This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 18 December 2018

REVIEW : MILLY & MAMET (INI BUKAN CINTA & RANGGA)


“Kalau orang cari suami yang ganteng, aku mah cari yang baik.” 

“Aku nggak jelek-jelek amat kaliii…” 

Saat menonton Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016), diri ini setengah terkaget-kaget. Lho kok Milly (Sissy Prescillia) bisa menikah dengan Mamet (Dennis Adhiswara)? Gimana ceritanya dua manusia paling polos dalam semesta Ada Apa Dengan Cinta? Ini bisa menjalin asmara? Apabila kamu mengikuti kisahnya Cinta (Dian Sastrowardoyo) and the gang sejak awal mula, tentunya tahu kalau Mamet naksir berat dengan si pentolan geng – meski kita semua sadar, keduanya mustahil bersatu. Kamu juga tentu tahu kalau Milly sering sengak kepada Mamet yang dianggapnya bloon nan ngerepotin. Bahkan, hingga insiden merebut mobil Mamet demi mengantarkan Cinta ke bandara, percik-percik asmara diantara keduanya pun tak tampak. Lalu, apa yang akhirnya membuat mereka saling taksir, lalu menikah dan punya anak? Subplot yang menggelisahkan para penggemar berat ini tetap dibiarkan menjadi misteri hingga ujung durasi film kedua oleh Riri Riza selaku sutradara sekaligus penulis skenario. Penonton dibebaskan menerka-nerka dengan imajinasinya sendiri sampai kemudian Miles Films mengajak tandem Starvision untuk mengkreasi sebuah spin-off atau film sempalan yang meletakkan fokusnya pada kehidupan personal dua sejoli lucu ini. Bukan lagi Rudi Soedjarwo, bukan pula Riri Riza, Mira Lesmana si produser justru merekrut Ernest Prakasa (Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal) untuk menggarap film bertajuk Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) yang muatan komedinya begitu kental ini. Yaaa… sejalan dengan pembawaan dua karakter tituler yang jauh dari kesan serius dan keahlian sang sutradara lah. 

Sesuai dengan janji-janji sebelum film dinyatakan resmi digarap, Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) memberi penonton gambaran mengenai kehidupan personal dari Milly dan Mamet. Pada menit-menit pertama, kita melihat bagaimana dua muda-mudi ini berjumpa lagi setelah bertahun-tahun dalam sebuah pesta reuni SMA. Milly adalah seorang bankir yang sedang menjalin hubungan dengan Rama (Surya Saputra), sementara Mamet menekuni bidang kuliner. Sebuah kejadian yang tak pernah mereka antisipasi lantas menguarkan aroma nostalgia dan mendekatkan keduanya. Melalui sebuah montase di opening credit, kita melihat perjalanan cinta keduanya hingga akhirnya mereka disatukan dalam ikatan pernikahan dan dikaruniai momongan bernama Sakti. Usai menimang buah hati, Milly memutuskan untuk berhenti bekerja sementara Mamet membantu ayah Milly (Roy Marten) yang sakit-sakitan untuk mengurus pabrik tekstil. Sebuah pekerjaan yang sejatinya dibenci oleh Mamet, namun tetap dilakoninya demi menjaga dapur tetap ngebul sekaligus membahagiakan sang istri. Kesabaran Mamet dalam menjalani pekerjaan ini akhirnya mencapai puncak lantaran tak tahan terus ditekan sang mertua yang otoriter. Mamet seketika memilih hengkang dari pabrik pasca mendapat tawaran dari teman lamanya, Alex (Julie Estelle), untuk mendirikan restoran. Mengingat ini adalah impian lamanya, Mamet jelas tak berpikir panjang dan Milly pun tak keberatan. Sayangnya, keputusan Mamet untuk memulai karir baru ini juga menjadi awal munculnya rentetan drama rumah tangga seiring makin berkurangnya waktu yang dihabiskan untuk berkomunikasi dengan Milly. 


Tak berbeda dengan film-film arahan Ernest Prakasa terdahulu, Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) pun memiliki muatan komedi yang kental. Lebih-lebih, dua karakter utamanya memang memegang peranan sebagai comic relief dalam dwilogi Ada Apa Dengan Cinta? sehingga nada penceritaan yang penuh canda tawa bukanlah sesuatu yang mengherankan – bakal aneh kalau ini diaplikasikan pada kisah Cinta dan Rangga, atau Karmen (Adinia Wirasti) misalnya. Sedari menit pembuka yang mengambil latar waktu sebelum Ada Apa Dengan Cinta? 2, penonton telah dipersiapkan untuk senam wajah akibat gelak tawa berkepanjangan yang sebagian diantaranya dipicu oleh celetukan serta tindak tanduk Milly dan Mamet yang kerap kali ajaib. Yang juga tak kalah ajaib, sejumlah karakter yang menghembuskan napas di sekitar pasangan muda ini. Saat berada di rumah, Milly tak hanya dibuat capek oleh putranya yang agak rewel tetapi juga PRT barunya, Sari (Arafah Rianti), yang level telminya bisalah diadu dengan Milly. Saat berada di pabrik, Mamet mesti berhadapan dengan Yongki (Ernest Prakasa) yang cenderung semau gue beserta trio pekerja yang tak pernah lelah untuk saling menghujat satu sama lain (Dinda Kanyadewi, Aci Resti, dan Bintang Emon). Selain mereka, masih ada pula Rika (Isyana Sarasvati), resepsionis di kantor si investor restoran, James (Yoshi Sudarso), yang penamaan hewan peliharaannya sering memicu perdebatan tak penting antara Mamet dengan James. Sederet karakter ini – sekalipun ada beberapa diantaranya yang tak jadi soal andai dihilangkan – memiliki kontribusi yang efektif pada timbulnya gelak tawa meriah penonton. 

Ya, humor memang mendominasi durasi Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga). Tapi sekali ini masih dalam batasan wajar, tak lagi kelewat acak sampai mendistraksi narasi utama, dan terasa menyegarkan karena tak melulu bersumber dari komika melainkan bergantung pada comic timing jajaran pelakon termasuk Isyana Sarasvati beserta Melly Goeslaw sebagai selebgram yang secara mengejutkan handal dalam melucu. Usai agak kewalahan dalam menangani Susah Sinyal (2017) yang perpaduan komedi dengan dramanya tak pernah benar-benar melebur secara mulus, Ernest Prakasa kembali menemukan ritmenya dalam bercerita di Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) yang mengalun santai. Bumbu-bumbu pemicu konflik telah ditebar sedari mula sehingga penonton dapat beradaptasi secara cepat begitu momen dramatik mengambil alih momen canda tawa yang turut mengandung komentar sosial terkait kondisi buruh dan penggunaan media sosial. Kita bisa mengendus cikal bakal munculnya drama rumah tangga lewat keputusan Mamet mengundurkan diri dari pabrik, frekuensi kehadiran Mamet di samping Milly yang semakin menurun, gestur kecemasan Milly saat menyadari sang suami telah mengubah skala prioritasnya, dan kemunculan Alex yang tiba-tiba dalam kehidupan Mamet selepas bertahun-tahun tak bersua. Kemunculannya ini tentu saja membuat saya bertanya-tanya mengenai motivasi Alex: benarkah dia peduli dengan sang teman baik atau ada agenda lain dibalik ajakan berbisnis bersama ini? Sebuah pertanyaan yang menebalkan rasa ingin tahu, meski sejatinya tanpa bumbu ‘misteri’ pun film telah menambat atensi melalui karakter Milly dan Mamet yang ternyata tak sedangkal seperti diperkirakan.


Melalui Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) yang memiliki barisan lagu pengiring ciamik ini, penonton akhirnya mendapat jawaban mengenai sisi personal dari dua karakter polos ini yang membawa kita pada pemahaman mengapa Milly dapat bergabung dengan genk Cinta yang populer dan mengapa Milly bersedia untuk menikahi Mamet yang culun bukan kepalang. Ernest ditemani sang istri, Meira Anastasia, mampu menjabarkan tanya ini dengan baik yang ditunjang oleh performa mengesankan dari departemen akting khususnya duo Sissy Prescillia dan Dennis Adhiswara. Berhubung komedi adalah ‘kawan baik’ mereka sejak dua film terdahulu, maka melihat mereka menampilkan Milly dan Mamet dalam wajah komedi bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Kejutan justru datang ketika keduanya dihadapkan pada momen manis romantis yang memperlihatkan ketangguhan chemistry serta momen emosional (konon ada satu adegan panjang diambil secara one take) yang menunjukkan range emosi. Kita ikut tersentuh, kita ikut bersedu sedan, dan kita ikut berharap agar mereka menemukan solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi. Bersama mereka pula, penonton dibawa pada perenungan mengenai makna dibalik hubungan asmara – khususnya bagi mereka yang berniat atau sudah berumah tangga – yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, kerja sama, sampai komunikasi. Pada akhirnya, Milly & Mamet (Ini Bukan Cinta & Rangga) tak hanya sanggup memancing derai tawa, tetapi juga mampu memainkan emosi penonton sedemikian rupa. Selamat datang kembali, Ernest!

Outstanding (4/5)


Sunday, 16 December 2018

REVIEW : SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE

 

“One thing I know for sure. Don’t do it like me, do it like you.” 

