This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, 30 August 2017

REVIEW : WARKOP DKI REBORN: JANGKRIK BOSS! PART 2


“Asal lu tahu, kecepatan paling cepet di dunia itu mencret. Belum sempat kepikir, udah basah… kecepirit…” 

Memecah satu film menjadi dua bagian acapkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. Terlebih jika motif utama yang melandasinya sekadar mengeruk uang sebanyak mungkin tanpa pernah memperhatikan kebutuhan cerita. Yang lantas terjadi, ketimpangan kualitas terpampang amat nyata. Satu bagian terasa sangat berisi, sementara bagian lain terasa seperti pelengkap yang dipanjang-panjangkan saja. Rumah produksi Falcon Pictures sempat mengambil keputusan kurang bijaksana ini untuk Comic 8: Casino Kings yang sejatinya sama sekali tidak membutuhkan dua bagian mengingat plotnya sendiri tidak memiliki kompleksitas berarti. Dicibir sebagian pihak, nyatanya keputusan beresiko tersebut berbuah manis. Tidak mengherankan saat kemudian rilisan besar terbaru mereka, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, arahan Anggy Umbara mendapatkan perlakuan serupa yakni dibagi ke dalam dua bagian. Sulit terhindarkan, belum apa-apa sudah muncul semacam kecemasan tontonan yang memberi penghormatan kepada grup lawak legendaris, Warkop DKI (Dono Kasino Indro), ini bakal menghadapi problematika senada seperti film yang memakai embel-embel ‘part’ lainnya. Yang lantas memunculkan secercah harapan, pernyataan dari si pembuat film yang mengatakan bahwa sejak awal film telah diniatkan untuk dibagi menjadi dua jilid. Memupuskan sedikit keraguan terhadap Part 2 yang mungkin saja kurang menghibur karena kesenangan sudah digeber habis di Part 1. Betulkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan? 

Bagi kamu yang belum sempat menonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, namun menunjukkan ketertarikan ingin menyaksikan Part 2, tak perlu risau akan tersesat dalam penceritaan. Sebelum kisah petualangan Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), serta Indro (Tora Sudiro) dalam berburu harta karun di Malaysia berlanjut, penonton diajak mengilas balik ke serentetan kejadian di Part 1 terlebih dahulu. Hitung-hitung, menyegarkan ingatan. Selepas recap ditunaikan, film memulai guliran pengisahannya tepat setelah trio DKI beserta Sophie (Hannah Al Rashid), rekan kerja mereka dari CHIPS cabang Prancis, kehilangan jejak perempuan cantik berbaju merah yang disinyalir membawa tas berisi kode harta karun milik mereka. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari tas milik si perempuan, mereka diarahkan ke Perpustakaan Pusat yang kemudian mengantarkan mereka ke Pulau Langkawi. Di sana, kuartet asal Indonesia ini akhirnya berjumpa dengan si empunya tas yang tak lain tak bukan adalah seorang peneliti bernama Nadia (Nur Fazura). Menyadari Nadia mempunyai setumpuk informasi berharga mengingat statusnya sebagai penduduk setempat dan profesinya, trio DKI dan Sophie pun mengajak Nadia turut serta untuk berburu harta karun. Sebagai imbalannya, mereka akan bagi hasil. Kode harta karun yang mereka bawa lantas menuntun kelimanya menuju sebuah pulau tak berpenghuni di ujung barat. Berbagai peristiwa seram nan konyol yang turut melibatkan makhluk-makhlub gaib pun mewarnai petualangan mereka. 

Rupa-rupanya, kekhawatiran bahwa Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 akan berakhir kopong dan garing lantaran kandungan hiburannya telah dipergunakan secara maksimal di Part 1 tidaklah terbukti. Selepas menyaksikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, barulah saya memahami mengapa si pembuat film begitu kekeuh memecah satu judul ini ke dalam dua bagian. Part 1 lebih bersifat sebagai babak introduksi yang memberi kesempatan kepada para penggemar Warkop DKI untuk mengakrabi kembali idolanya dalam ‘wujud’ baru sekaligus memberi kesempatan kepada para generasi muda yang tidak terlalu familiar dengan Warkop DKI berikut gaya ngelabanya untuk berkenalan. Inti konfliknya pun belum benar-benar dimunculkan – baru sebatas pemicunya – dan hampir sebagian besar durasi dibentuk selayaknya sketsa berisi kumpulan adegan ngelawak yang memadukan lawakan lawas sang legenda dengan kreasi baru. Barulah di Part 2 ini, penonton melihat para protagonis utama dihadapkan persoalan sesungguhnya seiring mulai berlangsungnya petualangan di Negeri Jiran. Tidak lagi menyerupai sketsa, humor dalam Part 2 terintegrasi dengan baik ke dalam plot yang sekali ini referensi utamanya adalah Setan Kredit dan IQ Jongkok. Yang menarik, tidak seperti katakanlah Comic 8: Casino Kings Part 2 yang berasa repetitif, tergolong kosong dan seolah sekadar pelengkap untuk jilid sebelumnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 memang mempunyai jalinan pengisahan cukup memadai dan mengikat buat diikuti untuk diterjemahkan menjadi satu film.


Berita bagus lainnya untuk para penonton, tiada kelakar yang direduksi dalam Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 demi memberi ruang lebih bagi sesi petualangan maupun aksi. Malahan, Anggy Umbara beserta dua penulis skrip, Bene Dion Rajagukguk dan Andi Awwe Wijaya, memilih untuk melipatgandakannya. Sebuah keputusan yang berpotensi mendatangkan ‘kerusuhan’ di dalam bioskop. Sebentar, sebentar, ‘kerusuhan’? Ya, saat saya menontonnya di Gala Premiere beberapa waktu lalu, suasana senyap tak pernah sekalipun terjadi. Gelak tawa heboh dari penonton hampir selalu terdengar di sepanjang durasi. Betapa tidak, sedari menit pembuka yang tepat melanjutkan apa yang tertinggal dari Part 1, penonton telah dihujani dengan banyolan-banyolan penggelitik saraf tawa meliputi keributan dengan penjual sabuk, toko serba KW yang memberi penghormatan ke Sama Juga Bohong, serta pertengkaran akibat lokasi toilet. Baru juga mereda, tawa berderai-derai lain dapat dipastikan muncul saat trio Warkop DKI beradu mulut dengan penjaga perpustakaan bersuara toa. Jika kamu berpikir bahwa humornya tidak bisa lebih lucu lagi, tunggu sampai kamu dibawanya mengikuti kelima tokoh dalam film menjejakkan kaki di pulau seram tak berpenghuni. Dimulai dari sini, kegilaannya semakin tak terbendung apalagi tatkala mereka bersentuhan dengan televisi ajaib yang memberi tawa heboh itu. Dilontarkan secara gesit dalam bentuk beraneka ragam (entah dialog sarat referensi yang terkadang nyentil, situasi ganjil, atau slapstick) dengan ketepatan waktu yang layak diacungi jempol membuat sebagian besar humor berhasil mengenai sasarannya. 

