This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday, 29 July 2017

REVIEW : TEN: THE SECRET MISSION



“Negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing.”

Merekrut Iko Uwais atau Joe Taslim untuk membintangi film laga Indonesia itu sudah terlalu mainstream. Banyak yang berpikiran hal senada. Lagipula, secara bujet juga jelas akan membumbung tinggi. Kalau tidak balik modal kan, bikin hati merana. Para petinggi 0708 Films (bekerjasama dengan Starvision untuk distribusi) yang terlanjur kebelet ingin mengkreasi sebuah film penuh baku hantam dan suara-suara desingan peluru punya solusi jitu supaya bujet tetap murah meriah: bagaimana kalau kita rekrut saja para aktor amatiran dari kalangan model untuk ber bak bik buk ria? Agar sisi fun tetap sangat berasa, ditambah lagi pasar utama genre ini adalah laki-laki, modelnya tentu bukan berasal dari kalangan finalis L-Men melainkan majalah dewasa Popular. Ya, para perempuan cantik bertubuh seksi yang biasanya berlenggak-lenggok di atas catwalk atau mengikuti pemotretan dengan busana yang sangat menonjolkan lekuk-lekuk tubuh kini diajak serta oleh Helfi Kardit (Arisan Berondong, Arwah Goyang Karawang) untuk bermain peran di Ten: The Secret Mission. Perannya tidak sembarangan lho, mereka akan menjelma sebagai perempuan-perempuan tangguh yang dipercaya untuk berpartisipasi dalam misi penyelamatan. Terdengar mengasyikkan dan menggelikan di saat bersamaan, bukan? 

Pihak yang mempunyai gagasan cemerlang buat merekrut para model majalah dewasa ini adalah Satuan Inteligen Rahasia Negara atau SIS (The Secret Intelligent Service). Sang pemimpin, Jenderal (Roy Marten), mulanya ragu-ragu karena tidak meyakini para model ini mempunyai kemahiran mumpuni untuk diterjunkan ke misi pembebasan sandera. Namun Kolonel John (Jeremy Thomas) memilki alasan tersendiri mengapa perempuan-perempuan pilihannya yang secara keseluruhan berjumlah sepuluh orang dapat diandalkan. Dalam sesi perkenalan yang dijabarkan ke penonton secara amat sangat ringkas – saya berani bertaruh, kalian pasti akan kesulitan membedakan antara satu dengan yang lain sepanjang film – kita mengetahui bahwa para model ini bukanlah sembarang model. Mereka diam-diam adalah mantan atlet bela diri dari cabang berbeda-beda yang sebagian besar terpaksa beralih profesi menjadi model demi menyambung hidup. Dengan demikian, mereka sejatinya sudah punya modal mencukupi buat beraksi. Agar makin terarah dan tidak serampangan kala melumpuhkan musuh, Mayor Cathy (Karenina Maria Anderson) dan Kapten Dalton (Gibran Marten) dipercaya untuk menggembleng para model ini dalam sesi pelatihan penuh peluh di sebuah camp untuk outbound


Berdasarkan premis dan sinopsis yang dikedepankan, kita tentu telah bisa melihat bahwa Ten: The Secret Mission adalah film main-main belaka. Menanggapinya kelewat serius, hanya memberi efek samping berupa kepala nyut-nyutan tidak karuan. Sang sutradara, Helfi Kardit memang sedari mula sadar diri untuk tidak pernah menargetkan karya terbarunya ini berada di kelas yang sama dengan The Raid. Sumber referensinya sendiri banyak berasal dari film laga kelas B yang memiliki karakteristik seperti berbujet minim, tak terlalu mempedulikan kelayakan teknis apalagi artistik, dan penceritaannya kerapkali ‘suka-suka gue’ sampai-sampai melampaui nalar. Pokoknya, yang penting ada cerita! Ten: The Secret Mission pun mengamini karakteristik tersebut. Jika kamu menganggap sinopsis yang ditawarkannya sudah sungguh ajaib, percayalah itu masih belum ada apa-apanya. Tunggu sampai kamu mendengar rentetan dialog yang diucapkan para karakter dalam film atau tindakan yang mereka lakukan. Saya akan memberimu tantangan: bisakah kamu menahan hasrat untuk tidak tertawa geli di kursi bioskop saat dialog berbunyi “negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing” atau “mereka memang tidak mahir menembak, Jendral. Tapi begitu saya tekan tombol, saya yakin semua akan berubah menjadi pembunuh ganas” meluncur dari mulut salah satu karakter? 

...dan itu hanya segelintir diantaranya, saudara-saudaraku tercinta. Hampir sepanjang durasi, dialog yang menghiasi Ten: The Secret Mission memang berada di level layak ditertawakan. Mencoba sok serius seperti mencomot dari buku teks mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, namun ketidaksesuaian konteks membuatnya terdengar konyol ketimbang ceriwis. Tindakan para karakternya yang entah berasal dari planet mana pun sebelas dua belas. Salah satu paling membekas di ingatan adalah saat dua model bersembunyi di balik pohon demi menghindari serangan musuh, lalu sebuah durian jatuh dan menggelinding ke arah mereka. Apabila ini Sunya (film garapan Harry Suharyadi yang juga memiliki adegan durian jatuh), penonton diminta memikirkan maknanya. Tapi karena ini adalah Ten: The Secret Mission, maka pada klimaks yang secara mengejutkan mampu menghadirkan pertarungan dengan tata laga cukup seru, durian tersebut bertransformasi menjadi... brass knuckle! Ya, salah satu model yang menemukan durian tersebut akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan kulit durian sebagai senjata dalam bertarung. Sungguh cerdas dan diluar dugaan, to? Dan begitulah Ten: The Secret Mission. Cerdas memang sama sekali tidak tepat buat dilampirkan ke film ini, tapi diluar dugaan jelas sangat mewakilinya. Saat saya beberapa kali mengira kekonyolan dalam film telah mencapai puncaknya, Helfi terus memberikan kejutan-kejutan dengan menaikkan level kekonyolan sehingga film diluar dugaan dapat tersaji menghibur. Menghibur dalam kapasitasnya sebagai film kelas B, tentu saja.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_2c9k4

Poor (2/5)


Monday, 24 July 2017

REVIEW : LET'S GO, JETS!


“Ada beberapa hal yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Tapi kita harus tetap berusaha.” 

Tidak banyak film remaja/olahraga yang secara spesifik membicarakan perjuangan tim pemandu sorak SMA. Keberadaan ekstrakurikuler ini dalam film remaja buatan Hollywood memang nyaris tak pernah luput dari radar, hanya saja fungsinya sebatas gimmick atau sekadar memanfaatkan satu dua anggotanya sebagai karakter berstereotip “perempuan kejam”. Yang benar-benar peduli menyoroti jatuh bangunnya para cheerleader untuk mencetak prestasi dengan memenangkan kompetisi bisa dihitung dengan jari jemari, salah satu paling terkenal adalah Bring It On (2000) yang turut berjasa melambungkan karir Kirsten Dunst serta mempunyai serentetan sekuel tak penting yang diterjunkan langsung ke format home video. Meski Bring It On sendiri tak pernah usang menjadi bahan perbincangan di kalangan para penikmat film sampai sekarang, anehnya film bertema serupa masih sukar dijumpai. Setidaknya butuh lebih dari dua dekade untuk akhirnya mendapati sebuah film dengan cita rasa mirip. Yang tidak disangka-sangka, datangnya film termutakhir menyoal perjuangan tim pemandu sorak SMA bukan berasal dari Amerika Serikat melainkan dari Jepang. Menggunakan tajuk internasional Let’s Go, Jets!, film arahan Hayato Kawai ini didasarkan pada kisah nyata sebuah tim pemandu sorak dari Fukui Commercial High School yang berjaya dalam NDA National Championsip di negeri Paman Sam pada tahun 2009 hanya tiga tahun setelah resmi dibentuk. 