Hanya dalam kurun waktu satu dekade, publik telah mendapatkan setengah lusin film (!) mengenai karakter superhero milik Marvel Comics, Spider-Man, yang terbagi ke dalam tiga semesta penceritaan. Yang pertama tergabung dalam trilogi gubahan Sam Raimi dengan Tobey Maguire sebagai bintang utamanya, lalu yang kedua adalah reboot pertama yang memosisikan Andrew Garfield di garda terdepan, dan yang terakhir adalah reboot kedua yang diniatkan sebagai bagian dari Marvel Cinematic Universe. Ketiga-tiganya memiliki karakter sentral serupa yakni Peter Parker dan jilid pertama dari ketiga franchise ini pun mempunyai origin story kurang lebih senada (perbedaan paling mencolok ada pada usia) sehingga muncul sekelumit pengharapan: tolong, jangan ada reboot lagi! Di saat saya – dan mungkin jutaan penonton lain – telah puas dengan keberadaan Spider-Man: Homecoming (2017) yang mengenalkan kita pada Tom Holland, Sony Pictures selaku pemilik hak cipta untuk adaptasi superhero ini membuat pengumuman mengejutkan. Kita akan mendapatkan versi layar lebar lain yang menyoroti sepak terjang Spidey dalam memberangus kejahatan. Untuk sesaat diri ini ingin berteriak, “whaaaattt?”, sampai kemudian saya mendapati bahwa versi terbaru ini akan dicelotehkan dalam format animasi dan si tokoh utama bukan lagi Peter Parker melainkan Miles Morales yang notabene merupakan karakter kulit hitam pertama di balik kostum Spidey. Hmmm… interesting

Mengaplikasikan judul Spider-Man: Into the Spider-Verse, film yang digarap oleh tiga sutradara ini; Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman, mengenalkan penonton pada seorang remaja bernama Miles Morales (disuarakan oleh Shameik Moore) yang tinggal di Brooklyn bersama ayahnya yang seorang polisi, Jefferson Davis (Brian Tyree Henry), dan ibunya yang seorang perawat, Rio Morales (Luna Lauren Velez). Demi masa depan lebih cerah, Jefferson menyekolahkan Miles di sebuah sekolah asrama terpandang dimana siswa-siswinya memiliki jiwa kompetitif tinggi. Miles memang memiliki otak encer, tapi dia merasa kehidupan di sekolah ini mengekang jiwa mudanya yang menyukai kebebasan. Sebagai bentuk pelarian dari tekanan untuk memenuhi ekspektasi besar sang ayah, Miles kerap mengunjungi sang paman, Aaron Davis (Mahershala Ali), dan mencorat-coret dinding dengan grafiti. Kehidupan Miles yang cenderung tak tentu arah menyusul kebimbangannya untuk mengikuti kata hati atau menuruti pengharapan orang tua ini perlahan mulai berubah setelah seekor laba-laba menggigitnya. Miles seketika memiliki kekuatan seperti halnya Peter Parker atau Spider-Man (Chris Pine) yang dielu-elukannya, tapi dibenci oleh Jefferson. Ditengah-tengah upayanya menyesuaikan diri dengan kekuatan barunya, Miles berjumpa dengan sekelompok Spider-person dari semesta berbeda seperti Peter Parker (Jake Johnson), Spider-Woman (Hailee Steinfeld), Spider-Noir (Nicolas Cage), Spider-Ham (John Mulaney), dan Peni Parker (Kimiko Glenn), usai sebuah portal ke dimensi lain terbuka. 


Siapa yang menyangka jika menyaksikan Spidey bergelantungan diantara gedung-gedung pencakar langit di kota New York dalam format animasi ternyata menghadirkan sebuah pengalaman sinematis yang berbeda dan mengasyikkan? Jangan keburu pesimis terlebih dahulu dengan dalih “ini cuma film kartun” karena animasi yang ditawarkan oleh Spider-Man: Into the Spider-Verse bukan seperti film animasi yang kerap ditengok di layar beling atau versi home video-nya. Ada bujet besar yang diinvestasikan oleh Sony Pictures Animation di sini dengan hasil akhir seperti perpaduan antara rekaan komputer (CGI) dengan goresan tangan (2D) yang besar kemungkinan akan membuatmu takjub. Lebih-lebih, jika kamu gemar membaca komik. Memang sih tidak ada detil mencengangkan macam film produksi Pixar – dan memang bukan itu tujuannya – tapi pilihan kreatif untuk menghadirkan Spider-Man: Into the Spider-Verse dalam format animasi memungkinannya tersaji bak “komik hidup”. Ini termasuk adanya balon dialog untuk menampung pikiran-pikiran si protagonis dalam bentuk tulisan serta munculnya tulisan sejenis “Kapoow!” guna memberi efek bombastis pada laga tanpa suara. Unik, bukan? Yang juga unik adalah desain karakternya yang mungkin akan memiliki impak berbeda apabila diterjemahkan ke dalam live action seperti Kingpin (Live Schreiber) si villain utama yang mempunyai tubuh besar cenderung kotak dengan kepala kecil, Spider-Ham yang kartun banget sekaligus mengingatkan pada salah satu tokoh di Looney Tunes, dan Peni Parker yang corak animasinya kentara dipengaruhi oleh anime asal Jepang. 

Si pembuat film turut memperdayakan pilihan kreatifnya ini untuk mengkreasi tata laga yang liar macam momen klimaks besarnya yang melibatkan berbagai dimensi ruang waktu, maupun tata laga dengan sentuhan humor macam momen pertemuan pertama kali antara Miles dengan Peter Parker dari semesta berbeda. Dua hal yang harus diakui sulit dibayangkan bisa muncul dalam format live action tanpa harus menjadi norak dan kacau. Disamping menaruh banyak perhatian terhadap pembuatan animasi sehingga ambisi ‘tidak pernah kamu lihat sebelumnya’ dapat terpenuhi, trio sutradara tak pernah sekalipun abai soal narasi yang naskahnya dikerjakan oleh Rothman bersama Phil Lord (The Lego Movie). Untuk ukuran film yang mengincar pasar keluarga, Spider-Man: Into the Spider-Verse terbilang memiliki penceritaan kompleks. Bukan saja soal keberadaan dimensi lain yang secara cerdas dapat diurai tanpa pernah bikin otak keriting (dan bisa pula dipahami penonton cilik. Bravo!), tetapi juga pergulatan pribadi Miles Morales beserta sang mentor, Peter Parker, dan motivasi Kingpin yang bukan sebatas menguasai dunia. Miles mengalami kebimbangan dalam memilih jalan hidup yang membenturkannya pada konflik dengan sang ayah dan sang paman, sementara Peter Parker yang tidak lagi muda berjaya sedang bertikai dengan istrinya, Mary Jane. Terdengar sangat berat, ya? Di atas tulisan sih memang tampaknya begitu. Tapi percayalah, dalam eksekusinya tidaklah demikian. Sekalipun emosi tetap terasa ditonjok-tonjok (utamanya di adegan berbicara dari balik pintu), ada penyeimbang yang tepat dalam wujud humor segar dan laga seru demi menjaga semangat penonton dalam menyaksikan Spider-Man: Into the Spider-Verse yang merupakan salah satu film terbaik Spidey ini. 

Note : Spider-Man: Into the Spider-Verse memberi penghormatan terakhir pada Stan Lee (yang masih muncul sebagai cameo) dan Steve Ditko di pertengahan end credit. Pada penghujung credit, ada sebuah adegan bonus sangat lucu bagi kamu yang bersedia bertahan selama 14 menit.

Outstanding (4/5)


Thursday, 13 December 2018

REVIEW : AQUAMAN


“A king fights only for his own nation. A hero fight for everyone.” 

Berbeda dengan rekan sejawatnya yang telah memiliki bangunan semesta yang mapan, DC Extended Universe (DCEU) masih terlihat meraba-raba mengenai apa yang seharusnya mereka perbuat selanjutnya untuk rangkaian film superhero hasil adaptasi komik keluaran DC Comics. Jajaran pemain beserta kru terus mengalami bongkar pasang (bahkan beberapa nama inti seperti Ben Affleck dan Henry Cavill pun hengkang), begitu pula dengan nada penceritaan yang diaplikasikan. Dari mulanya hobi gelap-gelapan seperti siluman, DCEU belakangan mulai merangkul tone yang cenderung ringan selaiknya superhero tetangga begitu menyadari bahwa tidak semua film membutuhkan pendekatan realitis cenderung muram bak trilogi The Dark Knight kepunyaan Christopher Nolan. Bagaimanapun juga, penonton umum membutuhkan spektakel gegap gempita kala memutuskan bertandang ke bioskop untuk menyaksikan film kepahlawanan yang disadur dari komik populer, alih-alih tontonan kontemplatif yang menyimpan bejibun subteks di dalamnya. Agree to disagree, my amigos! Upaya DCEU dalam menyesuaikan diri dengan pasar sekaligus back to basic ini pun pada awalnya tak berjalan mulus lantaran masih terkesan malu-malu meong. Kehadiran Wonder Woman (2017) yang menyuarakan pesan women empowerment tanpa pernah mengorbankan tiga poin penting bagi terwujudnya film berskala blockbuster yang impresif: laga, humor, serta hati, menjadi semacam titik balik. Berkat kesuksesannya secara finansial maupun kritikal, khalayak berkesempatan untuk melihat banyak keriaan dalam rilisan terbaru DCEU, Aquaman, yang tak lagi ragu-ragu menampakkan dirinya sebagai spektakel pelepas penat untuk memeriahkan libur akhir tahun. 