Satu dua keluhan tentu ada. Adegan di laboratorium yang melibatkan aktris Malaysia Nora Danish, daya bunuh komedinya tidak terlalu kuat begitu pula momen musikal Andeca Andeci. Pertarungan Indro melawan pocong, lalu Kasino melawan pohon hidup pun berlangsung agak terlalu lama dari semestinya yang sedikit banyak melunturkan kelucuannya. Mengalami sedikit sendatan di beberapa titik, untungnya tak mengganggu kesenangan secara keseluruhan yang diciptakan oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2. Ketimbang jilid sebelumnya, Part 2 jelas lebih mengasyikkan, menghibur dan kocak. Sekali ini, penonton tidak saja diajak bernostalgia ke masa-masa kejayaan Warkop DKI tetapi juga bernostalgia dengan beberapa karakter / film Indonesia klasik. Dari sisi permainan lakon, trio Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro terasa semakin menyatu ke dalam karakter yang mereka mainkan khususnya Abimana dan Vino yang tampak meyakinkan sebagai Dono serta Kasino. Ketiganya memperoleh dukungan sangat baik dari barisan pemain pendukung seperti Indro Warkop, Hannah Al Rashid, Nur Fazura, Nora Danish, serta Babe Cabita dalam penampilan yang sangat menggelitik. Ya, departemen akting adalah salah satu kunci yang menjadikan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 terasa begitu semarak disamping penyutradaraan, naskah, tata kamera oleh Yunus Pasolang yang memberi kesan vintage, iringan musik gubahan Andhika Triyadi, penyuntingan dari Wawan I Wibowo, dan polesan efek khusus. Sungguh sebuah penghormatan yang pantas bagi Warkop DKI dan sungguh pecah sekali film ini!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nd

Outstanding (4/5)


Monday, 28 August 2017

REVIEW : AMERICAN MADE


“It’s not a felony if you’re doing it for the good guys.” 

Dalam kaitannya menjalankan misi tak masuk akal, Tom Cruise tentu sudah sangat terbiasa. Tengok saja salah satu franchise yang membantu melambungkan namanya ke jajaran pelakon kelas A, Mission: Impossible, yang seperti judulnya dipenuhi rangkaian laga melampaui nalar. Tapi seperti halnya sederet film laga yang dibintanginya dalam satu dekade terakhir – rupanya memasuki usia kepala 5, Tom Cruise malah makin sering berantem dan berlari – plotnya hanyalah fiktif belaka. Karakternya pun senada, sama-sama sebagai jagoan yang sulit terkalahkan. Jika kemudian si pelakon Ethan Hunt ini merasa jenuh dan ingin mencoba sesuatu yang sedikit berbeda dari beberapa peran terakhirnya, jelas sangat bisa dimaklumi. Dalam American Made yang mempertemukannya kembali dengan Doug Liman usai keduanya berkolaborasi di Edge of Tomorrow (2014), Tom Cruise memerankan sosok nyata yang semasa hidupnya kerap dilingkungi peristiwa tak masuk akal akibat campur tangan CIA bernama Barry Seal. Sosoknya pun tak sepenuhnya pahlawan, cenderung ke antihero, lantaran jalan hidupnya kerap mengabaikan moralitas dan sempat pula bersinggungan dengan aktivitas ilegal yang melibatkan kartel besar asal Amerika Selatan. Sesuatu yang terdengar agak menyegarkan, bukan? 

Mulanya, Barry Seal (Tom Cruise) hanyalah seorang pilot pesawat komersil biasa yang bekerja untuk maskapai Trans World Airlines demi menghidupi keluarga kecilnya yang terdiri atas seorang istri bernama Lucy (Sarah Wright) dan dua putri. ‘Kenakalannya’ guna memperoleh penghasilan tambahan tidak pernah lebih dari membantu menyelundupkan cerutu Kuba ke Kanada. Rupa-rupanya, aktivitas Barry ini terendus oleh CIA yang lantas memanfaatkan keahlian Barry dalam menerbangkan pesawat untuk mengambil foto udara dari kelompok militan di kawasan Amerika Selatan. Seiring berjalannya waktu, tugas yang mesti diemban oleh Barry terus bertambah sehingga hanya tinggal menunggu waktu identitasnya diketahui oleh masyarakat sekitar. Betul saja, Kartel Medellin di Kolombia – salah satu anggotanya adalah gembong narkoba ternama, Pablo Escobar – menyadari penuh tindak-tanduk Barry dan lantas merekrutnya menjadi kurir narkotika. Menjalani peran ganda sebagai mata-mata negara dan kurir narkoba jelas membawa Barry ke dalam serangkaian peristiwa yang sama sekali tak terbayangkan dan berbahaya. Ya, bahaya tentu tak bisa dilepaskan dari kehidupan Barry beserta keluarganya terlebih usai Barry memutuskan untuk mengkhianati salah satu pihak.


Menengok jalinan pengisahannya yang dibentuk dari kombinasi antara biopik mantan pilot pesawat komersil, permainan politik negeri adidaya, keterlibatan CIA, kartel raksasa, dan penyelundupan narkoba, mudah untuk mengira Doug Liman akan melantunkan American Made dalam format docu-drama berbumbu thriller. Terlebih, filmografi sang sutradara seperti The Bourne Identity (2002) dan Fair Game (2010) seolah mengonfirmasinya. Bahasa kasarnya sih, serius-serius njelimet gitu deh. Di saat telah mengantisipasi akan memperoleh penceritaan yang cukup berat dan belibet untuk dicerna mengingat muatan politiknya terbilang kental juga, Liman memberi kejutan untuk kita semua: American Made dibawakannya secara ringan dan bergaya. Ya, kandungan humor yang diinjeksikannya ke dalam film terhitung tinggi sehingga memungkinkan penonton untuk tergelak-gelak disela-sela berlangsungnya transaksi obat-obatan terlarang, puyengnya Barry dalam mengurus bisnis barunya yang membuat rumahnya kebanjiran uang (literally!) sampai upaya sang kurir melarikan diri dari kejaran pihak-pihak yang mengincar dirinya. Kalau itu belum cukup terdengar menyenangkan, maka tentu tambahkan sejumlah laga seru yang beberapa diantaranya melibatkan pesawat yang konon kabarnya dikemudikan sendiri oleh Tom Cruise. Hitung-hitung pemanasan sebelum sekuel Top Gun, bukan begitu? 

Keputusan Doug Liman dalam menarasikan American Made secara ringan dibubuhi canda tawa disana sini boleh jadi demi menghindarkan penonton dari rasa jenuh yang sangat mungkin menyerang. Memang sih, jalan hidup Barry yang penuh kejutan sangat menarik buat diikuti (seberapa jauh pelintiran dramatisasinya, hanya Tuhan dan si pembuat film yang tahu), namun ada banyak sekali hal yang melingkunginya. Banyak sekali informasi yang mesti dicerna dan beberapa diantaranya dilewatkan begitu saja tanpa ada penggalian lebih lanjut. Tak pelak, film sempat goyah pula begitu memasuki pertengahan durasi. Yang kemudian menyelamatkannya, siapa lagi kalau bukan Tom Cruise dengan karisma memancar yang dipunyainya? Dia bermain bagus sebagai Barry yang terpaksa menghempaskan jauh-jauh what-so-called moralitas serta integritas demi memberi sandang, pangan, dan papan yang layak bagi keluarganya, sekalipun sosok Barry sendiri ada kalanya masih terlihat terlalu ‘bersih’ di tangan Cruise. Dalam berolah peran, Tom Cruise mendapat sokongan memadai dari Sarah Wright sebagai istri Barry yang mencintainya dan Domhnall Gleeson sebagai Monty Schafer, agen CIA oportunis. Kekuatan lain yang dipunyai American Made bersumber dari pilihan tembang-tembang pengiring dan tata kostum yang menghidupkan nuansa era 70-80’an, lalu gerak kamera dan penyuntingannya yang dinamis.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/9_a5nf

Exceeds Expectations (3,5/5)


Tuesday, 22 August 2017

REVIEW : THE HITMAN'S BODYGUARD


“I hope they kill him, I really do. This guy single handedly ruined the word motherfucker”. 