Tokoh utama dalam Let’s Go, Jets! adalah seorang siswi tingkat pertama di Fukui Chuo High School bernama Hikari Tomonaga (Suzu Hirose). Motivasi utama Hikari untuk bergabung ke dalam klub pemandu sorak Jets sebetulnya sedangkal ingin menarik perhatian dari seorang laki-laki yang kini bergabung dengan klub sepakbola, Kosuke Yamashita (Mackenyu). Namun rencana awal Hikari seketika berubah tatkala mendapati pelatih baru klubnya, Kaoruko Saotome (Yuki Amami), mengaplikasikan aturan ketat mengenai larangan memiliki kekasih dan menetapkan target ambisius untuk memenangkan sebuah kejuaraan tari pemandu sorak di Amerika Serikat. Mengingat klub ini baru saja mengalami transisi dari sebelumnya gimnastik memutar tongkat menuju tari pemandu sorak dan sebagian besar anggota anyarnya tidak memiliki kemampuan dasar menari, tentu target ini terkesan muluk-muluk. Tapi Kaoruko enggan begitu saja menyerah dan guna merealisasikan tujuannya, dia lantas meminta tiga anggota paling berbakat; Ayano (Ayami Nakajo), Yui (Hirona Yamazaki), dan Reika (Yurina Yanagi), untuk melatih anggota lain. Belum juga klub ini dapat berdiri dengan stabil, cobaan lain datang hasil dari kombinasi antara tekanan, ego, serta kekecewaan. Di tengah keterpurukan, Hikari yang digambarkan mempunyai kemampuan hebat soal membagi kebahagiaan, meminta uluran bantuan dari Ayano dan Yui demi mengembalikan kembali semangat anggota Jets yang tersisa untuk merengkuh impian berjaya di Amerika Serikat.


Sejatinya, Let’s Go, Jets! tidak menawarkan sesuatu yang baru untuk ranah film olahraga maupun coming of age. Pola penceritaan yang dianutnya pun masih tidak jauh-jauh dari ‘from zero to hero’ dengan fokus kisahnya berada di upaya sebuah klub pemandu sorak SMA dari kota kecil yang kerap dipandang sebelah mata oleh sejumlah pihak – termasuk oleh anggotanya sendiri – dalam membuktikan kebenaran atas pernyataan ‘everything is possible’. Yang kemudian membuat Let’s Go, Jets! terasa begitu lezat buat dikudap, bahkan layak untuk disandingkan dengan Bring It On, adalah energi yang dibawanya. Hayato Kawai berhasil membentuk film arahannya ini menjadi salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton pada tahun ini. Saat menyimak Let’s Go, Jets! di layar lebar beberapa waktu lalu, hati ini dibuatnya hangat dan bahagiaaaaa sekali. Sedari Hikari mengetahui jati diri sesungguhnya dari klub Jets yang diikutinya, atensi telah tertambat. Muncul ketidaksabaran untuk mengetahui bagaimana proses yang mesti dilewati klub pecundang ini hingga sampai pada titik dimana mereka dielu-elukan bukan saja oleh seantero sekolah, tetapi juga seantero Jepang sekaligus disegani oleh lawan-lawannya di Amerika Serikat. Ya, kamu telah mengetahui bagaimana film ini akan berakhir – cuplikan di awal film dan materi sumbernya telah membocorkannya – namun itu sama sekali tak menjadi soal karena kenikmatan menyaksikan Let’s Go, Jets! tidak berada di tujuan akhir melainkan pada proses yang akan menginspirasimu. Proses yang juga menegaskan bahwa kesuksesan tidak diperoleh secara cuma-cuma. 

Karena kita diposisikan sebagai saksi dari sebuah klub yang berproses, koreografi tari yang merupakan salah satu daya tarik Bring It On tak terlampau ditonjolkan di sini. Hayato memilih mendayagunakan kuota durasi untuk melihat beberapa karakter sentralnya berkembang, khususnya Hikari yang mulanya meyakini dirinya tidak memiliki bakat yang bisa membawa klub Jets memenangkan kompetisi dan Ayano sebagai pemimpin yang telaten memperhatikan perkembangan rekan-rekan satu timnya untuk bahan pembelajaran. Suzu Hirose dan Ayami Nakajo mampu menginterpretasi secara cantik peran masing-masing, mengomando barisan pemain muda lain yang mengisi formasi anggota klub Jets, dan bersinergi mulus dengan Yuki Amami. Mereka terlihat mudah untuk disukai – chemistry diantara mereka pun berada di level jempolan – sehingga penonton tidak keberatan memberikan dukungan penuh kepada Jets. Dilantunkan menggunakan nada penceritaan yang ceria bahkan ada kalanya sangat komikal seperti ketika ‘pelatih dari neraka’ Kaoruko menggembleng habis murid-muridnya yang sebagian besar masih hijau, turut memudahkan kita mengikuti sepak terjang Jets. Begitu penonton dirasa telah jalin keakraban bersama para personil, sang sutradara lantas melepas sentakan berwujud momen emosional yang berfungsi dalam merekatkan ikatan antara penonton dengan Jets. Adanya ikatan satu sama lain dapat dibuktikan melalui klimaks yang akan membuatmu beberapa kali menyeka air mata. Bukan karena sedih, akan tetapi karena kebanggaan, kebahagiaan dan kelegaan yang membuncah. Kita seperti seorang kawan yang bangga luar biasa ketika melihat kerja keras sang sahabat akhirnya menuai hasil. Bagus!

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1LvnC

Outstanding (4/5)


Sunday, 23 July 2017

REVIEW : DUNKIRK


“You can practically see it from here. Home.” 

Tiada lagi penjelajahan antar galaksi antar dimensi. Tiada lagi perjalanan menyusuri alam mimpi. Tiada lagi manusia kelelawar berkedok pengusaha kaya yang memberantas para kriminal kala malam menyingsing. Dalam film terbarunya bertajuk Dunkirk, sutradara Christopher Nolan memutuskan untuk tetap menjejakkan kaki di semesta yang sangat kita kenal. Menjauhi fantasi yang berada di ranah kekuasaannya, pembesut Inception dan The Dark Knight ini mencoba untuk lebih merangkul realita dengan menghadirkan sebuah retrospektif tentang Perang Dunia II. Diantara setumpuk topik ihwal ‘teror perang, kemanusiaan, dan keajaiban’ yang dapat dipilih dari kurun waktu tersebut, Nolan menjumput topik perihal Evakuasi Dunkirk yang berlangsung sedari 26 Mei hingga 4 Juni 1940. Sebuah bahan obrolan yang terhitung menarik lantaran pahlawan dalam peristiwa ini bukanlah para prajurit yang diterjunkan ke medan peperangan melainkan rakyat sipil yang memenuhi panggilan mendadak dari pemerintah Britania Raya untuk membantu keberlangsungan proses evakuasi sebanyak 400 ribu tentara sekutu yang posisinya terdesak oleh pergerakan pasukan Adolf Hitler dari pesisir pantai di Dunkirk, Prancis. 

