This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 31 December 2017

20 FILM INDONESIA TERBAIK 2017 VERSI CINETARIZ


Menyusun daftar film Indonesia terbaik 2017 ini menyadarkan saya pada satu hal. Ternyata, cukup banyak film Indonesia yang mempunyai kualitas diatas rata-rata dalam setahun terakhir. Jika biasanya saya menyusun senarai 15 besar bagi film nasional tanpa mengalami kesulitan berarti, maka sekali ini membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk menyortirnya sampai akhirnya diputuskan mengekspansi daftar menjadi 20 besar (dari rencana semula hanya terhenti di 15 besar)… dan itupun mesti merelakan beberapa judul untuk ditendang. Yang membahagiakan, menggelembungnya kuantitas film-film Indonesia berkualitas di tahun 2017 turut dibarengi oleh makin beragamnya tema yang ditawarkan. 

Beberapa sineas tampak sudah mulai berani menghadirkan tontonan beride segar seperti contohnya Night Bus yang mengusung genre thriller dengan latar area konflik (dan hampir sepanjang durasi berlangsung di dalam bis), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang membicarakan isu jender di Indonesia Timur dengan pendekatan a la western movies, sampai Ziarah yang menawarkan road movie dengan gaya berbeda – menempatkan seorang nenek yang mencari cinta sejatinya sebagai poros utama kisah. Disamping peningkatan kualitas dan keberagaman tema, angka perolehan penonton untuk film Indonesia di tahun 2017 pun mengalami peningkatan. 

Hingga tulisan ini diturunkan, tercatat setidaknya 10 judul film berhasil menembus angka 1 juta penonton – atau setara dengan pencapaian tahun lalu bahkan ada kemungkinan bertambah – dan total penonton yang berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop guna menyaksikan film Indonesia rilisan 2017 telah mendekati angka 40 juta. Ini berarti, meningkat dari tahun lalu yang berhasil mengumpulkan 34,5 juta penonton. Sungguh luar biasa. Semoga saja pencapaian gemilang yang ditorehkan perfilman Indonesia pada tahun 2017 ini kembali berlanjut (kalau perlu, kian berkembang) di tahun-tahun berikutnya. Mari kita ucapkan “Amin!” bersama-sama, saudara-saudara. 

Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, inilah 20 film Indonesia terbaik yang dirilis sepanjang tahun 2017 versi Cinetariz, dengan terlebih dahulu menengok honorable mentions

HONORABLE MENTIONS

# 5 Cowok Jagoan


# Mata Batin


# Moammar Emka's Jakarta Undercover


# Naura dan Genk Juara


# Si Juki the Movie



TOP 20

#20 Susah Sinyal


Tidak sebaik Ngenest maupun Cek Toko Sebelah dalam hal bermain-main di ranah dramatik, Susah Sinyal garapan Ernest Prakasa masih berhasil menghadirkan tontonan menghibur kala liburan melalui rentetan momen komediknya yang cukup sering mengenai sasaran. Trio reporter dengan pertanyaan ajaib, cicik-cicik ceriwis, staf hotel konyol dan asisten rumah tangga ajaib adalah penyumbang gelak tawa terbesar di film yang bisa jadi akan membuatmu tergerak untuk berlibur ke Sumba ini. 


#19 Buka'an 8


Kesenangan yang dipenuhi gelak tawa telah membayangi penonton semenjak beberapa menit usai Buka’an 8 mengawali langkahnya. Dalam berkelakar, Angga Dwimas Sasongko banyak mengandalkan situasi kacau beserta sentilan-sentilun ke masyarakat Indonesia masa kini yang berkisar soal kebebasan berbicara yang diartikan kebablasan, kegemaran netizen menciptakan peperangan kata-kata dalam dunia maya, sampai maraknya pemanfaatan agama untuk melancarkan agenda politik. 


#18 Chrisye 


Memulai langkahnya dengan goyah, film biopik dari Chrisye yang mencuplik sepenggal perjalanan karir sang penyanyi legendaris ini setapak demi setapak terus membaik seiring berjalannya durasi. Vino G. Bastian bermain meyakinkan sebagai Chrisye, begitu pula Velove Vexia yang berlakon sebagai sang istri. Chemistry lekat keduanya membantu terciptanya momen emosional jelang tutup durasi utamanya kala Chrisye gelisah dalam menciptakan lagu “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Sebuah biopik yang pantas bagi sang legenda musik tanah air. 