Mengingat ini adalah film solo pertama dari si karakter tituler yang sebelumnya nongol di Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League (2017), maka sudah barang tentu Aquaman difungsikan sebagai origin story yang menceritakan asal muasal si putra duyung sebelum dirinya bergabung bersama para manusia berkekuatan mahadahsyat untuk menyelamatkan bumi dari rongrongan kaum lalim. Bermula di era 80-an, penonton diperkenalkan terlebih dahulu dengan kedua orang tua si karakter protagonis yang ternyata berasal dari dua dunia; Thomas Curry (Temuera Morrison) adalah seorang penjaga mercusuar dari daratan, dan Atlanna (Nicole Kidman) adalah Ratu Atlantis yang mendiami dunia bawah laut. Atlanna yang diselamatkan oleh Thomas usai terdampar di pantai ini pun menjalin cinta terlarang dengan Thomas, lalu memutuskan untuk meninggalkan Atlantis, sampai kemudian melahirkan Arthur (versi dewasa dimainkan oleh Jason Momoa). Menilik status sosial Atlanna, kerajaan Atlantis tentu enggan membiarkan Atlanna kabur begitu saja sehingga mereka pun memburunya dan membunuhnya. Sebagai permintaan terakhir, Atlanna menitipkan Arthur pada Nuidis Valko (Willem Dafoe), perdana menteri di Atlantis, yang menggemblengnya semasa tumbuh dewasa demi dipersiapkan sebagai penerus kerajaan. Pun begitu, Arthur tidak lantas dapat mengklaim posisi raja dengan mudah disebabkan oleh dua hal: 1) label ‘darah campuran’ terus melekat pada dirinya yang membuat rakyat urung memberi dukungan, dan 2) sang adik tiri, Orm (Patrick Wilson), yang kini menduduki singgasana enggan menyerahkan jabatannya kepada Arthur terlebih Orm berambisi menjadi penguasa laut sekaligus meluluhlantakkan daratan yang dianggapnya bertanggung jawab atas kerusakan laut.


Dibawah penanganan James Wan yang filmografinya mencakup film memedi seram macam Insidious (2011) beserta The Conjuring (2013) dan film laga seru-seruan macam Furious 7 (2015), Aquaman berhasil tampil sebagai film superhero yang diharapkan oleh sebagian besar khalayak ramai. Sebuah spektakel mengasyikkan yang dapat ditonton beramai-ramai bersama kawan dekat atau keluarga di kala senggang seraya ditemani kudapan ringan. Durasinya yang merentang pantang hingga 2 jam 23 menit memang agak intimidatif (acapkali film kelewat berlarut-larut dalam bertutur), tapi percayalah, ada banyak sekali kesenangan yang bisa kamu dapatkan di sepanjang durasi Aquaman. Sebut saja apa yang kamu antisipasi: rentetan laga yang meriah? Check. Humor ringan yang mengundang tawa? Check. Visual yang membuat mata terbelalak? Check. Guliran penceritaan sarat intrik yang mengikat? Hmmm… kurang memadai sih, tapi masih layak buat dikudap jadi… check. Aksi si pahlawan yang menginspirasi? Check. Dan villain berbahaya yang bikin gregetan? Check. Si pembuat film memastikan bahwa sebisa mungkin penonton mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam film ini sehingga mereka tidak merasa sia-sia karena telah merelakan 2,5 jam yang berharga (plus satu lembar duit berwarna biru di dompet). Kepiawaian James Wan dalam membesut gelaran laga dalam skala raksasa tidak perlu dipertanyakan lagi terlebih dia telah membuktikannya melalui Furious 7 yang merupakan salah satu jilid terbaik dalam franchise-nya. Berkat tangan dinginnya, Aquaman pun mengikuti jejak Furious 7 dengan berdiri tegak sebagai seri terbaik dalam rangkaian film di DCEU. 

Tunggu, tunggu. Seri terbaik dalam DCEU? Berarti melampaui Wonder Woman dong? Well, ini tergantung preferensi. Tapi secara personal saya lebih menikmati hidangan dari Aquaman yang level excitement-nya terhitung tinggi. Sedari menit pembuka yang menghadirkan tawa, haru, serta ketertarikan untuk mengetahui petualangan apa yang menanti Arthur, film tak pernah mengendurkan intensitasnya. Sebagian penonton mungkin akan merasa ini membawa rasa lelah (terutama bagi mereka yang mengharap adanya momen tenang demi mengisi otak dengan obrolan pengusik pikiran), tapi jika kamu tidak keberatan untuk menyaksikan rentetan laga yang sambung menyambung menjadi satu nyaris tanpa henti, maka bergembiralah. Saya pribadi nyaris tidak mengintip jam tangan lantaran fokus terus tertambat ke layar dimana James Wan memamerkan kebolehannya. Penggambaran kerajaan Atlantis berikut kerajaan-kerajaan lain di bawah laut bisa dikategorikan imajinatif (meski tak jarang juga agak sedikit norak terlebih saat melibatkan kuda laut) yang membuat saya tak sabar untuk menantikan instalmen berikutnya yang semoga saja berkenan mengeksplorasi lebih jauh kota futuristis ini. Disamping visualisasi kampung halaman Arthur Curry, decak kagum lain berasal dari adegan serbuan makhlus buas Trench serta pertarungan akhir yang sedikit banyak melontarkan ingatan pada trilogi The Lord of the Rings. Tak hanya sebatas memanjakan mata, rangkaian laga ini juga mampu memacu adrenalin khususnya pada kejar mengejar di atas atap-atap rumah penduduk Sisilia, Italia, lalu duel maut antara Arthur dengan Orm yang berlangsung di Ring of Fire, hingga konfrontasi akhir penentu masa depan kerajaan bawah laut yang melibatkan ribuan pasukan. 


Ya, James Wan jelas tahu bagaimana caranya mengatur tata laga. Lebih dari itu, dia juga tahu bahwa narasi membutuhkan hati sehingga film tak sebatas berakhir sebagai parade pamer visual yang hampa. Dia memberikan emosi dengan menguliti relasi antara Arthur dengan Thomas, Arthur dengan Atlanna, dan Thomas dengan Atlanna, yang secara langsung memberi kita alasan untuk bersimpati terhadap Arthur. Melalui subplot yang menempatkan fokusnya pada keluarga kecil ini, saya pun sempat menyeka beberapa bulir air mata yang mengalir di pipi. Sesuatu yang tidak pernah saya sangka-sangka bakal terjadi saat menonton Aquaman. Terlebih lagi, Aquaman pun sejatinya mengusung penceritaan standar yang tidak melakukan penggalian mendalam pada karakter (seluruh karakter di film ini berpijak di area hitam putih, nyaris tak ada kompleksitas) maupun topik obrolan yang turut menyinggung tentang lingkungan, politik, sampai konservatisme. Yang kemudian mengompensasi naskah – selain visual, tata laga, serta pengarahan James Wan – adalah performa pemain ansambelnya yang ciamik. Aquaman beruntung mempunyai Jason Momoa yang tak saja terlihat menikmati perannya tetapi juga berkarisma sebagai pahlawan serta menjalin chemistry bagus dengan Amber Heard (pemeran Mera, love interest dari Arthur) yang atraktif. Keduanya bergabung bersama Patrick Wilson yang sorot matanya telah mengindikasikan bahwa dia bukanlah pemimpin yang luhur, Nicole Kidman yang menghadirkan kehangatan seorang ibu, Yahya Abdul-Mateen II sebagai perompak yang patut diwaspadai, dan Willem Dafoe yang mengisi posisi ‘si penunjuk jalan’ yang bijaksana.

Note : Aquaman memiliki satu adegan bonus di sela-sela end credit yang cukup penting. Bertahanlah.

Outstanding (4/5)


Wednesday, 12 December 2018

REVIEW : SESUAI APLIKASI


“Selama kita tabah, keadaan akan berubah.” 

Saat menonton suatu film, saya selalu memegang prinsip: look at the positive side. Sebisa mungkin, cari sisi positifnya sekalipun film yang ditonton adalah kreasi Nayato Fio Nuala atau diproduseri Dheeraj Kalwani yang sisi negatifnya bertebaran dengan sangat jelas di setiap sudut. Atau dengan kata lain, menemukan kebaikan dalam film mereka bak ngubek-ngubek tumpukan jerami buat menemukan satu jarum cuilik. Alamakjang, susahnyaaa! Saya pun demikian ketika akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Sesuai Aplikasi garapan Adink Liwutang (The Underdogs) yang trailernya hanya mencuplik banyolan-banyolan dalam film tanpa pernah memberikan informasi perihal plot. Saya masih berbaik sangka ditengah ekspektasi yang sebetulnya sudah tiarap karena trailer ini sungguh garing. Mungkin si pembuat film ingin memperjelas ke calon penonton kalau film buatannya ini berada di jalur komedi. Mungkin si pembuat film menyisipkan satu twist besar yang berpotensi bocor kalau plotnya diumbar di trailer. Mungkin juga si pembuat film ingin memantik rasa penasaran calon penonton sehingga terus menerus berspekulasi karena petunjuk paling jelas yang disematkan di trailer adalah persahabatan dua driver ojek online. Apakah betul film ini semacam versi layar lebar dari sitkom Ok-Jek yang mengudara di kanal televisi Net? Jika kamu menduga demikian, well… kamu tidak sepenuhnya keliru. 