Dalam menuturkan kembali peristiwa ini, Nolan mengaplikasikan metode penceritaan non-linear yang digemarinya dengan harapan dapat tersaji lebih menarik. Untuk itu, tuturan Dunkirk dipecah ke dalam tiga narasi yang masing-masing memiliki rentang waktu penceritaan berbeda satu sama lain sebelum akhirnya saling beririsan dalam klimaks. Narasi pertama berlangsung di tanggul selama sepekan dimana para tentara mengantri panjang untuk menaiki kapal-kapal penyelamat yang merapat seraya berharap agar bom kiriman pesawat tempur Nazi tidak jatuh lebih dulu. Karakter yang mendapat sorotan pada bagian ini adalah tiga tentara muda; Tommy (Fionn Whitehead), Gibson (Aneurin Barnard), dan Alex (Harry Styles), yang berjuang mati-matian demi memperoleh jatah tempat di kapal. Lalu narasi kedua berlangsung di atas sebuah kapal kecil selama sehari yang meletakkan fokusnya pada seorang pelayar bernama Pak Dawson (Mark Rylance), putranya Peter (Tom Glynn-Carney) serta sahabat sang putra George (Barry Keoghan) dalam upaya mereka untuk menyelamatkan para tentara yang terdampar di pantai. Dan narasi ketiga yang bertempat di udara selama satu jam menyoroti tiga pilot pesawat tempur Inggris dalam memburu pesawat tempur Jerman yang hendak menjatuhkan bom di Dunkirk. 


Sulit ditampik bahwa Christopher Nolan mampu menghadirkan Dunkirk sebagai sebuah pengalaman sinematis yang memikat. Elemen teknisnya berada di kelas teratas dan amat tidak mengherankan apabila nantinya menjadi kontender kuat dalam beragam ajang penghargaan untuk insan perfilman dunia. Lihat bagaimana kinerja Hoyte van Hoytema yang sebelumnya berkolaborasi dengan Nolan dalam Interstellar kala melensakan setiap gambar di darat, air, serta udara secara mengagumkan sehingga rekonstruksi peristiwa Evakuasi Dunkirk dalam bentuk adegan terasa meyakinkan. Penonton seolah-olah ditempatkan berada di tengah-tengah para pejuang yang kelelahan menanti datangnya kapal dan ketakutan akan datangnya ajal. Kegemilangan dari sisi visual yang tak jarang pula tampil puitis ini turut memperoleh sokongan dari departemen tata suara yang berhasil mengkreasi suara gemuruh pesawat, dentuman bom, desingan peluru, sampai deburan ombak dalam tingkatan akurasi yang tinggi serta iringan skoring musik gubahan Hans Zimmer yang membantu mempertajam nuansa meneror medan peperangan dalam Dunkirk. Membuatnya sangat perlu ditonton di layar lebar. Mempunyai kombinasi elemen teknis sekuat ini, jelas bukan perkara sulit untuk mengagumi pencapaian Nolan dalam Dunkirk. Yang kemudian pertanyaan adalah apakah kekaguman ini berakhir sebatas kekaguman atau dapat pula berkembang lebih jauh menjadi cinta? 

Sayangnya, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Dunkirk mudah untuk dikagumi tetapi tidak untuk dicintai. Sulit untuk benar-benar terhubung secara emosional pada film. Saat melangkahkan kaki ke luar bioskop, tidak ada impak apapun yang membuatnya terus terngiang-ngiang dalam pikiran dan meninggalkan kesan mendalam di hati. Ini ditengarai hasil dari keputusan sang sutradara untuk membingkainya dengan gaya tutur bercabang yang mesti diakui beresiko tinggi. Penonton diminta untuk mencerna kisah dari tiga sudut pandang berbeda yang acapkali terasa membingungkan lantaran peralihan antar narasi tidak diberi penanda yang jelas sekaligus terasa melelahkan akibat adanya sederet adegan repetitif tanpa urgensi dan emosi. Apabila kamu sama sekali tidak familiar dengan peristiwa Evakuasi Dunkirk, sangat disarankan untuk menggali informasinya terlebih dahulu sebelum menonton atau kamu akan kian kebingungan di dalam bioskop karena film memang enggan menyediakan banyak penghantar. Disamping itu, Nolan juga memutuskan memilih untuk lebih memberi penekanan pada suasana ketimbang rasa yang menyebabkan lantunan narasi kian menantang buat disimak. Betapa tidak, penonton hanya diberi sedikit kesempatan untuk memiliki ikatan dengan barisan karakter yang ada dalam film. 

Jangan berharap kamu akan memperoleh penokohan memadai dari Tommy, Gibson, Alex, Pak Dawson, Peter, George, apalagi para petarung udara. Mereka tidak ubahnya para figuran dalam film, kecuali mereka mempunyai jatah tampil lebih banyak dan diperankan aktor-aktor ternama dengan kualitas akting mumpuni termasuk Cillian Murphy yang menciptakan ‘drama’ di atas kapal Pak Dawson. Ketidaksanggupan untuk berakrab ria dengan karakter inti (hmmm... mungkin hanya George yang bisa membuat kita sedikit peduli) berdampak munculnya ketidakpedulian atas nasib mereka. Karena tidak mengenal, tidak ada rasa peduli, maka situasi yang mengepung mereka pun kurang memberi daya sentak seperti semestinya. Andai Nolan mempersilahkan film dibubuhi lebih banyak rasa dibalik tema besarnya mengenai ‘kepahlawanan dan kemanusiaan’ tanpa harus menahan-nahan emosi, bisa jadi Dunkirk akan lebih membekas dan montase di ujung film bakal mengendap lama dalam benak. Jika niat si pembuat film adalah agar Dunkirk tetap tersaji realistis, ‘bersihnya’ medan pertempuran tentu susah dimaklumi. Tanpa ada darah, intensitas film tereduksi. Memang masih mencekam, tapi kalau mesti dibandingkan dengan film berlatar Perang Dunia II lain seperti Saving Private Ryan atau Hacksaw Ridge, teror dalam Dunkirk tidaklah seberapa. Itulah mengapa sulit bagi saya untuk mendaulat Dunkirk sebagai film tentang Perang Dunia II terbaik yang pernah dibuat atau karya paling gemilang dari seorang Christopher Nolan. Bagus sih, hanya saja tidak istimewa.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1G60F

Exceeds Expectations (3,5/5)


Friday, 21 July 2017

REVIEW : THE DOLL 2


“Aku rasa Kayla belum benar-benar pergi. Dia masih ada di sekitar kita.” 