#17 Salawaku 


Melalui Salawaku, Pritagita Arianegara menggugat tindak seksisme yang merebak luas di sekitar kita akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki dengan pendekatan santai. Ada setumpuk humor dilontarkan oleh barisan pelakonnya yang bermain apik dan pasokan gambar membelalakkan mata dari Faozan Rizal yang niscaya akan membuat jiwa petualangmu tergugah seketika untuk menjelajahi Pulau Seram saking mempesonanya pemandangan yang terhampar di layar bioskop. 


#16 Filosofi Kopi 2: Ben & Jody


Filosofi Kopi 2: Ben & Jody menunjukkan urgensi dan kompleksitasnya sebagai sebuah film kelanjutan tanpa kehilangan sisi menghiburnya. Angga Dwimas Sasongko berhasil meyakinkan bahwa sekuel ini memang diperlukan. Seperti halnya film pertama, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody pun bukan sebatas berbicara tentang nikmatnya menyesap kopi melainkan turut mengulik sekumpulan anak Adam yang mencoba berdamai dengan realita dan masa lalu pahit. 


#15 Galih dan Ratna


Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Refal menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya, sedangkan Sheryl membuat sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. 


#14 Night Bus


Perjalanan menaiki bis malam menyusuri area konflik jelas bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan. Akan tetapi dalam penanganan Emil Heradi, mimpi buruk para penumpang bis tersebut mampu disulap menjadi sebuah suguhan menegangkan yang mengikat atensi penonton. Elemen teknis Night Bus memang meninggalkan banyak catatan disana sini, namun kelancaran bercerita dan kemampuan menempatkan penonton dalam fase berdebar-debar membuat kekurangan tersebut dapat dimaafkan. 

#13 Ziarah


Premis yang diusung Ziarah dapat dibilang tergolong unik; seorang perempuan berusia hampir satu abad melakukan perjalanan untuk mencari keberadaan makam sang suami dengan harapan dapat dimakamkan di sebelahnya. Sepanjang film, penonton ikut bertanya-tanya perihal keberadaan suami nenek selama ini. BW Purbanegara mengejawantahkan premis ini menjadi sebuah road movie bersahaja, memikat dan merobek hati yang turut menyinggung tentang kebenaran dibalik cerita sejarah kemerdekaan tanah air. 

#12 My Generation


Apabila ada penghargaan untuk film Indonesia paling berani di tahun 2017, maka saya akan menobatkannya kepada My Generation. Bukan semata-mata soal tuturan kisahnya yang menyodorkan potret kehidupan empat remaja era serba gawai yang penuh dinamika, menjunjung kebebasan, dan kerap disalahpahami, tetapi juga karena keberaniannya memercayakan posisi pemeran utama kepada para pendatang baru. My Generation yang berhasil tampil enerjik dan menyenangkan ini memperkenalkan kita kepada Bryan Langelo, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Arya Vasco yang berpotensi besar memiliki masa depan cerah di perfilman Indonesia. 

#11 Banda the Dark Forgotten Trail


Banda: The Dark Forgotten Trail berceloteh tentang bagaimana situasi Banda selepas diduduki Belanda, bagaimana nasib pala usai perdagangan bebas dihentikan, sampai bagaimana Banda di masa sekarang. Dengan bahan obrolan seberat dan sekompleks ini, nyatanya Banda: The Dark Forgotten Trail tak pernah sekalipun membuat penonton merasa kelelahan sampai terkantuk-kantuk. Justru, menimbulkan keingintahuan lebih besar untuk menelusuri kepingan-kepingan sejarah negeri ini. Mengikat dan memikat. 


#10 Posesif


Edwin menawarkan alternatif bagi penonton yang jenuh dengan kisah percintaan remaja yang serba manis melalui Posesif. Dalam film ini, kita diajak melongok ke sisi kelam sebuah hubungan yang sejatinya jamak dijumpai di kalangan muda mudi. Mulanya sih, Posesif bertutur seperti film romantis pada umumnya kala bunga-bunga asmara diantara dua protagonis mulai bermekaran. Terasa manis. Namun film yang menghadirkan akting ciamik dari Adipati Dolken dan Putri Marino ini perlahan tapi pasti berganti haluan menjadi berdaya cekam tinggi yang seringkali membawa penonton ke dalam fase ‘harap harap cemas’ menyaksikan kisah kasih Lala dan Yudhis. 


