disini. Tidak selalu mulus, terkadang penggunaan jump scare untuk membuat penonton terlonjak agak berlebihan dan humornya beberapa kali terasa janggal, akan tetapi Rizal cukup berhasil menjadikan kisah petualangan trio Tomo-Arni-Guntur terasa enak untuk disimak. Beruntung bagi Rizal, ada sokongan mumpuni yang diperolehnya dari iringan musik gubahan Andi Rianto yang diberi sentuhan etnik dan jajaran pemain yang menghadirkan performa gemilang. Reza Rahadian sekali lagi menunjukkan karisma kuat sebagai lead, Julie Estelle berhasil melakonkan karakter perempuan cerdas pula tangguh, Dwi Sasono meniupkan elemen komedik pada film (ada semacam ambiguitas antara karakternya memang sengaja dibentuk agak komikal atau ada pengaruh dari peran yang dibawakannya di sitkom), serta Lukman Sardi dalam peran mengejutkan di klimaks yang mengusik pemikiran. Berkat kombinasi baik dari unsur-unsur tersebut, Gerbang Neraka yang mengusung konsep segar ini pun berhasil tersaji sebagai tontonan yang menghibur sekaligus menjadi salah satu kejutan manis bagi perfilman Indonesia tahun ini.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Thursday, 21 September 2017

REVIEW : KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE


“Being a “Kingsman” is more than the clothing we wear or the weapons we bag. It’s about willing to sacrifice for the greater good.” 

Ditengah kecenderungan film spionase bergerak ke arah yang lebih serius dengan nada penceritaan muram – bahkan belakangan seri James Bond tidak lagi mengutamakan bersenang-senang – Kingsman: The Secret Service yang dirilis pada tahun 2014 menawarkan sebuah alternatif menyegarkan bagi para pecinta film. Sang sutradara, Matthew Vaughn (Kick-Ass, X-Men: First Class), memperkenalkan kita kepada agen rahasia anyar yang sanggup memadukan tindak tanduk ugal-ugalan bak bocah ingusan yang tidak pernah mengenal sopan santun dengan elegansi ala bangsawan Inggris. Sebuah kombinasi unik yang lantas menghadapkan penonton kepada gelaran laga berbalut komedi yang penuh gaya, berwarna, dan tanpa tedeng aling-aling dalam menggeber kekerasan demi mencapai dua tujuan: kejutan dan kesenangan. Hidangan berbeda yang materinya bersumber dari komik bertajuk sama rekaan Dave Gibbons dan Mark Millar ini tanpa dinyana-nyana sanggup memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus sehingga 20th Century Fox seketika memberi lampu hijau untuk pembuatan sekuel. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengingat instalmen pertama telah menetapkan standar cukup tinggi bagi film beraliran serupa, mungkinkah si sekuel dari Kingsman: The Secret Service yang diberi subjudul The Golden Circle ini berhasil melampauinya atau minimal berada di tataran yang sama? 

Tewasnya Valentine (Samuel L. Jackson), musuh besar para agen Kingsman di The Secret Service, ternyata tidak lantas membuat kehidupan Eggsy Unwin (Taron Egerton) damai sentosa. Memang sih setelah melenyapkan si psikopat, Eggsy sempat untuk menjalani kehidupan normal dengan menjalin hubungan serius bersama perempuan yang diselamatkannya di jilid awal, Putri Tilde (Hanna Alström). Tapi itu tak berlangsung lama karena satu tahun selepas insiden film sebelumnya, Eggsy mesti menghadapi Charlie (Edward Holcroft), mantan trainee yang tak diterima oleh Kingsman, yang kini bekerja dibawah komando pemimpin kartel narkoba misterius, Poppy Adams (Julianne Moore). Tangan sibernetik Charlie mampu menyelinap ke dalam markas rahasia Kingsman dan menyadap data-data penting yang kemudian dimanfaatkan Poppy untuk melancarkan serangan dalam bentuk misil. Akibatnya, sejumlah lokasi luluh lantak yang turut menewaskan beberapa agen utama dan hanya menyisakan Eggsy beserta Merlin (Mark Strong). Mencoba mencari bantuan dengan mengikuti protokol ‘hari kiamat’, kedua agen tersebut lantas dituntun menuju organisasi elit rahasia lain yang bermarkas di Amerika Serikat bernama Statesman. Bekerjasama dengan para agen Statesman serta Harry Hart (Colin Firth), mentor Eggsy yang sempat diduga telah tewas, Eggsy berupaya menggagalkan rencana besar Poppy dalam melegalisasi penggunaan narkoba.


Mengikuti pola film kelanjutan, sudah barang tentu The Golden Circle meluaskan cakupan skalanya. Tengok saja jajaran pemainnya yang kian meriah melibatkan nama-nama besar dari Hollywood seperti Julianne Moore, lalu Halle Berry, Channing Tatum, dan Jeff Bridges sebagai personil Statesman. Vaughn ditemani Jane Goldman di sektor penulisan naskah pun berupaya meningkatkan kompleksitas dalam penceritaan dengan membentangkan universe dalam film, menghadirkan setumpuk karakter anyar sekaligus menyisipkan beragam subplot yang mau tak mau berkontribusi pada melarnya durasi hingga mencapi 141 menit (betul sekali, kamu tak salah baca!). Durasi yang kelewat panjang ini merupakan problematika utama yang menyergap The Golden Circle sehingga menghalanginya untuk tampil segegap gempita seperti sang predesesor. Selama satu jam pertama, laju pengisahan terkesan berlarut-larut hanya demi memperkenalkan penonton kepada Statesman yang berujung dengan reuni kejutan bersama Harry. Usai adegan pembuka seru yang menampilkan kejar-kejaran mobil di jalanan London dan lontaran misil, The Golden Circle bergerak melambat yang berdampak pada menyusutnya intensitas. Penonton disuguhi sederet konflik sampingan di sekitar Eggsy yang sejatinya bisa diperpadat bahkan dipangkas demi menghemat durasi. Rasa jenuh sempat menghampiri yang untungnya ditebus oleh rentetan laga mengasyikkan terhitung sedari Eggsy kembali turun ke lapangan. 