Menengok pada judul yang kentara terinspirasi dari pertanyaan wajib yang dilontarkan oleh driver ojek online (“pesanannya sudah sesuai aplikasi ya, Pak?”), telah terbaca bahwa Sesuai Aplikasi bakal berceloteh mengenai suka duka yang dialami driver ojek online kala menjalani profesinya. Dalam film, pengemban profesi tersebut diwujudkan dalam dua karakter bernama Pras (Valentino Peter) dan Duras (Lolox) yang kebetulan telah bersahabat sedari bangku SD serta tinggal bersebelahan. Mereka memang memiliki nasib berbeda – Pras dideskripsikan memiliki paras tampan yang membuat customer senantiasa bersikap sopan padanya sedangkan Duras sering ketiban apes – namun mereka memiliki motivasi senada ketika memutuskan terjun sebagai ojek online yakni dilandasi faktor tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Pras didorong oleh keinginannya untuk membiayai pengobatan sang ibu yang telah sakit-sakitan dan Duras didorong oleh keinginannya untuk membiayai kuliah sang adik, Monik (Meisya Amira), demi menjalankan amanat mendiang ayahnya. Menilik penghasilan keduanya yang tidak seberapa, ditambah lagi pekerjaan ini cukup beresiko karena kondisi jalan dan customer yang sulit diduga, maka sudah barang tentu keinginan dua protagonis film tidak semudah itu untuk dicapai. 


Andaikata film ini sebatas bertutur seperti apa yang telah tertulis di atas atau dengan kata lain, patuh pada premis dasarnya, Sesuai Aplikasi sebetulnya berpotensi menjadi tontonan mengikat. Akan tetapi, film yang naskahnya digubah oleh Agasyah Karim beserta Khalid Kashogi ini (lantas direvisi oleh Bene Dion Rajagukguk demi memperkuat elemen komedinya) justru menghadirkan cabang-cabang cerita lain yang mencakup sepak terjang seorang pencuri kelas kakap berkedok pemilik warung kopi bernama Sakti (Ernest Prakasa), lalu rentenir bernama Ci Asiu (Dayu Wijanto) yang ditakuti warga kampung, sampai penyanyi dangdut bergaya kenes bak Syahrini bernama Sofiyah (Titi Kamal). Memang betul bahwa keberadaan tiga subplot ini dimaksudkan untuk menyokong konflik yang dialami Pras dan Duras sehingga film tak terkesan lempeng. Hanya saja, ini menjadikan film terlalu penuh dan si pembuat film pun tampak kebingungan dalam menjembatani seabrek plot ini. Ketimbang mendukung pergolakan batin dua karakter utama, munculnya cabang-cabang cerita tersebut justru mendistraksi yang secara perlahan tapi mengaburkan fokus narasi. Satu jam pertama sudah berlalu dan saya masih dibuat bertanya-tanya: apa sih yang sebenarnya ingin diceritakan oleh Sesuai Aplikasi? Bukankah film ini seharusnya menyuguhi kita dengan keriuhan dibalik profesi ojek online alih-alih kisah perampokan berlian? 

Menggunakan sudut pandang positif, saya berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin ini adalah cara Adink Liwutang agar drama ojek online terasa lebih greget. Dalam satu dialog pun Sakti mengingatkan, “selama kita tabah keadaan akan berubah.” Jadi saya pun memutuskan untuk tabah meski guliran kisah sudah melenceng kemana-mana, lebih menyerupai kumpulan sketsa ketimbang satu cerita utuh, sebagian karakternya terasa menyebalkan, dan orkestra jangkrik terdengar lebih meriah dari suara gelak tawa penonton saking tak adanya humor yang mengenai sasaran. Semuanya meleset. Ya betul, se-mu-a-nya. Jujur, saya lebih bisa tertawa lepas saat menonton Bodyguard Ugal-Ugalan yang dibintangi Syahrini ketimbang film ini. Berhubung laju penceritaan pun lamban alih-alih dinamis, saya akhirnya tiba pada satu titik dimana sikap positif telah mengkerut dan keinginan untuk mengeluh pun membuncah. Rasa-rasanya ingin berteriak, “saya sudah tabah, lalu kapan keadaan yang bikin jenuh, sebal, dan pening ini akan berubah?” walau belakangan diredam. Apabila perubahan pada narasi dianggap terlalu sulit, setidaknya ada perubahan pada tata suara yang tak mengenakkan di telinga. Maap maap ni ya, tapi menonton Sesuai Aplikasi ini kayak lagi nonton film hasil mengunduh ilegal dan saya dapat file buruk yang suaranya tidak sinkron dengan gambar. Dubbing di film ini amat sangat mengganggu euy! Awalnya sih saya berburuk sangka kepada Valentino Peter yang aktingnya sangat kaku (ngapunten nggih, Mas!) dengan mengira dia belum terbiasa melakukan dubbing, tapi ternyata ini berlaku pula ke pemain-pemain lain yang urung bermain maksimal karena pengarahan dan penulisan naskah yang lemah. 



Pada akhirnya saya pun hanya bisa pasrah karena hingga penghujung durasi Sesuai Aplikasi dimana semua konflik tiba-tiba bisa diselesaikan dengan satu jentikkan jari, keadaan tak kunjung berubah dan malah kian parah. Semoga saja ketabahan saya karena telah menyedekahkan waktu beserta uang untuk film ini berbuah pahala. Amin.

Troll (1,5/5)

Monday, 10 December 2018

REVIEW : WIDOWS


“What I’ve learned from men like your late husband and my father is, that you reap what you sow.” 

Berpatokan pada materi promosi yang digebernya (baca: trailer), Widows memang tak ubahnya heist movie konvensional yang mengandalkan sekuens laga beserta strategi perampokan jitu penuh kecohan sebagai jualan utamanya. Mengingat seluruh karakter perempuan ditempatkan sebagai dalang utama dibalik aksi perampokan alih-alih sebatas karakter sampingan yang bertugas untuk mendistraksi, Widows pun mau tak mau mengingatkan pada Ocean’s 8 yang juga menyoroti sepak terjang sekumpulan perempuan dalam menggondol barang-barang berharga. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah kedua film ini mempunyai pendekatan senada seirama sekalipun premis besarnya terdengar serupa? Calon penonton yang mengantisipasi keserupaan – lebih-lebih ada nama Liam Neeson yang identik dengan gelaran laga meriah di jajaran pemain – mesti memahami bahwa film yang didasarkan pada novel rekaan Lynda La Plante ini (sebelumnya sempat diadaptasi pula dalam bentuk serial pada tahun 1983) bukanlah popcorn movie yang dapat disantap dengan santai seraya menyeruput minuman bersoda. Keberadaan Steve McQueen di kursi penyutradaraan sedikit banyak telah memberikan isyarat bahwa Widows bukanlah spektakel pelepas penat, melainkan film sarat komentar sosial selaiknya dua film terdahulu sang sutradara, Shame (2011) dan 12 Years a Slave (2013), yang memperbincangkan tentang kemanusiaan beserta realitas sosial. 

Melalui Widows, McQueen mengenalkan penonton kepada tiga wanita yang kehidupannya sontak berubah pasca tewasnya suami masing-masing dalam sebuah aksi perampokan yang berakhir bencana. Ketiga wanita tersebut adalah Veronica Rawlings (Viola Davis) yang mendadak diancam seorang politikus merangkap kepala organisasi kriminal akibat tindakan sang suami, Linda Perelli (Michelle Rodriguez) yang terpaksa kehilangan toko miliknya demi melunasi hutang sang suami, dan Alice Gunner (Elizabeth Debicki) yang kebingungan dalam mencari sumber penyambung hidup setelah selama ini terlampau dimanjakan oleh suaminya yang ringan tangan. Para janda perampok ini mulanya tak saling mengenal satu sama lain, sampai kemudian Veronica yang dibayangi ancaman dari Jamal Manning (Brian Tyree Henry) memutuskan untuk menghubungi mereka. Tujuannya adalah melanjutkan aksi sang suami, Harry Rawlings (Liam Neeson), dalam menguras brankas politikus rasis, Jack Mulligan (Colin Farrell), yang kebetulan merupakan lawan politik Jamal. Veronica akan menggunakan $2 juta dari total $5 juta untuk membungkam Jamal, sementara sisa uang akan dibagi rata kepada setiap personil termasuk pengasuh anak sewaan Linda, Belle (Cynthia Erivo), yang belakangan memutuskan bergabung dengan komplotan ini sebagai driver usai menyadari perlakuan semena-mena Jack Mulligan terhadap kaum minoritas yang dimanfaatkannya untuk mendulang suara dalam pemilu.