Dibalik suka cita menyambut laris manisnya dua film horor tanah air tahun ini bak kacang goreng, Danur: I Can See Ghost dan Jailangkung, tertinggal pula gundah gulana – setidaknya bagi saya. Betapa tidak, antisipasi begitu tinggi terhadap judul-judul tersebut, ditambah The Curse yang juga tampak menjanjikan pada mulanya, dibayar oleh kekecewaan teramat sangat. Tatkala lampu bioskop dinyalakan, lalu pintu pun dibuka oleh salah seorang staf, muncul hasrat menggebu-nggebu untuk buru-buru meninggalkan tempat pertunjukkan. Bukan karena dibuatkan ketakutan, melainkan sudah jenuh bercampur bete sampai-sampai ingin menghirup udara segar dengan harapan stres dapat terhempas manja. Duh. Mengalami keapesan sebanyak tiga kali secara berurutan tentu saja bikin jera dalam menanti film memedi lokal berikutnya. Pengecualian untuk Pengabdi Setan yang masih menunjukkan adanya harapan, rentetan judul lain tak lagi terdengar menggairahkan buat disimak termasuk The Doll 2. Jilid pendahulunya memang terhitung mendingan dibanding film-film rilisan Hitmaker Studios yang lain, namun tetap belum bisa pula dikategorikan sebagai tontonan menyeramkan apalagi bagus. Itulah mengapa akhirnya diri ini enggan untuk memboyong ekspektasi apapun ketika menonton The Doll 2 yang lantas malah menghadiahi suatu kejutan cukup manis dalam pengalaman menonton saya. 

Bagi kamu yang belum pernah menonton seri pertama The Doll, tidak perlu khawatir bakal tersesat dalam guliran pengisahan yang ditawarkan oleh The Doll 2. Keterkaitan antara dua judul ini sebatas pada karakter bernama Laras (Sara Wijayanto) yang bertugas untuk membersihkan rumah tangga pasangan-pasangan muda dari campur tangan makhluk halus yang belum bisa beristirahat dengan tenang. Pasangan muda yang membutuhkan bantuan Laras dalam seri kedua adalah Maira (Luna Maya) dan Aldo (Herjunot Ali). Persinggungan keduanya dengan lelembut dimulai beberapa bulan selepas putri tunggal kesayangan mereka, Kayla (Shofia Shireen), tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Mengalami duka amat mendalam ditinggal buah hati, Maira kerap merasa Kayla masih berada di sekitarnya. Demi menenangkan Maira, sang sahabat, Elsa (Maria Sabta), mengajaknya untuk melakukan pemanggilan arwah menggunakan medium boneka kesayangan Kayla, Sabrina, yang sejujurnya cenderung aneh ketimbang lucu. Setelah suatu percobaan, mereka merasa pemanggilan arwah ini tidak berhasil dan meninggalkannya begitu saja. Yang tidak diketahui baik oleh Maira maupun Elsa, arwah Kayla telah menyanggupi untuk hadir dan bersedia untuk mengajak sang ibunda bermain-main lagi. Yang juga tidak mereka ketahui, arwah Kayla ternyata tak ingin sekadar bermain tetapi juga menuntaskan sebuah urusan yang belum terselesaikan. 


Kejutan yang didapat saat menyaksikan The Doll 2 di layar lebar adalah betapa mengasyikkannya film arahan Rocky Soraya ini. Mengingat standar yang telah ditetapkan untuk film horor dalam negeri pada tahun ini terhitung sangat rendah, tentu mudah saja memproklamirkan The Doll 2 sebagai film seram terbaik sejauh ini di tahun 2017. Sebenarnya sih tidak seram-seram amat lantaran banyak diantaranya masih terlalu bergantung pada jump scares dengan iringan skoring berisik yang tidak pada tempatnya meski sekali ini permainan pada atmosfernya lebih ditekankan, hanya saja The Doll 2 mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai Danur, Jailangkung, maupun instalmen pertamanya yakni keasyikkan yang bisa dijumpai di beberapa titik. Ya, film telah mencuri atensi sedari prolognya yang menghentak dan tidak main-main dalam mengumbar kebrutalan. Intensitasnya yang tinggi cukup untuk mengusik kepenasaran penonton dalam mengetahui apa yang hendak ditawarkan oleh The Doll 2 di menit-menit selanjutnya. Selepas pembantaian dua keluarga, lalu berlanjut pada adegan kecelakaan yang merenggut nyawa Kayla, nada penceritaan melembut. Mengajak penonton memasuki fase duka yang menghinggapi Maira. Keputusan studio dalam mereduksi penampakan tidak perlu untuk kemudian digantikan oleh narasi jelas perlu diapresiasi sekalipun percobaan ini tidak sepenuhnya berhasil pula disebabkan penghantarannya yang kelewat berlarut-larut sehingga berpotensi menjenuhkan penonton kebanyakan dan keberadaan dialog-dialog menggelikan (ehem, Mbak Elsa, Sabrina itu nggak lucu lho!) yang mendistraksi. 

Yang lantas merekatkan mata penonton pada layar di titik ini adalah permainan teknisnya seperti teknik pengambilan gambar yang berkelas premium dan lakon tangguh dari Luna Maya. Dia sanggup memberi suntikan emosi ke film dengan memperlihatkan keterpurukan seorang ibu yang ditinggal pergi buah hatinya secara meyakinkan. Kita bisa terkoneksi pada perasaannya... dan kita pun bertahan. Mengalami naik turun sepanjang babak kedua, intensitas mengalami kemerosotan cukup drastis saat The Doll 2 memberi kelokan konyol pada penceritaan yang melemparkan ingatan ini pada salah satu episode dalam Sinema Pintu Taubat sampai-sampai saya mengantisipasi terdengarnya suara Opick melantunkan salah satu tembang andalannya. Meruntuhkan mood yang telah dibangun susah payah selama perjalanan dengan seketika. Pusing deh, kepala Ken! Menduga film sudah berada di titik terendahnya, The Doll 2 justru bangkit begitu memasuki klimaksnya yang berdarah-darah. Menyerupai jelang konklusi di seri sebelumnya sih, menyerupai juga prolognya. Tapi kalau berhasil tersaji seru dan mengasyikkan, ya nggak ada salahnya kan? Toh sekali ini level kekonyolannya masih bisa ditolerir dan level kebrutalannya berlipat ganda. Kapan lagi coba bisa melihat Luna Maya yang biasanya tampil cantik bertransformasi menjadi ‘psikopat’ yang menemukan kebahagiaannya dengan menusuk-nusuk orang yang dibencinya menggunakan pisau dapur?

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1ys3b

Acceptable (3/5)


Tuesday, 18 July 2017

REVIEW : THE CRUCIFIXION


“Sungguh memuakkan setiap kali tipu daya berlindung dibalik kemuliaan.” 

Diantara setumpuk tema yang bisa dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini sebetulnya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang pintar’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akhirnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya mempunyai kualitas diatas rata-rata seperti The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan tentang eksorsisme adalah The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah kasus nyata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam kasus tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang perempuan usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme. 