Ya, berbicara soal kandungan hiburan dalam bentuk sekuens laga, The Golden Circle tidak kekurangan sedikitpun – walau agak disayangkan tidak dihadirkan secara non-stop. Level “wow”-nya memang agak dibawah film pertama yang memberi kita dua adegan sulit terlupakan, yakni pembantaian di gereja dan ‘kembang api’, namun tetap saja sulit untuk menolak saat tata laganya masih terbilang menggenjot adrenalin, bukan? Beberapa momen yang membuat diri ini bersemangat selama menyaksikan The Golden Circle di layar lebar disamping adegan pembuka antara lain kereta gantung di pegunungan salju yang terpontang-panting, konfrontasi akhir di Poppy Land atau markas utama Poppy yang desain bangunannya terinspirasi dari Amerika Serikat era 1950-an, hingga apapun yang melibatkan sang legenda musik Elton John yang memerankan versi fiktif dari dirinya sendiri yang gemar melontarkan sumpah serapah. Diluar dugaan, Elton John mampu menyumbang beberapa momen komedik terbaik di film yang sejatinya kadar kelucuannya turut mengempes. Yang juga menghadirkan performa mengesankan dari departemen akting dalam The Golden Circle adalah Taron Egerton (entah mengapa saya merasa dia terlihat ‘tua’ disini?), Colin Firth, Mark Strong, Pedro Pascal sebagai agen Statesman yang menyimpan agenda terselubung, serta Julianne Moore sebagai villain utama yang sinting tapi tetap tampak berkelas. Jika ada yang terasa sia-sia dalam The Golden Circle selain durasi kepanjangan, maka itu kehadiran trio Statesman: Channing Tatum, Jeff Bridges, dan Halle Berry, yang jatah tampilnya tak lebih banyak dari Elton John. Mungkinkah ini hanya sebagai perkenalan menuju peran lebih besar di jilid ketiga? Semoga saja. Karena jika tidak, sungguh amat mubazir.

Note : Coba tonton The Golden Circle dalam format 4DX. Sensasi menonton yang diberikannya sungguh luar biasa.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 17 September 2017

REVIEW : THREAD OF LIES


“Dalam hidup, kamu akan mengalami saat dimana kamu lebih ingin mencurahkan isi hati kepada orang asing daripada keluarga. Karena orang asing tidak perlu menjaga rahasiamu.” 

Pada bulan Maret silam, Netflix melepas sebuah serial bertajuk 13 Reasons Why yang didasarkan pada novel remaja laris berjudul serupa. Serial berjumlah 13 episode tersebut menjadi suatu fenomena tersendiri di kuartal pertama tahun ini lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema sensitif dalam kehidupan remaja; bullying, depresi, dan bunuh diri. Elemen misteri yang dibubuhkan ke alunan penceritaannya memberi candu bagi penonton untuk terus mencari tahu “apa sih yang sesungguhnya terjadi disini?” sekalipun bahan obrolannya terbilang berat – saya sendiri menuntaskannya hanya dalam 3 hari. Selepas menontonnya, saya tidak saja menggali informasi terkait perisakan tetapi juga mencari film bertema sejenis. Nah, apabila kamu seperti saya dan berharap bisa menjumpai film yang senada seirama, rupa-rupanya perfilman Korea Selatan telah memiliki sebuah tontonan sangat apik yang memperbincangkan perihal perisakan dan bunuh diri di kalangan remaja usia belasan semenjak tahun 2014 berjudul Thread of Lies. Disadur pula dari sebuah novel, film arahan Lee Han (Punch) ini menghamparkan potret kelam dari Negeri Gingseng yang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia berdasarkan data dari hasil penelitian World Health Organization. 

Karakter utama dalam Thread of Lies adalah seorang janda bernama Hyun-sook (Kim Hee-ae) dan kedua putrinya, Man-ji (Go Ah-sung) dan Cheon-ji (Kim Hyang-gi), yang masing-masing masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah. Dari tampak luar, mengesampingkan absennya figur seorang ayah, keluarga kecil ini tampak seperti keluarga normal lainnya. Menjalani hari demi hari dengan rutinitas yang begitu-begitu saja, kalaupun ada cekcok tentu wajar-wajar saja. Menganggap satu sama lain tidak mempunyai masalah, alangkah terkejutnya Hyun-sook dan Man-ji saat mendapati si bungsu Cheon-ji mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar. Yang makin menyesakkan, Cheon-ji tak meninggalkan surat perpisahan sehingga kematiannya pun meninggalkan tanda tanya besar bagi keluarganya. Apa masalah yang dihadapi oleh Cheon-ji sampai-sampai dia nekat mengambil jalan pintas semacam ini? Pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiran Man-ji yang kemudian memutuskan mencari kebenaran dibalik kematian sang adik selepas dia dan ibunya pindah apartemen. Langkah awal yang diambilnya yakni mendekati teman baik Cheon-ji, Hwa-yeon (Kim Yoo-jung), yang ternyata memiliki kontribusi cukup besar terhadap kematian Cheon-ji. Penyelidikan kecil-kecilan yang dilakukan Man-ji ini lantas mengungkap satu demi satu rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapat oleh Cheon-ji beserta orang-orang di sekitarnya. 