Bagaimana jadinya saat Samuel L. Jackson yang dikenal kerap melakoni karakter bermulut besar dipasangkan dengan Deadpool, eh maksud saya Ryan Reynolds, yang juga ceriwis tak ketulungan dalam sebuah film laga komedi? Hmmm... terdengar seperti gagasan cemerlang untuk menghasilkan tontonan seru-seruan ala film dari era 80-90’an. Sepertinya bakal menjadi sajian eskapisme yang cocok ditonton di bioskop kala senggang seraya mengunyah berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Sang sutradara adalah Patrick Hughes yang sebelumnya diberi kepercayaan dalam menggarap The Expendables 3 yang dipenuhi bintang-bintang laga legendaris dan terbilang cukup seru dengan segala kenorakannya. Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Yang mungkin salah adalah bagaimana penonton menetapkan ekspektasi terhadap film yang diberi tajuk The Hitman’s Bodyguard ini. Asalkan pengharapan disesuaikan ke mode “yang penting bisa dibuat terhibur”, rasa-rasanya kamu tidak akan keluar dari gedung bioskop sambil ngedumel karena memang The Hitman’s Bodyguard tidak pernah menganggap dirinya kelewat serius. Hanya tontonan pelepas penat yang ringan-ringan saja. 

Dalam The Hitman’s Bodyguard, Ryan Reynolds memerankan agen pelindung berperingkat triple A bernama Michael Bryce yang kemampuannya dalam melindungi klien dari kalangan orang berpengaruh tak lagi diragukan. Singkatnya, salah satu bodyguard terbaik di dunia. Namun kehidupan percintaan dan karir Michael yang sempurna seketika hancur berantakan usai terjadinya insiden yang menyebabkan salah satu kliennya tewas. Selama dua tahun, Michael pun terjebak dalam kubangan tugas yang memaksanya melindungi klien-klien remeh temeh. Di kala harapan untuk memperbaiki reputasi tampaknya telah sirna, Michael mendapat panggilan dari sang mantan yang bekerja di Interpol, Amelia Roussel (Elodie Yung), yang memintanya untuk mengantar seorang pembunuh bayaran bernama Darius Kincaid (Samuel L. Jackson) dari Inggris ke Belanda. Darius adalah saksi kunci dalam kasus tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh pemimpin lalim Belarus, Vladislav Dukhovich (Gary Oldman). Mengingat statusnya, jelas perjalanan ini tidak mudah karena kroni-kroni Dukhovich mengintai di setiap sudut. Yang membuatnya semakin tidak mudah, Darius adalah pribadi yang bawel sehingga sepanjang perjalanan kerap diwarnai cekcok antara Michael dengan Darius.

Secara guliran pengisahan, sejatinya tidak ada yang betul-betul istimewa dari naskah racikan Tom O’Connor untuk The Hitman’s Bodyguard. Bisa dibilang terhitung generik. Kamu mungkin akan nyeletuk “dih, cerita semacam ini sih sudah sering dijumpai!” tatkala menyimak filmnya karena memang bukan sekali dua kali diusung film bergenre serupa. Tapi melihat kombinasi pemain beserta jalur yang diambilnya, kamu tentu tidak benar-benar mengharapkan The Hitman’s Bodyguard akan mempunyai jalinan pengisahan yang ‘sesuatu’ sekali, bukan? Tampaknya, Patrick Hughes emang emoh membebani penonton dengan plot kelewat ribet – walau ada kalanya terasa diribet-ribetin juga sih – agar fokus pada kandungan hiburan yang dibawanya atau dalam hal ini adalah barisan humor yang dilontarkan beserta rentetan laga yang dikedepankan. Dan memang, untuk urusan ngebanyol dan menghadirkan ‘boom bang boom’, The Hitman’s Bodyguard itu terbaek. Hampir dapat dipastikan kamu akan seringkali ditempatkannya dalam fase tergelak-gelak hebat di kursi bioskop atau menganga saat menatap layar sampai-sampai tidak terasa berondong jagung yang kamu kudap semuanya telah masuk ke dalam pencernaan. Dengan laju yang juga bergegas, 118 menit pun berlangsung seperti satu kedipan mata. 

Ya, The Hitman’s Bodyguard terasa sungguh mengasyikkan buat ditonton. Kuncinya terletak pada dua hal: pertama, kecakapan Hughes dalam mengkreasi sejumlah sekuens laga seru yang highlight-nya antara lain kejar-kejaran di sepanjang sisi Sungai Amstel, Amsterdam, yang melibatkan tiga macam kendaraan serta konfrontasi akhir dimana dua karakter utama berpisah jalan (Darius menangani para begundal menggunakan mobil, sedangkan Michael turun langsung ke jalan). Lalu kedua, performa jempolan barisan pemainnya terutama Samuel L. Jackson dan Ryan Reynolds yang berhasil menghadirkan chemistry menyengat. Pertukaran dialog keduanya yang dipenuhi umpatan berikut celaan memberikan banyak sekali riuh tawa dan tidak sedikit diantaranya muncul di saat yang tidak kamu sangka-sangka seolah mengingatkan “udah, jangan serius-serius amat sih nanggepin film ini.” Mereka memperoleh sokongan dari Gary Oldman yang terlihat bengis hanya dari sorot matanya saja, Elodie Yung yang sungguh menggemaskan, serta paling mencuri perhatian, Salma Hayek sebagai istri Darius, Sonia. Seperti halnya sang suami, Sonia pun sama sekali tak bisa mengontrol ucapannya dan pertengkaran pasangan ini yang bernuansa ‘benci tapi rindu’ melalui sambungan telepon adalah highlight lain dalam The Hitman’s Bodyguard.

Note : Nggak penting-penting amat sih, cuma kalau mau tipe penonton yang ogah rugi seperti saya, sebaiknya tunggu The Hitman's Bodyguard sampai beneran kelar karena ada post-credits scene.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Sunday, 20 August 2017

REVIEW : THE BATTLESHIP ISLAND


The Battleship Island telah memberi tanda centang terhadap semua rumusan baku yang diperlukan untuk menjadi sebuah sajian blockbuster menggelegar. Pertama, film ini diarahkan Ryoo Seung-wan, sutradara spesialis laga yang memberi kita The Berlin File (2013) dan Veteran (2015) yang amat seru itu. Kedua, film ini dibintangi jajaran pemain kenamaan dengan kualitas akting mumpuni seperti Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun. Ketiga, film ini memboyong topik seksi berupa fiksionalisasi atas peristiwa nyata yang menimpa warga Korea di Pulau Hashima, Jepang, kala Nippon tengah beringas-beringasnya ke sesama sedulur Asia pada Perang Dunia II. Dan keempat, film ini dianggarkan dengan dana raksasa untuk ukuran film asal Korea Selatan yakni mencapai lebih dari $20 juta demi membangun set baru yang menyerupai setiap sudut Pulau Hashima. Kombinasi maut yang dipunyai The Battleship Island ini memang membuatnya terkesan sebagai tontonan gigantis dan tak mungkin salah di atas kertas – sehingga tak mengherankan empat juta warga Negeri Gingseng berbondong-bondong menyaksikannya di bioskop dalam lima hari pertama. Yang lantas menjadi pertanyaan adalah akankah realita benar-benar memenuhi ekspektasi ini atau sekali lagi realita mengkhianati ekspektasi? 

Dalam merekonstruksi peristiwa yang terjadi di pulau berjulukan Battleship Island (Pulau Kapal Perang, sebutan yang merujuk pada bentuk fisiknya) pada tahun 1945 atau jelang dibombardirnya Nagasaki yang berjarak 15 km dari Hashima, Ryoo Seung-wan mengambil pendekatan fiktif. Sang sutradara yang bertindak pula selaku penulis skrip membagi penceritaan dalam film menjadi tiga subplot yang masing-masing melibatkan seorang pemain band bernama Lee Kang-ok (Hwang Jung-min) beserta putrinya, Lee So-hee (Kim Su-an), seorang kepala preman yang kerap bikin onar bernama Choi Chil-sung (So Ji-sub), dan seorang tentara gerakan kemerdekaan Korea bernama Park Moo-young (Song Joong-ki). Seperti halnya ratusan warga Korea lain, Lee dan Choi dijebak Jepang untuk bekerja dalam tambang batu bara yang berada di sebuah pulau kecil tengah laut. Guna bertahan hidup, Lee memanfaatkan kemampuannya bersilat lidah untuk berkawan akrab dengan para petinggi Jepang, sementara Choi menggunakan keahlian bertarungnya untuk menjadi ‘mandor’ bagi pekerja Korea. Gelaran konflik dalam film mulai berkembang tatkala Lee mendapati identitas sesungguhnya dari Park yang menyamar sebagai pekerja guna membebaskan salah seorang pejuang kemerdekaan. Lee yang dimintai bantuan oleh Park berkat luasnya jaringan pertemanannya, tentu tak tinggal diam begitu saja saat kesempatan melarikan dari pulau bersama sang putri tertampang nyata di depannya. 