#9 Kartini 


Di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. Hanung agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Maka dari itu, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’. Ciptakan pula sensasi megah. 


#8 Bid’ah Cinta


Ketimbang semata-mata membawa penonton pada sajian roman religi mengharu biru yang sarat akan tangis menangis akibat jalan terjal yang harus dilalui protagonisnya dengan elemen religi ditempel sekenanya saja, Bid’ah Cinta justru sodorkan potret nyata, menyentil nan mengusik pikiran atas situasi bermasyarakat di tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang kerap diwarnai perseteruan antar umat Islam dengan warna kelompok berlainan. Nurman Hakim tak bermaksud menyanjung kelompok tertentu lalu menyudutkan kelompok seberang karena film sejatinya hendak mempromosikan pesan mengenai toleransi yang agaknya mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini. 


#7 Critical Eleven


Disamping mempunyai bangunan karakter memikat dan konflik mengikat, kekuatan Critical Eleven turut bersumber dari chemistry intim Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menguarkan kesan kuat bahwa keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Ale maupun Anya. Critical Eleven merupakan sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas dengan begitu manis, hangat, sekaligus emosional. Emosi penonton telah disentuh sedari awal dan momen-momen dramatik dalam film ini secara konstan memberikan guncangan kepada emosi penonton hingga jelang ‘pendaratan’. 

#6 Dear Nathan


Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan hebat mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film percintaan penuh gombalan berlebihan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya. Ini adalah tontonan remaja yang tergarap dengan sangat baik dan mampu mendatangkan gelak tawa, mengundang rasa gregetan serta menghadirkan kehangatan secara organik. Dear Nathan tak saja membuat saya terkenang ke masa-masa SMA yang manis, tetapi juga merupakan kejutan terbesar di perfilman Indonesia pada tahun 2017. 


#5 Turah


Turah mengantarkan penonton memasuki Kampung Tirang di Tegal yang merupakan miniatur Indonesia lengkap dengan segala intrik sosial politik yang melingkunginya. Terdapat penguasa bermulut manis, penjilat oportunis, pemalas bermulut besar, sampai wong cilik yang pasrah menerima keadaan. Sebuah potret kelam negeri ini yang digeber secara jujur, tak pretensius, menyentil, sekaligus memiliki daya pikat kuat oleh sutradara debutan Wicaksono Wisnu Legowo dan disokong performa sangat baik dari para pemainnya – kredit khusus bagi Slamet Ambari sebagai Jadag yang kehadirannya senantiasa membuat penonton gerah karena polahnya yang tak pernah berbanding lurus dengan mulut ceriwisnya. 

#4 Istirahatlah Kata Kata


Dalam memvisualisasikan kisah pelarian Wiji Thukul, Yosep Anggi Noen memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar puitisnya berbicara dengan sendirinya. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam. 


#3 Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak


Tidak ada tembak-tembakan seru dalam film yang dijuluki sebagai ‘satay western’ ini dan sebagai gantinya, terdapat seorang janda yang memenggal kepala seorang perampok dan membawanya berkelana menuju kantor polisi. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dimanfaatkan sebagai wadah bagi Mouly Surya untuk menyalurkan keresahannya terhadap budaya patriarki yang mengekang perempuan serta bobroknya sistem peradilan di Indonesia. Penyampaiannya ringan tanpa perlu membebani pikiran penonton namun tetap menohok sampai ke ulu hati. Bolehlah kiranya menyebut duo Marsha Timothy dan Dea Panendra sebagai perempuan paling badass di perfilman Indonesia tahun 2017 lalu. 

#2 Pengabdi Setan


Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. Gara-gara Pengabdi Setan, sosok Ibu tidak lagi terlihat sama.


#1 Sweet 20


Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali euy. Terbukti, jarang sekali ada remake yang berhasil apalagi jika materi sumbernya sudah terhitung bagus. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah dan meriah!

Wednesday, 6 December 2017

DERETAN NOMINASI DI PIALA MAYA 2017


Piala Maya baru saja mengumumkan deretan nominasi untuk perhelatan tahun ke-6 yang mengusung tema Generasi Now di akun Instagram resmi miliknya pada Selasa (5/12) malam. Sebanyak 24 kategori dikompetisikan untuk film panjang bioskop. Pengabdi Setan arahan Joko Anwar memimpin perolehan nominasi di 16 kategori termasuk Film Terpilih, Sutradara Terpilih, serta Aktris Pendukung Terpilih untuk Ayu Laksmi yang memerankan Ibu.