Selaiknya 13 Reasons Why, ketertarikan awal untuk mengikuti guliran pengisahan Thread of Lies bersumber dari misteri kematian si karakter sentral. Kita mempertanyakan motivasinya: kenapa dia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri sementara tidak ada yang salah dari keluarga dan teman-temannya? Jika serial milik Netflix tersebut mengajak pemirsa mengikuti perjalanan sang sahabat dekat dalam membongkar misteri, maka film garapan Lee Han ini membawa penonton mengikuti Man-ji dalam mengurai benang-benang yang melilit kematian sang adik. Pemaparan kebenarannya mempergunakan teknik senada, kilas balik ke masa-masa si korban masih menghembuskan nafas. Usai berbincang-bincang sekejap bersama Hwa-yeon yang merupakan salah satu siswi tercantik dan terpopuler di sekolah Cheon-ji, baik Man-ji maupun penonton telah mencium bau anyir dibalik perangainya yang tampak lembut dan sopan. Benar saja, kala si pembuat film melempar latar waktu ke beberapa hari belakang, kita mendapati bahwa Hwa-yeon adalah perwujudan nyata dari perumpaan ‘serigala berbulu domba’. Dia tidak menerapkan kekerasan selama merisak Cheon-ji, melainkan mengajak kawan-kawan sekelas untuk mengesklusi secara sosial si gadis malang ini sehingga dia tidak memiliki teman untuk berbagi atau sekadar diajak bermain di sekolah. Salah satu adegan paling menyesakkan dada dalam Thread of Lies adalah ketika teman-teman sekelas Cheon-ji menggunjingkannya melalui aplikasi perpesanan di pesta ulang tahun Hwa-yeon.


Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah Hwa-yeon adalah satu-satunya alasan bagi Cheon-ji untuk mengakhiri hidupnya? Seiring berjalannya durasi, kebenaran-kebenaran lain turut tersingkap yang memberikan kejutan kepada Man-ji (juga penonton). Menariknya, ketimbang menghakimi korban atau si pelaku bullying, Lee Han memberi kita pehamahaman bahwa ada sebab akibat dibalik setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap karakter. Kita memang dikondisikan untuk bersimpati kepada Cheon-ji berikut keluarganya, tetapi kita tidak serta merta antipati kepada Hwa-yeon karena dia memiliki alasannya sendiri mengapa memilih Cheon-ji sebagai target bulan-bulanannya. Bahkan sejatinya, Cheon-ji, Man-ji, serta Hyun-sook bukan sepenuhnya karakter putih bersih yang tiada memiliki cela barang sedikitpun. Inilah salah satu faktor yang membuat Thread of Lies terasa mengikat pula dekat lantaran barisan tokohnya dapat kita jumpai dengan mudah dalam sosok di sekitar kita. Terasa begitu nyata. Ada seseorang yang memilih menghempaskan dukanya dengan melampiaskannya kepada orang lain seperti Hwa-yeon, ada pula yang memilih untuk meredamnya dengan sangat keras sehingga berujung pada depresi tak tampak seperti Cheon-ji. Bukan sebatas film melodrama yang mengajak penontonnya untuk bertangis-tangisan, Thread of Lies turut meminta kepada penonton untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar, utamanya keluarga dan sahabat, demi menghindari lahirnya Cheon-ji maupun Hwa-yeon lain. 

Menilik bahan obrolannya yang tergolong serius, mudah untuk mengira Thread of Lies bakal melantunkan pengisahannya dengan nada penceritaan yang bermuram durja. Menginjak paruh akhir – well, sebetulnya pola ini bisa pula kamu jumpai di sebagian besar film drama asal Korea Selatan – film memang akan membuat matamu bengkak tatkala mengupas semakin dalam kisah hidup tragis si protagonis. Tapi yang tak terbayang sebelumnya, canda tawa turut menghiasi beberapa titik. Ini diawali dari upaya Hyun-sook untuk membina kehidupan normal kembali bersama Man-ji di tempat tinggal baru mereka selepas diguncang tragedi. Interaksi keduanya, ditambah kehadiran tetangga baru yang nyentrik, Choo Sang-bak (Yoo Ah-in), kerap mengundang derai tawa yang mencairkan suasana. Kemampuan film untuk mempermainkan emosi penontonnya – entah itu tertawa, prihatin, marah sampai sesenggukkan – sedemikian rupa merupakan hasil dari kombinasi antara pengarahan baik sekali, naskah bernas, musik menyayat hati, serta performa jempolan barisan pelakonnya. Ya, setiap pelakon dalam Thread of Lies mempersembahkan akting di level meyakinkan sampai-sampai kita tidak keberatan sama sekali untuk menyematkan simpati kepada mereka. Yang paling mencuri perhatian yakni Kim Hee-ae sebagai seorang ibu yang menyimpan banyak duka lara dibalik tebaran senyumannya dan Kim Hyang-gi yang air mukanya sudah cukup untuk membuat kita berlinang air mata tanpa perlu baginya mengucap sepatah katapun.

Outstanding (4/5)


Wednesday, 13 September 2017

REVIEW : AMERICAN ASSASSIN


“The enemy dresses like a deer and kills like a lion, which is what we’ve got to do.” 