Melalui The Crucifixion, Xavier Gens mencoba untuk merekonstruksinya menggunakan pendekatan fiktif. Penonton tidak mengikuti investigasi nyata atas kasus kematian seorang perempuan bernama Adelina Marinescu (Olivia Nita) dari sudut pandang penyelidik sebelum vonis dijatuhkan kepada para tersangka dengan sesekali menengok ke masa-masa saat Adelina masih ‘bersih’, melainkan selepas sang pastor dijebloskan ke penjara. Yang mencoba memperoleh kebenaran dari peristiwa Tanacu adalah seorang reporter tanpa iman asal New York, Nicole Rawlins (Sophie Cookson). Telah sedari awal meyakini bahwa sang pastor merupakan psikopat dan praktik yang dijalankannya tidak lebih dari ritual sesat, membuat Nicole kesulitan mencerna informasi-informasi ‘ajaib’ yang diperolehnya dari teman baik Adelina, Vaduva (Brittany Ashworth), dan kakak Adelina, Stefan Marinescu (Ivan Gonzales). Di tengah upayanya menyatukan kepingan-kepingan bukti yang didapatnya, Nicole mendapati sejumlah peristiwa ganjil sulit dijabarkan. Kebingungan, Nicole pun meminta bantuan pada seorang pastor muda, Anton (Corneliu Ulici), yang lantas mengingatkan Nicole untuk meninjau ulang keimanannya. Berkat wejangan-wejangan dari Anton dan situasi ganjil yang sering dihadapinya selama di Romania, perlahan tapi pasti Nicole mulai meyakini bahwa iblis mempunyai andil besar dalam kasus Tanacu.


Sejatinya tidak ada hal benar-benar baru yang coba ditawarkan oleh The Crucifixion. Penyampaian kisahnya sedikit banyak melayangkan ingatan kita pada The Exorcism of Emily Rose yang juga mengajak penonton untuk mengkaji kembali kebenaran dari suatu kasus nyata. Sederet pertanyaan dilontarkan oleh si pembuat film demi menghadirkan beberapa teori untuk kemudian menghasilkan suatu hipotesis. Apakah benar praktik eksorsisme dijalankan sang pastor semata-mata demi melampiaskan hasratnya untuk menyiksa? Apakah benar tindak tanduk nyeleneh Adelina dipantik oleh skizofrenia dan bukan sebab lain? Apakah benar tidak ada campur tangan iblis dibalik segala kejanggalan ini? Ketiga pertanyaan ini berguna pula dalam mengikat atensi penonton sehingga bersedia mengikuti Nicole untuk menyingkap suatu fakta. Usai berbincang-bincang dengan beberapa narasumber, beberapa fakta diperoleh: gereja menentang praktik eksorsisme yang dilakoni Pastor Dimitru karena dianggap sesat, kondisi kejiwaan Adelina tidak stabil usai kena tipu-tipu dari pria Jerman yang memintanya untuk merelakan keperawannya, dan iblis itu memang nyata adanya. Materi yang sungguh menjanjikan buat diolah, bukan? Sayangnya Xavier Gens agak kelimpungan dalam mengolahnya yang berdampak pada guliran pengisahan terhidang mentah dan ada kalanya menjemukan. Tidak menggugah selera penonton untuk mencicipinya. 

Dua elemen yang turut berkontribusi terhadap hasil akhir The Crucifixion yang kurang greget, naskah dan akting. Duo Chad Hayes dan Carey Hayes selaku penulis skrip terlalu fokus pada penjlentrehan proses investigasi sampai-sampai mengabaikan perkembangan karakter Nicole. Alhasil, sosoknya pun menjelma menjadi karakter satu dimensi yang sulit diberikan simpati. Performa lempeng Sophie Cookson dengan intonasi pada pengucapan dialog yang juga monoton jelas sama sekali tidak membantu. Lakon terbaik dalam film – seperti film eksorsisme pada umumnya – berasal dari si perempuan yang kesurupan, Olivia Nita. Dari karakter yang dimainkannya, Adelina, penonton peroleh kengerian. Berbincang mengenai kengerian dan urusan menakut-nakuti yang mana inti dari suatu film horor, The Crucifixion tergolong tidak buruk. Malah boleh dikata cukup berhasil. Sebagian besar diantaranya sih telah diobral dalam trailer (sebaiknya kamu tengok usai menonton saja, khusus melihat adegan ‘semut’ yang dipangkas gunting sensor), namun masih cukup efektif untuk membuatmu beberapa kali terlonjak dari kursi bioskop. Bulu kuduk juga acapkali meremang saat Nicole menghabiskan waktunya seorang diri di kamar hotel. Entah saat dia berselancar di dunia maya, berada di kamar mandi, atau beristirahat. Terasa ada sesuatu yang salah di sekitarnya seolah-olah ada yang mengawasi. Kemampuan The Crucifixion dalam menghadirkan ketidaknyamanan pada penontonnya ini sedikit banyak mengampuni lemasnya sektor lain. Paling tidak, para pecinta film horor yang datang ke bioskop dengan harapan untuk ditakut-takuti tidak mendapatkan sajian lempeng.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1lzoN

Acceptable (2,5/5)


Sunday, 16 July 2017

REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

Menggantikan David Hasselhoff untuk memerankan Mitch Buchannon dalam versi film adalah Dwayne Johnson. Bersama dengan Stephanie Holden (Ilfenesh Hadera), C.J. Parker (Kelly Rohrbach) dan rekan-rekannya dalam divisi elit penjaga pantai bernama Baywatch, Mitch bertugas untuk menjaga situasi di Emerald Bay, Florida, agar senantiasa kondusif sehingga para pengunjung yang menghabiskan liburannya di pantai tersebut tidak perlu mencemaskan apapun. Demi menambah personil Baywatch yang terus datang dan pergi seiring berjalannya waktu, Mitch beserta tim pun menggelar uji coba. Diikuti puluhan peserta, tiga anggota baru yang akhirnya terpilih di ujung hari antara lain Summer Quinn (Alexandra Daddario) yang cerdas, Ronnie (Jon Bass) yang bertekad baja, dan mantan atlet Olimpiade cabang renang yang karinya berakhir usai suatu insiden memalukan, Matt Brody (Zac Efron). Keterlibatan Matt dalam tim yang dilandasi keterpaksaan dan sikapnya yang cenderung semau gue memicu mencuatnya gesekan-gesekan diantara sesama anggota tim utamanya Mitch dan Summer. Namun konflik internal ini mau tak mau terpaksa dipinggirkan tatkala Mitch mengendus ada sesuatu yang tidak beres di Emerald Bay selepas menemukan bungkusan kecil berisi obat-obatan terlarang. Pengusutan demi pengusutan yang dilakukan Baywatch lantas menuntun mereka pada seorang pebisnis bernama Victoria Leeds (Priyanka Chopra) yang tengah berencana mengekspansi bisnisnya dengan cara kotor.