Menguntit ketat di belakangnya yakni Kartini garapan Hanung Bramantyo yang mendapatkan 15 nominasi beserta Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak arahan Mouly Surya dan Sweet 20 yang diadaptasi dari film Korea Selatan, Miss Granny, yang sama-sama dinominasikan di 13 kategori. Ketiga film tersebut, seperti halnya Pengabdi Setan, berkompetisi di kategori Film Terpilih bersama Cek Toko Sebelah (11 nominasi), My Generation (6 nominasi), Night Bus (5 nominasi), dan Turah (3 nominasi).

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah daftar lengkap peraih nominasi di Piala Maya 2017:

Film Terpilih
  • Cek Toko Sebelah
  • Kartini
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak
  • My Generation
  • Night Bus
  • Pengabdi Setan
  • Sweet 20
  • Turah
Sutradara Terpilih
  • Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah)
  • Hanung Bramantyo (Kartini)
  • Joko Anwar (Pengabdi Setan)
  • Mouly Surya (Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak)
  • Ody C. Harahap (Sweet 20)
Sutradara Berbakat Karya Perdana Terpilih
  • Adink Liwutang (The Underdogs)
  • BW Purbanegara (Ziarah)
  • Jay Subyakto (Banda The Dark Forgotten Trail)
  • Pritagita Arianegara (Salawaku)
  • Wicaksono Wisnu Legowo (Turah)
Aktor Utama Terpilih
  • Adipati Dolken (Posesif)
  • Gunawan Maryanto (Istirahatlah Kata-Kata)
  • Oka Antara (Moammar Emka’s Jakarta Undercover)
  • Reza Rahadian (Critical Eleven)
  • Teuku Rifnu Wikana (Night Bus)
Aktris Utama Terpilih
  • Adinia Wirasti (Critical Eleven)
  • Dian Sastrowardoyo (Kartini)
  • Marissa Anita (Istirahatlah Kata-Kata)
  • Marsha Timothy (Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak)
  • Tatjana Saphira (Sweet 20)
Aktor Pendukung Terpilih
  • Chew Kin Wah (Cek Toko Sebelah)
  • Deddy Sutomo (Kartini)
  • Dion Wiyoko (Cek Toko Sebelah)
  • Ganindra Bimo (Moammar Emka’s Jakarta Undercover)
  • Slamet Rahardjo (Sweet 20)
Aktris Pendukung Terpilih
  • Adinia Wirasti (Cek Toko Sebelah)
  • Ayu Laksmi (Pengabdi Setan)
  • Christine Hakim (Kartini)
  • Djenar Maesa Ayu (Kartini)
  • Niniek L Karim (Sweet 20)
Aktor Pendatang Baru Terpilih
  • Bryan Langelo (My Generation)
  • Giulio Parengkuan (Pertaruhan)
  • Jefri Nichol (Dear Nathan)
  • Refal Hadi (Galih & Ratna)
  • Slamet Ambari (Turah)
Aktris Pendatang Baru Terpilih
  • Dea Panendra (Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak)
  • Estelle Linden (Mereka Yang Tak Terlihat)
  • Ira Ilva Sari (The Doll 2)
  • Luthesa (My Generation)
  • Putri Marino (Posesif)
Aktor/Aktris Cilik/Remaja Terpilih
  • Adyla Rafa Naura Ayu (Naura dan Genk Juara)
  • Mohammad Iqbal Sulaiman (Stip & Pensil)
  • Muhammad Adhiyat (Pengabdi Setan)
  • Nasar Anuz (Pengabdi Setan)
  • Neysa Chandria Melisenda (Kartini)
Penampilan Singkat nan Berkesan Terpilih
  • Agus Kuncoro (Moammar Emka’s Jakarta Undercover)
  • Asri Welas (Cek Toko Sebelah)
  • Joko Anwar (Pengabdi Setan)
  • Tino Saroengallo (Night Bus)
  • Widyawati Sophiaan (Sweet 20)
Skenario Asli Terpilih
  • Bid’ah Cinta (Ben Sohib, Nurman Hakim, Zaim Rofiqi)
  • Cek Toko Sebelah (Ernest Prakasa)
  • Kartini (Hanung Bramantyo, Bagus Bramanti)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, Rama Adi)
  • My Generation (Upi)
Skenario Adaptasi Terpilih
  • Critical Eleven (Jenny Jusuf, Monty Tiwa, Robert Ronny, Ika Natassa)