Di tengah deburan ombak kecil serta terik sinar matahari yang menyinari pantai di Ibiza, Spanyol, seorang pemuda bernama Mitch Rapp (Dylan O’Brien) melamar kekasihnya, Katrina (Charlotte Vega). Memperoleh kejutan manis seperti ini, sang kekasih yang tersenyam senyum penuh kebahagiaan buru-buru mengiyakan yang lantas disambut sorak sorai para pelancong lain yang sedang berjemur. Usai memperoleh pelukan dan kecupan dari Katrina, Mitch undur diri sejenak untuk mengambil minuman beralkohol guna merayakan salah satu momen paling berharga dalam kehidupannya yang selama ini sarat penderitaan. Kebahagiaan meluap-luap yang melingkungi Mitch, tanpa dinyana-nyana kemudian terenggut habis usai kelompok teroris Muslim pimpinan Adnan Al-Mansur (Shahid Ahmed) melepaskan tembakan ke berbagai penjuru secara membabi buta. Para pelancong yang panik pun berhamburan kesana kemari demi menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian yang beruntung berhasil melarikan diri dengan selamat, sementara sebagian lain meregang nyawa akibat tertembus timah panas. Salah satu korban jiwa adalah Katrina yang ditembak berkali-kali tepat di depan mata Mitch yang tak bisa berbuat apa-apa. 

Melalui adegan pembuka berintensitas tinggi yang secara cepat berganti haluan dari semula romantis menuju horor ini, Michael Cuesta (Kill the Messenger, 12 and Holding) memberi penonton sebuah sentakan hebat. Kombinasi antara gerak kamera tangkas, penyuntingan dinamis, serta tata suara tajam memungkinkan kita seolah-olah sedang berada di resor yang mendadak disulap menjadi medan perang oleh kelompok teroris dengan suara tembakan, desingan peluru, serta gelimpangan mayat berlumuran darah menghiasi sekeliling. Apakah Cuesta terinspirasi dari peristiwa penyerangan di Tunisia pada tahun 2015 silam yang menewaskan 37 turis dalam mengonstruksi adegan pembuka yang sangat mengejutkan ini? Bisa jadi memang demikian. Satu yang pasti, adegan pembuka dari film yang didasarkan pada novel rekaan mendiang Vince Flynn ini merupakan peringatan dari si pembuat film untuk para penonton bahwa level kekerasan yang menyertai rentetan gelaran laga di sepanjang durasi American Assassin terbilang tinggi. Dia seolah berkata, “biasakan untuk mendengar suara lesatan peluru yang menembus tubuh manusia secara mendadak maupun pemandangan-pemandangan tak nyaman di mata karena itulah yang akan kamu sering jumpai di American Assassin.”


Kita dipersilahkan sedikit bernafas lega saat film memberi kesempatan untuk melongok sekelumit kehidupan Mitch usai tewasnya sang kekasih. Dia meninggalkan aktivitas normalnya, lalu menggembleng habis fisiknya, dan mempelajari cara menembak beserta berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Tujuannya adalah agar dia mampu menyelinap masuk ke dalam markas Adnan dan menghabisinya. Keberhasilan Mitch melacak lokasi pria yang dianggapnya bertanggung jawab atas hancurnya kehidupan miliknya ini mendapat perhatian dari Wakil Direktur CIA, Irene Kennedy (Sanaa Lathan), yang lantas merekrutnya untuk bergabung dengan CIA. Digembleng oleh veteran Perang Dingin, Stan Hurley (Michael Keaton), Mitch dipersiapkan untuk menghentikan misi dari seorang misterius berjulukan Ghost (Taylor Kitsch) yang berencana memulai Perang Dunia III. Semenjak Mitch diterjunkan ke lapangan bersama Stan beserta seorang agen asal Turki, Annika (Shiva Negar), barulah kita menyadari bahwa peringatan dari Cuesta di awal mula bukanlah sebatas gertak sambal. American Assassin memang terhitung brutal kala memvisualisasikan adegan kekerasannya sampai-sampai diri ini sempat dibuat ngilu terutama pada adegan penyiksaan jelang klimaks. 

Apakah ini berarti American Assassin disesaki oleh parade adegan sarat kekerasan yang berdarah-darah? Saya bisa memastikan, semuanya ditampilkan sang sutradara dalam batasan yang masih bisa ditolerir. Lagipula kamu tidak akan terlampau merisaukannya, seperti kamu akan melupakan kenyataan bahwa skrip film ini terlampau tipis pula generik sebagai tontonan political thriller, begitu mendapati American Assassin mempunyai sederet sekuens laga beroktan tinggi dengan skala besar yang sedap buat disimak. Ya, mesti diakui bahwa Cuesta sangat terampil dalam mengkreasi adegan yang akan membuat adrenalinmu senantiasa terpacu. Disamping adegan pembuka, kita masih mendapati beberapa kali kejar-kejaran ditengah keramaian pusat kota yang intensitasnya tak sekalipun mengendur, ada pula salah satu adegan baku hantam paling keren dalam film laga yang berlangsung di atas perahu motor yang melaju kencang, sampai sebuah klimaks menghentak di tengah laut melibatkan beberapa kapal perang yang ditampilkan bak film bencana alam. Keseruan sekuens laganya yang terus datang silih berganti ditambah lagi performa barisan pemainnya yang cukup baik khususnya Dylan O’Brien dan Michael Keaton membuat American Assassin berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan eskapisme yang mengasyikkan untuk dipirsa di layar lebar seraya mengunyah berondong jagung meski ada kemungkinan tidak akan mengendap lama di ingatanmu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Friday, 8 September 2017

REVIEW : PETAK UMPET MINAKO


Apakah kamu pernah mendengar permainan asal Jepang yang disebut Hitori Kakurenbo? Pada dasarnya, permainan ini tak ubahnya petak umpet di Indonesia. Yang kemudian membedakannya adalah keterlibatan makhluk halus di dalamnya. Ya, teman mainmu tidak saja manusia, tetapi juga lelembut dari alam seberang yang memenuhi ajakan bermain usai dipanggil melalui sebuah ritual menggunakan medium boneka. Terdengar mengerikan? Tentu saja, bahkan bisa dikata berbahaya karena si makhluk halus sangat mungkin turut mengincar jiwamu. Salah satu korban dari permainan ini adalah seorang blogger bernama Sarah yang keberadaannya tak jelas rimbanya selepas mengunggah video yang menunjukkan dirinya iseng-iseng menjajal Hitori Kakurenbo. Kesahihan kabar ini memang masih dipertanyakan, namun satu yang jelas, dia telah menggemparkan dunia maya. Saking gemparnya, seorang penulis bernama pena @manhalfgod pun tergelitik untuk mengejawantahkannya ke dalam bentuk novel ratusan halaman bertajuk Petak Umpet Minako yang lantas diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul sama oleh Billy Christian (Kampung Zombie, Rumah Malaikat). 