Menonton Baywatch di bioskop sudah barang tentu tidak mengharap apa-apa selain kesenangan yang adiktif. Sang sutradara, Seth Gordon (Horrible Bosses, Identity Thief), sanggup memenuhi itu setidaknya di separuh awal durasi. Lawakan-lawakannya yang dibaluri referensi ke budaya populer seperti saat Mitch memanggil Matt dengan nama-nama julukan (dari boyband sampai High School Musical!) atau olok-olok terhadap elemen-elemen absurd dari versi serial televisinya terhitung cukup ampuh dalam menggelitik saraf tawa. Levelnya sih memang sebatas bikin tertawa-tawa kecil saja tak sampai bikin tergelak-gelak hebat, tapi bagaimanapun juga tawa tetaplah tawa, bukan? Disamping suntikan humor pekat, hiburan yang diperoleh penonton di babak awal adalah gulali-gulali manis bagi mata. Atau dengan kata lain, pemandangan yang menjadi ciri khas dari Baywatch: perempuan bertubuh seksi dengan bikini ketat yang berlari-lari di pantai dalam gerakan amat lambat serta laki-laki dengan perut serata papan cucian yang hampir sepanjang waktu menanggalkan bajunya. Untuk sesaat, Baywatch sedikit banyak memenuhi ekspektasi dari para penontonnya sampai kemudian kita menyadari bahwa durasinya kelewat panjang untuk sebuah film yang konfliknya klise dan tidak lebih rumit dari satu episode serial televisi ini. Alhasil begitu memasuki pertengahan film, laju pengisahan Baywatch serasa diulur-ulur. 

Daya bunuh humornya pun ikut mengendor seiring terlampau sering dilontarkannya lawakan-lawakan ekstrim yang malah berakhir menjijikan ketimbang lucu. Mungkin hanya saya saja atau ada juga yang menganggap adegan Mitch meraba-raba selangkangan mayat laki-laki di kamar mayat itu mengundang rasa geli-geli mengusik kenyamanan? Kenyamanan dalam menonton Baywatch memang semakin menurun di paruh kedua terlebih kegaringan humornya mulai menandingi kulit ayam goreng kaepci dan rentetan laga yang muncul tak memberi impak apapun. Tak memberi sensasi harap-harap cemas atau sekadar bersemangat yang semestinya ada. Yang kemudian membuat Baywatch tetap mengapung alih-alih tenggelam hingga ke dasar samudera sampai bloopers di sela-sela credit title nongol adalah performa pemainnya. Maksud saya, performa Dwayne Johnson dan Priyanka Chopra – pemain lainnya seolah hanya dimanfaatkan sebagai tim hore, apalagi cameo dari Hasselhoff dan Anderson. Dwayne mempunyai karisma kuat sebagai jagoan yang mudah disukai dengan comic timing yang jitu pula sementara Priyanka memancarkan aura seduktif, intimidatif, dan berbahaya di saat bersamaan. Keberadaan mereka sangat membantu dalam menyalurkan energi positif ke film maka saat keduanya rehat sejenak untuk memberi kesempatan bagi tim hore beraksi, Baywatch ikut melemas. Untungnya Gordon menyadari hal tersebut sehingga potensi keduanya sebisa mungkin dimaksimalkan yang pada akhirnya membuat Baywatch masih dapat terhidang sebagai tontonan yang bisa dinikmati di kala (amat sangat) senggang.

Acceptable (2,5/5)


Tuesday, 11 July 2017

REVIEW : DESPICABLE ME 3


“Face it, Gru. Villainy is in your blood!” 

Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah? 

Dalam Despicable Me 3, Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era 80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt (Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy – dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja – yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua penjahat berbahaya. 


Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur. Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton – utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis. 

Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3 adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini, bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka. Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3 terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson, Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.

Acceptable (3/5)


Sunday, 9 July 2017

REVIEW : FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY


“Ada satu filosofi yang tidak pernah ditulis tapi selalu ada di setiap cangkir yang dibuat di kedai ini. Setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa.” 

Sebagian besar penonton yang menjadi saksi atas jatuh bangunnya dua sohib kental merangkap rekan bisnis, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto), dalam menyelamatkan bisnis kedai kopi yang mereka kelola di Filosofi Kopi (2015) arahan Angga Dwimas Sasongko mungkin beranggapan bahwa keputusan keduanya untuk mengkreasi kedai keliling menggunakan kombi adalah solusi terbaik dalam menyelesaikan sederet problematika sekaligus mengakhiri kisah perjuangan mereka. Kemungkinan film akan berlanjut ke jilid kedua: hampir mustahil. Mengingat gelaran konflik di film keluaran Visinema Pictures ini sejatinya dikembangkan dari cerita pendek dengan tuturan sederhana saja rekaan Dewi ‘Dee’ Lestari, tentu anggapan ini terasa wajar. Mudahnya, apa lagi sih yang hendak dicelotehkan apabila film dibuatkan seri kelanjutannya? Tatkala penonton meyakini Ben dan Jody telah memperoleh ‘happily ever after’ yang mereka idamkan, tidak demikian halnya dengan Angga beserta tim kreatifnya. Masih ada banyak hal yang bisa dikulik dari perjalanan dua sahabat ini bersama kedai Filosofi Kopi termasuk bagaimana dampak atas langkah besar yang mereka ambil di penghujung film. Melalui Filosofi Kopi 2: Ben & Jody yang berhasil tersaji sebagai tontonan lucu, emosional, sekaligus hangat, Angga membuktikan bahwa keputusan untuk membuatkan sekuel nyatanya tepat adanya. 

Berlatar dua tahun selepas penutup film sebelumnya, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody mengawali langkahnya dengan menyoroti kesibukan duo Ben dan Jody beserta para pegawai setia Filosofi Kopi; Nana (Westny DJ), Aldi (Aufa Assegaf), dan Aga (Muhhamad Aga), dalam membagikan kopi-kopi terbaik racikan mereka ke para penikmat kopi di berbagai penjuru Indonesia. Mereka berkelana dari satu kota ke kota lainnya menggunakan kombi yang disulap menjadi kedai keliling. Perjalanan dengan misi mengenalkan masyarakat pada kopi dari biji-biji berkualitas hasil panenan petani nusantara yang mulanya berjalan mulus-mulus saja ini lantas terpaksa dihentikan ketika satu persatu personil Filosofi Kopi cabut dan hanya menyisakan dua pendirinya. Dalam keresahan, Ben melontarkan gagasan untuk kembali ke Jakarta lalu membangun kembali kedai dari awal. 

Gagasan yang sepintas mudah saja sampai kemudian mereka menghadapi kenyataan bahwa harga untuk membeli kembali kios kosong yang dulunya ditempati Filosofi Kopi telah melonjak drastis. Butuh investor berkocek tebal agar impian Ben dan Jody dapat terealisasi. Keduanya pun berburu investor kesana kemari yang bukan juga perkara mudah sampai kemudian seorang pengusaha muda bernama Tarra (Luna Maya) menyatakan kesanggupannya untuk menanamkan modal di kedai Filosofi Kopi. Keberadaan Tara beserta barista profesional rekrutan Jody, Brie (Nadine Alexandra), lantas memberikan warna baru bagi kedai kopi ini sekaligus menguji persahabatan Ben dengan Jody yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 

Bukan perkara sepele mengulang pencapaian dari Filosofi Kopi jilid awal. Apabila diibaratkan jenis kopi racikan Ben, maka film tersebut adalah perfecto. Standar yang ditetapkannya telah terhitung tinggi, nyaris mencapai kesempurnaan di setiap lininya. Sang ‘pemilik kedai’ sanggup mentranslasi secara apik prosa gubahan Dee Lestari yang umumnya berakhir tragis saat dialihrupakan ke medium audio visual. Mereka paham betul bahwa kunci kesuksesan suatu ‘kedai kopi’ bukan semata-mata bergantung pada kopi bercita rasa kuat beserta kudapan lezatnya tetapi juga pengalaman yang dihadirkannya sehingga pelanggan betah berlama-lama untuk nongki-nongki cantik lalu berkenan kembali berkunjung di lain kesempatan. 