  • Galih & Ratna (Fathan Todjon, Lucky Kuswandi)
  • Night Bus (Rahabi Mandra, Teuku Rifnu Wikana)
  • Pengabdi Setan (Joko Anwar)
  • Sweet 20 (Upi)
Penyuntingan Gambar Terpilih
  • Banda The Dark Forgotten Trail (Aline Jusria, Cundra Setiabudhi, Syauqi Tuasikal)
  • Cek Toko Sebelah (Cesa David Luckmansyah)
  • Kartini (Wawan I Wibowo)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Kelvin Nugroho)
  • Pengabdi Setan (Arifin Cuunk)
Tata Musik Terpilih
  • Galih & Ratna (Ivan Gojaya)
  • Kartini (Andi Rianto)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Zeke Khaseli, Yudhi Arfani)
  • Pengabdi Setan (Aghi Narottama, Tony Merle, Bemby Gusti)
  • Sweet 20 (Aghi Narottama)
Lagu Tema Terpilih
  • “Berlari Tanpa Kaki” – GAC & The Overtunes, Cek Toko Sebelah
  • “Senyuman dan Harapan” – GAC & The Overtunes, Cek Toko Sebelah
  • “Sekali Lagi” – Isyana Sarasvati, Critical Eleven
  • “Kelam Malam” – The Spouse, Pengabdi Setan
  • “Payung Fantasi” – Tatjana Saphira, Sweet 20
Tata Suara Terpilih
  • Headshot (Ichsan Rachmaditta, Richard Hocks, Fajar Yuskemal, Arya Prayogi)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Yusuf A Patawari, Khikmawan Santosa)
  • Merah Putih Memanggil (Budi W Rungon, David Raines)
  • Pengabdi Setan (Anhar Moha, Khikmawan Santosa)
  • Sweet 20 (Yarria Baharia Safara, Khikmawan Santosa, Mohamad Ikhsan Sungkar)
Tata Kamera Terpilih
  • Banda The Dark Forgotten Trail (Ipung Rachmat Syaiful)
  • Kartini (Faozan Rizal)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Yunus Pasolang)
  • Pengabdi Setan (Ical Tanjung)
  • Posesif (Batara Goempar)
Tata Artistik Terpilih
  • Kartini (Allan Sebastian)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Frans Paat)
  • My Generation (Wencislaus de Rozari)
  • Pengabdi Setan (Allan Sebastian)
  • Sweet 20 (Vida Sylvia)
Tata Efek Khusus Terpilih
  • Gerbang Neraka (Orangeroom CS)
  • Headshot (Andi Novianto)
  • Pengabdi Setan (Finalize Studios)
  • Satria Heroes: Revenge of Darkness (Raiyan Laksmana)
  • Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 (Epicx FX Studios, Andi Wijaya)
Tata Kostum Terpilih
  • Kartini (Retno Ratih Damayanti)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Meutia Pudjowarsito)
  • My Generation (Andhika Dharmaperdana)
  • Pengabdi Setan (Isabelle Patrice)
  • Sweet 20 (Dara Asvia)
Tata Rias Wajah dan Rambut Terpilih
  • Headshot (Kumalasari Tanara)
  • Kartini (Darto Unge)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Didin Syamsudin)
  • Pengabdi Setan (Darwin Tse)
  • Sweet 20 (Novie Ariyanti)
Desain Poster Terpilih
  • Cek Toko Sebelah (Thovfa Endonestuff)
  • Critical Eleven (Jonathan Oh)
  • Kartini (Jonathan Oh)
  • Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Cak Ncop)
  • Petak Umpet Minako (Alvin Hariz)
Video Klip Musik Terpilih
  • “Berlari Tanpa Kaki” – GAC, The Overtunes
  • “Intuisi” – Yura Yunita
  • “Manusia Kuat” – Tulus
  • “Remaja” – Hivi
  • “Surat Cinta Untuk Starla” – Virgoun

Friday, 1 December 2017

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

Karakter utama dalam Coco adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan mempertemukannya dengan para leluhurnya.


Dibandingkan rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 

Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati (penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.