Realita memenuhi ekspektasi adalah jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan di penghujung paragraf pembuka. Ya, Ryoo Seung-wan berhasil menghadirkan The Battleship Island sebagai sebuah tontonan yang bukan saja epik, tetapi juga menghantui sekaligus mengoyak emosi. Sulit untuk menghempaskan apa yang kita saksikan sepanjang 132 menit begitu saja dari benak dalam waktu dekat. Betapa tidak, tata produksinya tergarap detil yang memungkinkan penonton untuk meyakini bahwa kita telah dilempar kembali oleh si pembuat film ke 72 tahun silam. Seolah-olah kita menjadi saksi hidup dari kejamnya kehidupan yang mesti dilalui para budak kerja paksa yang dikirim ke Pulau Hashima. Sedari awal, sulit untuk tidak merasa miris dan meringis melihat pemandangan yang terhampar di layar. Terlebih Ryoo pun tak segan-segan menghamparkan sederet adegan kekerasan yang akan membuatmu ngilu bukan main guna memberi kesan riil dalam menggambarkan kekejaman Perang dan keberingasan Jepang. Salah satu paling sulit dilupakan ada pada adegan serdadu Jepang memaksa seorang perempuan dari rumah bordil yang mengaku sakit untuk berguling-guling di atas papan yang telah ditancapi banyak paku. Menyesakkan! Lainnya, kamu akan melihat betapa mudahnya menjumpai mayat bergelimpangan di pulau ini atau isi tubuh manusia terburai ketika senjata dan bom menunjukkan peranannya.


Menyadari bahwa penonton tak akan kuat bertahan apabila The Battleship Island dilantunkan dengan nada penceritaan melulu depresif, si pembuat film menebarkan bubuk humor selagi ada celah. Sosok Lee yang diceritakan sebagai penjilat ulung kerap menjalankan tugas menjadi comic relief bersama rekan-rekan band-nya atau putrinya. Keberadaannya senantiasa menghadirkan keceriaan tersendiri, namun di sisi lain turut membawa penonton dalam rasa hangat, cemas, dan pilu. Dibandingkan karakter inti lain seperti Choi dan Park, jatah tampil yang diberikan kepada Lee memang lebih mencukupi. Kita diberi kesempatan menjalin keterikatan bersamanya berkat sorotan ke hubungan ayah-anak, lalu kita juga melihatnya mengalami perkembangan sebagai satu karakter. Keputusan memberi ruang lebih besar terhadap plot yang melingkungi Lee ini bukannya tanpa resiko. Konsekuensi yang mesti dihadapi, subplot dan karakter lain agak terpinggirkan. Memasuki pertengahan film The Battleship Island terasa agak melelahkan buat diikuti lantaran intriknya terlampau dipaksakan untuk bercabang-cabang tanpa pernah dipaparkan secara layak. Tak terelakkan lagi, kebingungan sempat melanda akibat banyak karakter dan persoalan yang berlalu lalang. Terseok-seok selama beberapa saat, film kembali menemukan ritmenya ketika memasuki klimaks yang menghentak. 

30 menit terakhir dari The Battleship Island adalah bagian terbaik yang dimiliki film. Kapabilitas Ryoo dalam membesut sekuens laga mendebarkan kembali dipertontonkannya disini. Sulit untuk menghembuskan nafas lega melihat Park dibantu Lee dan beberapa karakter kunci lain dalam menjalankan misi membawa ratusan pekerja Korea untuk melarikan diri dari pulau dengan mengendap-endap di pagi buta. Apa yang terjadi saat sebagian besar pihak Jepang masih terlelap sungguh mendebarkan, lalu saat mereka terbangun dan memberikan perlawanan, pertempurannya berlangsung seru. Memperoleh tunjangan sangat baik sekali dari gerak kamera Lee Mo-gae dan penyuntingan duo Kim Jae-bum beserta Kim Sang-bum, klimaks The Battleship Island menghadirkan cukup banyak momen untuk dikenang. Namun selagi beberapa kawan menyebut “bendera disobek” atau “mengangkat jembatan besi yang patah” sebagai momen berkesan dalam film, saya justru memilih shot terakhir yang menghantui dan menghantam emosi di saat bersamaan itu sebagai momen paling menancap di memori. Melaluinya, diri ini semakin meyakini bahwa aktris cilik yang sebelumnya kita kenal melalui Train to Busan, Kim Su-an, akan memiliki masa depan cerah dalam karir berlakon. Performa luar biasanya adalah penggerak utama The Battleship Island, bahkan melampaui Hwang Jung-min, So Ji-sub, Song Joong-ki, serta Lee Jung-hyun yang juga sumbangkan akting sangat apik.

Outstanding (4/5)


Friday, 18 August 2017

REVIEW : A: AKU, BENCI, DAN CINTA


“Selama lo ada dan gue ada, kita itu bagaikan pagi dan malam. Air dan api. Yin dan yang. Malaikat dan iblis. Dan lo malaikatnya.” 

Perseteruan tiada akhir antara seorang cewek dengan seorang cowok, seorang cowok yang gemar bergonta-ganti pasangan dalam hitungan pekan, persahabatan yang terancam mengalami keretakan hebat, seorang kekasih yang terbujur koma, dan cinta bertepuk sebelah tangan. Sejumlah plot bercita rasa dramatis yang bisa kamu temui terhampar dalam A: Aku, Benci, dan Cinta yang didasarkan pada novel remaja laris rekaan Wulanfadi. Materi sumbernya memang menjurus ke ranah melodrama yang mengajak pembacanya bertangis-tangisan dan trailer resmi dari film produksi MD Pictures ini telah mengisyaratkan bahwa versi layar lebarnya akan menempuh jalur yang kurang lebih serupa dengan sejumput bumbu komedi. Rasa-rasanya bakal sebelas dua belas dengan penyampaian Dear Nathan lah. Mempersiapkan diri untuk dibuat gemes-gemes lalu bercucuran air mata sebelum melangkahkan kaki ke dalam bioskop, tanpa disangka-sangka ternyata Rizki Balki selaku sutradara memilih melantunkan A: Aku, Benci, dan Cinta dengan pendekatan berbeda. Menghempas manja sisi mendayu-dayu, sang sutradara menginjeksi lebih banyak keceriaan yang membuat film memiliki elemen komedi kental. 

Bertindak sebagai narator dalam A: Aku, Benci, dan Cinta adalah perempuan berwatak keras bernama Anggia (Indah Permatasari) yang menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS di SMA National High. Melalui narasinya, dia membagi sudut pandangnya yang sinis terhadap sang Ketua OSIS, Alvaro (Jefri Nichol), yang dilihatnya sekadar tebar-tebar pesona dan bergonta-ganti cewek tanpa pernah melakukan kerja nyata. Dendam kesumat lantaran ambisinya menduduki tampuk tertinggi dalam struktur organisasi siswa di sekolah dipupuskan Alvaro, maka apapun yang dilakukan Alvaro selalu buruk di mata Anggia sekalipun sang sahabat, Tara (Syifa Hadju), kesengsem berat dengan Alvaro yang disebut-sebut sebagai cowok terkeren di sekolah. Kebencian Anggia kepada cowok ini kian memuncak setelah keduanya berselisih gagasan mengenai acara prom night dalam rapat OSIS. Namun kebencian itu tak bertahan lama karena semesta tampaknya terus berusaha untuk menyatukan mereka. Pihak sekolah mewajibkan Anggia untuk berlatih musik dengan Alvaro selama beberapa hari demi memperbaiki nilai mata pelajaran kesenian. Bersama dengan Alvaro dari waktu ke waktu, lambat laun mengubah persepsi Anggia dan diam-diam muncul percikan api asmara diantara keduanya.