Tantangan baru muncul tatkala si pemilik kedai menggagas rencana untuk berekspansi dan menciptakan cabang. Sukar dipungkiri, khalayak ramai akan mematok ekspektasi tinggi berdasar pengalaman yang diperoleh dari kedai terdahulu. Apabila mampu menyuguhkan sajian berkualitas setara – atau malah melampaui – tantangan telah tertaklukkan. Publik mungkin akan menerima dengan tangan terbuka. Namun jika kemerosotan yang didapat publik, sinyal tanda bahaya seketika meraung-raung. Filosofi Kopi 2: Ben & Jody adalah cabang baru yang dihadapkan pada dua kemungkinan tersebut; berhasil atau tidak. Bahan-bahan berkualitas premium telah berada dalam genggaman, tinggal menunggu eksekusi dari si empunya kedai. 


Dalam Filosofi Kopi 2: Ben & Jody, si empunya kedai, Angga Dwimas Sasongko, seolah-olah tidak memanggul beban berat untuk mengulang kejayaan seri terdahulu yang peroleh puja-puji dari beragam pihak. Kapabilitasnya sebagai salah satu pencerita ulung di perfilman tanah air kian dimantapkan di sini. Dia sanggup menggulirkan kisah yang dijumput dari ide dua pemenang sayembara dengan santai, ringan, serta lancar. Atau dengan kata lain, mengalir secara organik. Penonton yang semula memandang skeptis sekuel ini, boleh jadi akan berubah pikiran hanya beberapa menit setelah film memulai durasinya. Filosofi Kopi 2: Ben & Jody menunjukkan urgensi dan kompleksitasnya sebagai sebuah film kelanjutan tanpa kehilangan sisi menghiburnya. Angga berhasil meyakinkan bahwa sekuel ini memang diperlukan. Dari jilid kedua ini, penonton mendapati konsep bisnis yang kelewat out of the box dari duo Ben-Jody tak berjalan sesuai ekspektasi – jalur konvensional masihlah pilihan yang tepat untuk menjalankan bisnis kedai kopi – dan bagaimana kedai Filosofi Kopi berpengaruh kuat terhadap kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya. 

Ya, seperti halnya film pertama, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody pun bukan sebatas berbicara tentang nikmatnya menyesap kopi melainkan turut mengulik sekumpulan anak Adam yang mencoba berdamai dengan realita dan masa lalu pahit. Yang kemudian membedakannya, seri kedua ini tidak terlalu banyak mengajak penonton mengulik lebih jauh perihal kopi (tapi jangan risau, kamu masih mendapati beragam informasi berharga mengenainya) melainkan sesuai subjudul yang dipergunakan, lebih memberi penekanan pada relasi antar karakter dan intrik yang mengikat mereka. Penonton mendapat kesempatan untuk mengenal lebih baik sosok Ben dan Jody. 

Rentetan persoalan yang dihadapi Ben-Jody pada dasarnya tidak berbeda jauh dari sebelumnya yang bukan saja berkenaan dengan kedai atau cuan tetapi juga soal ego, duka, luka, dan wanita. Hanya saja, kali ini taruhannya lebih besar karena bersinggungan dengan kepercayaan yang dipupuk menahun dan kelangsungan bisnis yang sudah susah payah dibangun kembali. Kita telah meyakini Ben-Jody adalah sahabat sejati yang tumbuh bersama sedari usia belia di jilid pertama dan fungsi dari seri kedua yakni mengafirmasinya dengan memberi sorotan lebih pada unsur bromance yang tersaji lucu pula hangat. Maka begitu badai besar menerjang, penonton tentu tidak ingin melihat mereka kehilangan satu sama lain. Bukankah memilukan sekadar untuk membayangkan persahabatan Ben-Jody berada di ujung tanduk? Dua karakter perempuan baru, Tarra dan Brie, bertanggung jawab atas terpeciknya gesekan-gesekan yang lantas melahirkan beberapa momen emosional yang memancing air mata dalam film. Selaiknya El (Julie Estelle) dari film pertama, Tarra dan Brie adalah implementasi dari perempuan mandiri, cerdas, dan berani yang mempunyai kontribusi krusial ke pergerakan kisah ketimbang sekadar difungsikan untuk mempermanis layar. 

Dalam melakonkan kedua tokoh anyar ini, Luna Maya beserta Nadine Alexandra sanggup menanganinya dengan amat baik dan melebur mulus bersama Chicco Jerikho dan Rio Dewanto yang menghadirkan chemistry fantastis. Kejeniusan keempat pemain dalam menginterpretasi peran masing-masing yang penuh dinamika merupakan lokomotif penggerak Filosofi Kopi 2: Ben & Jody dan mampu bersinergi hebat dengan pengarahan telaten Angga Dwimas Sasongko, naskah padat berisi racikan Jenny Jusuf dan M. Irfan Ramly, hingga iringan lagu dan musik cantik dengan penempatan sesuai. Berkat kombinasi maut ini, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody berhasil terhidang sebagai sebuah sajian yang tidak saja memiliki rasa tetapi juga memiliki nyawa. Dan itu berarti, ini adalah cabang yang behasil. Bagus!

Outstanding (4/5)


Thursday, 6 July 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)


Wednesday, 5 July 2017

REVIEW : OKJA


“The Mexicans love the feet. I know. Go figure. We all love the face and the anus, as American as apple pie. Hot dogs. It's all edible. All edible, except the squeal.” 

Ada kabar gembira bagi para pecinta sinema dunia. Salah sutradara terkemuka di Korea Selatan, Bong Joon-ho (The Host, Mother), telah keluar dari pertapaannya dan mempersembahkan sebuah tontonan yang sekali lagi akan mengusik emosi beserta pikiranmu di saat bersamaan bertajuk Okja. Menjadi film berskala internasional Bong Joon-ho yang kedua seusai Snowpiercer (2013) yang merupakan sebentuk sentilan terhadap stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat modern, Okja yang memperoleh suntikan pendanaan sebesar $50 juta dan diproduksi oleh Netflix sehingga memungkinkannya untuk dikonsumsi khalayak ramai dari berbagai penjuru dunia secara bersamaan melalui gawai personal masing-masing ini menghadirkan barisan pemain bernama besar seperti Tilda Swinton, Jake Gyllenhaal, Paul Dano, Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, dan Lily Collins. Mereka beradu peran bersama Ahn Seo-hyun, Byun Hee-bong, Yoon Je-moon, beserta Choi Woo-shik yang mewakili kubu Korea Selatan dan telah dikenal baik di negaranya. Seperti halnya film-film terdahulu dari sang sutradara, Okja pun masih bermain-main di ranah satir dibalik kemasannya sebagai tontonan blockbuster bergenre action-adventure dengan sentilan utamanya kali ini menyinggung perihal kapitalisme, konsumerisme, hingga politik pencitraan. 