Outstanding (4/5)


Thursday, 19 October 2017

REVIEW : HAPPY DEATH DAY


“Look, I know this isn’t going to make any sense. I feel like I’m losing my mind. I’ve already lived through this day.” 

Rumah produksi Blumhouse Productions tahu betul bagaimana caranya mengolah film berkonsep tinggi dengan bujet murah tanpa harus mengorbankan kualitas dari film bersangkutan. Tengok saja The Purge, Split, serta Get Out yang sanggup memanfaatkan ruang gerak serba terbatas secara efektif sehingga menghasilkan tontonan mencekam yang mencengkram erat. Usai melepas dua judul terakhir pada kuartal pertama tahun ini yang disambut sangat hangat oleh kritikus sekaligus khalayak ramai, Blumhouse kembali mencoba peruntungan di 2017 dengan meluncurkan Happy Death Day yang premisnya saja telah menggelitik rasa kepenasaran saya untuk segera menontonnya. Coba bayangkan, bagaimana seandainya kamu tewas dibunuh di hari ulang tahunmu lalu hari pembunuhanmu tersebut terus berulang dan berulang seolah tak pernah berakhir? Yang pertama kali terlintas di benak saat mendengar premisnya, film arahan Christopher B. Landon (Paranormal Activity: The Marked Ones) ini bagai percampuran antara Groundhog Day (1993) yang mengaplikasikan konsep time loop (satu waktu tertentu yang terus mengalami perulangan) dengan Scream (1996) yang berada di jalur slasher dengan bumbu komedi. Menarik sekali, bukan? Kabar baiknya, Happy Death Day sanggup tampil dalam kapasitas cukup memuaskan dan tidak mempermalukan sumber referensinya. 

Dalam Happy Death Day, kita diperkenalkan kepada seorang mahasiswi populer yang mewakili stereotip “dumb bitch” bernama Tree Gelbman (Jessica Rothe). Pada hari ulang tahunnya yang ke-18, Tree terbangun di kamar asrama seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, Carter Davis (Israel Broussard), tanpa sedikitpun mampu mengingat apa yang telah terjadi di malam sebelumnya. Selepas memberi respon sama sekali tak bersahabat kepada Carter yang ternyata telah membantunya, Tree berlari kembali ke asramanya di klub persaudaraan Kappa Kappa Gamma. Selama perjalanan, Tree dihampiri aktivis penyelamat lingkungan, menyaksikan sepasang kekasih batal bercumbu akibat semprotan air otomatis, berjumpa dengan seorang pria yang naksir berat kepadanya, dicecar pertanyaan oleh ketua klub persaudaraannya, sampai mendapat cupcake ulang tahun dari teman sekamarnya, Lori Spengler (Ruby Modine). Yang lantas dilakukan oleh Tree di sisa hari yakni menemui dosen sekaligus kekasih gelapnya, Gregory Butler (Charles Aitken), dan menghadiri sebuah pesta. Tatkala menuju ke lokasi digelarnya pesta, seseorang dengan topeng bayi menyergapnya kemudian membunuhnya. Alih-alih berpindah ke alam lain, jiwa Tree justru terjebak di hari ulang tahunnya dan terus mengulang kembali apa yang telah dialaminya selama sehari sampai dia mengetahui siapa dalang dibalik kematiannya. 


Happy Death Day telah memberikan pertanda bahwa film ini akan menjadi tontonan yang mengasyikkan semenjak logo Universal muncul dengan gaya tidak biasa mengikuti guliran pengisahan film yang mengaplikasikan konsep time loop: mendadak berhenti setelah satu detik mengalun, lalu diulang lagi dari awal. Dan memang, pertanda tersebut sama sekali tidak berbohong karena Landon sanggup mengemas Happy Death Day menjadi gelaran hiburan yang menyenangkan dengan nuansa yang sedikit banyak membuat saya bernostalgia ke sederet film slasher remaja di era 1990-an seperti Scream, I Know What You Did Last Summer, sampai Urban Legend. Kita diperkenalkan dengan karakter utama perempuan yang cantik, lalu diajak memasuki area kampus dan dipertemukan dengan karakter-karakter sampingan dari berbagai strata sosial (yang semestinya pula kita curigai satu persatu), kemudian sesosok pembunuh yang mengenakan topeng muncul dan pembunuhan pun terjadi. Pembedanya, si pembunuh tidak dikondisikan untuk mengenyahkan karakter-karakter sampingan terlebih dahulu melainkan seketika mengincar si karakter utama yang mulanya sungguh teramat menjengkelkan itu. Mengingat Happy Death Day mempergunakan konsep time loop, maka terbunuhnya Tree untuk pertama kalinya bukanlah akhir dari segalanya akan tetapi justru awal dari rentetan kesialan yang akan dihadapi oleh Tree. 