Berkaca pada sinopsis di atas, tidak sulit untuk membaca gelaran seperti apa yang dipersembahkan oleh McQueen dalam Widows. Penonton memang tetap memperoleh kejar mengejar di jalan raya atau aksi perampokan yang menghadirkan sensasi berdebar-debar (ya, bisa dibilang ini adalah film rekaan McQueen yang paling accessible bagi penonton umum) seperti kerap dijumpai di heist movie dengan topangan skoring musik efektif dari Hans Zimmer, tapi film tidak sebatas memberikan kumpulan sekuens berupa penyusunan strategi rumit yang bikin menganga dan sulit diterka kelokannya jika itu yang kamu harapkan dari film ini. Malah, aksi perampokannya terbilang langsung pada sasaran ketimbang berumit-rumit ria: kecoh security, dobrak masuk ke lokasi, tuang seluruh uang incaran ke dalam karung, lalu pergi meninggalkan lokasi. Sesederhana itu. Yang tidak sederhana dari Widows adalah guliran pengisahannya yang dirangkai oleh sang sutradara bersama Gillian Flynn yang lebih dulu dikenal sebagai penulis novel misteri seperti Sharp Objects (2006), Dark Places (2009), dan Gone Girl (2012) – kesemuanya telah diadaptasi dalam bentuk film maupun miniseri. Disamping melanjutkan tradisi si pembuat film untuk melontarkan komentar sosial yang sekali ini berkenaan dengan situasi yang tengah hangat di Amerika Serikat seperti rasisme, seksisme, kancah politik, sampai penggunaan senjata, film turut menyelami konflik yang mendera para janda sekaligus membubuhinya dengan elemen misteri demi menambat atensi penonton. 

Jika bicara soal atensi yang tertambat, Widows sebetulnya telah melakukannya dengan baik sedari awal mula. Sedari adegan pembuka berintensitas tinggi yang menggambarkan kekacauan dibalik aksi perampokan yang dilakukan oleh Harry beserta kawanannya. Kekacauan berujung tewasnya setiap personil yang seketika menghadapkan para istri pada penderitaan. Pada titik dimana penonton diajak memasuki kehidupan para janda, laju pengisahan Widows secara perlahan tapi pasti mulai melambat dan mengaplikasikan mode kontemplatif. Terdengar membosankan memang, namun penulisan naskah yang cemerlang dengan pembentukan karakteristik kuat untuk setiap karakter (bahkan pendukung sekalipun!) memungkinkan kita untuk tetap menunjukkan ketertarikan di setiap menitnya. Memungkinkan kita untuk tetap fokus karena McQueen mengungkap segalanya dengan teknik bertahap. Baik saat mengungkap rahasia dibalik kegagalan misi perampokan yang mengandung kelokan tak terduga di dalamnya, atau saat mengungkap persoalan yang merongrong para karakter. Kita tidak mengetahui kebenarannya hanya dalam sekejap melainkan setapak demi setapak seiring berjalannya durasi. Yang juga menarik, kita sebagai penonton tidak semata-mata diminta untuk mengobservasi para karakter inti seperti Veronica, Linda, serta Alice saat mereka berupaya untuk berdamai dengan kehilangan lalu berjuang untuk bangkit. Tetapi kita diminta pula untuk bisa memahami mereka. Merasakan sakit yang mereka rasakan. Ada upaya untuk membentuk afeksi antara penonton dengan karakter sehingga kepedulian dapat tersemat dan emosi sanggup terbentuk. 


Saat bersama Veronica yang dilakonkan dengan sangat cemerlang oleh Viola Davis (meski tak terlalu mengejutkan karena peran depresif seperti ini merupakan taman bermainnya), muncul rasa sepi, sesak, dan amarah. Oleh rekan-rekannya, dia dipandang sebagai sosok yang dingin dan keras tanpa pernah menyadari bahwa sikap tak bersahabatnya ini merupakan bentuk pertahanan diri akibat duka serta terenggutnya kepercayaan. Berhubung penonton telah mengetahui apa yang dilalui oleh Veronica, tak ada penghakiman untuknya. Kita justru bersimpati padanya, seperti kita bersimpati pada Alice. Elizabeth Debicki menunjukkan performa paling mencuri perhatian di sini (dan dia juga membawakan humor yang jarang ada) sebagai seorang perempuan yang acapkali dipandang remeh oleh orang-orang di sekitarnya: suaminya yang tukang pukul, ibunya yang menggadaikannya, serta si sugar daddy yang menilai segalanya dari materi. Saat Alice akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Veronica, karakternya bertransformasi secara meyakinkan dari perempuan rapuh yang senantiasa membutuhkan sokongan menjadi perempuan yang mampu menyuarakan pilihannya sendiri. Keterampilan Davis dan Debicki dalam berolah peran dalam Widows juga ditunjang oleh Daniel Kaluuya sebagai saudara Jamal yang bengisnya minta ampun dibalik tampilan kalemnya (serius, dia mengerikan!), Michelle Rodriguez yang membuktikan bahwa dia sanggup menundukkan peran dramatis, Cynthia Erivo yang sekali lagi bermain solid selepas Bad Times at the El Royale tempo hari, serta Colin Farrell yang wibawanya menutupi peringainya sebagai politikus culas. Barisan pemain ansambel ini mampu menghadirkan akting yang memuaskan untuk sebuah heist movie sarat komentar sosial yang tak saja menohok dan menyesakkan dada, tetapi juga memuaskan.

Outstanding (4/5)


Saturday, 8 December 2018

REVIEW : MORTAL ENGINES


“We must stop London before it destroys us.” 

Saya sebetulnya sudah berada di titik jenuh terhadap film-film yang diadaptasi dari young adult novel berlatarkan post-apocalyptic. Disamping The Hunger Games yang keseluruhan serinya mampu tampil mengikat, The Maze Runner yang cenderung tak stabil, dan Divergent yang terjun bebas begitu memasuki seri terakhir (kepedean dibagi menjadi dua film pula!), tak ada lagi adaptasi dari novel sejenis yang benar-benar mencuri perhatian lantaran garis besar dalam jalinan pengisahannya pun sejatinya tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah mengapa saya kurang menunjukkan minat pada Mortal Engines yang disadur dari jilid pertama rangkaian seri rekaan Philip Reeve, sampai kemudian mengetahui keterlibatan tiga serangkai: Fran Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson, yang memberi kita trilogi epik The Lord of the Rings (2001-2003) di sektor penulisan naskah. Mudahnya sih, apa yang mungkin salah dari adaptasi ini? Bukan tidak mungkin kan Mortal Engines akan membangkitkan kembali tren adaptasi untuk subgenre post-apocalyptic yang belakangan mulai menyurut? Apabila Peter Jackson turut dipercaya sebagai sutradara, sikap optimistis yang sempat mengemuka ini mungkin masih terdengar realistis. Tapi mengingat proyek dengan suntikan dana sebesar $100 juta ini diserahkan kepada sutradara pendatang baru Christian Rivers yang memulai karir perfilmannya sebagai storyboard artist, kamu tentu tahu bahwa berekspektasi tinggi-tinggi bukanlah suatu keputusan bijak. 

Dalam Mortal Engines yang melempar kita jauh ke masa depan sampai-sampai peradaban saat ini disebut “purba”, bumi telah mengalami kehancuran akibat penggunaan senjata pemusnah massal. Guna bertahan hidup dari ancaman gempa bumi, letusan gunung berapi, dan serangkaian bencana alam lain, penduduk bumi yang tersisa pun mencetuskan gagasan unik mengenai cara hidup baru. Mereka menciptakan sebuah traksi berwujud roda raksasa yang senantiasa bergerak untuk menampung sebuah kota yang didiami ribuan manusia. Pada jilid pertama ini, kota futuristis yang mempunyai peranan krusial dalam pergerakan kisah adalah London. Tentu saja, London bukanlah sebuah kota berjalan yang berhati mulia karena julukannya sebagai ‘kota predator’ telah mengindikasikan bahwa keberadaannya adalah ancaman bagi kota-kota kecil lain – khususnya bagi kota yang memiliki sumber daya melimpah. Julukan ini tak bisa dilepaskan pula dari ambisi Thaddeus Valentine (Hugo Weaving) yang mempunyai kontribusi penting di London untuk menempatkan kotanya sebagai traksi tertinggi. Bagi masyarakat London, apa yang dilakukan oleh Thaddeus ini memang terdengar mulia. Tapi bagi masyarakat kecil di luar London, Thaddeus adalah seseorang yang berbahaya khususnya bagi Hester Shaw (Hera Hilmar) yang menyimpan dendam kesumat akibat tragedi masa lalu. Dibantu oleh Tom Natsworthy (Robert Sheehan) yang dibuang dari London oleh Thaddeus dan Anna Fang (Jihae) yang memimpin gerakan anti-traksi, Hester bersiap untuk menjalankan rencana balas dendam terhadap Thaddeus yang telah mengendap selama bertahun-tahun lamanya.


Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mortal Engines untuk menggeber gelaran laga yang kentara diniatkan sebagai jualan utamanya. Pada menit pembuka, penonton disuguhi oleh adegan kejar mengejar beroktan tinggi dengan visual menakjubkan bak perpaduan antara Mad Max Fury Road (2015) dengan Howl’s Moving Castle (2004). Melalui adegan tersebut kita bisa mengetahui sekelumit mengenai hukum yang berlaku di dunia baru ini: mereka yang lemah (mau tak mau) mesti tunduk kepada mereka yang memiliki kekuatan. London mengakuisisi kota pertambangan cilik, Salthook, demi merebut aset-aset berharga mereka dan menolak jelas bukan suatu pilihan kecuali bersedia digilas habis oleh roda-roda kota London yang gedenya bikin melongo. Menilik apa yang dipersembahkan oleh Christian Rivers pada adegan pembuka ini – dimana dia juga berkesempatan untuk unjuk kebolehan dalam mengkreasi tampilan kota futuristis yang harus diakui imajinatif – bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ekspektasi penonton tiba-tiba meninggi. Ada keingintahuan untuk menengok visualisasi dunia rekaan Philip Reeve, sekaligus mengetahui sejauh mana si pembuat film akan mengeksplorasi tema berkenaan dengan konsumerisme, imperialisme, kesenjangan kelas sosial, sampai modernisasi. Hanya saja, selepas Salthook berada di cengkraman London dan fokus penceritaan pun beralih pada upaya Hester untuk membalas dendam kepada Thaddeus, Mortal Engines yang mulanya mengasyikkan buat disimak secara perlahan tapi pasti mulai letoy. 