Tokoh utama dalam Petak Umpet Minako bukan lagi Sarah, melainkan seorang pemuda bernama Baron (Miller Khan). Di suatu malam bersamaan dengan berlangsungnya reuni SMA yang enggan untuk dihadirinya, Baron menerima pesan singkat dari kekasihnya, Gaby (Wendy Wilson), yang mendesaknya datang ke acara reunian di gedung bekas sekolah mereka dulu. Meski ogah-ogahan, toh akhirnya Baron memutuskan mampir demi membahagiakan sang kekasih. Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya protagonis utama kita begitu mendapati bahwa acara reunian yang disangkanya akan dipenuhi gelak tawa justru berakhir petaka. Teman-temannya berlumuran darah, berlarian kesana kemari, bahkan beberapa diantaranya telah menjelma menjadi mayat hidup. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini? Usut punya usut, ternyata sang biang kerok adalah Vindha (Regina Rengganis) yang mengajak teman-temannya bermain Hitori Kakurenbo tanpa pernah menyadari betapa besarnya resiko yang akan mereka hadapi. Arwah dalam boneka bernama Minako yang dipergunakan Vindha sebagai medium lantas menghisap habis jiwa manusia-manusia yang ikut bermain hingga membuat tubuh si boneka menyerupai manusia. Minako tak akan berhenti melakukannya sampai dia dinyatakan sebagai pemenang permainan. 


Di atas kertas, Petak Umpet Minako memang terdengar seperti film horor yang menjanjikan. Saya sendiri menunjukkan ketertarikan cukup tinggi tatkala mengetahui bahwa film ini bakal didasarkan pada urban legend asal Jepang yakni permainan petak umpet yang melibatkan hantu. Yang kemudian semakin menggenjot keingintahuan, materi promosinya berupa poster dan trailer digarap tidak main-main (bisa dibilang posternya adalah salah satu yang terbaik tahun ini). Apa mungkin ini sebuah pertanda kalau ekspektasi mendapat tontonan seram bakal dipenuhi oleh Petak Umpet Minako? Ternyata oh ternyata, saya kelewat berbaik sangka, saudara-saudara sekalian. Melangkahkan kaki ke dalam bioskop dengan riang penuh semangat, tak disangka-sangka saya malah keluar bioskop dengan gontai sampai-sampai mesti dibopong mbak-mbak penyobek tiket jaringan bioskop angka romawi. Seolah-olah jiwa ini ikut diserap oleh Minako. Ya bagaimana tidak lemas, meski durasinya hanya 87 menit, Petak Umpet Minako terasa sangat lamaaaaaaaaaa sekali. Rasa-rasanya saya ingin melayangkan saran kepada pihak bioskop agar menyediakan fitur “penonton boleh mempercepat durasi film sesuai selera” sehingga saat menjumpai film serupa yang tidak ketulungan bertele-telenya, diri ini tidak perlu risau bakal jenuh, capek, maupun menyesal lantaran sudah membuang-buang banyak waktu. 

Sulit untuk benar-benar bisa menikmati Petak Umpet Minako karena film menghadapi setumpuk permasalahan yang menyergap di hampir setiap departemen pembangunnya. Baik itu penyutradaraan, naskah, akting, penyuntingan, maupun musik. Premis mengikat yang dimilikinya seketika mentah hanya beberapa menit setelah film dimulai. Billy Christian terlalu bersemangat ingin mengajak penonton bersenang-senang sampai lupa menyisakan sedikit durasi untuk membentuk pondasi kisah sekaligus mengenalkan barisan tokohnya. Alhasil, sepanjang durasi pikiran terus berkecamuk dan mulut tak henti-hentinya nyeletuk, “kok bisa begini?” lalu “kok bisa begono?” kemudian “eh, itu siapa ya?” dan “lah, kok dia jadi begitu?”. Besarnya lubang menganga yang dibiarkan begitu saja oleh si pembuat film membuat jajaran pemainnya terjungkal masuk ke dalamnya. Mereka tampak kebingungan menginterpretasi peran masing-masing sehingga penonton pun semakin kebingungan memikirkan bagaimana caranya bersimpati kepada karakter yang mereka mainkan. Ini masih belum ditambah penyuntingan tak rapi hasil dari keputusan mengaplikasikan teknik bercerita maju mundur cantik yang malah menggugurkan ketertarikan mengikuti pergerakan kisah dan musik pengiring yang ampun berisiknya. Sungguh sangat disayangkan, padahal Petak Umpet Minako sejatinya punya potensi menjadi film horor memikat.

Poor (2/5)


Wednesday, 6 September 2017

REVIEW : IT (2017)


“Derry is not like any town I've been in before. People die or disappear, six times the national average. And that's just grown ups. Kids are worse. Way, way worse.” 