Momen-momen yang memperlihatkan Tree berhadapan langsung dengan si pembunuh menjadi daya tarik utama film. Landon mampu menginjeksikan intensitas yang mencukupi dan mengkreasi adegan-adegan pembunuhan yang kreatif sehingga tewasnya Tree senantiasa memberi sensasi berdebar-debar kepada penonton sekaligus memancing rasa penasaran karena cara Tree menjumpai ajal yang acapkali berbeda antara satu dengan yang lain. Memang sih sebagai film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Happy Death Day agak sulit dikata menakutkan (maklum, ratingnya di Amerika Utara sendiri hanya PG-13 yang cukup membatasi film untuk hadir dalam tingkat kekerasan dan teror yang lebih tinggi). Namun ketiadaan momen besar yang membuat diri ini meringkuk tampan di kursi bioskop atau mengalami mimpi buruk usai menontonnya, tidak sedikitpun menghalangi Happy Death Day dalam memberi pengalaman menonton yang mengasyikkan. Faktor penyebabnya adalah kemampuan si pembuat film untuk mengkreasi serentetan momen Tree diteror si pembunuh yang tidak saja mencekam tetapi juga mengundang derai tawa serta performa memikat dari Jessica Rothe yang mampu menghadirkan transformasi meyakinkan terhadap sosok Tree sehingga saya tidak merasa keberatan untuk memberi dukungan penuh kepadanya. Saya sempat berada di fase harap-harap cemas menanti apa yang akan menimpanya: akankah dia sanggup melewati hari kematiannya atau malah terperangkap di hari tersebut untuk selamanya.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Saturday, 14 October 2017

REVIEW : ONE FINE DAY


“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.” 

Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia. 

Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.


Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian. 

Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!). 

Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.

Acceptable (2,5/5)


Monday, 9 October 2017

REVIEW : JOMBLO (2017)


“Waktu dapat menghapus luka di hati, tapi kenangan manis akan selalu membekas di hati.” 

Jomblo garapan Hanung Bramantyo yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Adhitya Mulya dan dirilis pada tahun 2006 silam merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Tiga elemen utama penyusun film yang terdiri atas komedi, romansa, dan persahabatan bisa berpadu dengan sangat baik pula mulus. Siapapun yang pernah mengalami fase dibuat kesengsem oleh lawan jenis, lalu jatuh bangun dalam memperjuangkan cinta, ditolak seseorang yang telah lama didambakan, serta menjalin hubungan akrab bersama kawan-kawan yang setia mendampingi di kala susah dan senang, akan mudah untuk terhubung ke jalinan pengisahan yang digulirkan oleh Jomblo. Ditambah lagi, Jomblo versi 2006 mempunyai empat pelakon inti dengan chemistry ciamik; Ringgo Agus Rahman (dalam film perdananya), Christian Sugiono, Dennis Adhiswara, dan Rizky Hanggono, yang sanggup meyakinkan penonton bahwa mereka memang bersahabat dekat satu sama lain. Bisa dibilang nyaris sempurna di berbagai lini – film pun mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa – maka agak mengherankan tatkala Falcon Pictures memutuskan untuk menginterpretasi kembali tulisan Adhitya Mulya ke format film layar lebar hanya dalam rentang waktu satu dekade saja. Maksud saya, bukankah seorang bijak pernah berujar, “if it ain’t broke, don’t fix it”