Tata laga yang bikin berdecak kagum seperti adegan pembuka urung hadir, begitu pula dengan penceritaan yang menggigit. Ketimbang mengeksplorasi tema yang belakangan hanya dibahas di permukaan saja maupun menjlentrehkan world building guna memberi gambaran utuh mengenai sistem sosial yang berlaku di dunia baru, si pembuat film malah sibuk membombardir penonton dengan rentetan laga kurang menggairahkan yang tak satupun diantaranya mampu memunculkan sensasi berdebar-debar. Terasa hanya sekadar berisik lantaran Christian Rivers masih gagap dalam bercerita dan dia pun tak sanggup membuat penonton bersimpati terhadap barisan karakter dalam film. Jangankan karakter pendukung yang bisa datang dan pergi begitu saja – ucapkan halo pada Shrike (Stephen Lang) dan Katherine Valentine (Leila George) yang keberadaannya ternyata dimaksudkan agar film ini memiliki momen mengharu biru – karakter utama seperti Hester, Tom, Anna, dan Thaddeus bisa dengan mudah dilupakan hanya beberapa saat setelah film berakhir. Hester kelewat monoton, Tom kelewat menyebalkan dengan mulut ceriwisnya itu, Anna terlampau ngoyo buat kelihatan cool dengan ekspresi sinis yang sama sepanjang durasi, dan motivasi Thaddeus sebagai villain sukar untuk dianggap serius. Andai Mortal Engines dilepas satu dekade silam, apa yang dihantarkannya mungkin saja masih akan menarik atensi (tentu dengan catatan: penggarapannya bagus). Tapi berhubung saya sudah terlampau kenyang dicekoki tontonan sejenis sedari The Hunger Games meledak, film ini tak ubahnya epigon tanpa ciri khas dan nyawa yang cocok ditonton saat waktu luang banyak tersedia, kondisi finansial sedang sehat, serta tak ada lagi film yang bisa dipilih sebagai tontonan di bioskop.

Acceptable (2,5/5)


Tuesday, 4 December 2018

REVIEW : ONE CUT OF THE DEAD


“Pom!” 

Seusai menonton One Cut of the Dead, sulit untuk tak menyebutnya sebagai film yang mengagumkan. Saya sama sekali tak menduga bahwa sajian zombie yang belakangan ini sudah mulai memudar pesonanya masih memungkinkan untuk dieksplorasi dengan pendekatan yang tak terbayangkan sebelumnya. “Ini gila sih,” adalah respon yang pertama kali meluncur dari mulut begitu lampu bioskop dinyalakan yang disambut tepuk tangan malu-malu dari beberapa penonton. Ya, ada banyak kegilaan yang bisa kamu dapatkan di film ini dan catatan terbesar yang perlu saya sampaikan kepada kalian: ini tidak berhubungan dengan muncratan darah, potongan-potongan tubuh, maupun gaya membunuh si zombie yang kreatif. Sesuatu yang kerap diperkirakan oleh banyak orang, termasuk beberapa kawan baik yang sudah terlampau malas untuk menonton film teror mayat hidup. Perlu ditekankan, One Cut of the Dead bukanlah tontonan zombie konvensional dan apa yang kamu saksikan di materi promosi hanyalah mengungkap segelintir apa yang telah dipersiapkan oleh sang sutradara, Shinichiro Ueda. Benar-benar mengecoh atau dalam hal ini berfungsi untuk ‘melindungi’ film sehingga penonton dapat memperoleh kenikmatan yang mengejutkan ketika memutuskan memberi kesempatan pada film berdurasi 97 menit ini – meski ada konsekuensi akan mengalienasi calon penonton dan mengecewakan penonton dengan ekspektasi memperoleh tontonan selaiknya trailer. 

Saya pribadi menunjukkan minat pada One Cut of the Dead bukan disebabkan oleh trailer film bersangkutan, melainkan oleh fenomena tersendiri yang diciptakannya di Jepang. Dikreasi dengan bujet sangat minim (konon, sekitar $27 ribu atau setara dengan biaya produksi rata-rata film indie di Indonesia) dan ditayangkan hanya di satu teater cilik pada penghujung tahun 2017, One Cut of the Dead baru memperoleh kesempatan untuk unjuk gigi selepas direspon positif di Udine International Film Festival. Secara bertahap, film dilepas ke bioskop-bioskop Jepang menggunakan promo “diskon bagi penonton dengan dandanan ala zombie” yang ternyata ditanggapi riuh oleh khalayak ramai. Walau jumlah layar bioskop yang menayangkannya tak melimpah ruah, One Cut of the Dead secara konsisten bertahan di carta mingguan sepuluh besar film terlaris selama beberapa bulan yang seketika memberinya status: sleeper hit. Menilik prestasi komersilnya tersebut – yang juga kerap diwartakan oleh media arus utama kenamaan – maka tentu saja diri ini tergelitik untuk mengetahui: apa sih yang menyebabkan word of mouth dari One Cut of the Dead di kalangan penonton umum bisa berjalan dengan sedemikian baik? Lebih-lebih, apabila ditengok sepintas lalu, tampak tak ada yang istimewa dari film ini kecuali adegan pembukanya yang berlangsung selama 37 menit dan nekat melakukan pengambilan gambar dalam satu kali take saja. 


Adegan pembuka yang sudah lebih dari memadai untuk dijadikan sebagai satu film pendek ini adalah satu-satunya yang bisa saya ceritakan dengan bebas di sinopsis ini. Melalui adegan pembuka tersebut, kita dipertemukan dengan sejumlah kru film yang tengah melakukan syuting film zombie di sebuah gudang terbengkalai. Sayangnya syuting tidak berjalan dengan mulus lantaran si aktris utama, Aika (Yuzuki Akiyama), gagal menampilkan ekspresi ketakutan yang meyakinkan seperti diharapkan oleh sang sutradara, Takayuki (Takayuki Hamatsu). Alhasil, Takayuki yang acapkali marah-marah pun menitahkan pemain dan kru untuk melakukan pengambilan gambar ulang hingga 42 kali demi memperoleh ekspresi ketakutan yang diharapkan. Luar biasa sekali, ya? Disela-sela rehat sebelum pengambilan gambar berikutnya dilangsungkan, Aika bercakap-cakap dengan lawan mainnya, Kazuaki (Kazuaki Nagaya), beserta penata rias, Harumi (Harumi Shuhama), mengenai berbagai hal. Dari keluh kelah terhadap sifat perfeksionis Takayuki, berlanjut ke mitos menyeramkan dibalik gudang yang dijadikan tempat syuting, sampai hal remeh temeh mengenai hobi. Percakapan santai yang cenderung ngalor ngidul sesuka hati ini – terutama setelah beberapa saat – mendadak buyar usai gudang tersebut kedatangan tamu tak diundang: mayat hidup betulan. Para kru dan pemain film zombie ini pun seketika panik karena mesti bertahan hidup dari serangan zombie asli, sementara Takayuki justru menganggapnya sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan ekspresi ketakutan Aika yang natural. 

Apabila kamu hanya mengandalkan sinopsis singkat ini (plus trailer yang memberi gambaran mengenai adegan pembuka), One Cut of the Dead memang tak tampak menjanjikan. Bahkan, kamu juga akan bergulat dengan perasaan yang senada ketika melihat pengejawantahannya ke dalam bahasa gambar yang luar biasa absurd. Mengingatkan pada film zombie kelas B yang memiliki kualitas penggarapan serta narasi yang ala kadarnya. Satu-satunya yang bisa diapresiasi dari adegan pembuka adalah usaha si pembuat film untuk merealisasikannya dalam satu kali take. Suatu usaha yang jelas tidak gampang dan memerlukan keterampilan dalam mengeksekusinya demi meminimalisir kesalahan. Tapi tentu saja, sebagian penonton akan abai dengan fakta ini sehingga reaksi-reaksi seperti “apaan sih?” atau “nggak jelas banget deh!” mungkin akan sering kamu dengar di 37 menit pertama. Jika kamu tidak cukup sabar – dan benar-benar merasa terganggu dengan sajian bak digarap amatir di layar – maka bisa jadi dirimu akan mengikuti jejak sejumlah penonton yang memutuskan hengkang pada menit belasan. Pada menit dimana pertunjukkan sesungguhnya belum dimulai. Pada menit dimana si pembuat film baru mengajak penonton untuk melakukan pemanasan. Tapi jika kamu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang bersabar, maka bersiaplah untuk dibuat berdecak kagum dan tertawa tergelak-gelak nyaris tanpa henti selama menikmati hidangan utama. 