Musim panas, sesosok badut pembawa balon warna merah yang murah senyum, dan bocah-bocah berpetualang menjelajahi kota kecil mereka seraya menaiki sepeda. Sepintas memang terdengar seperti sebuah tontonan bertemakan coming of age yang bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Sampai kemudian kita mendapati informasi bahwa film bertajuk It ini didasarkan pada novel seram laris rekaan Stephen King dan si badut yang murah senyum tersebut merupakan perwujudan makhluk misterius yang tak segan-segan memangsa habis manusia. Ya, It adalah sebuah tontonan bergenre horor yang topik kupasannya berpijak pada rasa takut beserta trauma dari masa kecil. Ini jelas bukan untuk konsumsi mereka yang masih dibawah umur apalagi mengidap lemah jantung. 


Terlebih sang sutradara, Andy Muschietti (Mama), tak main-main dalam menghamparkan rentetan teror termasuk menerobos batasan-batasan yang biasanya dihindari sineas film seram sehingga kesan mengusik kenyamanan berulang kali mencuat sepanjang durasi. Jika dirimu menganggap versi miniserinya yang dirilis pada tahun 1990 telah cukup membuatmu kesulitan memejamkan mata di malam hari – si badut memang menyeramkan, tapi secara keseluruhan filmnya sendiri terbilang ‘meh’ – tunggu sampai kamu menyaksikan versi layar lebarnya yang berkali-kali lipat lebih meneror ini. 

Pada dasarnya, guliran pengisahan It garapan Andy Muschietti tak banyak mengalami perombakan berarti dari materi sumbernya maupun versi terdahulu selain latar waktu yang digeser menuju tahun 1989 dari semula era 1950-an. Para protagonis utamanya masihlah personil The Losers’ Club – kelompok para pecundang – yang konfigurasinya tersusun atas si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si gemuk Ben (Jeremy Ray Taylor), si cerewet Richie (Finn Wolfhard), si Yahudi Stanley (Wyatt Oleff), si penyakitan Eddie (Jack Dylan Grazer), si kulit hitam Mike (Chosen Jacobs), dan satu-satunya perempuan dalam kelompok ini, Beverly (Sophia Lillis). 

Mempunyai kesamaan nasib yakni dirundung masalah pribadi dengan orang tua masing-masing di rumah dan menjadi sasaran utama perisakan dari Henry Bowers (Nicholas Hamilton) membuat ketujuh bocah ini merasa terhubung satu sama lain. Mereka bermain bersama, mereka berpetualang bersama, dan mereka memecahkan masalah bersama. Ditengah-tengah kegembiraan menyambut datangnya kebebasan di musim panas, problematika lain hadir yang bukan saja mengancam persahabatan mereka tetapi juga keselamatan nyawa masing-masing. Problematika tersebut berwujud sesosok badut misterius bernama Pennywise (Bill SkarsgÃ¥rd) yang sebelumnya telah membunuh adik Bill serta sejumlah bocah lain di kota Derry. 

Teror dalam It telah membuat diri ini terperanjat dari kursi bioskop semenjak adegan pembukanya yang ikonik. Hujan deras mengguyur kota Derry, si kecil George (Jackson Robert Scott) yang merupakan adik Bill berlari-larian menerobos guyuran hujan demi mengejar perahu kertasnya yang terseret air, lalu Pennywise nongol dari gorong-gorong. Memang sih sebagian diantaranya bisa disaksikan melalui trailer, bahkan adegan ini mengingatkan pula ke versi miniserinya. Yang mengejutkan adalah apa yang terjadi selanjutnya terkait bagaimana si pembuat film memperlihatkan kekejaman si badut terhadap anak-anak. 

Belum menyiapkan jiwa raga sepenuhnya, tiba-tiba kita melihat pemandangan mengerikan berupa seorang bocah kecil terkapar tak berdaya dengan kondisi tangan terpenggal dan berlumuran darah di tengah jalan seraya berteriak minta tolong. Sejurus kemudian, tubuhnya diseret masuk ke dalam gorong-gorong oleh Pennywise. Glek! What an opening scene, huh? Melalui prolog ini, Andy Muschietti seolah memberi peringatan keras kepada para penonton bahwa sekalipun It melibatkan banyak karakter praremaja sebagai karakter utama, film tetap akan tersaji brutal alih-alih bermain aman seperti dilakukan Annabelle Creation baru-baru ini. Itulah mengapa, amat sangat disarankan untuk tidak membawa penonton dibawah usia 17 tahun ke dalam gedung bioskop lantaran konten It yang terhitung eksplisit sekaligus gelap.
 

Bukan sebatas pada visualisasi adegan kekerasan, tetapi juga konflik yang dihadapi masing-masing karakter. Sosok Beverly, misalnya, menghadapi pelecehan seksual dari ayah kandungnya sendiri. Karakter lain mesti berdamai dengan duka akibat kehilangan, luka akibat bullying, sampai ketakutan pada kesepian. Sesuatu yang urung kita sadari dari guliran pengisahan di versi miniserinya, bukan? Tidak seperti rilisan terdahulu yang terpaksa berkompromi dengan sensor televisi sehingga diperhalus disana-sini, It milik Andy Muschietti lebih leluasa mengejawantahkan imajinasi liar Stephen King ke dalam format audio visual. Ditunjang pula oleh sokongan dana besar, Pennywise yang sekali ini mendapat sentuhan efek khusus tampak lebih mengancam ketimbang sebelumnya karena dia mampu bertransformasi secara fleksibel ke wujud paling ditakuti dari bocah yang diterornya dan kebengisannya pun tertampang nyata. 