Sebetulnya, kalau ditinjau dari sisi guliran pengisahan sih A: Aku, Benci, dan Cinta tidak menawarkan pembaharuan apapun. Plotnya generik: dua orang saling benci, lalu lama-lama timbul rasa suka satu sama lain, begitu hendak bersatu eh ternyata selama ini ada orang ketiga dalam kehidupan masing-masing. Karakter yang mempersulit laju hubungan Alvaro dan Anggia di A: Aku, Benci, dan Cinta adalah Athala (Amanda Rawles), perempuan dari masa lalu Alvaro yang terbaring koma, beserta Alex (Brandon Salim), teman baik dari kakak Anggia. Yang kemudian membuatnya terasa tetap menyenangkan buat ditonton adalah bagaimana cara Rizki Balki menghantarkan kisah kasih empat remaja ini. Ketimbang menggulirkannya dengan rentetan momen mengharu biru, sang sutradara beserta Alim Sudio selaku penulis skenario memilih untuk menghadirkannya mengikuti semangat remaja pemakai seragam putih abu-abu yang seringkali ceria dan menggebu-nggebu. Suatu pendekatan menyegarkan untuk film percintaan Indonesia yang mau tak mau mengingatkan kita kepada film bergenre komedi romantis buatan negara tetangga, Thailand. Terlebih formulanya pun senada, momen penuh kemesraan dari karakter yang tengah kasmaran digeber seraya ngelaba konyol-konyolan. 

Disamping Athala dan Alex, setiap karakter inti maupun pendukung diberikan kesempatan untuk unjuk kemampuan dalam melucu. Bahagianya, mereka berhasil menghantarkan momen komedik secara mulus terutama Syifa Hadju sebagai sahabat yang amit-amit ganjennya, TJ Ruth sebagai guru Anggia yang ceriwis bukan main, serta Indah Permatasari yang dipenuhi imajinasi-imajinasi liar. Ya, sosok Anggia memang dideskripsikan sekeras batu nyaris tak pernah menyunggingkan senyum selain kepada Tara, namun tak jarang pula dia bertingkah lebay terlebih saat dia mulai berpikir macam-macam perihal situasi di sekitarnya. Visualisasi dari imajinasinya itu lho, lucu sekali. Kendati jor-joran dalam bercanda, A: Aku, Benci, dan Cinta sama sekali tak melupakan fitrahnya sebagai film romansa dengan menghadirkan sejumlah adegan unyu-unyu menggemaskan yang melibatkan para protagonis utama dan diiringi skoring musik apik gubahan Donny Irawan beserta Alfa Dwiagustiar yang membantu mempertebal rasa. Sisi romantis film yang malu-malu kucing di awal mulai semakin terdeteksi rasanya seiring berjalannya durasi. Seiring semakin menguatnya chemistry diantara Jefri Nichol, Indah Permatasari, dan Amanda Rawles yang sanggup membuat penonton yakin bahwa ketiga remaja ini memang tengah kasmaran.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Thursday, 17 August 2017

REVIEW : THE UNDERDOGS


“Kita dari SMA nggak berubah karena kita do nothing. Makanya sekarang kita harus do something." 

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Youtubers di tanah air telah meningkat secara drastis. Bisa dikata, saban hari adaaaa saja pengguna baru situs berbagi video Youtube yang menjajal peruntungannya di dunia maya. Bagi sebagian pihak, Youtubers layak untuk diidolakan. Kreativitas mereka dalam mengkreasi konten menjadi bahan santapan yang begitu menarik buat disimak sehingga berlangganan beberapa kanal lalu mantengin layar gawai berjam-jam pun rela dilakukan. Sementara bagi sebagian pihak lain, Youtubers layak untuk dicaci. Cukup sering saya mendengar beberapa orang (entah di dunia nyata atau netizen) mencibir kualitas konten dari video yang dibuat atau semata-mata menyerang kepribadian si pembuat tanpa pernah benar-benar memahami motivasi dibalik pembuatan kanalnya. Apa betul sesederhana ingin merengkuh popularitas? Bukankah mungkin saja mereka membuatnya karena disinilah letak passion mereka? Bidang ini memang memberi iming-iming surgawi berupa mendaki tangga popularitas secara instan. Namun dibalik itu semua, membutuhkan proses panjang yang juga tidak bisa dikata mudah. Seolah menyadari tingginya persepsi negatif publik terhadap para Youtubers, Adink Liwutang melalui The Underdogs yang menandai pertama kalinya bagi dia menduduki kursi penyutradaraan mencoba untuk mengklarifikasi dengan membagi perspektif positif mengenai Youtubers. 

Karakter utama dalam The Underdogs adalah empat sahabat sedari SMA yang tidak memiliki teman sebaya lain diluar lingkaran mereka sendiri serta kerap mengalami perisakan di sekolah; Ellie (Sheryl Sheinafia) yang dianggap aneh lantaran memiliki jiwa seni tinggi, Bobi (Jeff Smith) yang dikucilkan akibat sering melaporkan siswa-siswa pelanggar aturan, Dio (Brandon Salim) yang kesulitan berinteraksi disebabkan sifat pemalunya, dan Nanoy (Babe Cabita) yang telah berulang kali tinggal kelas. Selepas SMA, keempatnya berkeyakinan kehidupan sosial masing-masing akan berubah dan masyarakat akan mulai menerima mereka apa adanya. Tapi kenyataan ternyata berkata lain. Ditengah kekecewaan karena nasib yang masih begitu-begitu saja, sebuah ide gila pun tercetus usai menyaksikan wawancara trio Youtubers SOL (Ernest Prakasa, Young Lex, Han Yoo Ra) yang personilnya mempunyai riwayat seperti Ellie dan kawan-kawan. Mereka memutuskan untuk menjadi Youtubers. Yang tidak mereka antisipasi, mengkreasi konten untuk video tidaklah segampang kelihatannya. Berbagai percobaan dilakukan hanya berujung pada kegagalan yang membuat mereka nyaris menyerah. Dalam upaya terakhir, mereka nekat membuat video musik rap ditengah segala keterbatasan. Tanpa dinyana-nyana, video ini berhasil viral dan melesatkan grup mereka yang bernama The Underdogs. Popularitas memang akhirnya sanggup diraih, namun di lain pihak persahabatan mereka turut terancam dibuatnya.


Bukan sebatas berbicara mengenai kiat-kiat mencapai ketenaran menggunakan medium Youtube, penonton diajak untuk memahami betul fenomena Youtubers yang tengah merebak ketimbang sebatas menghakimi tanpa pernah mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Si pembuat film menyodorkan para personil The Underdogs sebagai studi kasus. Keempatnya mempunyai masalah pribadi di rumah; orang tua Ellie senantiasa bertengkar, ayah Bobi menghendaki putranya melanjutkan bisnis keluarga, Dio masih dianggap anak kecil oleh sang ibu, sementara keluarga Nanoy menganggapnya aib, ditambah masalah bersama sebagai outsider yang kemudian melecut mereka untuk membuat video sebagai ajang pembuktian diri. Menunjukkan bahwa mereka bisa, menunjukkan bahwa mereka tidak sepatutnya dianggap sebelah mata. Proses yang melatari perjuangan grup ini sedari sebelum video pertama diunggah hingga memperoleh ketenaran turut mengingatkan kita bahwa menciptakan kanal pun memerlukan kombinasi antara keberanian, kreativitas, serta konsistensi. Tidak semudah “bikin ini yuk!” lalu rekam kemudian unggah dan sebar di media sosial. Ada lika-liku dalam perjalanan The Underdogs yang kemudian memberikan kesempatan bagi Alitt Susanto bersama Bene Dion Rajagukguk selaku penulis skenario untuk menyematkan pesan positif mengenai memaknai persahabatan, keberanian untuk mengekspresikan diri, kemauan untuk merubah diri ke arah lebih baik,  melawan perisakan hingga menyikapi perbedaan. 