Saya tidak bisa menjabarkan secara rinci mengenai apa yang terjadi di satu jam berikutnya lantaran tidak ingin mengurangi daya kejutnya. Yang jelas, kamu akan mendapati bahwa One Cut of the Dead bukanlah film zombie berbumbu komedi yang biasa-biasa saja. Ini adalah surat cinta untuk filmmaking dari seorang filmmaker. Mereka yang pernah merasakan ribetnya menjalani syuting film – khususnya dalam skala indie dengan bujet mepet – akan dengan mudah terhubung ke guliran pengisahan lalu dibuat terkekeh-kekeh olehnya. Dan mereka yang belum pernah terlibat dalam penggarapan film tidak perlu risau akan terasingkan karena apa yang dipaparkan oleh Shinichiro Ueda bukan juga bersifat eksklusif. Kamu tidak harus mengetahui seluk beluk proses penggarapan suatu film untuk bisa memahaminya. Malah, One Cut of the Dead akan membantumu untuk melongok proses kreatif dibalik tercetusnya suatu film yang akan membuatmu lebih memberikan apresiasi pada film yang kamu tonton, walaupun jeleknya amit-amit jabang bayi. Ada banyak sekali faktor yang memberikan pengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan suatu film dan One Cut of the Dead membahasnya secara cerdas dengan gaya komikal yang menyegarkan. Sulit untuk tak terkagum-kagum menyaksikan pengaturan setiap adegan yang presisi, lalu sulit pula untuk tak tertawa terbahak-bahak selama menyimak penuturan dari si pembuat film lebih-lebih jika kamu menontonnya dengan crowd yang tepat. Bakal terasa pom, eh maksud saya, pecah maksimal. Go watch it!

Outstanding (4,5/5)


Sunday, 2 December 2018

REVIEW : RALPH BREAKS THE INTERNET


“All friendships change. But the good one, they get stronger as they change.” 

Rasa-rasanya tidak banyak yang menduga bahwa Wreck-It-Ralph (2012) akan menjadi tontonan keluarga yang sangat menyenangkan buat disimak. Penonton diajak menjelajah dunia arcade game yang sudah semakin ditinggalkan, lalu disodori visual berwarna-warni, rangkaian cameo dari permainan populer di masa lampau, serta guliran pengisahan yang penuh banyolan segar sekaligus mampu menonjok hati-hati sensitif. Kesuksesan yang direngkuhnya baik dari sisi finansial maupun kritikal, membawa sajian animasi produksi Walt Disney Animation Studios yang sempat tenggelam kembali menjadi sorotan (terima kasih juga untuk Tangled, Frozen, Big Hero 6, serta Zootopia) sekaligus memberi kesempatan bagi Ralph si penghancur untuk memiliki franchise-nya sendiri. Ya, pihak studio tidak berpikir panjang-panjang dalam memberi lampu hijau pada pembuatan sekuel Wreck-It-Ralph yang ternyata membutuhkan waktu hingga enam tahun untuk direalisasikan. Pemicunya, menentukan narasi yang cocok mengenai kelanjutan petualangan serta persahabatan antara dua outsider di dunia arcade game, Wreck-It-Ralph (John C. Reilly) dan Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman), yang belakangan dielu-elukan sebagai pahlawan. Usai melewati berbagai fase pertimbangan sengit – konon ada tiga naskah yang menjadi kontender untuk difilmkan – sekuel bertajuk Ralph Breaks the Internet pun memilih jalur pengisahan yang menempatkan persahabatan Ralph dengan Vanellope di ujung tanduk selepas mereka mengetahui adanya dunia baru yang kita kenal sebagai internet. 

Berlatar enam tahun selepas peristiwa di film pertama, Ralph dan Vanellope kini menjadi sahabat baik yang tak terpisahkan. Dimana ada Ralph, disitulah kamu akan menemukan Vanellope. Mereka senantiasa menghabiskan waktu bersama setiap hari utamanya usai ‘bekerja’ di arcade game masing-masing – entah nongkrong di atap apartemen, kedai minuman, atau stasiun penghubung antar game. Sepintas, tak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Semuanya berjalan dengan normal serta damai sentosa seperti diharapkan oleh sebagian besar para penghuni arcade game… kecuali Vanellope. Ya, Vanellope menganggap rutinitasnya ini menjemukan karena dia tak lagi menemukan tantangan dalam pekerjaannya sebagai pembalap jagoan di Sugar Rush. Dia ingin sesuatu yang berbeda. Mengetahui sahabatnya bermuram durja, Ralph pun berinisiatif memberikan ‘twist’ dalam permainan tersebut yang justru berdampak fatal dan mengancam kelangsungan Sugar Rush. Demi menyelamatkan pekerjaan sekaligus rumah bagi Vanellope beserta kawan-kawan pembalap lain, Ralph dan Vanellope pun nekat menjelajah internet. Mereka mesti menjangkau eBay yang konon memberikan solusi atas permasalahan mereka. Mulanya sih tak ada kesulitan berarti bagi keduanya dalam menemukan tempat ini lalu mengklaim barang yang mereka butuhkan. Hanya saja, ketidaktahuan mereka mengenai ‘cara main’ di eBay mendatangkan persoalan lain bagi dua sahabat ini yang memaksa Ralph dan Vanellope untuk menyelami internet lebih dalam sekaligus menguji persahabatan mereka.


Selaiknya sang pendahulu yang memberi banyak kesenangan di sepanjang durasi, Ralph Breaks the Internet pun meninggalkan sensasi senada seirama pada penonton. Mitos “sekuel akan kesulitan menandingi jilid pembuka” sekali lagi disanggah di sini dengan kemampuan duo kreator – Rich Moore dan Phil Johnston – dalam mengkreasi visual beserta jalinan pengisahan yang setara levelnya dengan Wreck-It-Ralph. Jika sang kakak lebih banyak mengakomodir elemen nostalgia pada dunia arcade game (lengkap dengan cameo dari karakter game legendaris), maka sang adik ini memiliki cakupan yang lebih luas lantaran merangkul fenomena dunia maya termasuk budaya populer. Sedikit banyak mengingatkan pada The Emoji Movie yang memvisualisasikan kehidupan di dalam ponsel genggam yang terkoneksi dengan internet, Ralph Breaks the Internet memiliki penggambaran yang inovatif, penuh warna nan kompleks mengenai dunia maya yang diibaratkan kota besar berlalu lintas padat di masa depan (bayangkan saja film fiksi ilmiah yang memiliki mobil terbang). Para pengaksesnya diwujudkan dalam avatar yang berlalu lalang bak warga kota yang sibuk atau turis, sementara setiap situs kenamaan di internet adalah gedung-gedung pencakar langit yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Sebagai contoh, Instagram terlihat seperti museum yang koleksi lukisannya tersusun atas postingan para pengguna, Twitter menampilkan burung-burung sedang bercengkram di atas ranting, Oh My Disney menyerupai Disneyland (tentu saja!), dan eBay tak ubahnya tempat lelang. Sungguh visualisasi yang amat kreatif, bukan? 

Saya tak sanggup menahan rasa takjub – terperangah dan geleng-geleng kepala – tatkala Ralph Breaks the Internet menghamparkan visual yang detil ini. Begitu banyak printilan-printilan yang akan membuat para pecandu dunia maya dan budaya populer kegirangan, bahkan besar kemungkinan kamu tidak akan menjumpai seluruhnya hanya dalam satu pandangan (!). Yang juga membahagiakan, kecermatan dalam penggarapan animasi ini tak lantas mendistraksi si pembuat film dari sektor narasi. Penonton diupayakan dapat memperoleh kenikmatan tak hanya untuk mata, tetapi juga untuk otak dan hati di sepanjang durasi. Guliran pengisahannya dirangkai dengan berbagai macam emosi yang melingkunginya: seru, lucu, serta haru. Seru menyaksikan petualangan Ralph bersama Vanellope dalam mengarungi internet guna menuntaskan satu misi besar untuk “mendapatkan barang penting di eBay” yang turut membawa mereka memasuki game online sarat kekerasan, lucu melihat kekonyolan tingkah berikut celetukan-celetukan dari para karakter yang wara-wiri di film (paling membekas jelas para putri dari film animasi Disney yang menyindir karakteristik tipikal mereka dan studio sebelah *cough*Pixar*cough), lalu haru menyimak hubungan naik-turun Ralph dengan Vanellope yang menghantarkan pesan moral mengenai persahabatan. Disamping soal “bagaimana seharusnya seorang sahabat bersikap?,” Ralph Breaks the Internet juga menyodorkan komentar sosial mengena perihal perilaku di dunia maya termasuk cyber bullying. Oleh Yesss (Taraji P. Henson), ahli algoritma yang menentukan popularitas video di BuzzzTube, pesan ini ditekankan secara jelas: caramu memanfaatkan internet menunjukkan jati dirimu yang sesungguhnya lebih-lebih jika kamu menggunakannya untuk menebar kebencian. Sebuah pesan yang tentunya relevan di era ketergantungan teknologi (dan internet) seperti sekarang ini.

Note : Ralph Breaks the Internet memiliki dua bonus adegan yang terletak di sela-sela dan penghujung end credit. Plus, ada bonus video klip.

Outstanding (4/5)


Monday, 19 November 2018

REVIEW : FANTASTIC BEASTS: THE CRIMES OF GRINDELWALD


“Do you know why I admire you, Newt? You do not seek power. You simply ask, "Is a thing... right?" 

Bagi Potterheads, keputusan Warner Bros. dalam memfilmkan buku Fantastic Beasts and Where to Find Them jelas patut dirayakan dengan penuh sukacita. Betapa tidak, mereka mengekspansi Wizarding World – sebutan untuk semesta film yang bersentuhan dengan franchise Harry Potter – sehingga para penggemar berkesempatan untuk melongok lebih jauh world building rekaan J.K. Rowling di luar tembok Hogwarts. Kita disuguhi narasi seputar kehidupan penyihir di masa lampau secara umum, sementara secara spesifik kita bisa melihat kehidupan penyihir dewasa yang telah memasuki dunia kerja (atau dalam hal ini, Kementrian Sihir). Saya akui, ini terdengar menggiurkan. Jilid pembuka Fantastic Beasts pun mengindikasikan bahwa franchise ini berada di jalur yang tepat dengan perkenalannya terhadap dunia pra-Harry Potter yang tetap menguarkan nuansa magis. Membangkitkan segala kenangan indah terhadap tujuh seri petualangan si bocah penyihir. Tapi keputusan para petinggi untuk mengkreasi lima seri, dari rencana awal hanya tiga, mau tidak mau memunculkan kekhawatiran bahwa film akan memiliki guliran pengisahan berlarut-larut. Pengalaman kurang menyenangkan dari trilogi The Hobbit masih terpatri kuat di ingatan dan sosok Newt Scamander (Eddie Redmayne) sebagai karakter utama pun tak semenggigit Harry – bagi saya dia agak lempeng. Itulah kenapa wajar jika ada yang kemudian bertanya, “apa konflik besar yang bisa melingkungi Newt sehingga pihak studio dan Bu Rowling merasa layak untuk menceritakannya ke dalam lima instalmen?” 

Dalam jilid kedua Fantastic Beasts yang mengaplikasikan subjudul The Crimes of Grindelwald, J.K. Rowling yang kembali ditugasi menulis naskah – David Yates pun kembali sebagai sutradara (duh!) – menghadirkan setumpuk konflik sebagai upayanya untuk menjawab pertanyaan penuh keraguan tersebut. Dia seolah berkata, “ada banyak yang bisa aku ceritakan untuk kalian.” Berlatar tiga bulan selepas adegan pamungkas film pertama yang menyisakan kekacauan besar di New York, Newt Scamander mendapat larangan keras untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat dia adalah seorang magizoologist yang salah satu tugasnya adalah meneliti fauna ajaib di berbagai penjuru dunia, larangan ini jelas menyulitkan pekerjaannya. Dia pun mengajukan banding kepada Kementrian Sihir yang hanya bersedia memenuhi permintaannya apabila Newt bersedia bekerja untuk mereka mendampingi sang kakak, Theseus (Callum Turner), dalam memburu Credence Barebone (Ezra Miller) yang ternyata masih hidup. Newt menampik tawaran tersebut – yang secara otomatis menggugurkan permintaannya – tapi dia tak bisa mengelak dari tawaran Albus Dumbledore (Jude Law) yang turut menitahkannya untuk menemukan Credence di Paris. Salah satu alasannya karena dia berharap bisa berekonsiliasi dengan perempuan yang ditaksirnya, Tina Goldstein (Katherine Waterston), yang ternyata sedang berada di Paris guna menjalani misi yang sama. Ditemani oleh seorang No-Maj/muggle yang kini menjadi teman baiknya, Jacob Kowalski (Dan Fogler), Newt pun mesti berpacu dengan waktu dalam perburuan ini lantaran seorang penyihir aliran gelap, Gellert Grindelwald (Johnny Depp), tengah menyiapkan rencana besar nan keji untuk Credence beserta para penyihir ‘tersesat’ lainnya di waktu bersamaan.


Jika instalmen pendahulu bisa ditonton oleh penonton awam tanpa dibekali pengetahuan komprehensif soal dunia ciptaannya Bu Rowling, The Crimes of Grindelwald terasa lebih eksklusif. Jangankan mereka yang belum pernah mengunjungi Wizarding World, mereka yang sudah ‘lulus’ dari Hogwarts dengan nilai setara Ron atau Harry pun akan cukup dibuat pusing oleh guliran pengisahan yang ditawarkan. Film seolah menuntutmu untuk memiliki daya ingat setajam Hermione lantaran serentetan peristiwa dan karakter yang bersliweran di sini memiliki keterkaitan erat dengan jilid-jilid lain (termasuk versi novel). Itulah mengapa, The Crimes of Grindelwald bukanlah sebuah film yang bisa berdiri sendiri karena dia difungsikan sebagai penjembatan antara seri pertama dengan seri-seri berikutnya. Kamu perlu menonton setidaknya Fantastic Beasts and Where to Find Them guna mengetahui akar permasalahan, kamu pun perlu menonton seri selanjutnya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menggantung di sini. Apakah ini berarti membuatnya terlihat sebagai film yang buruk? Bagi saya sih, tidak. Kesalahan terbesar jilid ini bukan disebabkan oleh narasinya yang menganakemaskan Potterheads sejati, melainkan karena Bu Rowling memperlakukan naskah film selaiknya naskah novel dengan mempergunakan banyak sekali subplot guna menggulirkan roda penceritaan. Ini mungkin masih akan berhasil di atas kertas, tapi saat divisualisasikan ke dalam bahasa gambar… tunggu dulu. Sejujurnya, saya mengalami kebingungan dan kebosanan dalam menonton The Crimes of Grindelwald karena ada banyak sekali cabang cerita untuk diikuti – belum lagi lajunya pun lambat di pertengahan film. 

Bukan sebatas perburuan Credence dan rencana keji Grindelwald, film turut menyodorkan beberapa subplot lain meliputi upaya Credence dalam menguak masa lalunya yang mempertemukan dia dengan Nagini (Claudia Kim), pertengkaran Jacob dengan Queenie Goldstein (Alison Sudol) dipicu oleh keraguan Jacob untuk menikahinya karena ketakutannya dalam melanggar hukum “menikah beda kaum”, hingga kisah cinta segirumit antara Newt, Tina, serta Leta Lestrange (Zoe Kravitz) yang memunculkan dialog khas opera sabun alias sinetron seperti “dengerin dulu penjelasanku” saat si cewek pujaan hati ngambek-ngambek manjya. Meriah sekali, ya? Saking meriahnya, film sampai terlihat kebingungan dalam meletakkan fokus sehingga satu pertanyaan pun tak terelakkan: apa sih sebenarnya yang ingin diceritakan di sini? Meski menggunakan embel-embel Fantastic Beasts, kenyataannya fauna ajaib hanya muncul sebagai penghibur ketika film membutuhkan aksi atau komedi. Meski menempatkan Newt Scamander sebagai karakter utama, dia nyaris tak melakukan suatu tindakan yang signifikan di sini (bahkan jatah tampilnya pun mangalami pengurangan cukup banyak). Meski nama Grindelwald muncul pada judul, dia pun tak banyak diberi kesempatan untuk menjabarkan motivasi berikut pemikiran-pemikirannya secara jelas – apalagi menunjukkan kejahatan seperti diutarakan oleh judul. Kita hanya mengetahuinya dari dialog yang tak cukup kuat dalam memperlihatkan bahwa dia adalah sosok penyihir bengis yang semestinya ditakuti. Tak ada kompleksitas dalam karakterisasinya, Grindelwald tak ubahnya penjahat satu dimensi di banyak film yang tujuan utamanya semata-mata “ingin menguasai dunia”. 



Yang kemudian membantu menyelamatkan The Crimes of Grindelwald dari keterpurukan akibat naskah yang Ya-Tuhan-gini-amat-ceritanya (dan saya masih belum membahas soal twist ajaib yang menunjukkan obsesi terselubung Bu Rowling terhadap soap opera melibatkan cerita “saudara yang tertukar”) adalah performa pemain. Ditengah keterbatas penulisan karakter, para pelakon masih sanggup menunjukkan akting yang tidak mengecewakan khususnya Eddie Redmayne dengan segala kecanggungannya, Johnny Depp (akhirnya!) dapat melepaskan bayang-bayang Jack Sparrow dalam peran antagonis cukup menarik, Zoe Kravitz menunjukkan guratan penyesalan dibalik air muka muramnya, beserta Dan Fogler yang memberi banyak asupan tawa dalam setiap celetukannya sekalipun karakternya tak berkontribusi banyak pada penceritaan kecuali dipergunakan sebagai comic relief. Yang juga layak diapresiasi adalah tampilan visualnya yang masih sanggup menguarkan nuansa magis lebih-lebih saat musik tema Harry Potter turut berkumandang mengiringi beberapa adegan. Secara personal, saya menyukai penggambaran adegan pembukanya yang memiliki excitement tinggi, kunjungan Newt ke “ruang kerjanya”, kunjungan ke Kementrian Sihir, dan tentu saja ketika para karakter mengunjungi Hogwarts untuk menemui Dumbledore yang membuat saya bernostalgia. Visual yang ditonjolkan dalam rangkaian adegan ini memberikan setitik alasan sederhana mengapa franchise dunia sihir ini bisa banyak dicintai dan dikagumi oleh banyak orang. Visual yang mewarnai The Crimes of Grindelwald ini pula yang membuat saya mampu bertahan menyaksikan sinetron versi Bu Rowling. Saat film berakhir, saya hanya berdoa semoga Bu Rowling segera kembali ke jalan yang benar sehingga seri-seri Fantastic Beasts berikutnya mampu membuktikan bahwa seri ini memang layak diceritakan dalam lima instalmen. Jika seri berikutnya tidak ada bedanya dengan The Crimes of Grindelwald, mungkin sudah saatnya saya memutuskan untuk murtad dari Potterhead.

Acceptable (2,5/5)