Dalam Jomblo versi 2017, tidak ada perubahan berarti pada konfigurasi karakter utama. Keempat sahabat yang menggulirkan roda penceritaan masihlah Agus (Ge Pamungkas), Bimo (Arie Kriting), Olip (Deva Mahenra), dan Doni (Richard Kyle). Persahabatan empat mahasiswa di Universitas B ini dipertautkan oleh kesamaan nasib yaitu sama-sama menyandang status sebagai jomblo meski dengan alasan berbeda-beda. Agus cenderung pemilih karena mencari perempuan yang dapat diajaknya membina rumah tangga ideal, kemudian Bimo kerap mengalami penolakan dari perempuan yang ditaksirnya, lalu Olip tidak memiliki keberanian dalam menyatakan perasaannya kepada Asri (Aurellie Moeremans) yang telah membuatnya jatuh cinta sedari tahun pertama, sementara Doni yang memiliki ketampanan paripurna justru enggan untuk berkomitmen dan hanya memanfaatkan para perempuan demi memenuhi hasratnya semata. Persahabatan diantara empat jomblo-jomblo bahagia ini (jojoba) mulanya baik-baik saja sampai kemudian kehadiran sosok Rita (Natasha Rizky), Lani (Indah Permatasari), serta Asri di tengah-tengah kehidupan mereka mulai mengacaukan segalanya. Hubungan pertemanan yang telah dipupuk dengan baik selama bertahun-tahun terancam bubar jalan begitu saja akibat persoalan asmara.


Sulit untuk tidak membanding-bandingkan Jomblo versi anyar yang tetap ditangani oleh Hanung Bramantyo ini dengan versi terdahulu mengingat rilisan 2006 memiliki kualitas penggarapan diatas rata-rata dan setiap adegannya pun masih melekat erat di ingatan sampai sekarang. Satu pertanyaan lalu terlontar, “mungkinkah si pembuat film mampu melampaui pencapaian dari rilisan sebelumnya?.” Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Hanung dengan menghadirkan warna berbeda ke versi 2017. Jika versi 2006 cenderung lebih kalem dalam bertutur dan banyak memberi ruang pada kisah persahabatannya, maka sekali ini aspek komedi lebih ditekankan dengan ritme penceritaan yang cenderung upbeat mengikuti barisan lagu beraliran EDM yang mengiringinya. Disamping itu, Agus yang masih bertindak selaku narator turut kebagian jatah tampil lebih banyak dari sebelumnya dengan pertimbangan kisah percintaan njelimetnya bersama Rita dan Lani memiliki potensi terbesar dalam memicu tawa sekaligus mudah bagi generasi muda sekarang untuk terhubung kepadanya. Imbas dari keputusan ini, konflik asmara yang dihadapi Bimo-Olip-Doni tidak pernah tergali secara mendalam dan plot mengenai persahabatan empat sekawan jojoba yang sejatinya merupakan kekuatan utama dari Jomblo terpaksa dikesampingkan. Dari sini saja sudah terjawab bahwa Jomblo versi 2017 tidak lebih baik ketimbang versi terdahulu.

Kalau ditanya menghibur atau tidak, Jomblo masihlah cukup menghibur. Beberapa kali diri ini dibuat tertawa melihat hubungan Agus dengan Rita yang tidak sesuai ekspektasi, walau saya sendiri merasa cukup terganggu lantaran peralihan nada hubungan dua sejoli ini terlampau cepat serta ujug-ujug. Adegan Rita marah-marah kepada Agus di kafe karena sang kekasih tidak berhasil memberi jawaban memuaskan perihal proporsi tubuhnya itu terasa sangat dipaksakan. Setidaknya dalam versi terdahulu, saya bisa mengetahui darimana munculnya pertanyaan jebakan tersebut dan sikap Rita yang sangat menyebalkan. Bertahap, tidak sekonyong-konyong terlontar. Jomblo versi anyar ini terasa kurang halus dalam melantunkan penceritaannya, terkadang terburu-buru terkadang berlarut-larut, yang menjadikan sejumlah konflik tidak memiliki impak benar-benar kuat dan barisan leluconnya pun menyerupai kumpulan sketsa. Alhasil, sekalipun Jomblo masih sanggup memancing tawa di beberapa bagiannya, film cukup mengalami kesulitan dalam menggoreskan kesan di hati lantaran minimnya emosi yang berhasil diinjeksikan ke dalam penceritaan. Disamping pengarahan dan naskah, faktor lain yang menyebabkan Jomblo terasa hambar adalah jajaran pemainnya. 

Ge, Arie, serta Deva bermain baik saat berlakon secara terpisah, tetapi saat disatukan, chemistry-nya mengawang-awang di udara. Saya bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki hubungan baik, tetapi saya tidak bisa meyakini bahwa mereka adalah teman sekampus yang memiliki ikatan persahabatan sangat erat. Itulah mengapa saat muncul pertengkaran besar yang berpotensi memecah belah keempatnya, saya tidak bisa merasakan apapun. Berlalu begitu saja.

Acceptable (2,5/5)