Dan jika kita berbincang soal teror, It adalah salah satu tontonan horor yang sanggup menyajikan daya cekam dengan amat memuaskan tahun ini. Sensasi yang dihadirkannya seperti saat kita menjelajahi wahana permainan rumah berhantu; seru, mengasyikkan, dan menyeramkan. Kebanyakan diantaranya memang berbentuk jump scare mudah diterka, namun ketepatan waktu dan ketepatan konteks kemunculannya membuatnya terasa sangat efektif. Sulit untuk tidak (lagi-lagi) terperanjat lalu berteriak dalam setiap teror yang dihadapi personil The Losers’ Club maupun adegan “melihat foto dari proyektor” yang membuatku ingin sekali berkata kasar itu. 

Disamping kemunculan teror yang sangat diperhitungkan, kesanggupan It membuat penonton terlibat ke dalam film dipengaruhi pula oleh barisan karakternya yang kuat. Setiap bocah mempunyai kepribadian mengikat, setiap bocah mempunyai latar belakang kehidupan menarik, dan saat bersama-sama, mereka mempunyai chemistry asyik yang akan membuatmu ingin sekali nongkrong bareng mereka sekaligus merindukan masa-masa kecil. The Losers’ Club memberi kita perasaan bersemangat, tawa, sampai sesuatu yang sama sekali tidak saya antisipasi: air mata. Lebih dari sekadar film horor, It adalah film mengenai persahabatan, nostalgia masa lalu dan 'cinta monyet' yang sedikit banyak mengingatkan kita terhadap Stand by Me (1986) yang diadaptasi pula dari karya Stephen King beserta serial Stranger Things (2016). 

Performa gemilang dari para aktor cilik yang mampu mengimbangi Bill SkarsgÃ¥rd yang menghantui – terlebih Jaeden Lieberher, Finn Wolfhard, serta Sophia Lillis – membantu merealisasikan The Losers’ Club sehingga terasa nyata adanya. Ya, persahabatan antara personil The Loser’s Club adalah salah satu alasan utama mengapa saya sama sekali tidak keberatan It mempunyai durasi yang merentang panjang hingga 134 menit karena memang film tampil mengasyikkan secara konsisten dan salah satu alasan utama mengapa saya tidak mengeluh kepada keputusan si pembuat film untuk memecah It ke dalam dua bagian (Oh ya, ini adalah It Part One, saudara-saudara!) karena saya masih ingin bertemu kembali dengan mereka. Semoga saja reuni para personil kelompok para pecundang ini di It Part Two bisa melampaui atau minimal sama mengasyikannya dengan petualangan masa remaja mereka.

Outstanding (4/5)


Saturday, 2 September 2017

REVIEW : BABY DRIVER


“The moment you catch feelings is the moment you catch a bullet.” 

Ketika trailer Baby Driver ditayangkan sebelum pemutaran sebuah film, saya tanpa sengaja mencuri dengar obrolan manja sepasang kekasih yang duduk tepat di sebelah kanan. “Yang, cayang, kayaknya seru tuh filmnya, mirip Fast and Furious sama Transporter,” ujar si perempuan. Mendengar ucapan tersebut, saya seketika meringis. Suatu perbandingan yang agak sedikit ekstrim sejujurnya, tapi tak bisa dikatakan salah juga karena materi promosinya memberi kesan bahwa Baby Driver akan dipenuhi adegan laga berupa kebut-kebutan mobil. Si protagonis utama pun sedikit banyak mengingatkan kita ke karakter yang dimainkan Jason Statham dalam tiga jilid Transporter; jagoan di balik kemudi yang mempunyai tugas mengantar ‘orang-orang penting’. 


Anggapan ini tentu bakal seketika luntur begitu kita mengetahui siapa sosok yang menduduki kursi penyutradaraan yang tak lain tak bukan adalah pembesut Cornetto trilogi (judul pertamanya adalah Shaun of the Dead) dan Scott Pilgrim vs. the World, Edgar Wright. Dibawah penanganan Wright yang memiliki jiwa nerd sejati, Baby Driver jelas tidak akan dijelmakan sebagai film hura-hura belaka yang sebatas mengedepankan pada laga penuh eksplosif seperti halnya Fast and Furious dan Transporter. Betul saja, si pembuat film lantas memadupadankannya dengan humor sarat rujukan ke budaya pop, barisan musik eklektik, romantika asmara muda-mudi, serta ketegangan ala heist film sehingga membuat Baby Driver bukan saja terasa begitu berwarna tetapi juga bergaya. 

Protagonis utama dalam Baby Driver adalah seorang pemuda yang luar biasa handal mengendarai mobil bernama Baby (Ansel Elgort). Guna melunasi hutang-hutang menumpuknya kepada pentolan kelompok kriminal, Doc (Kevin Spacey), Baby terpaksa bekerja sebagai juru kemudi dalam setiap misi perempokan yang dijalankan oleh Doc. Tugas Baby, yakni membawa kabur anggota timnya dari lokasi tindak kejahatan, tergolong krusial karena disinilah menit-menit penentu apakah misi dapat berjalan sukses atau justru mengalami kegagalan. Kepiawaian Baby dalam berkemudi yang membuatnya tak pernah gagal menunaikan tugas, menjadikan dia sebagai anak buah kesayangan Doc. Tak peduli seberapa sering anggota tim beralih konfigurasi, pengemudinya haruslah Baby. 

Keterikatan Doc dengan Baby ini akhirnya mencapai ujungnya usai hutang si anak buah dinyatakan lunas dan Baby telah menjalankan misi terakhirnya mengawal Bats (Jamie Foxx). Pensiun dari dunia kriminal, Baby berniat menata ulang kehidupannya terlebih usai dibuat jatuh hati oleh seorang pelayan bernama Debora (Lily James). Baru saja menjalani kehidupan normal selama beberapa waktu bersama Debora, panggilan dari masa lalu kembali menghantuinya. Siapa lagi kalau bukan dari mantan atasannya, Doc? Baby dimintanya terlibat dalam misi merampok kantor pos bersama Bats dan anggota tim yang telah dikenalnya. Tidak ada pilihan lain bagi Baby selain menjawab “ya” kecuali dia ingin kehilangan perempuan yang dicintainya. 