Protagonis utama dalam Okja adalah seorang gadis yatim piatu berusia 14 tahun bernama Mija (Ahn Seo-hyun) yang tinggal bersama sang kakek (Byun Hee-bong) dan hewan peliharaan raksasanya yang menyerupai percampuran babi-anjing-kuda nil,  Okja, di suatu pedesaan Korea Selatan yang tenang nan terpencil. Kehidupan keluarga kecil yang damai sentosa ini lantas terusik tatkala Mija mendapati bahwa Okja adalah properti milik Mirando Corporation – sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pangan – dan perusahaan tersebut meminta Okja dikembalikan setelah 10 tahun ‘dipinjamkan’ untuk diberi perawatan alami. Sang hewan yang merupakan hasil dari mutasi genetik adalah bagian dari rencana besar Lucy Mirando (Tilda Swinton), CEO Mirando Corporation, untuk memulihkan nama baik perusahaan yang selama ini tercoreng. Tidak terima sahabatnya yang penuh perhatian direnggut paksa darinya, Mija pun nekat menempuh perjalanan seorang diri menuju Seoul guna merebut kembali Okja. Dalam perjalanannya, Mija mendapat bantuan dari Front Pembebasan Hewan yang dipimpin oleh Jay (Paul Dano) yang berniat membongkar kebusukan-kebusukan Mirando Corporation sekaligus hambatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam tubuh perusahaan sehingga upaya untuk menyelamatkan Okja tidak begitu saja berlangsung mudah.


Jangan terkecoh pada sinopsis Okja yang memberikan kesan kuat bahwa film ini dapat ditonton beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga seperti (katakanlah) E.T. garapan Steven Spielberg. Jangan terkecoh pula pada belasan menit pertama Okja yang memberikan kesan menipu lainnya seolah-olah penonton tengah menonton salah satu versi live action untuk film animasi produksi Studio Ghibli. Okja, kenyataannya, bukanlah sebuah tontonan yang ramah bagi penonton cilik sekalipun karakter utamanya adalah seorang gadis berusia belasan tahun dan seekor hewan mutan yang sungguh menggemaskan. Pidato sambutan dari Lucy Mirando di awal mula yang berfungsi menjabarkan tentang latar belakang film – menjabarkan mengenai bagaimana babi mutan ditemukan, rencana untuk mengembangbiakkannya, dan manfaatnya bagi peradaban manusia – telah sedikit banyak menyiratkan bahwa gelaran kisah yang hendak disampaikan oleh Bong Joon-ho masihlah kompleks. Dalam artian, well, ini bukanlah film anak-anak yang penuh dengan keajaiban dan kegembiraan selaiknya tampak luar. Seperti telah disinggung sekelumit sebelumnya, Okja melemparkan topik obrolan seputar pengaplikasian sistem kapitalisme yang kejam, budaya konsumerisme yang merusak, beserta pemelintiran fakta dengan mendayagunakan media demi menciptakan citra sepatutnya bagi korporasi. Disamping itu, ada pula penggunaan bahasa kasar dan muatan kekerasan cukup eksplisit di dalamnya. 

Hmmm... terdengar seperti tontonan yang bermuram durja ya? Tidak juga. Mengira Okja akan dilantunkan dengan nada penceritaan yang depresif dan pesimistis, Bong Joon-ho justru menghadirkan sebaliknya meski paruh akhirnya menuju kesana. Ada kehangatan, lawakan, dan keseruan yang tertuang menjadi satu di dalamnya. Saat film mengambil latar penceritaan di kampung halaman Mija, penonton mendapati hubungan antar makhluk hidup berikut hamparan pemandangan yang menyejukkan mata. Mija dan Okja berjalan-jalan menyusuri hutan bersama, berburu lauk untuk makan malam bersama, lalu tidur siang bersama. Intensitas paling tinggi di belasan menit awal yang bisa kita peroleh yakni tatkala Mija terperosok ke tebing dan sang sahabat berupaya untuk menyelamatkannya. Melalui adegan ini, penonton menyadari bahwa relasi diantara mereka lebih dari sekadar hubungan antara majikan dengan hewan peliharaannya. Mereka adalah keluarga yang saling peduli satu sama lain. Maka begitu keluarga kecil ini didatangi juru bicara Mirando Corporation, Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal), beserta rombongan yang sejurus kemudian membongkar fakta mengenai nasib yang menanti Okja, muncul ketidakrelaan untuk melihatnya pergi dan kita pun memberi dukungan penuh kepada sang protagonis utama dalam menjalankan misi penyelamatan. Membawa Mija ke Seoul, ritme pengisahan yang semula mengalun cenderung tenang seketika berdentum hebat dimulai dari menerobos masuk kantor Mirando cabang Korea Selatan, disusul kejar-kejaran seru yang menciptakan kekacauan besar di suatu pertokoan, dan diakhiri ‘serangan tai’. 

Okja sendiri terdiri dari tiga fase yang masing-masing merepresentasikan nada pengisahan berbeda satu sama lain; pedesaan mewakili ketenangan, perkotaan di Seoul mewakili kekacauan/kesenangan, dan perkotaan di New York mewakili kemuraman. Ya, Okja kembali mengganti ‘warna kulitnya’ ketika penonton mendapati nasib yang menanti si babi mutan raksasa. Paruh akhir film ditampilkan oleh si pembuat film dalam nuansa kelam pula menyesakkan dada yang akan mengusik emosimu sedemikian rupa. Mengusik kebiasaanmu dalam mengonsumsi daging. Kecakapan Bong Joon-ho dalam membolak-balik emosi ini tentu akan berakhir tanpa arti apabila tidak memperoleh dukungan dari pemain ansambelnya yang menunjukkan performa nyaris tanpa cela. Ahn Seo-hyun mengomando dalam setiap kemunculannya dengan mempertontonkan akting konsisten sebagai bocah pemberani yang bertekad untuk membawa pulang anggota keluarganya, lalu Tilda Swinton membawakan peran ala Cruella de Vil dari 101 Dalmatians yang mengombinasikan antara kebengisan mengintimidasi dengan kerapuhan sehingga sosoknya tetap terlihat manusiawi, kemudian Paul Dano yang kalem namun menyimpan ambiguitas dalam karakternya, dan Jake Gyllenhaal yang memberi penampilan berbeda melalui karakter eksentriknya. 

Disamping mereka, masih ada pula Shirley Henderson, Giancarlo Esposito, Steven Yeun, beserta Byun Hee-bong yang turut berkontribusi dalam memperkokoh Okja yang sejatinya telah berdiri dengan kokoh sebagai suatu tontonan satir yang terbungkus lucu, seru, sekaligus menyesakkan dada. Bagus!

Note: Ada sebuah post credits-scene yang terletak di penghujung durasi.

Outstanding (4/5)