Asyiknya, pesan tersebut tak pernah sekalipun terdengar menceramahi penonton dan berhasil melebur mulus ke dalam jalinan pengisahan yang dialirkan sangat baik menjadi bahasa gambar oleh Adink Liwutang. Ya, sekalipun membawa misi memupus persepsi negatif khalayak ramai terhadap Youtubers, The Underdogs tak melupakan hakikatnya untuk mengajak penonton bersenang-senang. Sedari babak introduksi sampai credit title yang disisipi bloopers usai, film secara konsisten melempar bom-bom humor yang sebagian besar diantaranya berhasil meledak tepat pada waktunya. Bentuk lawakannya bisa dibilang cukup kaya dan kreatif; ada slapstick, disulut situasi, pertukaran dialog komikal, plesetan hingga permainan referensi, sehingga memunculkan ketertarikan untuk mengetahui banyolan seperti apa yang dilontarkan kemudian. Keberhasilan humor mengenai para hadirin ini tentu tak bisa dilepaskan dari lakon barisan pemainnya. Masing-masing dari mereka – baik Sheryl Sheinafia, Brandon Salim, Jeff Smith, maupun Babe Cabita – tampil solid dan membentuk chemistry meyakinkan. Sheryl, Brandon, dan Jeff mampu mengimbangi Babe yang sekali ini tampil lebih liar dari biasanya. Peran dia sejatinya masih tipikal yakni karakter pesakitan, namun naskah, pengarahan, serta lawan main memungkinkannya untuk menggila habis-habisan tanpa pernah menjurus ke menyebalkan atau mengganggu. 

Kejutan lainnya, Babe juga bisa menangani momen dramatik. Oh ya, porsinya memang tidak sebesar Sheryl dan Jeff yang kentara sedari awal dipersiapkan untuk membuat hati penonton terenyuh, tapi tetap saja ini kejutan manis. Apiknya chemistry yang terjalin diantara pemeran utama membuat penonton tak merasa kesulitan untuk terhubung dengan persoalan pribadi masing-masing karakter yang salah satunya mungkin saja pernah (atau sedang) kamu alami. Pola penceritaannya memang masih menganut ‘from zero to hero’ yang bisa kamu tebak kemana muaranya, akan tetapi cara sang sutradara menuturkan kisah dan adanya ikatan yang terbentuk antara penonton dengan para karakter membuat kita tak keberatan mengikuti perjalanan grup The Underdogs menggapai puncak. Perjalanan ini bukannya terbebas dari masalah. Memasuki babak ketiga saat konflik berdatangan dari berbagai sisi, laju agak tersendat. Resolusinya pun tak seluruhnya terjabarkan dengan baik lantaran bisa dijumpai ada satu dua yang kesannya ujug-ujug dan sedikit banyak mengkhianati salah satu pesan film yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini bahkan mie instan sekalipun. Yang kemudian menghindarkannya dari problematika lebih dalam, The Underdogs menutup gelaran kisah dengan hangat dan lucu. Semangat bersenang-senangnya yang menghiasi sepanjang film tak bisa pula dikesampingkan. Bagaimanapun, The Underdogs telah berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang sangat menghibur. Jika mengutip salah satu judul lagu yang dibawakan para karakter utama, The Underdogs itu AZQ (dibaca: asyik) sekali!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Monday, 14 August 2017

REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Saturday, 12 August 2017

REVIEW : THE EMOJI MOVIE


“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion! I have so much more.” 

Kita telah melihat bagaimana riuhnya interaksi antar mainan saat ditinggal pergi sang majikan dalam trilogi Toy Story. Kita telah menyaksikan bagaimana serunya petualangan mengarungi dunia arcade game melalui Wreck-It Ralph. Dan kita juga telah menjadi saksi bagaimana peliknya pola kerja para emosi kala menjalankan tugasnya dalam tubuh manusia lewat Inside Out. Lalu, kapan kita akan mengintip kisah belakang layar para emoji di ponsel cerdas yang jelas mempunyai kontribusi penting atas kesuksesan atau kegagalan tersampaikannya suatu pesan teks? Ternyata, tidak membutuhkan waktu lama bagi petinggi studio di Hollywood untuk merealisasikannya. Menyadari bahwa fenomena penggunaan emoji di kalangan generasi milenial kian merebak dan terinspirasi dari kesuksesan yang direngkuh Disney/Pixar, Sony Pictures Animation pun mengajukan konsep kurang lebih senada yang tak kalah ambisius mengenai dunia para emoji di dalam sebuah aplikasi ponsel melalui karya terbaru mereka bertajuk The Emoji Movie. Ditunjuk untuk mengomandoi proyek animasi kedelapan Sony yakni Tony Leondis yang sebelumnya mengarahkan Lilo & Stitch 2 dan Igor

Protagonis utama dalam The Emoji Movie adalah sebuah emoji berwarna kuning yang mewakili ekspresi ‘meh’ bernama Gene (disuarakan oleh T.J. Miller). Tidak seperti emoji lain di Textopolis – sebuah kota digital dalam suatu aplikasi perpesanan di ponsel cerdas milik seorang remaja usia belasan bernama Alex (Jake T. Austin) – yang merepresentasikan satu ekspresi saja, Gene dapat menunjukkan berbagai macam ekspresi seperti bahagia, sedih, sampai jatuh cinta. Kelebihan yang dimiliki Gene ini nyatanya dianggap sebagai malfungsi bagi sang pemimpin, Smiler (Maya Rudolph), lantaran Gene tanpa sengaja memasang ekspresi keliru ketika dipilih Alex untuk membalas pesan kepada gadis yang ditaksirnya. Kekacauan ini menyebabkan Smiler naik pitam sehingga menitahkan sejumlah bot antivirus untuk menghapus Gene dari aplikasi. Mengetahui keselamatannya terancam, Gene pun melarikan diri ke luar aplikasi perpesanan dengan harapan menemukan cara yang dapat mengubahnya menjadi ‘meh’ sejati. Di tengah-tengah pelarian, Gene bertemu dengan emoji tos yang terbuang, Hi-5 (James Corden), dan pemecah kode handal, Jailbreak (Anna Faris), yang bersedia mengulurkan tangan untuk membantu Gene mengubah jati dirinya.


Konsep yang diusung The Emoji Movie sebetulnya bisa dibilang unik dan menarik. Jika Wreck-It Ralph membawa kita memasuki dunia di dalam kotak arcade game dan Inside Out memandu kita menyelami otak manusia, The Emoji Movie mengajak serta penonton untuk menengok kehidupan di dalam suatu ponsel cerdas dimana masing-masing aplikasi mempunyai komunitasnya sendiri-sendiri. Sayangnya, high-concept ini tidak dibarengi dengan naskah mumpuni yang mampu menjerat ketertarikan penonton dari berbagai lapisan usia secara penuh. Plotnya berikut pesan positifnya yang masih berkisar pada pencarian jati diri, persahabatan, serta penerimaan tak pernah digali lebih mendalam dan sekadar berada di permukaan saja. Selama durasi berlangsung, jangankan Hi-5 dan Jailbreak, kita tidak benar-benar memahami betul sosok Gene sehingga agak menyulitkan penonton untuk membentuk ikatan sekaligus memberikan dukungan penuh terhadap perjuangannya. Yang lantas memunculkan ketertarikan dalam mengikuti petualangan tiga karakter terpinggirkan ini adalah bagaimana si pembuat film menggambarkan universe di dalam ponsel Alex yang dikategorisasi berdasarkan aplikasi. Dalam setiap aplikasi, senantiasa muncul tantangan dengan tingkat kesulitan beragam yang mesti ditaklukkan oleh Gene, Hi-5, dan Jailbreak. 

Dari tantangan inilah, The Emoji Movie menunjukkan daya pikatnya. Ada kesenangan tersendiri menyaksikan bagaimana ketiga protagonis ini berjibaku dengan tantangan menari dalam permainan Just Dance, bagaimana mereka berjumpa dengan virus-virus perusak di aplikasi tersembunyi, bagaimana mereka mengatasi arus yang mengikuti irama musik selama berlayar mengarungi Spotify, dan bagaimana Gene serta kedua teman barunya berupaya menemukan kata sandi yang tepat untuk menembus firewall. Ya, pada dasarnya The Emoji Movie masih berada di level bisa dinikmati dan tidak senista seperti dibilang para kritikus di luar sana yang menghujatnya habis-habisan seolah-olah film ini mempunyai kualitas lebih memprihatinkan ketimbang Happily N’Ever After (2006) atau Hoodwinked Too! (2011). Paling tidak, visual dalam The Emoji Movie terhitung cukup imajinatif dan beberapa lontaran humornya masih ampuh mengundang tawa renyah sekalipun plotnya kekurangan emosi serta sama sekali tidak bergigi untuk ukuran film berkonsep tinggi. Penonton cilik yang menjadi target utama The Emoji Movie pun kemungkinan besar masih akan terhibur oleh pilihan warnanya yang cerah ceria serta animasinya yang hiperaktif.

Note : The Emoji Movie memiliki sebuah adegan tambahan di pertengahan credit title.

Acceptable (3/5)


Friday, 11 August 2017

REVIEW : RAFATHAR


“Ini bukan bayi biasa. Ini bayi mutan, Bos.” 

Ada satu film keluarga dari era 90-an yang rutin ditayangkan beberapa bulan sekali oleh salah satu televisi swasta tanah air berjudul Baby’s Day Out (1994). Dalam film tersebut, kita melihat serentetan kekonyolan yang dialami sejumlah pelaku tindak kriminal akibat dipecundangi seorang bayi yang mereka culik dari keluarga kaya. Guliran penceritaan kurang lebih senada bisa dijumpai pula dalam film laga berbumbu komedi Rob-B-Hood (2006) yang dibintangi Jackie Chan dan film komedi romantis Demi Cinta (2017), produksi MNC Pictures dimana para penculik malah dibuat jatuh hati kepada si bayi. Dari ketiga film tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa pekerjaan menculik bayi dalam film fiktif yang sepintas tampak sangat mudah dieksekusi rupanya jauh lebih memusingkan dari yang perkirakan. Percobaan terbaru dalam menjalankan misi ‘menculik bayi’ dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam Rafathar (2017) yang konon dibuat sebagai kado ulang tahun bagi putra tercinta mereka, Rafathar Malik Ahmad. Bekerjasama dengan Umbara bersaudara; Bounty sebagai sutradara sementara Anggy di kursi produser, Rafathar dikreasi sebagai film laga komedi yang diharapkan mampu menghibur seluruh anggota keluarga. Berhasilkah? 

Rafathar berkisah mengenai sepasang perampok profesional bernama Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabita) yang ditugaskan oleh atasannya, Bos Viktor (Agus Kuncoro), untuk menculik seorang bayi, Rafathar (Rafathar Malik Ahmad), yang diadopsi oleh pasangan kaya, Mila (Nur Fazura) dan Bondan (Arie Untung). Seperti halnya para penculik di film-film yang telah disebutkan di atas, Jonny beserta Popo pun menganggap sepele tugas ini. Apa sih yang mungkin merepotkan dari menculik bayi? Yang tidak mereka antisipasi, Rafathar adalah bayi yang amat aktif serta mempunyai kekuatan telekinetik yang memungkinkannya mengendalikan logam dengan mudah. Alhasil, Jonny dan Popo kelimpungan dalam menangani Rafathar. Ini masih belum ditambah mereka harus menghadapi kejaran dari Detektif Julie (Nagita Slavina) yang dipercaya orang tua angkat Rafathar untuk mengusut tuntas kasus penculikan sang buah hati ini dan Kolonel Demon (Verdi Solaiman) yang menyimpan agenda terselubung dibalik niatnya membantu Mila beserta Julie dalam menemukan Rafathar. Ditengah-tengah segala kekacauan, perlahan tapi pasti Rafathar mulai mencuri hati kedua penculiknya sehingga Jonny dan Popo pun belakangan memutuskan untuk menyelamatkan Rafathar dari cengkraman Bos Viktor. 


Bagai mengombinasikan Baby’s Day Out dan Rob-B-Hood, Rafathar sejatinya terdengar menjanjikan di atas kertas. Konsepnya tergolong segar untuk ukuran film petualangan keluarga dari tanah air yang acapkali bercerita tentang petualangan para bocah di dalam hutan seolah-olah hanya itu yang bisa diceritakan. Namun besarnya potensi yang dimiliki oleh Rafathar pada akhirnya berakhir sebatas potensi saat beberapa persoalan menghalangi film produksi RNR Movies dan Umbara Brothers Film untuk berkembang lebih jauh. Persoalan terbesar pertama yang menghinggapi Rafathar adalah materi humornya yang (maaf beribu maaf) tidak lucu. Beberapa diantaranya memang masih bisa membuat saya menyunggingkan senyum terutama saat melibatkan Agus Kuncoro yang menggunakan banyak logat dan Babe Cabita yang bolak-balik amnesia, tapi sebagian besar diantaranya mempunyai daya bunuh yang lemah. Terasa mentah kala dilontarkan sampai-sampai bingung hendak bereaksi seperti apa. Mengingat secara fitrah Rafathar adalah sebuah film komedi, ketidaksanggupan dalam menghadirkan derai tawa jelas suatu masalah apalagi film ini banyak bergantung pada lawakan dan pemakaian CGI untuk mengalirkan kisah ketimbang mengandalkan kekuatan naskah serta akting pemain. Alhasil, film seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. 

Belum lagi, pemakaian CGI dalam Rafathar termasuk persoalan terbesar kedua yang menghinggapi film. Berulang kali muncul tanpa esensi jelas dan terlampau dipaksakan yang malah mengekspos kelemahannya. Tampak sangat kasar. Adegan ondel-ondel raksasa maupun mengejar-ngejar Rafathar yang berlangsung di dalam rumah, apartemen, sampai jalanan memang tergarap cukup baik. Tapi lain halnya saat kita membicarakan soal robot berwujud ATM dan kulkas serta klimaksnya yang membuat kepala berdenyut-denyut pusing. Apabila bujet dan waktu tidak memadai untuk memvisualisasikannya, bukankah lebih bijak jika adegan disederhanakan saja tanpa harus didorong-dorong agar tampil bombastis? Penggunaan CGI kurang matang sedari pertengahan hingga babak ketiga ini sejujurnya sangat mengganggu kekhidmatan menonton karena kita seolah-olah tengah menyaksikan film yang belum tuntas. Kekhidmatan menonton juga terganggu lantaran Rafathar berada di posisi serba tanggung. Mau menyasar penonton segala usia kok plotnya terlalu njelimet buat kanak-kanak dan humornya seringkali nyerempet. Namun di sisi lain, mau mengambil hati penonton usia belasan ke atas, terbentur oleh kombinasi antara plot kurang mengikat, kelakar garing, dan CGI kasar. Alhasil, (lagi-lagi) Rafathar seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. Sungguh sangat disayangkan. 

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_QZYd

Poor (2/5)


Thursday, 10 August 2017

REVIEW : ANNABELLE CREATION


“Sister, you always say we can’t see God but we can feel His presence. In this house, I feel a different kind of presence and evil one. It’s coming after me.” 

Selain para petinggi studio yang kecipratan untung film pertama, siapa sih yang menanti-nantikan babak berikutnya dari teror boneka iblis bernama Annabelle? Dirilis pada tahun 2014 silam, Annabelle yang merupakan spin-off sekaligus prekuel bagi The Conjuring memang berhasil memperoleh ratusan juta dollar dari peredaran seluruh dunia. Akan tetapi di saat bersamaan, film ini juga meninggalkan perasaan traumatis tersendiri bagi sebagian penontonnya. Bukan karena filmnya sungguh meneror, melainkan disebabkan keburukannya yang bikin kepala pusing-pusing tidak karuan. Sebagai film horor, Annabelle sulit dikategorikan menakutkan dan lebih tepat disebut menggelikan. Namun keuntungan besar yang diperolehnya mendorong New Line Cinema untuk tetap memberi lampu hijau bagi instalmen selanjutnya yang diposisikan sebagai prekuel (well, prekuel bagi sebuah prekuel. Prequelception) dan menempatkan sutradara Lights Out, David F. Sandberg, sebagai sang nahkoda. Mengingat seri terdahulu sudah cukup buruk, tentu mustahil kan film yang diberi judul Annabelle Creation ini akan berada di level lebih rendah? Berkaca pada Ouija: Origin of Evil yang tak dinyana-nyana justru tampil superior dibanding film pertamanya, sejatinya ada harapan Annabelle Creation bisa menebus kesalahan sang predesesor terlebih tim produksinya sangat bisa diandalkan. 

Annabelle Creation mengambil latar penceritaan di sebuah rumah pedesaan yang jauh dari cengkraman modernitas pada pertengahan era 50-an. Rumah tersebut dihuni pasangan suami istri Mullins, Samuel (Anthony LaPaglia) dan Esther (Miranda Otto), yang masih belum bisa berdamai dengan duka selepas kematian putri semata wayang mereka. Guna membunuh sepi karena ketiadaan suara tawa canda anak-anak, Samuel mengizinkan sejumlah penghuni panti asuhan yang telah ditutup untuk mendiami rumah mereka. Mudah bagi Suster Charlotte (Stephanie Sigman) beserta anak-anak asuhnya, terutama Janice (Talitha Bateman) dan Linda (Lulu Wilson) yang memiliki hubungan amat dekat bak kakak adik, untuk merasa betah tinggal di rumah tersebut. Betapa tidak, banyak ruangan yang bisa dimanfaatkan dan pekarangannya pun luas. Jika ada kejanggalan, maka itu sebatas Esther yang mengurung dirinya di dalam kamar dan menggunakan lonceng bel untuk memanggil sang suami. Tidak ada yang lain sampai kemudian Janice melakukan kesalahan fatal dengan melangkahkan kaki memasuki kamar milik mendiang putri pasangan Mullins. Di sana, Janice mendapati keberadaan sebuah boneka porselen dengan gaun berwarna putih yang tersembunyi dalam lemari. Saat lemari terbuka, boneka yang kita kenal sebagai Annabelle ini tak pelak bebas berkeliaran dan menebarkan serentetan teror mengerikan ke seluruh penghuni rumah.


Seperti halnya Ouija: Origin of Evil, Annabelle Creation menunjukkan peningkatan pesat saat disandingkan dengan jilid sebelumnya. David F. Sandberg berhasil menghadirkan kengerian yang membuat penonton menahan nafas lalu berteriak dan pada akhirnya tertawa tanda kelegaan melalui bangunan atmosfer mengusik serta trik menakut-nakuti dengan penempatan efektif. Mulanya sih tenang-tenang saja ketika kita diajak berkenalan dengan keluarga Mullins termasuk Bee (Samara Lee), putri Samuel dan Esther di sepuluh menit pertama. Nada penceritaan yang semula lembut mulai mengusik bulu kuduk begitu Suster Charlotte dan anak-anak asuhnya menjejakkan kaki untuk pertama kali di rumah pasangan Mullins atau dua belas tahun semenjak Bee meninggal. Siapa coba tidak bergidik ngeri berada dalam rumah yang lokasinya terpencil, berpencahayaan temaram, lorong-lorongnya panjang, dan memiliki ruangan kosong terlarang? Rasa-rasanya hanya para karakter dalam film horor. Sebelum teror demi teror dilancarkan di dalam ‘wahana rumah berhantu’ ini, penonton diajak terlebih dahulu mengikuti tur singkat bersama Samuel yang mengajak kita berkeliling, mencermati sudut-sudut penting, dan memahami aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar selama ‘permainan’ berlangsung... atau tanggung sendiri konsekuensinya. 

Yang mengasyikkan, si pembuat film tidak terburu-buru menjerumuskan kita ke dalam kubangan teror berisi penampakan-penampakan sekenanya beserta skoring musik memekakkan telinga. Sandberg telaten dalam membangun tensi setapak demi setapak. Caranya, mendekatkan penonton pada karakter inti yakni Janice dan Linda sehingga tercipta afeksi yang menimbulkan kepedulian, kemudian menguarkan nuansa menggelisahkan yang menyatakan bahwa ada kekuatan jahat bersembunyi di dalam rumah pasangan Mullins. Tatkala ketidaknyaman dirasa telah menguasai dan kita sudah cukup memahami ikatan yang terjalin antara Janice dengan Linda, maka pada saat itulah permainan secara resmi dimulai. Terhitung semenjak pertemuan pertama Janice bersama si boneka iblis yang sekali ini agak-agak genit, Annabelle Creation seolah enggan memberikan celah kepada penonton untuk menghembuskan nafas lega. Dimanapun, kapanpun – bahkan saat matahari bersinar terang benderang – teror bisa dengan mudah menyergap. Disokong dengan amat baik oleh gerak kamera dari Maxime Alexandre dan iringan musik gubahan Benjamin Wallfisch, Sandberg pun sanggup mengkreasi trik-trik menakuti yang sekalipun bukan sesuatu benar-benar baru namun mempunyai daya cekam hebat. Antisipasi terdengarnya keriuhan suara jerit-jerit cemas, takut, dan tawa di dalam gedung bioskop dalam adegan berkode “selimut Annabelle”, “kasur susun”, serta “siksaan untuk Janice”. 

Disamping berkat pengarahan sangat baik dari David F. Sandberg yang memungkinkan setiap teror tidak terlontar sia-sia, Annabelle Creation terasa sangat menyenangkan buat disimak berkat performa bagus barisan pemainnya terutama duo maut Talitha Bateman dan Lulu Wilson. Kedua bocah ini hadirkan chemistry hidup yang meyakinkan kita bahwa Janice dan Linda memang betul-betul sahabat sejati yang saling menaruh peduli. Talitha bertugas menangani momen dramatik mengingat kondisi Janice, sementara Lulu bertindak mencairkan ketegangan melalui momen komedik yang dipantik oleh kepolosan tindak tanduknya (ehem... melempar bola ke kegelapan buat mancing setan, dik?) dan celetukannya. Mereka mendapat bantuan dari pemain dewasa seperti Stephanie Sigman sebagai Suster yang mengayomi, Anthony LaPaglia yang tampak menyimpan rahasia, dan Miranda Otto sebagai ibu yang berduka. Pengarahan Sandberg beserta akting para pemain ini dapat dikatakan sangat membantu dalam mengangkat skrip buatan Gary Dauberman yang pada dasarnya masih agak menggelikan serta terbilang tipis sehingga Annabelle Creation pun berhasil terlepas dari mengulangi kesalahan film pendahulu dan tidak lagi mempermalukan universe The Conjuring. Melihat apa yang telah diperbuat David F. Sandberg untuk Lights Out dan Annabelle Creation, para pecinta film horor rasa-rasanya tak perlu khawatir apabila nantinya James Wan sepenuhnya berhenti membesut tontonan seram karena Sandberg membuktikan bahwa dia cocok menerima tongkat estafet dari Wan.

Note : Annabelle Creation mempunyai dua adegan tambahan. Pertama, di sela-sela bergulirnya credit title. Kedua, di penghujung credit title. Bersabarlah.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_M2Nq

Outstanding (4/5)