Ditilik dari sisi penceritaan, Baby Driver sebetulnya sederhana saja – guliran penceritaannya tidak akan membuat kepalamu kliyengan. Bahkan, sedikit banyak cenderung mengingatkan pada Drive yang dibintangi oleh Ryan Gosling. Hanya saja ini versi lebih cerah ceria. Yang membuatnya terasa istimewa adalah bagaimana cara si pembuat film mengeksekusinya sehingga setiap durasi yang mengalun dalam Baby Driver menghadirkan sebuah pengalaman sinematis yang menimbulkan candu. Sedari adegan pembukanya yang beroktan tinggi hasil dari kombinasi antara penyuntingan rapat, musik menderu-deru, dan gerak kamera taktis, atensi penonton telah dicuri sepenuhnya. Kita dikondisikan untuk menggeleng-gelengkan kepala dan menahan nafas menyaksikan keseruan mobil Subaru WRX merah yang dikendarai Baby melaju kencang di jalanan seraya mempecundangi para polisi yang kewalahan mengejarnya. 

Apabila ini tampak seperti prolog biasa dalam sebuah film bertemakan perampokan atau kebut-kebutan mobil, tunggu sampai kamu menyaksikan bagaimana Edgar Wright mampu menyeleraskan hentakan irama lagu dengan setiap adegan yang berlangsung. Ya, rentetan musik eklektik dalam Baby Driver bukan sebatas aksesoris pemanis belaka demi memenuhi tuntutan agar bisa merilis album soundtrack, gaya-gayaan atau memeriahkan suasana melainkan melebur ke dalam jiwa film. Ini seperti film musikal yang jika kita lepas elemen musiknya, maka film tersebut akan berjalan timpang karena posisi keduanya saling menguatkan.



Tidak ada tari-tarian atau para karakter yang tiba-tiba melagukan dialog mereka di Baby Driver – tentu saja, karena bagaimanapun ini bukanlah film musikal. Koreografi tari diimplementasikan ke dalam gerak gerik karakter maupun sekuens laga yang tertata rapi. Disinilah letak kecemerlangannya karena itu berarti membutuhkan presisi lebih sehingga dapat dicapai kesesuaian antara irama dan gerak. Adegan kebut-kebutan selepas perampokan bank diiringi tembang “Bellbottoms” yang melibatkan Buddy (Jon Hamm), Darling (Eiza Gonzalez), dan Griff (Jon Bernthal) merupakan contoh awal yang bisa kamu jumpai dalam Baby Driver. Mengalun selama lima menit, adegan ini dibuka dengan gerakan membuka pintu, membuka bagasi, berjalan menuju bank, sampai menggerakkan wiper mobil yang sesuai ketukan irama. Keren luar biasa! 

Bukan hanya pada permulaan saja, kamu juga akan mendapati adegan sejenis di berbagai titik sepanjang durasi yang salah satu paling berkesan bisa ditengok pada opening credit-nya. Genre lagu hasil kurasi Wright pun beragam, menyesuaikan dengan mood si karakter utama dan situasi yang berlangsung. Asal muasalnya juga tak kalah beragam, mayoritas berasal dari iPod milik Baby yang tak pernah lepas dari genggamannya. Alasannya, musik dipergunakan Baby untuk memacu semangatnya sekaligus meredam bunyi dengungan di telinganya – beberapa kali kita dengar ketika musik tidak mengalun – akibat tinnitus yang diidapnya pasca kecelakaan semasa kecil. 

Memperhatikan betul bagaimana sekuens laga ditata demi memompa adrenalin penonton, memperhatikan betul soal pemilihan lagu beserta koreografi ‘tari’ yang menyokongnya guna memberi suntikan emosi lebih ke film, Edgar Wright tak kelupaan pula untuk memperhatikan betul perihal karakter-karakter yang hidup di film arahannya ini sehingga penonton dapat memiliki kepedulian terhadap mereka utamanya Baby. Betul, sekalipun bahan obrolan kisahnya tidak terlalu istimewa, naskah Baby Driver tetaplah digarap dengan sangat baik yang memungkinkan setiap karakter (termasuk mereka yang hanya nongol dalam satu dua adegan) mempunyai kontribusi terhadap pergerakan kisah. Keberadaan mereka tidak pernah sia-sia karena difungsikan untuk mengenalkan kita lebih dalam pada karakteristik Baby, memperkuat posisinya. 

Setiap dari mereka pun dimainkan oleh aktor-aktris yang tepat sehingga memberi kesan otentik. Ya, Baby Driver memang memiliki ansambel pemain yang berlakon juara seperti Ansel Elgort yang terlihat cool dan menghadirkan chemistry lekat bersama Lily James sampai-sampai adegan di laundry terasa begitu manis, lalu Jon Hamm bersama Eiza Gonzalez sebagai pasangan maut yang dimabuk asmara, kemudian CJ Jones yang memberikan kehangatan dalam perannya mengisi figur ayah bagi Baby, Jamie Foxx yang kocak dan berbahaya di waktu bersamaan, serta Kevin Spacey yang intimidatif. Perpaduan selaras antara laga seru, humor lucu, romansa manis, musik asyik, dan lakon apik inilah yang menghantarkan Baby Driver menjadi salah satu film terbaik dan paling mengasyikkan buat disimak tahun ini. Cadas!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_htTq


Outstanding (4,5/5)

Enam menit pertama Baby Driver bisa juga kamu tengok di Youtube: